Bangkitnya Kembali Gerakan Pemikiran NU - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
13/10/2003

Bangkitnya Kembali Gerakan Pemikiran NU Catatan dari Muktamar Pemikiran Islam NU

Oleh Hasan Basri

Begitulah kesan yang muncul setelah mengikuti Muktamar Pemikiran Islam NU, yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo pada tanggal 3-5 Oktober lalu. Acara ini diperkarsai “maskot-maskot” kaum muda NU, seperti Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar-Abdalla dan Zuhairi Misrawi. Muktamar ini pun diselenggarakan di tengah badai kontroversi, kesalahpahaman dan ketakutan yang berlebihan terhadap pemikiran bebas.

Sudah saatnya Islam tidak dilihat sebatas ayat-ayat suci yang terbukukan dalam Mushaf Usmani dan berjilid-jilid kitab hadis, lalu melupakan kerja-kerja pembebasan yang dicapai Nabi Muhammad. Apalah arti teks tanpa terapan dan jawaban-jawaban atas problem-problem kemanusiaan yang sedang dan terus terjadi?! Lupakah kita, sampai saat ini, Alqur’an masih menyimpan ayat tentang perbudakan, tapi Nabi sendiri dan para sahabatnya telah membebaskan dan mengangkat Bilal pada posisi yang terhormat? Andai kekuasaan politik tidak keburu melembagakan penafsiran tertentu, mungkin pembagian waris 2:1 antara laki-laki dan perempuan akan sempurna menjadi 1:1. Bukankah Salman Al-Farisi termasuk the other, tapi ia mendapat tempat yang tidak berbeda di tengah-tengah komunitas Madinah?

Andai perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari dan kawan-kawan dalam mengangkat potensi ekonomi rakyat bawah dan memerangi penindasan kaum kapitalis lokal dan kolonialisme tidak terhenti oleh kecenderungan politik praktis para generasi sesudahnya, mungkin kalangan Nahdhiyin sudah merasakan manfaat besar lembaga yang mereka dukung dan banggakan selama ini.

Begitulah kesan yang muncul setelah mengikuti Muktamar Pemikiran Islam NU, yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo pada tanggal 3-5 Oktober lalu. Acara ini diperkarsai “maskot-maskot” kaum muda NU, seperti Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar-Abdalla dan Zuhairi Misrawi. Muktamar ini pun diselenggarakan di tengah badai kontroversi, kesalahpahaman dan ketakutan yang berlebihan terhadap pemikiran bebas. Diasumsikan, pemikiran anak muda itu akan merusak tradisi NU, meruntuhkan kharisma kiai, dan membahayakan doktrin Islam.

Muktamar Pemikiran NU merupakan refleksi kritis atas perjalanan NU sebagai wadah kerakyatan dan kebangsaan. Beberapa dekade terakhir ini, NU sebagai gerakan kultural seakan terpisah dan dipisahkan dari tradisi pikirnya. Padahal pemikiran adalah elan vital sebuah gerakan kultural, guna menghindar dari pragmatisme gerakan. Tradisi NU harus diinterpretasi terus menerus, bukan diterima secara taken for granted. Anak-anak muda NU yakin bahwa telah terjadi semacam disorientasi pada gerakan NU. Suatu kecenderungan dimunculkan secara dominan atas kecenderungan lainnya. Arus politik praktis mensubordinasi potensi-potensi NU lainnya. Pemikiran dipinggirkan, demi merayakan gairah Islam politik di tubuh NU. Oleh karena itu, ada dua catatan tentang makna muktamar ini, di tengah anomali yang dialami NU.

Pertama, masalah hubungan antara lembaga dengan pemikiran pada satu sisi dan parameter sebuah pemikiran pada sisi lainnya. Pemikiran progresif-liberal-emansipatoris yang sedang berkembang menuju tahapan-tahapan selanjutnya perlu diberi wadah tentatif. Ini diperlukan untuk menghindar dari restriksi wadah terhadap kebebasan pemikiran yang sangat dibutuhkan untuk membangun kembali tradisi pemikiran. NU harus mengakomodir perbedaan secara bijak dengan membunuh konservativisme, ekslusivisme, dan kultus yang masih diperlihatkan secara kuat oleh sebagian kiai. NU bukan lembaga tafsir yang mengabadikan satu tafsir atas tafsir lainnya. NU bukan pula suara yang tunggal, seragam dan satu warna dalam pemikiran. Pemikiran yang berkembang pesat di kalangan muda NU bukanlah “anak haram” yang harus dikucilkan, tapi merupakan “anak kandung” NU sendiri, sebagai hasil persentuhannnya yang mendalam dengan problem-problem sosial yang terus berubah. NU harus belajar dari kesalahan sejarah Islam maupun Barat, yang sering membunuh pemikiran dengan mengatasnamakan kolektivitas dan Tuhan. Hanya dengan memberi dukungan penuh, sikap inklusif dan tradisi berpikir yang toleran dapat berkembang dan menimbulkan efek sosial yang efektif dalam sejarah.

Pemikiran, seperti yang dikatakan Ali Harb dalam pengantar bukunya “As’ilatul Haqîqah wa Rahânâtul Fikr”, adalah eksistensi sesorang. Hal yang sama dikatakan Arkoun dalam bukungan “Rethinking Islam: A Common Questions”. Artinya, pembunuhan dan peminggiran pemikiran seseorang, sama artinya dengan tindak pembunuhan atas orang tersebut; suatu perbuatan yang sangat dilarang tegas oleh Islam. Pengafiran, penghalalan darah, dan pembunuhan terhadap pemikiran dan pemikirnya, selama ini merupakan catatan hitam sejarah umat Islam yang harus ditinggalkan. Oleh karena itu, pemikiran Islam yang tidak berangkat dari pemikiran Islam masa lampau bisa dipersoalkan, karena hal itu sama artinya dengan menegasikan mereka dalam sejarah.

Selain itu, sikap kritis adalah prasyarat mutlak setiap pemikiran guna menghindari negasi dan sikap a-historis. Ini penting sekali terutama ketika sebuah pemikiran bersentuhan dengan masa lampau, masa sekarang dan the other. Hilangnya kreativitas pemikiran kritis dalam sejarah Islam telah menjerumuskan umat Islam menjadi masyarakat yang utopis dan terdisorientasi dalam memaknai profanitas dan historisitasnya. Hancurnya budaya kritis telah melahirkan “pemikir-pemikir penguasa” atau ulamâus shultah --istilah Hassan Hanafi-yang membebek pada para tiran dalam menindas dan menekan masyarakat. Pemikiran yang dibiarkan berkembang tanpa kritik akan dengan mudah membangun struktur hegemoni atas pemikiran lainnya. Kaum post-strukturalis dengan gamblang menjelaskan bahwa pengetahuan sangat rentan merubah dirinya menjadi kekuasaan otoriter.

Sebagai contoh, mengadopsi sejumlah teori ilmu sosial Barat guna menelaah ulang pemikiran Islam, bukanlah karena kecanggihan metodenya semata, melainkan karena kenyataan bahwa, ilmu sosial Barat lahir di tengah-tengah kaum pekerja, imigran dan kaum buruh yang menginginkan persamaan, demokrasi, dan pengakuan atas identitas mereka. Pengalihan teoritis ini lebih tepat diletakkan dalam garis dialogis yang didorong konsern yang sama dalam menjawab masalah kemanusiaan.

Maka dari itu, sudah saatnya sebuah pemikiran tidak dimaknai atau diukur sebatas isi, metode, wacana dan paradigma, atau hubungan resiprokal antara teks dengan konteks, ataupun seberapa bisa dia memberikan solusi instan. Parameternya, hendaknya dilihat pada konsern, tekanannya secara konsisten akan penyelesaian problem kemanusiaan. Pemikiran selalu lahir dari usaha untuk memahami problem degradasi kemanusiaan. Kondisi ini terlebih lagi pada pemikiran keagamaan, dimana agama tidak pernah ada tanpa alasan kemanusiaan. Tuhan selalu terusik oleh patologi kemanusiaan. Islam adalah agama yang lahir untuk menyelamatkan wajah kemanusiaan.

Selama ini, di tengah masyarakat berkembang nalar yang menuntut agar pemikiran menjadi penyelesaian langsung atas suatu masalah. Pemikir dituntut menjadi penyelamat bagi masyarakat, padahal tugas pemikir adalah memberi alternatif, wawasan, dan perlindungan diskursif seluas-luasnya pada seseorang dalam melihat problem kehidupan yang ada. Itulah yang disebut aktivitas refleksif yang mendorong seseorang untuk melakukan kerja-kerja emansipatoris.

Hal yang berkaitan dengan pemikiran lainnya adalah kebiasaan sebagai kalangan melakukan pemetaan yang cenderung mengeneralisir masalah, lebih-lebih pada konstruksinya yang bersifat hirarkis-dikotomis, seperti teks dengan konteks, teks dengan rasionalitas dan lainnya. Keharusan berpegang pada teks, seringkali melupakan rasionalitas yang merupakan potensi dasar manusia. Menarik ketika Masdar Farid Mas’udi mengatakan bahwa, berpegang pada teks atau tidak hanyalah soal pilihan. Artinya, dengan atau tanpa teks, manusia dengan potensi dasarnya berupa rasionalitas dan kebebasan, mampu mengatasi diri dan dunianya jika mampu mengembangkan akalnya seluas-luasnya. Tanpa memercayai kemampuan manusia, sangat sulit mengharap perubahan-perubahan ke arah yang lebih beradab. Dengan mengembalikan fungsi rasio dan kebebasan akal, manusia akan kembali menjadi makhluk dengan kemampuan tak terduga.

Hal kedua, perlu ditegaskan, Muktamar Pemikiran Islam NU sangat terkait dengan kenyataan bahwa NU merupakan sebuah gerbong gerakan kerakyatan dan kebangsaan. Konsern NU terhadap kedua masalah itu akan sangat ditentukan oleh tradisi pemikiran. Kemandekan gerakan NU selama ini nampaknya disebabkan “syahwat politik” yang berlebihan, sehingga NU menjadi organisasi politik, birokratis dan hirarkis yang memberi hak yang berlebihan pada sekelompok kalangan. Pragmatisme gerakan NU disebabkan lemahnya perkembangan pemikiran.

Akhirnya, Muktamar yang baru lalu itu menyadarkan kita bahwa selama ini ada kesalahpahaman dan diskontinyuitas dalam tradisi pemikiran dan gerakan NU. Itulah yang membuat kita gelisah, menuntut terus bertanya dan mengeksplorasi kemampuan berpikir secara sungguh-sungguh. Muktamar hanyalah sebuah persinggahan atau oase bagi kegelisahan-kegelisahan lainnya: jangan-jangan, Islam yang kita warisi selama ini adalah Islam “setengah jadi”, dan jangan-jangan pula, NU kita adalah NU “setengah jadi”.

13/10/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

salam kenal mas hasan basri,,,,,,,,,,,,
q sangat kagum sekali dengan ceritamu yang terkait dengan anak muda NU,,,, tapi perlu di garis bawahi bahwa sekarang NU sudah terpecah belah dikarenakan kurangnya koordinasi antara person dan pengurus2 lainnya,,, eksistensial NU sudah menurun dibandingkan dengn muhammadiyah,, sekarang banyak anak muda yang tidak tentang Nu secara integral dia hanya tahu namanya saja n keturunan,,, saya memohon kepada mas agar dibangkitkan lagi kesadaran anak muda NU agar turut berjuang ,,,,,,,,,,
horas ,,,,,,,,,,

Posted by iful  on  03/12  at  01:24 PM

Saya ingin turut menyatakan penghargaan saya pada para pemikir muda yang digolongkan sebagai “maskot-maskot” kaum muda NU. Bagaimana pun, sekalipun saya tidak banyak lagi mencermati perkembangan pemikiran keagamaan di lingkungan generasi Muda Muhammadiyah, generasi muda NU jelas sekali lebih artikulatif dalam mengelaborasi pemikiran-pemikiran keislaman mutakhir, baik yg berkembangan di tanah air, Timur Tengah maupun Barat.

Namun, ada satu hal yg menurut saya masih harus ditunggu. Yaitu sampai kapankah para pemikir muda NU ini merasa lebih dewasa dalam berpikir dan berkreasi mandiri tanpa harus selalu “numpang” pada nama besar NU, lingkungan sosial keagamaan dari mana mereka memang berasal. Jika mau lebih berani berpikir bebas, kenapa masih harus menyebutkan NU atau mengaitkan diri dengannya, jika tanpa itu pun mereka bisa besar sendiri. Fenomena yg sama juga bisa ditemukan di kalangan generasi muda Muhammadiyah, sebagaimana terlihat dlm kelompok Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Kenapa Muhammadiyah masih harus dibawa-bawa di situ?

Ini penting karena bagi para pemikir bebas NU, sebab saya kira tidak selamanya perkembangan pemikiran mereka mencerminkan atau merepresentasikan watak pemikiran keislaman NU, kecuali memang mau dipaksakan demikian. Saya terkesan dengan Nurcholish Madjid, yang bisa besar tanpa harus dibesarkan oleh NU atau Muhammadiyah, bahkan HMI. Malahan, dia yg membesarkan HMI dan generasi HMI berikutnya hanya numpang beken pada kebesaran HMI tanpa berusaha memiliki kualifikasi intelektual yang bisa menyamai Cak Nur. Malahan, HMI pun dijadikan kendaraan untuk tujuan-tujuan politik dan profesi jangka pendek.

Di tingkat global, saya kadang-kadang bertanya: apakah organisasi keagamaan sarjana-sarjana Muslim seperti alm. Fazlur Rahman, Seyyed Hossein Nasr, Mahmoud M. Ayoub, Ismail R. Al-Faruqi, Ali Abdul Raziq, Hassan Hanafi, Muhamed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Abid Al-Jabiri, Abdul Karim Soroush dll. Apakah mereka juga menjadi pemikir besar dan kenamaan karena mereka punya organisasi semacam Muhammadiyah dan NU di negeri masing-masing? Saya ragu tidak demikian. Mereka adalah orang-orang yang mampu berpikir mandiri tanpa harus mengasosiasikan diri dengan satu organisasi keagamaan primordial yang justru potensial mengekang mereka secara intelektual dan sosial. Sekalipun harus diakui mereka tetap mengklaim diri masuk dalam salah satu kategori Sunni atau Syiah.

Sekian Abu Ahmad

Hanya dengan cara seperti Cak Nur, saya kira di masa depan kita akan menyaksikan pemikir-pemikir yg bebas warna dan bisa diterima oleh semua kalangan, karena tidak lagi merasa perlu memiliki dan dimiliki oleh organisasi keagamaan yang gaung perseteruannya masih terasa sampai kini. Waallahu a’lam.
-----

Posted by Abu Ahmad  on  10/18  at  07:10 PM

Yah, sebagian anak muda NU di Jakarta yang diwadahi dalam; (1) Lakpesdam, (2) P3M, dan (Madrasah Desantara) serta (ISlamlib ?) memang punya corak liberatif dalam memahami Islam. Mereka berjalan efektif salah satunya ada dukungan Founding dari AS. Pertanyaannya, bisakah geliat pemikiran ini tanpa bergantung dengan AS ? Bagaimana dengan Pesantren2 ?. Saran saya generasi muda NU harus membuat proyek yang holistik tentang pembaruan pemikiran dalam model ISlam NU. Tidak hanay membuat peta saja seperti yang dibuat Zuhairi.

Posted by A.Mukti R  on  10/18  at  11:10 AM

Ketakutan akan bahaya pemikran yang baru, akan menimbulkan bahaya baru yang mungkin jauh lebih besar. Lagipula bahaya pemikiran baru tidak sebesar bahaya ketidaktahuan.

Posted by Firmansyah B.P  on  10/18  at  06:11 AM

Saya setuju atas tanggapan saudara M. Lukman dari Yogya yang menanggapi tulisan Hasan Basri, bahwa Islam yang kita terima dari Rasulullah adalah bukan “Islam Setengah Jadi” tapi merupakan “Islam Ideal”. Namun untuk mengaktualisasikan “Islam Ideal” tersebut dalam realitas kehidupan bukanlah pekerjaan yang mudah tapi merupakan sebuah perjuangan yang maha berat, makanya kita semua sedang dalam proses untuk menjadi manusia yang “benar-benar muslim”. Perbedaan dalam memahami teks-teks keagamaan yang merupakan acuan kita untuk menjadi “benar-benar muslim” yang kadang kala akhirnya membuat kita menjadi “benar-benar tidak muslim”.

Wallahu’alam bisshowaab.

Posted by mardias gufron  on  10/17  at  04:11 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq