Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”? - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
06/05/2007

Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”?

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Jikapun ada hadis yang benar-benar melarang hal itu, maka yang patut dipersoalkan bukanlah hadis itu, tetapi cara kita menafsirkannya. Sudah jelas hadis terikat dengan konteks zaman tertentu, dan tidak semua hal yang termuat dalam hadis bisa dengan serta merta dilaksanakan sekarang.

Para ideolog Islam revivalis seringkali menggambarkan Islam sebagai agama “jalan tengah”, agama wasath, agama moderat. Mereka memahami “jalan tengah” di sini sebagai berada di tengah-tengah antara dua titik ekstrem.

Yang menarik, kedua titik ekstrem itu, menurut mereka, diwakili oleh agama Kristen dan Yahudi. Yahudi mewakili satu titik ekstrem, yaitu kecenderungan formalisme-legalisme dalam beragama, sementara Kristen dipandang sebagai wakil dari titik ekstrem yang lain, yakni keberagamaan yang didasarkan atas ide cinta kasih, dan sama sekali mengabaikan aspek legal-formal dalam agama.

Pandangan semacam ini dikemukakan antara lain orang-orang seperti Sayyid Qutb dan diikuti oleh banyak sarjana Islam lain. Posisi yang ada di tengah-tengah ini mereka pandang sebagai salah satu keunggulan agama Islam mengatasi agama-agama lain.

Saya ragu apakah penggambaran semacam ini tepat mengenai sasaran. Selama ini, ayat yang selalu dipakai sebagai sandaran adalah surah al-Baqarah (2:143). Dalam ayat itu, istilah “ummatan wasathan” sering dimaknai sebagai “bangsa yang ada di tengah-tengah”. Dalam perkembangan terakhir, frasa itu malah langsung dikaitkan dengan istilah “Islam moderat”.

Menurut saya, pemaknaan semacam ini tampak anakronis, dalam pengertian memaksakan pengertian modern kedalam ayat Qur’an yang belum tentu sesuai dengan makna asal dari ayat bersangkutan.

Hal itu sama saja dengan memaknai kata “hizb” yang ada dalam Qur’an sebagai “partai”, sesuatu yang sama sekali tidak bisa diterima, karena istilah partai adalah istilah modern yang sama sekali asing dalam konteks pewahyuan Qur’an.

Lepas dari itu, hal yang menarik adalah pengertian Islam sebagai agama yang ada di antara dua ekstrimitas, Yahudi dan Kristen. Pengertian ini kurang meyakinkan dengan pelbagai pertimbangan:

(1) Jika Islam disebut sebagai jalan tengah, tentu pertanyaan yang patut diajukan adalah Islam yang mana yang memenuhi citra seperti itu. Kita tahu bahwa Islam mengejawantah dalam pelbagai bentuk. Meskipun umat Islam selalu dengan gigih mengatakan bahwa Islam adalah satu, tetap saja secara empiris Islam memiliki pelbagai bentuk.

Jadi, Islam sebagai agama “wasath” atau jalan tengah itu Islam yang mana? Jika memakai contoh yang karikatural, jelas sekali Islam sebagaimana dicontohkan oleh Osamah bin Ladin sangat sulit disebut sebagai agama jalan tengah.

(2) Lebih jauh lagi patut juga dipersoalkan Kristen dan Yahudi yang mana yang dianggap mewakili dua titik ekstrem itu. Sebab, kita semua tahu, sebagaimana Islam mempunyai banyak wajah, begitu juga dalam kedua agama tersebut juga terdapat banyak kecenderungan. Corak keberagamaan yang legal-formalistis bukan saja terdapat dalam Yahudi, tetapi juga ada Kristen.

(3) Yang lebih penting lagi adalah juga mempertanyakan kembali: apakah betul Islam benar-benar berada di antara dua titik ekstrem? Jika agama Yahudi dianggap sebagai representasi dari agama yang secara keras menerapkan hukum, bukankah Islam pelan-pelan juga menjadi agama yang makin mirip seperti itu, yakni makin cenderung “halakhic”, maksudnya makin legalistis?

Bukankah kajian fikih mendapatkan porsi yang terlalu besar dalam Islam? Bukankah diam-diam fikih menjadi standar kesalehan dalam beragama di kalangan umat Islam saat ini?

Jika dilihat secara lebih cermat, kajian atas hukum/fikih Islam jauh lebih rumit dan bertakik-takik dalam Islam ketimbang dalam Yahudi. Dengan kata lain, tekanan atas dimensi hukum dalam modus keberagamaan jauh lebih kuat di dalam Islam ketimbang dalam Yahudi. Jika demikian, mana yang lebih ekstrem, Yahudi atau Islam?

(4) Contoh yang selalu dipakai untuk menunjukkan sikap moderat Islam adalah soal hukum cerai. Dalam masalah ini selalu dikatakan bahwa Islam mengambil jalan tengah: tidak melarang cerai sama sekali, seperti dalam Kristen, tidak pula membolehkan cerai secara sembarangan seperti dalam sebagian tradisi pra-Islam di Arab. Cerai diperbolehkan oleh Islam tetapi dengan “caveat” bahwa hal itu adalah tindakan halal yang paling dibenci Tuhan.

Meskipun Islam patut diberikan apresiasi karena mengambil sikap yang realistis dalam soal cerai ini, tetapi mengambil kasus cerai sebagai contoh menunjukkan moderasi Islam jelas kurang proporsional, sebab “corpus” hukum Islam begitu kaya dan rumit, dan tidak seluruh hukum Islam bisa dikatakan “moderat”.

Beberapa, atau bahkan banyak sekali hukum Islam yang bersifat ekstrem dan kaku. Inilah yang menjadikan alasan kenapa sejumlah kelompok Islam bersikap kaku. Contoh yang sederhana adalah soal hukum jabat tangan dengan seorang perempuan. Meskipun saya menghormati pandangan sebagian kalangan Islam yang beranggapan bahwa menurut Islam laki-laki tidak diperbolehkan berjabat-tangan dengan perempuan non-muhrim (bukan kerabat dekat yang masih ada hubungan waris), tetapi saya tetap tidak bisa memahami sikap seperti itu.

Jikapun ada hadis yang benar-benar melarang hal itu, maka yang patut dipersoalkan bukanlah hadis itu, tetapi cara kita menafsirkannya. Sudah jelas hadis terikat dengan konteks zaman tertentu, dan tidak semua hal yang termuat dalam hadis bisa dengan serta merta dilaksanakan sekarang.

Hadis yang melarang jabat tangan seorang perempuan sama saja dengan hadis yang mengatakan bahwa yang layak menjadi menjadi imam (kepala negara) adalah suku Quraish: dua-duanya harus ditafsirkan secara kritis dalam konteks zaman ini.

Masalah haramnya jabat tangan dengan perempuan ini memang kelihatan sepele, tetapi menjadi masalah yang serius karena sekarang tampaknya makin banyak umat Islam yang mengikuti pandangan tersebut. Tak kurang Ketua Umum MPR kita adalah pengikut pandangan ini. Bahkan kesalehan seorang Muslim juga cenderung diukur dengan standar yang seperti ini.

Jika contoh cerai menunjukkan komoderatan Islam, contoh jabat tangan justru menunjukkan keekstriman Islam. Jadi, betulkah Islam agama jalan tengah?

06/05/2007 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Masukkan untuk rubrik: Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”?

Agama Islam kaffah sejak Adam dahulu dibuktikan oleh Al Hajj (22) ayat 78, Al Baqarah (2) ayat 208.
1. Adam-Nuh, islam sesuai Maryam (19) ayat 58, Ar Ra’d (13) ayat 38, Al Ahzab (33) ayat 6, Ali Imran (3) ayat 33,34, asal-usul Buddha sampai datangnya Sakiamuni Sidarta Gautama waisak 544 seb.M.
2. Ibrahim-Luth, islam sesuai Al Hajj (22) ayat 43, Ar Ra’d (13) ayat 38, Al Ahzab (33) ayat 6, Ali Imran (3) ayat 33,34, asal-usul Hindu sampai datangya Kresna saka 78 M.
3. Musa-Isa, islam sesuai Al Baqarah (2) ayat 87, Ar Ra’d (13) ayat 38, Al Ahzab (33) ayat 6, Ali Imran (3) ayat 33,34, asal-usul Yahudi-Nasrani (1300 seb.M - 4 seb.M).
4. Muhammad-Ahmad, islam sesuai Ali Imran (3) ayat 144, Al Ahzab (33) ayat 40, Muhammad (47) ayat 2, Al Fath (48) ayat 29, Ash Shaff (61) ayat 6,7,8,14. asal-usul umat Muhammad dan Ahmadiyah 600-1900 M.
5. Nuh (Yohanes 8:58,59), Luth (Yohanes (8) ayat 39,40), Isa (Matius 27:35, Markus 15:24, Lukas 23:33, Yohanes 19:18), Ahmad disebut sebagai tunas dari tanaman Adam, Ibrahim, Musa, Muhammad sesuai Al Fath (48) ayat 29, sebagai sifat Taurat-Injil = Kitab-Hikmah sesuai Ali Imran (3) ayat 48 atau sifat Kabil (tanaman) membunuh Habil (tunas) sesuai Al Maidah (5) ayat 27-32.
6. Semua dari mereka pecah-belah 73 firqah, 72 firqah, 71 firqah, sampai tiba hari kiamat, yaitu hari habis gelap terbitlah terang-benderang ilmu pengetahuan agama sesuai Al Qiyamah (75) ayat 6-15, Al Baqarah (2) ayat 257, Ibrahim (14) ayat 1, kebangkitan ilmu agama sesuai Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22, disebut datangnya Hari Takwil Kebenaran Kitab yang wajib ditunggu-tunggu akan tetapi dilupakan sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53 pada awal millennium ke-3 masehi. 
Apabila hal itu terjadi itulah yang disebut rahmatan lil alamin untuk semuanya, termasuk Buddha, Hindu, Yahudi-Nasrani, Islam dan Kepercayaan/keyakinan yang lainnya sesuai Al Baqarah (2) ayat 62, Al Maidah (5) ayat 69, Al Hajj (22) ayat 17.
Ilmu ini isinya merupakan Persepsi Tunggal Agama untuk millennium ke-3 masehi, yang hasilnya adalah perdamaian Medina dan Hudaibiyah zamani globalisasi.

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  07/24  at  11:51 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq