Dampak Sistemik Gagasan Mukjizat
Oleh Novriantoni Kahar
Ada juga yang mengatakan bahwa Alqur’an adalah mukjizat terbesar dengan niatan untuk tidak menafikan mukjizat-mukjizat kecil yang mengiringi sejarah Muhammad. Namun dalam perkembangan sejarah Islam, mukjizat besar itu terbukti kurang fungsional dalam menghadapi tantangan-tantangan baru Islam setelah merantau ke kawasan yang makin meluas (Islam futûhât). Islam perdana yang didominasi elemen Arab kini semakin beragam dan berhadapan dengan Islam perantauan, Islam peranakan, bahkan Islam non-Arab (`ajam).
Judul Buku: al-Mu`jizah aw Subât al-`Aql fi al-Islâm
Penulis: George Tharabisyi
Penerbit: Dar al-Saqi, Beirut
Esisi : 2008
Tebal : 189 halaman
E-book: http://www.4shared.com/file/106492950/ee60a64f/____-__.html?err=no-sess
Pemikiran tentang mukjizat bukanlah produk Islam perdana. Ia bukan pula gagasan yang Quranik. Gagasan ini merupakan produk perkembangan Islam yang semakin meluas dan mulai menghadapi tantangan-tantangan baru. Di era para sahabat Nabi di Mekah maupun Madinah, fantasi tentang hal-hal irasional tentang Muhammad dapat dikatakan sangat minimal. Alquran banyak sekali mengabarkan tentang mukjizat-mukjizat kasat mata nabi-nabi terdahulu. Namun tak ada ayat apapun yang mengatakan bahwa Muhammad punya keistimewaan khusus sebagaimana para pendahulunya. Bahkan sering ditegaskan pula oleh Quran, bahwa beliau adalah manusia biasa yang tak lain hanya bertugas sebagai tukang ajak dan juru imbau (basyîr wa nadzîr).
Orang-orang skeptis, kaum retoris, maupun golongan kafir Mekah berkali-kali memancing atau menantang Muhammad untuk menunjukkan kesaktiannya (Alquran menggunakan kata âyat atau bukti), tapi tak sekalipun Muhammad meladeninya. Posisi sebagai utusan Tuhan yang minimal keajaiban ini acapkali ikut mengecilkan hati Muhammad. Namun Alquran selalu membantu Muhammad untuk berbalas-pantun dengan para penuntut bukti-bukti itu. Beberapa cara dianjurkan Qur’an kepada Muhammad untuk mengambil sikap yang tepat. Intinya tetap sama: jika berharap keajaiban-keajaiban, itu takkan Engkau dapatkan dari Muhammad. Muhammad adalah nabiyyun bilâ mu`jizah (nabi tanpa mukjizat). Bagaimana mungkin?
Pertama, seakan ingin memaparkan bukti sejarah, menghadirkan mukjizat tetap tak menolong banyak orang untuk makin percaya kepada risalah seseorang yang mengklaim diri sebagai utusan Allah. Telah enggan untuk percaya kaum Ad, Tsamud, Aikah, dan lain-lain. Inilah cara berargumen ala Qur’an yang disebut at-ta`lîl bi at-takzîb. Kedua, mukjizat yang ditunjukkan secara demostratif pun terkadang justru tampak sulit dibedakan dengan sihir. Bukankah Musa juga pernah dianggap tukang sihir? Jika Muhammad justru terpancing untuk menunjukkan kesaktiannya sebagaimana Musa, maka beliau justru dengan sukarela masuk ke dalam perangkap musuh-musuhnya. Toh pada akhirnya mereka tetap menuding itu tiada lain tenung belaka. Inilah yang disebut at-ta`lîl bi al-sihr.
Ketiga, menyibukkan diri dengan beban pembuktian yang fantastis itu justru menekan mental Muhammad untuk berputus asa. Di saat batas kesabaran seorang pejuang telah lewat, lalu ia tergoda mengutuk masyarakat yang ingin dibentuknya, pada detik itulah risalahnya berakhir. Inilah yang disebut dengan at-ta`lîl bi al-`azâb. Godaan untuk menghadirkan petaka kepada umat binaan bila kita mampu melakukan hal-hal yang fantastis akan sangat besar. Bila proses persuasi sudah berhenti, maka hancurlah bangunan doktrin yang ingin Muhammad tegakkan sendiri. Keempat, menjawab tanpa berkata-kata atau at’ta’lîl bi `adam al-`illah. Seakan ingin menghibur Muhammad, Qur’an justru mengingatkan: siapa pula yang menjamin bahwa setelah kau datangkan mukjizat sekonyong-konyong mereka yang belum beriman akan segera beriman dan yang ingkar berbondong-bondong untuk beriman? Bukankah hak preogratif Tuhan belaka untuk membuat seseorang beriman maupun ingkar? Jadi tak ada gunanya bersikap pamer dengan hal-hal yang fantastis.
Itulah penggalan pertama yang saya baca dari buku George Tharabisyi yang berjudul al-Mu`jizah aw Subât al-`Aql fi al-Islâm (Mukjizat atau Penyumbatan Akal dalam Islam?) terbitan Dar al-Saqi, Beirut (2008). Tapi itu bukan akhir cerita. Masih ada penggalan kedua.
Sudah standar dikatakan, bahwa agama Islam bukan sama sekali tanpa mukjizat. Satu-satunya mukjizat Islam yang dianggap paling agung adalah Alqur’an. Ada juga yang mengatakan bahwa Alqur’an adalah mukjizat terbesar dengan niatan untuk tidak menafikan mukjizat-mukjizat kecil yang mengiringi sejarah Muhammad. Namun dalam perkembangan sejarah Islam, mukjizat besar itu terbukti kurang fungsional dalam menghadapi tantangan-tantangan baru Islam setelah merantau ke kawasan yang makin meluas (Islam futûhât). Islam perdana yang didominasi elemen Arab kini semakin beragam dan berhadapan dengan Islam perantauan, Islam peranakan, bahkan Islam non-Arab (`ajam). Bagi orang Arab totok, tak sulit menikmati sihir Qur’an sehingga ia dianggap mahakarya yang menakjubkan. Tapi bagaimana dengan orang yang tidak begitu akrab dengan keindahan sastrawi dan maknawi dari Alquran? Dari sinilah cerita bermula.
Tharabisyi secara serius melakukan telaah terhadap berbagai literatur Islam seputar mukjizat Nabi Muhammad (adabiyyat al-mu`jizah). Ia menyimpulkan bahwa jumlah mukjizat yang tadinya minumum itu terus berkembang mengikuti hukum supply and demand. Semakin banyak permintaan muncul dari tantangan-tantangan terbaru umat Islam akan hal-hal yang irrasional, semakin banyak pula para pemasok menyediakan barang-barang dan perkakas penyangga yang dibutuhkan. Ia menunjukkan urutan-urutan kitab yang membuktikan terjadinya over-supply dalam soal mukjizat. Dalam kitab `Uyun al-‘Atsar, soal ini hanya dibahas tiga halaman saja. Namun dalam al-Sîrah al-Halabiyyah, halaman pembahasan memanjang sampai dua puluh lima. Angka ini terus meningkat sampai 235 halaman dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katshir.
Ironisnya, seringkali pada bagian preambule kitab-kitab itu memuat cerita tentang betapa tak sukanya Muhammad akan mitos-mitos seputar dirinya. Namun pada halaman selanjutnya sang pengarang justru berpanjang-panjang membahas mukjizatnya. Dalam hitung-hitungan Tharabisyi, Nabi yang tanpa mukjizat ini pada perkembangannya menjadi Nabi dengan limpahan 3000 rupa-rupa mukjizat. Semua itu tidak sulit kita temukan dalam kitab-kitab babon Islam seperti yang ditulis Ibnu Hisyam, al-Mawardi, al-Bayhaqi, al-Qadhi Iyadh, Ibnu Katsir, al-Halabi dan al-Khushaibi.
Bagaimana menjelaskan pembengkakan dan penggelembungan angka-angka ini? Perluasan Islam menjadi faktor penjelas utama. Alquran memang diakui Muslim perdana sebagai mukjizat terbesar Islam. Tapi dengan meminjam ungkapan Ali bin Abi Thalib, Alquran adalah teks tertulis yang tiada bicara dengan sendirinya. Ia perlu dibaca dan dicerna. Membaca dan mencerna adalah praktek kalangan elit yang terbatas. Sementara untuk konsumsi populer, mukjizat non-wacana jauh lebih mudah dicerna dan diharapkan. Karena desakan kebutuhan populasi Islam, para propagandis Islam mulai berlomba-lomba menunjukkan berbagai hal fantastis seputar kenabian Muhammad. Ini juga diperlukan untuk berhadapan dengan dua kompetitor agama samawi sebelumnya (Yudaisme dan Kristen) yang memandang kurang afdalnya Nabi Islam yang punya kemampuan minimal dalam melakukan hal-hal yang melampaui hukum kebiasaan.
Akibatnya, terjadilah pembalikan paradigma pada struktur berpikir umat Islam. Alih-alih visi Islam perdana yang menentukan perkembangan Islam selanjutnya, justru struktur keagamaan Muslim-Muslim di kawasan penaklukan baru itulah yang memaksa Islam perdana untuk menyesuaikan diri. Lambat laun, gagasan Islam tanpa mukjizat kasat mata dianggap sebagai sebuah kelemahan, bukan kelebihan Islam vis a vis tantangan-tantangan baru. Meskipun sejak paruh kedua abad ke-2 H proyek pengukuhan Alquran sebagai satu-satunya mukjizat Islam telah digalakkan (taqnîn al-i`jaz al-qur’âni) oleh para intelektual Muslim semacam al-Jahidz, al-Wahsiti, al-Jurjani, al-Baqilani, al-Razi, al-Rammani, dan al-Zamalkany, namun upaya tersebut tidak banyak memenangkan hati kalangan awam Islam. Kaum awam Islam tetap mengharapkan bentuk-bentuk mukjizat yang tidak rumit dan tidak perlu proses penalaran.
Islam populer adalah Islam yang tidak dapat menangkap mukjizat kebahasaan yang mungkin dikandung Alquran. Kemolekan bahasa (al-balâghah) yang dikandung Alquran tidak pula dianggap sebagai pertanda eksklusif kenabian Muhammad, terutama di kalangan sastrawan Arab (hal. 171).
Dampak sistemik dari perkembangan literatur mukjizat ini bagi Tharabisyi sungguh sangat fatal. Sekalipun Islam yang membuat peradaban bukanlah Islam yang senantiasa berpikir tentang mukjizat, namun apa boleh buat; sistem berpikir umat Islam telah mengalami pembalikan yang sangat radikal. Alih-alih memandang keajaiban sebagai perkecualian dalam hukum berpikir, justru perkecualian-perkecualian itulah yang kini diadopsi sebagai kaidah berpikir. Sesuatu dianggap layak dianut karena ia disertai aspek-aspek yang membuat terperangah, menakjubkan, menyalahi akal sehat. Padahal, pesan inti Alquran tentang nihilnya mukjizat Muhammad adalah: bukan keajaiban-keajaiban itu sendiri yang membuat Engkau benar wahai Muhammad, tapi justru risalah yang Engkau bawalah yang semestinya menunjukkan keajaiban dengan sendirinya.
* Timbangan buku sebagai makalah pendamping diskusi bulanan JIL: “Menafsirkan Mukjizat dalam Agama-Agama”. Teater Utan Kayu, 28 Januari 2010.
Komentar
Tentang bulan, referensi itu sangat terang ada di Al Qur’an. Sedang pada air susu yg keluar dari jemari Nabi, anda belum memberikan referensi yg shahih.... Pertanyaannya adalah bagaimana membangun sebuah teori jika tanpa referensi yg kuat. Jika terjadi demikian bisa dimisalkan membangun rumah pada fondasi yg lemah maka rumah tsb akan mudah ambruk.
---
Kelemahan manusia adalah malas berfikir, tapi banyak menyanggah hal yg diluar kemampuannya.
---
Sebelum bertanya lebih banyak yg malah akan memperlihatkan ketidak pahaman, sebelumnya pelajari dulu ttg komet, ada komet yg melintas selama 100 th dan ada komet yg bahkan lebih lama sehingga sekarang belum bisa dideteksi, lintasan kometpun tidak tetap mereka selalu bergeser, silakan dibaca ttg bulan di WIKIPEDIA dg lebih teliti, “....utk bulan saja ada pergeseran orbit menjauh dari bumi 3,5 cm/tahun....”
Komet apa itu ? ... He..he..he.. Belum saya kasih nama, mungkin nanti akan saya beri nama KOMET SAM ....ha..ha..ha.. tapi sebelumnya saya mau mampir ke NASA dulu mau nebeng penelitian ...ha..ha..ha…
---
Selanjutnya, TEORI adalah teori, yg masih memerlukan pembuktian perhitungan maupun penyelidikan. Paling tidak itu adalah jawaban untuk yg selalu mendewakan doktrin.
hehehehe mas sam… anda hanya menjawab satu pertanyaan saya, sedangkan tentang air susu yang keluar lewat sela sela jari belum dijawab..
1. anda menulis : Dengan komposisi bulan yg seperti itu menjadi sangat mungkin sekali bulan bisa terbelah menjadi 2
kalo begitu kenapa hanya saat itu saja terbelahnya? dan sampai sekarang tidak pernah terbelah lagi
2. Teori selanjutnya adalah melintasnya sebuah komet raksasa di dekat bulan yg menimbulkan energi magnet terhadap bulan, energi ini menimbulkan tarikan pada bulan dan di posisi lain medan magnet bumi menarik sisi bulan yg lain, sehingga terjadilah pembelahan bulan, karena lintasan komet yg cepat maka separuh bulan tidak sempat terbawa oleh medan magnet komet tetapi kembali ke posisi semula dalam pengaruh medan magnet bumi.
berarti komet tersebut suatu saat akan kembali lagi dan memecah bulan lagi, karna semua benda langit beredar mengikuti orbitnya, pertanyaannya adalah.. komet apa itu? dan kapan hal itu akan terbelah lagi? mengingat kecanggihan teknologi sekarang sangat memungkinkan kita mengetahui identitas komet tersebut
QS. Al Qomar : 1, “Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan”.
---
-Ahli geologi Prof. Dr. Zaqhlul An Najar menyatakan, “Tidak terdapat I’JAZ ILMI pada surah Al Qomar :1, karena I’JAZ ILMI ditafsiri oleh ilmu (sains), sedangkan pada mukjizat, ilmu (sains) tidak dapat menafsirinya”.
-Dan pendapat lain menyatakan, “Mukjizat bukan TIDAK dapat ditafsiri tetapi BELUM dapat ditafsiri karena ilmu (sains) yg masih rendah, karena untuk menafsirkan mukjizat membutuhkan pijakan ilmu (sains) yg tinggi”.
---
Sebelum bercerita tentang bulan yg bisa terbelah, maka terlebih dahulu mencari tahu apa dan bagaimanakah bulan itu.
Dari teori dan penelitian yg paling kuat disebutkan bahwa awal mula bulan terbentuk dari TUMBUKAN BESAR yg terjadi setelah terbentuknya sistem TATA SURYA (giant impact, lihat WIKIPEDIA http://en.wikipedia.org/wiki/Moon ) beberapa milyar tahun yg lalu antara bumi dengan planet lain yg menghasilkan kepingan2 pecahan dan debu yg mengorbit mengelilingi bumi, karena gaya sentrifugal dan massa material pecahan maka pecahan tsb saling tarik menarik satu sama lain dan akhirnya terbentuklah apa yg sekarang disebut bulan. Dengan komposisi bulan yg seperti itu menjadi sangat mungkin sekali bulan bisa terbelah menjadi 2, berbeda dengan bumi yg di dalamnya mengandung magma maka jika terbelah tidak akan menjadi 2 tapi akan jebol hancur lebur.
--
Teori selanjutnya adalah melintasnya sebuah komet raksasa di dekat bulan yg menimbulkan energi magnet terhadap bulan, energi ini menimbulkan tarikan pada bulan dan di posisi lain medan magnet bumi menarik sisi bulan yg lain, sehingga terjadilah pembelahan bulan, karena lintasan komet yg cepat maka separuh bulan tidak sempat terbawa oleh medan magnet komet tetapi kembali ke posisi semula dalam pengaruh medan magnet bumi.
--
Adanya teori-teori tersebut tidak menafikan kehebatan kejadian maupun mukjizat tentang bulan yg terbelah bahkan memancing manusia utk meng-explore lebih jauh lagi, baik dengan perhitungan matematika/fisika maupun penyelidikan antariksa, sehingga jika di ketemukan bukti melalui perhitungan matematika/fisika maupun penyelidikan antariksa maka niscaya akan menambah dan memperkuat keimanan.
Dan yg tidak kalah hebatnya adalah PERISTIWA Tuhan yg mengatur waktu terjadinya pembelahan bertepatan dengan Nabi menunjukkan mukjizat tsb pada kaum kafir Quraisy. Yg menyadarkan manusia untuk selalu berserah diri, karena segala peristiwa Allah lah yg mengatur dengan KETELITIAN yg “njlimet”.
Sesuatu tidak terjadi “UJUG-UJUG JLEG” (tiba-tiba ada) tapi merupakan suatu rangkaian proses. Misalnya kenapa nabi Isa tidak langsung diciptakan sebagai seorang dewasa atau langsung sebagai anak laki-laki tapi terlebih dahulu melalui kandungan ibunda Siti Maryam, yg berarti berasal dari embrio, dan embrio ini berasal dari sel dan begitu seterusnya…….
Peristiwanya selalu melalui tahapan-tahapan.
ALLAHU ‘ALAM.
---
Untuk air susu yg keluar dari sela jemari Nabi, saya baru mendengar sekarang, mohon kiranya mengirimkan informasi peristiwa tsb menurut hadis-hadis yg shahih.
untuk mas sam: pertanyaan saya:kalau nabi membelah bulan di langit dari bumi, mengeluarkan air susu dari sela sela jari, regulernya bagaimana mas? itu mukjizat Nabi Muhammad SAW., kalau anda tidak bisa menjelaskan tahapan tahapannya berarti anda mengakui itu IRREGULAR
Jika kita mau berfikir lebih dalam, maka kita akan mengerti bahwa yg dimaksud IRREGULAR itu sebenarnya juga REGULAR. Jadi kenapa dikatakan IRREGULAR karena kita tidak mengerti tahapan2nya, sedangkan kenapa disebut REGULAR karena kita mengerti proses dalam tahapan2nya. Misalnya jika kita menghaburkan segenggam pasir ke udara, maka akan dikatakan pasir tersebut jatuh secara IRREGULAR, padahal itu sebenarnya REGULAR cuma karena kita tidak tahu banyak sekali variable2 yg mempengaruhi sehingga terlihat IRREGULAR seperti berat masing2 pasir, posisi awal pasir2 tsb dilontarkan, pengaruh kecepatan angin, gaya lemparan oleh tangan, dll...dll masih banyak lagi.
Begitu pula mukjizat....ilmu kita masih belum bisa menganalisis....(tapi karena kita belum bisa menganalisis lalu menganggap mukjizat hanya isapan jempol, itu sama dengan pemikiran kaum atheis). Lalu kenapa masalah iman dengan akal dipertentangkan ?? Sesungguhnya iman dan akal tidak bertentangan karena dengan akalnya manusia bisa memperdalam iman, misal kisah Einstein yg mengatakan pada akhir hitung2an matematikanya : “..Tuhan tidak sedang bermain dadu...”. Jadi IMAN adalah IRREGULAR yang berarti juga REGULAR. Tuhan mengajarkan melalui Islam kepada manusia untuk selalu berfikir.
Komentar Masuk (28)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)