Ekonomi Islam: Di Luar Spektrum Kapitalisme dan Sosialisme? (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Oleh Ari A. Perdana
Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat.
Dalam sejarah peradaban manusia, ada beberapa bentuk sistem ekonomi yang pernah ditemukan sebagai solusi atas persoalan ekonomi umat manusia. Bentuk paling primitif adalah despotisme, dimana ekonomi diatur oleh sebuah otoritas tunggal, baik seorang atau sekelompok orang yang menjadi pemimpin. Sistem despotik bukannya tidak berhasil. Peradaban-peradaban besar di masa lalu dibangun di atas sistem ini. Problem dengan despostisme adalah ia tidak berkelanjutan. Sistem ini tidak mampu mengatasi problem yang makin kompleks dihadapi umat manusia. Karena itu, sistem ini kemudian punah. Sistem ini setidaknya hanya eksis di tingkat masyarakat yang terbatas.
Ketika bicara soal sistem ekonomi modern, kita biasanya merujuk pada dua sistem besar: kapitalisme pasar dan sosialisme terpimpin. Kapitalisme adalah sistem yang didasarkan atas pertukaran yang sukarela (voluntary exchanges) di dalam pasar yang bebas. Sebaliknya, sosialisme mencoba mengatasi problem produksi, konsumsi dan distribusi melalui perencanaan atau komando. Hal yang perlu digarisbawahi adalah: fakta bahwa ada dua sistem besar dalam ekonomi modern tidak berarti adanya dikotomi atau bipolarisasi.
Dua sistem itu lebih merupakan dua titik ekstrem dalam sebuah spektrum ide. Dalam praktek, sistem ekonomi yang dijalankan oleh negara-negara di dunia saat ini ada di sepanjang spektrum itu. Apa yang disebut ”kapitalisme” dan ”sosialisme”, sesungguhnya punya banyak varian di dalamnya. Selain itu, banyak juga varian dari sistem ekonomi yang tidak didasarkan oleh salah satu atau kedua ide besar itu, misalnya sistem adat di beberapa komunitas.
Bagaimana dengan ”ekonomi Islam”? Diskusi mengenai ekonomi Islam dalam kaitannya dengan sosialisme dan kapitalisme bukanlah soal ”apakah (whether) ekonomi Islam itu sosialisme atau kapitalisme”, tapi lebih kepada ”di mana (where) ia berada dalam spektrum tersebut”. Pertanyaannya: apakah ada perbedaan dari apa yang ditawarkan ekonomi Islam dibandingkan kedua sistem tersebut, serta apakah (bagaimanakah) ekonomi Islam bisa berjalan.
Tinjauan Kritis Terhadap Ekonomi Islam
Deskripsi paling sederhana dari ekonomi Islam adalah ”suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam”, dimana ”keseluruhan nilai tersebut sudah tentu Alquran, Sunnah, ijma dan qiyas” (Nasution dkk, 2006). Secara umum, lahirnya ide tentang sistem ekonomi Islam didasarkan pada pemikiran bahwa sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam tentulah tak hanya memberi penganutnya aturan-aturan soal ketuhanan dan iman saja, tapi juga jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, termasuk ekonomi.
Ayat Alquran, hadits dan berbagai literatur Islam klasik, memang memuat berbagai pemikiran mengenai filsafat, perilaku dan institusi ekonomi. Namun, ide tentang adanya sebuah disiplin atau sistem ekonomi yang ’islami’ dalam arti spesifik dan unik, sebenarnya adalah fenomena baru, menurut ekonom dari University of Southern California, Timur Kuran (2004). Menurut Kuran juga, ide ini bisa ditelusuri tidak lebih lama dari awal abad ke-20. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran Islam klasik dalam hal ekonomi sebenarnya lebih merupakan ide-ide terpencar, belum merupakan sebuah desain komprehensif mengenai sistem ekonomi yang islami.
Terlepas dari kapan sebenarnya ide sistem ekonomi Islam lahir, pertanyaan lain adalah di mana posisinya relatif terhadap kapitalisme dan sosialisme? Sebenarnya, sistem ekonomi Islam punya sejumlah karakteristik yang sama baik dengan kapitalisme maupun sosialisme. Dibolehkannya hak milik pribadi dan kebebasan untuk melakukan pertukaran merupakan elemen yang penting dalam kapitalisme. Tapi selain itu, para proponen ekonomi Islam juga menekankan pentingnya intervensi negara, terutama dalam hal keadilan distributif, yang juga menjadi semangat utama sosialisme. Artinya, sistem ekonomi Islam sebenarnya masih berada dalam spektrum yang kita bicarakan. Ia bukanlah sebuah sistem yang benar-benar otentik, berbeda atau ada di luar himpunan sistem ekonomi yang dijalankan di dunia.
Meski demikian, para proponen ekonomi Islam umumnya memandang sistem ini tetap memiliki perbedaan dengan kedua sistem besar itu. Perbedaan yang utama dan pertama adalah: secara epistemologis ekonomi Islam dipercaya sebagai bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri, sehingga pemikiran ekonomi Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam dilihat sebagai sistem yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di dunia, tapi juga menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat.
Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. Ketiga, sebagai konsekuensi dari landasan normatif itu, sejumlah aspek positif atau teknis dalam ekonomi konvensional tak bisa diaplikasikan karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dibenarkan oleh Islam.
Tiga perbedaan ini membuat proponen ekonomi Islam memandang bahwa sistem ini lebih superior dibandingkan sistem-sistem lain. Tentunya pandangan ini menyisakan sebuah pertanyaan penting. Jika benar sistem ekonomi Islam superior, tentunya ia akan lebih mampu mengatasi masalah dan tantangan peradaban manusia modern. Tapi faktanya, saat ini sistem tersebut bukanlah (atau belum?) merupakan sistem ekonomi yang dominan di dunia, bahkan bukan juga di negara-negara meyoritas Muslim. Kalau ia adalah sistem yang sempurna, mengapa tidak ada rujukan sejarah dimana sistem ini bisa dibilang berhasil dan masih tetap relevan di masa sekarang?
Ekonomi Islam vs. Konvensional
Diskusi mengenai apakah itu ekonomi Islam, dan apa bedaannya dengan sistem yang sudah ada (sosialisme atau kapitalisme) bisa menjadi diskusi yang panjang dan rumit. Masalahnya, itu harus dimulai dari pekerjaan awal yang juga tak mudah: mendefinisikan apa itu ekonomi Islam, dan apa itu sosialisme maupun kapitalisme.
Untuk memudahkan urusan, saya tak akan masuk ke tataran definisi dan filosofi masing-masing. Saya akan membahas tataran praktek; bagaimana ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional secara praktek. Sebagai catatan, yang saya maksud sebagai ”ekonomi konvensional” di sini merujuk pada sistem kapitalisme yang secara teori dibangun atas dasar teori ekonomi neoklasik. Ini adalah teori ekonomi yang menjadi acuan standar sebagian besar fakultas ekonomi di seluruh dunia. Saya tak membuat klaim bahwa sistem ini yang terbaik atau sempurna. Tapi kenyataannya adalah: dalam diskursus ekonomi, teori ekonomi neoklasik sudah menjadi arus utama.
Dari berbagai aspek pemikiran mengenai praktek ekonomi Islam, dalam konteks perbandingan dengan ekonomi konvensional, ada tiga hal yang menjadi isu utama. Pertama, praktek transaksi keuangan dan posisi sistem bunga. Kedua, pemikiran tentang keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga, pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi.
Pembahasan lebih detail tentang ketiganya akan saya lakukan dalam tulisan mendatang. Secara spesifik, diskusinya akan saya fokuskan pada kritik yang diajukan proponen ekonomi Islam terhadap teori ekonomi konvensional vis-a-vis kapitalisme, dan kritik balik terhadap ”proposal” yang ditawarkan para proponen ekonomi Islam. ***
Komentar
Sebetulnya semua kembali kepada para pelaku ekonomi islam itu sendiri. Apakh konsisten atau tidak dengan prinsip2 syariah yang ada.
Anda menulis, “Konsep bagi hasil dasarnya tetap penetapan kelebihan dari pokok pinjaman”. Jelas salah, karena bagi hasil dihitung dari besarnya keuntungan. Nasabah tidak diwajibkan mengembalikan pinjaman tersebut, melainkan membayarkan sebagian dari keuntungan.
Seandainya dalam operasi perusahaan ternyata pada tahun berjalan tidak mendapat keuntugan, atau mungkin mengalami kerugian, bagaimana mekanismenya? apakah bank akan membiarkan saja peminjam dana tidak memberikan bagi hasil pada tahun tersebut? dan bagaimana jika pada beberapa tahun berikutnya peminjam dana masih mengalami hal yang serupa karena krisis yang mengglobal? adakah bank syariah memberikan semacam konsultasi bagi nasabahnya yang mengalami kesulitan seperti ini?
Memang harus diakui bahwa banyak lembaga yang berlabel ekonomi syariah tetapi prakteknya sama dengan ekonomi konvensional. Menegakkan ekonomi syariah memang menjadi sebuah perjuangan bagi ummat Islam karena menjalankan sebuah sistem yang baik juga harus dijalankan oleh orang yang baik pula. Dalam ekonomi syariah yang sangat jelas membedakan adalah akad yang keduanya harus sama sama jujur tentang rencana usaha, keuntungan dan prosentase bagi hasil. kedua adalah penaggungan resiko, jika seseorang/ poerusahaan pailit maka resiko ditanggung secara bersama minimal pihak lembaga memberikan pinjaman kebaikan (qordul khasan) agar usaha nasabah bisa kembali bangkit utk mencukupi kehidupannya dan membayar hutangnya.
-----
Merekonstruksi Sistem Ekonomi Islam
Problem utama ekonomi menurut Islam adalah perolehan manusia terhadap alat pemuas, atau bagaimana setiap individu bisa memperoleh alat pemuas yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Beranjak dari asumsi ini, masalah mendasar yang dibahas di dalam sistem ekonomi Islam adalah, bagaimana cara mendapatkan kekayaan, mengembangkannya, dan mendistribusikannya. Dari sini pula dapat ditarik kesimpulan bahwa asas ekonomi Islam adalah: kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi kekayaan. Pada dasarnya, Islam telah membedakan antara ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi. Ilmu ekonomi yang lingkup pembahasannya adalah, bagaimana cara memproduksi barang dan jasa, peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja, dsb, adalah sesuatu yang bebas nilai (free of value); Islam tidak turut campur dalam masalah semacam ini. Adapun mengenai sistem ekonomi, yang membahas bagaimana cara memperoleh kekayaan, mengelola kekayaan dan mendistribusikan kekayaan, Islam memandangnya sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai dan terkait dengan pandangan hidup tertentu. Oleh karena itu, Islam menetapkan solusi-solusi tertentu untuk mengatur masalah-masalah seperti ini. Politik ekonomi Islam selalu mengacu pada problem utama ekonomi, yakni jaminan terpenuhinya semua kebutuhan primer (basic needs) tiap individu masyarakat serta kemungkinan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya. Politik ekonomi Islam tidak ditujukan untuk sekedar meningkatkan GNP, tetapi bagaimana agar setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya sekaligus, jika memungkinkan, mereka bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya. Sistem ekonomi Islam disangga oleh tiga asas utama yakni: konsepsi tentang kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi. 1. Konsep Kepemilikan Islam memandang bahwa semua yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Allah Swt. Telah mengizinkan manusia untuk memanfaatkan semua yang ada di langit dan di bumi ini. Hanya saja, ketika seorang individu hendak menguasai kekayaan secara langsung, ia wajib terikat sebab-sebab yang menjadikannya sah memiliki kekayaan tersebut. Selain itu, Islam juga menjelaskan batas-batas kepemilikan kepada manusia sehngga mereka bisa memahami kekayaan mana yang boleh dikuasai oleh individu, umum, dan negara. 2. Konsep Pengelolaan Kepemilikan Kejelasan konsep kepemilikan sangat berpengaruh terhadap konsep pemanfaatan harta milik. Pemanfaatan pemilikan adalah cara—sesuai dengan hukum syariah—seorang Muslim memperlakukan harta miliknya. Pemanfaatan harta dibagi menjadi dua topik yaitu pengembangan harta dan pembelanjaan harta. Pengembangan harta adalah upaya-upaya yang berhubungan dengan cara dan sarana yang dapat menumbuhkann pertambahan harta. Islam hanya mendorong pengembangan harta sebatas pada sektor riil saja; yakni sektor pertanian, industri dan perdagangan. Islam tidak mengatur secara teknis tentang budidaya tanaman atau tentang teknik rekayasa industri. Namun, Islam hanya mengaturnya pada aspek hukum tentang pengembangan harta dan distribusinya. Pada sektor pertanian, misalnya, Islam melarang seorang Muslim menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun, larangan menyewakan tanah, dll. Dalam bidang perdagangan, Islam telah mengatur hukum-hukum tentang syirkah dan jual-beli. Demikian pula dalam hal perindustrian, Islam juga mengatur hukum produksi barang, manajemen dan jasa, semisal hukum perjanjian dan pengupahan. Islam melarang beberapa aktivitas pengembangan harta, misalnya, riba—nashi’ah pada perbankan dan riba fadhal pada pasar modal—menimbun, monopoli, judi, penipuan dalam jual-beli, jual-beli barang haram dsb. Adapun pembelanjaan harta adalah pemanfaatan harta dengan atau tanpa ada kompensasi. Islam mendorong umatnya untuk menginfakkan hartanya untuk kepentingan umat, terutama pihak yang sangat membutuhkan. Islam telah melarang penggunaan harta pada hal-hal yang dilarang oleh hukum syariah seperti riswah (sogok), israf, tadzbir, dan taraf (membeli barang atau jasa haram), seta mencela keras sikap bakhil. Pelarangan pemanfaatan harta pada jalan-jalan tersebut ditujukan agar harta benar-benar bermanfaat sekaligus untuk melenyapkan pembengkakan biaya, akibat adanya suap, pungli, dsb. 3. Konsep Distribusi Kekayaan Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan di antara manusia dengan cara: (1) Mekanisme Pasar, yaitu bagian terpenting dari konsep distribusi. Akan tetapi, mekanisme ini akan berjalan dengan alami dan otomatis jika konsep kepemilikan dan konsep pemanfaatan harta berjalan sesuai dengan hukum Islam. Agar mekanisme pasar bisa berjalan normal, Islam melarang praktik-praktik haram yang bisa menganggu stabilitas mekanisme pasar seperti penimbunan, riba, spekulasi, serta sektor-sektor ekonomi non riil. (2) Transfer dan Subsidi. Untuk menjamin keseimbangan ekonomi bagi pihak yang tidak mampu bergabung dalam mekanisme pasar—karena alasan tertentu seperti cacat dan idiot—Islam menjamin kebutuhan mereka dengan berbagai cara, di antaranya dengan zakat, pemanfaatan harta kepemilikan umum oleh rakyat, subsidi pemerintah, pembagian tanah, dll. Untuk menunjang jalannya aktivitas ekonomi, Islam juga telah menetapkan sejumlah ketentuan hukum. Dalam bidang moneter, Islam akan menerapkan sistem dinar dan dirham. Dalam perdagangan luar negeri, Khilafah Islamiyah akan turut campur dan mengontrol sepenuhnya perdagangan dengan negara lain. Khalifah berhak untuk mencegah keluarnya komoditas tertentu ke luar negeri dan komoditas mana yang diperbolehkan. Negara juga berhak mengontrol pelaku bisnis kafir harbi dan mu’ahid.
Anda menulis, “Konsep bagi hasil dasarnya tetap penetapan kelebihan dari pokok pinjaman”. Jelas salah, karena bagi hasil dihitung dari besarnya keuntungan. Nasabah tidak diwajibkan mengembalikan pinjaman tersebut, melainkan membayarkan sebagian dari keuntungan.
Komentar Masuk (8)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)