Fatwa Kemanusiaan atawa Fatwa Kekerasan?
Oleh Zuhairi Misrawi
Pelbagai fatwa yang dikeluarkan oleh orang nomor wahid di al-Azhar ini pada awalnya ditentang pelbagai pihak, karena berseberangan dengan pandangan para ulama lainnya. Tapi sekarang ini, dunia Islam mulai melirik pentingnya fatwa moderat, humanis dan progresif untuk menjaga kesesuaian agama dengan zaman dan ruang (shalihun likulli zaman wa makan).
Di akhir tahun 1990-an, Israel menyerang Lebanon dan menewaskan sejumlah orang Islam. Peristiwa itu memantik respon keras dari masyarakat Mesir. Di Universitas al-Azhar pada saat itu muncul demonstrasi dalam jumlah besar untuk mengutuk serangan Israel. Pada saat yang sama, sejumlah orang mendaftarkan dirinya menjadi sukarelawan (mujahid fi sabilillah) di medan tempur.
Di tengah iklim yang tidak kondusif itu, Imam al-Akbar Syaikh al-Azhar, Sayyed Tantawi berfatwa, “Jihad ke Libanon tidaklah perlu, karena bekerja keras untuk menafkahkan keluarga dan mendidik anak-anak dengan baik adalah bagian dari jihad yang mesti diutamakan”.
Kalimat ini disampaikan selepas shalat isya’ di salah satu masjid di sekitar distrik-7. Saya biasanya melaksanakan shalat jama’ah di masjid tersebut, sehingga saya bisa mendengarkan ceramah-ceramahnya yang menyejukkan dan mendamaikan hati dan akal sehat. Fatwa progresif yang seperti di atas bukanlah satu-satunya fatwa progresif yang dikeluarkan oleh Syaikh Tantawi. Beliau mengeluarkan sejumlah fatwa progresif, antara lain: tidak wajib menerapkan hukum Islam di negara sekuler untuk kasus jilbab di Perancis; bunga bank halal; menerima tokoh Yahudi di al-Azhar; menolak untuk mengafirkan pemikiran seseorang dan lain-lain. Dalam menyikapi pengafiran atas Nashr Hamid Abu Zayd, pemikir muslim yang kini eksodus ke Leiden, ulama nomor satu di al-Azhar itu meminta agar Nashr Hamid kembali ke Mesir. Al-Azhar akan menerimanya.
Saya memandang, bahwa Syaikh Tantawi merupakan ulama muslim pasca-Muhammad Abduh yang perlu mendapatkan perhatian penting, utamanya dalam konteks keindonesiaan. Fatwa keagamaannya perlu menjadi acuan bagi para penggiat fatwa. Terlebih lagi, belakangan ini kita disibukkan dengan pro-kontra 11 fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditelurkan pada Munas MUI beberapa waktu lalu. Suara-suara keras dari PBNU, Aliansi Masyarakat Madani dan tokoh-tokoh agama dan LSM seperti Gus Dur, Todung Mulya Lubis, Azyumardi Azra, Adnan Buyung Nasution dan lain-lain mungkin tidak akan muncul jika MUI sudi menapaktilasi langkah Syaikh Tantawi dalam mengeluarkan fatwa.
Setidaknya, ada tiga alasan penting mengapa langkah Syaikh Tantawi perlu diteladani ulama-ulama di Indonesia: Pertama, fatwa harus mempertimbangkan konteks pluralitas. Memahami pluralitas dengan menggunakan kacamata teks saja akan bersifat problematik, karena di dalam teks akan ditemukan sejumlah pesan yang secara eksplisit menafikan atau bahkan mengingkari pluralitas (QS. 2: 120, 9:36). Kendatipun sejumlah ayat yang lain memang ada yang berpesan, bahkan memerintahkan umat untuk menjaga keseimbangan pluralitas (QS. 2:62, 3:113). Oleh karena itu, dalam membaca teks diperlukan metodologi pembacaan dengan mempertimbangkan konteks, khususnya konteks pluralitas. Tatkala Syaikh Tantawi menerima tokoh Yahudi di al-Azhar sesungguhnya didasarkan pada alasan, bahwa pluralitas tidak hanya sekadar anjuran teks saja, tapi juga konteks yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Alasan lain yang bersifat implisit (al-maskut ‘anhu), bahwa penyelesaian masalah Israel-Palestina harus dilakukan dengan pelbagai cara, khususnya dialog dengan pemuka agama Yahudi. Karena tidak bisa dimungkiri, bahwa konflik laten di kawasan Timur-Tengah itu di antaranya disebabkan oleh inflitrasi agama dalam ranah politik. Di sini, pluralisme dalam rangka menjadikan pluralitas sebagai kekuatan pendamai, pemersatu dan kepedulian terhadap perbedaan menjadi penting.
Kedua, fatwa harus berdasarkan akal sehat, bukan atas hawa nafsu dan kebencian yang membabi buta. Dalam hal ini, pengambilan sebuah hukum sangat menekankan pentingnya akal sehat. Lihat misalnya, kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, buah pena dari Ibn Rusyd. Karya ulama dan filsuf agung dari Andalusia ini sangat menekankan aspek akal sehat, baik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ‘ibadah mahdhah maupun mu’amalah ijtimaiyyah. Perbedaan pandangan dalam menyikapi sebuah masalah disikapi secara arif dan menggunakan dialog partisipatoris.Oleh karena itu, dalam kitab tersebut tidak akan ditemukan kata-kata yang berdasarkan hasa nafsu dan bernuansa kebencian. Bila membaca dengan cermat dari awal hingga akhir akan ditemukan hikmah yang sangat luar biasa.
Nah, Syaikh Tantawi pun demikian, anugerah akal sehat dalam fatwa harus menjadi faktor determinan dalam memahami teks dan konteks persoalan. Sehingga fatwa yang dikeluarkan ke publik tidak hanya sekadar memberi garis hitam dan putih, melainkan berisi tentang pentingnya pendidikan, pencerahan dan pemberdayaan masyarakat. Ulama adalah pewaris para Nabi. Karena itu, pesan kenabian seperti pembawa kabar gembira (tabsyir) dan kabar kontrol (indzar) harus dilakukan secara bersamaan. Selama ini sebagian ulama hanya menjadi pewaris kabar kontrol (baca: fatwa halal dan haram), tapi dimensi akal sehat dan kabar gembira kadang-kadang dilupakan.
Ketiga, fatwa harus membawa kemaslahatan bagi manusia pada umumnya. Fatwa biasanya melibatkan seluruh unsur masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan tema-tema khusus. Dalam tradisi bahtsul masa’il yang membahas masalah-masalah kekinian (masa’il waqi’iyyah) yang biasa dilakukan NU misalnya, para ulama menyadari tidak mempunyai kompetensi dalam masalah kontemporer tersebut, sehingga mereka meminta pandangan dari para ahlinya (ahli DNA, bayi tabung dan lain-lain) dalam merumuskan fatwa. Dengan demikian, objek fatwa diketahui secara tepat dan akurat. Karena itu, fatwa tidak bisa dilakukan dalam keadaan “bertepuk sebelah tangan”. Artinya, tanpa penguasaan yang mendalam terhadap persoalan yang musykil. Apalagi dalam hal-hal yang perlu mendapatkan rujukan secara akademis, yang tidak dikenal dalam tradisi Islam.
Syaikh Tantawi, misalnya, dalam fatwa bunga bank merasa perlu untuk berkonsultasi dengan ahli perbankan untuk melihat sejauhmana bunga bank memberikan kemaslahatan, baik kepada nasabah maupun bank itu sendiri. Apakah benar bunga bank masuk dalam riba? Sejak beliau menjabat sebagai Pimpinan Dewan Fatwa Mesir hingga menjadi Syaikh al-Akbar al-Azhar, beliau masih bersikukuh untuk berfatwa, bahwa bunga bank halal, karena didasarkan pada konsultasi dengan pelbagai pakar perbankan.
Nah, pelbagai fatwa yang dikeluarkan oleh orang nomor wahid di al-Azhar ini pada awalnya ditentang pelbagai pihak, karena berseberangan dengan pandangan para ulama lainnya. Tapi sekarang ini, dunia Islam mulai melirik pentingnya fatwa moderat, humanis dan progresif untuk menjaga kesesuaian agama dengan zaman dan ruang (shalihun likulli zaman wa makan). Apalagi di tengah menguatkan sayap fundamentalis radikal di dunia Islam, fatwa yang bernuasa kemanusiaan merupakan alternatif untuk membangun peradaban yang lebih menghargai Tuhan dan makhluk-Nya.
Sebaliknya, fatwa yang bernuansa kekerasan sudah mulai ditinggalkan pengikutnya, karena fatwa semacam itu hanya akan merangsang kekerasan. Sekarang, lihat misalnya Arab Saudi, Mesir, Maroko, Lebanon dan lain-lain mulai gelisah atas menguatnya “sayap garis keras”. Kaum hardliners sesungguhnya sedang tidak membangun peradaban, akan tetapi malah menghancurkan peradaban. Sebab meminjam istilah yang digunakan oleh Khaled Abou el-Fadl dalam Speaking in God’s Name, bahwa mereka yang mengeluarkan fatwa bernuansa kekerasan sejatinya hanya “mengatasnamakan Tuhan”. Padahal Tuhan justru mengajarkan kepada umatnya untuk menegakkan keadilan, kedamaian dan kebaikan di muka bumi.
Dengan demikian, penerjemahan kalimat Tuhan dalam konteks sosial sangat diperlukan dalam rangka memahami substansi pesan-pesan Tuhan dalam konteks kemanusiaan, keragaman dan kemaslahatan. Di negara tercinta ini, kita membutuhkan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sayyed Tantawi yang mempunyai pandangan masa lalu, masa kini dan masa depan. Fatwa adalah salah satu pintu masuk untuk peradaban kemanusiaan yang sejati. Karena itu, janganlah sekali-kali dinodai dengan hawa nafsu dan kebencian yang membabi buta dan malah menghilangkan ruh Islam itu sendiri.
Zuhairi Misrawi, Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo-Mesir dan Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Keagamaan PERSPEKTIF PROGRESIF, P3M, Jakarta.
Komentar
Saya sebagai orang masih sangat sedikit pengetahuannya tentu sulit memahami penafsiran seperti itu, timbul pertanyaan saya, siapa yang berani menjamin “pasti benar” bahwa pandangan/fatwa yang dibangun berdasarkan logika bahwa bunga bank konvensional adalah halal, kalau ternyata di akhirat kelak terbukti bahwa logika tersebut salah, apakah logika/ulama tsb mau bertanggungjawab menanggung resiko dosa pengikutnya ?
pendapat/logika tsb dikhawatirkan dapat membingungkan dan membelokan dari istiqomah dengan dalih humaniora, pluralistik dan jaman/modernis. Lain halnya apabila menganjurkan untuk meninggalkan riba dengan segala bentuknya yang sudah pasti dasar hukumnya, toh masih banyak sumber rizki yang dapat dimakan, Tuhan maha kaya. ya ga !! ??.
-----
Komentar Masuk (1)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)