“Fundamentalis Moderat” di Timur Tengah
Oleh Sumanto al Qurtuby
Menarik karena dalam meraup simpati rakyat, mereka meninggalkan cara-cara klasik khas Islam fundamentalis yang penuh dengan slogan-slogan beraura agama dan “berbau surga” ke taktik dan strategi simpatik yang penuh dengan visi humanisme dan populisme sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tingkat basis seperti isu ekonomi, keadilan sosial, kesejahteraan, kemerdekaan beraktivitas dan berpikir, hubungan sosial, dan sebagainya.
Kelompok fundamentalis Muslim bisanya selalu diidentikkan dengan kekerasan, anti-demokrasi, kebebasan sipil, sekularisme, pluralisme, dan lain-lain, serta dituduh menghambat perkembangan civil society dan civic culture. Namun klaim ini tidak selamanya akurat. Beberapa dekade ini ada perkembangan menarik mengenai fenomena fundamentalisme Islam di Arab dan Timur Tengah.
Beberapa faksi fundamentalis Muslim di kawasan ini tidak lagi alergi dengan wacana demokrasi, liberalisme, freedom, feminisme, dan berbagai isu fundamental yang berkaitan dengan civil liberties dan human rights. Sebaliknya, mereka memperjuangkan ide-ide itu ke tataran praktis dengan cara-cara beradab, bukan melalui jalan kekerasan seperti kebanyakan kelompok ini lakukan. Bahkan mereka terang-terangan mengkritik kelompok fundamentalis yang masih menggunakan cara-cara kekerasan (pengrusakan, teror, dll) dalam menyampaikan masalah keumatan.
Inilah yang saya sebut sebagai “fundamentalis moderat” atau, meminjam istilah Nader Hashemi, “Islamis liberal”. Arus baru fundamentalisme Islam ini telah menarik perhatian beberapa sarjana kajian keislaman seperti Gudrun Kramer, Ahmad Mousalli, Carl Brown, Anthony Shadid, Augustus Richard Norton, dan belakangan Asef Bayat, direktur baru ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World) di Leiden University.
Dalam buku terbarunya, Making Islam Democratic: Social Movements and the Post-Islamist Turn, Asef Bayat memberi ulasan menarik mengenai fenomena ini. Dia mengatakan bahwa diskusi tentang “Islam sesuai atau tidak sesuai dengan demokrasi” sudah tidak relevan lagi, karena dunia Islam, khususnya Arab dan Timur Tengah, sedang “in the process of democracy.” Kesimpulan Bayat ini didasarkan pada hasil risetnya tentang “post-Islamist” Iran dan Hizb al-Wasath (Partai Tengah/Moderat) di Mesir, di mana menurutnya, gerakan-gerakan sosial dan perjuangan politik yang dipelopori organisasi mahasiswa, kaum perempuan, akademisi, aktivis, dan bahkan kaum ulama, telah memberi kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi, pluralisme, dan liberalisme, serta mendorong pertumbuhan civil society di kedua negara itu.
Iran memang dikenal dunia internasional sebagai negara yang telah melahirkan tokoh-tokoh yang bersuara lantang tentang demokrasi dan kebebasan sipil, terutama sejak Imam Khomeini memberlakukan otoritas dan supremasi ulama di atas segela-galanya dan memberangus ekspresi civil liberties. Suara lantang itu tidak hanya muncul dari kelompok aktivis NGO dan kaum intelektual kampus saja tapi juga dari dalam mullah sendiri yang selama ini dikenal konservaif.
Di Mesir, perubahan fundamental juga terjadi di tubuh Hizb al-Wasath, sayap pecahan Ikhwanul Muslimin. Fenomena Hizb al-Wasath ini menarik karena seperti ditunjukkan dalam studi Bayat dan juga Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet: Despots, Democrats, and the New Politics of Islam, kelompok/partai “Islam kanan” ini telah melakukan reformasi mendasar mengenai fondasi keagamaan kepartaian berupa, al, menerima non-Muslim (khususnya Kristen Koptik) dan kaum perempuan dalam struktur politik partai dan calon legislatif, serta bersedia bekerja sama dengan partai non-Islam.
Pemandangan ini tentu tidak umum buat partai Islam kanan yang selama ini dikenal memiliki visi keislaman ketat dan konservatif. Dengan perspektif baru kepartaian ini, Hizb al-Wasath menegaskan keberbedaannya dengan mainstream Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang dikenal konservatif dan tidak menghargai kebebasan sipil, anti-demokrasi dan pluralisme. Penegasan keberbedaan ini disampaikan oleh salah satu pendiri Hizb al-Wasath, Essam Sultan, yang mengatakan bahwa partainya berbeda secara fundamental dengan IM dalam hal “keimanan” pada pluralisme, demokrasi, kebebasan berpikir dan berkespresi, serta hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer.
Essam Sultan mengklaim bahwa IM, dengan pandangan-pandangan konservatifnya, telah mengisolasi diri dari komunitas luar non-IM, padahal menurutnya kelompok/grup di luar partai harus dijadikan sebagai bagian dari perubahan global. Renaissance bagi masa depan Mesir, menurutnya, tidak akan berhasil tanpa melibatkan komunitas yang lebih luas termasuk non-Muslim dan kaum perempuan yang selama ini selalu dalam “pojok” sejarah kepolitikan Islam (Shadid, 2002: 262).
Arus baru “fundamentalis moderat” atau “Islamis liberal” ini tidak hanya terjadi di Mesir dan Iran saja tetapi di berbagai kawasan Arab dan Timur Tengah lain seperti Arab Saudi, Yordania, Suriah, Tunisia, dan lainnya, seperti ditunjukkan studi Gudrun Kramer, senior research fellow di Stiftung Wissenschaft und Politik di Jerman, dan Ahmad Mousalli, profesor ilmu politik di American University di Beirut. Kedua sarjana ahli kajian Islam ini telah melakukan riset mengenai fenomena kelompok ini dengan mengkaji pemikiran para tokoh muslim “fundamentalis moderat” seperti Rashid Ghannushi (pendiri Hizb al-Nahda di Tunisia), Muhammad ‘Ammara, Muhammad Salim al-‘Awwa, Fahmi Hawaidi, Muhammad Hashim al-Hamidi, dan sebagainya.
Al-Hamidi misalnya menegaskan bahwa dunia Arab—dan Islam—harus dibangun berdasarkan sistem politik demokratis dan adil menyangkut partisipasi publik, penghargaan pada minoritas politik dan agama, menjunjung kemerdekaan berpikir, kebebasan sipil, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain, bahkan termasuk membolehkan kaum komunis untuk berpartisipasi dalam kepolitikan.
Dalam konteks pemikiran fundamentalis dan rezim Arab-Timur Tengah yang tradisionalis dan konservatif, wacana yang mereka dengungkan tentu sangat maju dan modern. Mengomentari fenomena perubahan ways of thinking dari kelompok “Islam kanan” ini, Mousalli (dalam Norton, Civil Society in the Middle East, 1995: 118) mengatakan bahwa “para pemikir fundamentalis moderat tentu bukan demokrat liberal Barat, tetapi mereka cukup moderat dan demokratis dalam konteks pemerintahan Arab dan Timur Tengah yang dikontrol para pemimpin nasionalis otoriter dan para raja tradisional yang despotik.” Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet juga menandaskan adanya samudra perubahan Islam politik dan “proses pendewasaan” berpikir kelompok “Islamis” menyangkut wacana civil society, negara/sistem pemerintahan, demokrasi, dan perjuangan tanpa kekerasan.
Tapi memang tidak semua sarjana dan pengamat berpendapat positif mengenai tren baru “fundamentalis moderat” ini. Ada juga yang berkomentar sumir dan skeptis. Mereka mempertanyakan apakah kaum “fundamentalis moderat” itu tulus dalam menyuarakan keyakinan prinsip-prinsip demokrasi atau hanya sekedar beretorika, sebagai taktik dan strategi untuk mendapatkan simpati dan dukungan publik dalam pemilu, sebagai jalan menuju kekuasaan?
Dan memang, banyak bahwa moderatisme dan demokrasi yang mereka wacanakan hanya sebatas wacana dan tidak pernah menjadi kenyataan. Kasus Amir Arselan di Lebanon atau Hasan Turabi di Sudan adalah contoh nyata bagaimana masalah kebebasan sipil, pluralisme, dan demokrasi yang mereka kampanyekan hanyalah retorika belaka untuk meraup dukungan publik dalam pemilu. Setelah pemilu selesai, janji-janji manis pun selesai: mereka kembali pada “kodratnya” yang anti-demokrasi, pluralisme, dan kebebasan sipil, yang menurut mereka tidak dikenal dalam syari’at Islam.
Tetapi harap juga dicatat bahwa keberhasilan kelompok Islam kanan dalam mengais dukungan rakyat di panggung politik juga tidak lepas dari kegagalan kelompok sekuler-nasionalis Arab dan Timur Tengah dalam menjalankan roda pemerintahan. Palestina dan Mesir adalah contoh terbaik. Pamor Hamas naik karena Fatah dijerat skandal korupsi di samping terlalu lembek dalam menjalankan negosiasi dengan Israel. Kelompok “Islam kanan” di Mesir yang cukup sukses mendulang suara dalam pemilu juga tidak lepas dari perilaku rezim nasionalis-sekuler Husni Mubarak yang otoriter, despotik, dan korup.
Namun terlepas dari motivasi politik apa di balik munculnya kelompok “fundamentalis moderat” itu, pemikiran dan program-program mereka yang populis dan humanis sebagai “strategi berpolitik” menjadi menarik untuk disimak. Menarik karena dalam meraup simpati rakyat, mereka meninggalkan cara-cara klasik khas Islam fundamentalis yang penuh dengan slogan-slogan beraura agama dan “berbau surga” ke taktik dan strategi simpatik yang penuh dengan visi humanisme dan populisme sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tingkat basis seperti isu ekonomi, keadilan sosial, kesejahteraan, kemerdekaan beraktivitas dan berpikir, hubungan sosial, dan sebagainya. Mereka tidak lagi menggunakan slogan-slogan retoris syari’at Islam tetapi lebih ke isu-isu menyangkut kebutuhan riil masyarakat (human needs) dan hak-hak dasar mereka (human rights) sebagai warga negara.
Karena itu, fenomena “fundamentalis moderat” di Timur Tengah ini saya amati agak bertolak belakang dengan kelompok fundamentalis Muslim dan partai-partai berbasis Islam di Indonesia. Tren kaum fundamentalis Islam di negeri ini masih belum berubah dari pola-pola lama. Mereka umumnya masih rajin berjualan syari’at Islam dan isu-isu yang berkaitan dengan “dunia lain.” Mereka bukan berlomba-lomba menciptakan program yang populis-humanis sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, tapi sebaliknya masih menggunakan cara-cara kuno dan menjual produk-produk Arab klasik lainnya seperti hukum potong tangan, memelihara jenggot, bercadar, dll.
Juga, tidak seperti fenomena baru kaum “fundamentalis moderat” di Timur Tengah yang menggunakan cara-cara santun dan simpatik untuk mengais dukungan rakyat, kelompok fundamentalis Muslim di Indonesia masih hobi melakukan tindakan premanisme dan kekerasan yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari perspektif apapun, cara-cara “barbar” ini hanya akan merugikan dan memerosotkan citra Islam sebagai agama yang concern pada perdamaian global dan menjunjung tinggi kebebasan sipil.***
Komentar
demokrasi pada prinsipnya akan memenangkan suara terbanyak. sedangkan dengan kualitas sumberdaya manusia umat islam pada saat ini, pilihan yang akan diambil kebanyakan hanyalah pilihan yang memihak kepentingan sendiri atau pilihan yang sembrono. sehingga efeknya, keadaan umat islam semakin morat-marit.
kebanyakan dari kita tidak mengerti konsekuensi dari demokrasi itu sendiri. yang mengertipun kebanyakan dari pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari demokrasi.
perlu diingat, bahkan pada zaman Rasulullah dan para sahabat, demokrasi yang ada adalah musyawarah dari para pemuka yang betul-betul memahami islam secara kaffah.
kalau dalam generasi terbaik saja demokrasi tidak dilakukan se kebablasan sekarang, apakah mungkin kita dapat menganggap demokrasi cocok untuk kita.
Kita siapa???????
-----
Demokrasi tdk boleh diperlakukan sbg “kendaraan yg ditinggalkan sesudah mencapai tujuan”. Kemenangan Hamas & FIS ditentang krn ada indikasi kuat mereka hendak menghapus demokrasi stlh menang. Palestina & Algeria akan di-"ideologi Islam"-kan, dg memberangus hak politik kaum sekuler (sbgmana di Iran skrg).
Hal ini belajar dari peristiwa pra-Perang Dunia II, ketika Hitler & partai Nazi-nya menang pemilu, lalu menjadi diktator.
Jika kemenangan Hamas & FIS tdk akan mengganggu hak asasi kaum sekuler, pastilah tdk ada masalah.
Misalkan pada suatu pagi tetangga anda melemparkan kotoran di teras rumah anda. Menghadapi penghinaan itu apakah anda akan diam saja ? Kemungkinan besar anda akan menegurnya. Kemudian, ketika besoknya ia mengulangi lagi, anda akan menegurnya kembali, bahkan kali ini dengan lebih kasar. Hingga besoknya lagi ia masih saja tetap melakukan aksinya, meskipun anda sudah melaporkan kepada ketua RT, hingga ke hansip atau polisi. Pada keadaan ini, ketika dengan cara tutur yang santun, bahkan kemudian dengan teguran yang keras, sampai dengan melapor kepada pihak yang berwenang, tetangga anda masih saja melakukan tindakan penghinaan tsb, sehingga mengakibatkan anda terpaksa melakukan kekerasan (dengan menghadapi sendiri atau mengajak tetangga yg lain atau saudara), maka apakah tindakan anda untuk membela kehormatan dan harga diri anda itu termasuk kategori aksi kekerasan atau lebih jauh lagi disebut sebagai disebut ‘fundamentalisme’ jika rumah dengan teras tsb kita andaikan sebagai agama anda dan kotoran yang dilempar adalah ajaran yang merusak akidah agama anda ?
Ketika segala cara telah dikerahkan, sehingga cara terakhir adalah bahasa kekerasan, apakah itu dikategorikan sebagai fundamentalisme..? Bila anda menjawab ‘ya’, berita jika anda diserang oleh seorang preman, dan anda tidak ada kesempatan untuk lari, maka anda tidak perlu melawan ketika tubuh anda akan segera terhujam oleh pisau belati, karena anda akan dituduh menggunakan bahasa kekerasan, atau bisa dikategorikan sebagai tindakan ‘fundamentalisme’ terhadap preman tsb.
Umat Islam butuh kaum muda yang memiliki Sikap kritis seperti saudara Sumanto. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan ide Islam dan Demokrasi, toh nilai-nilai ajaran Islam sangat demokratis, Muhammad saw dapat disebut tokoh dibalik demokratisasi dalam Islam.
Membaca artikel ini cukup menggembirakan asal kita bisa bersikap netral dan tidak memihak. Yang perlu di sepakati bersama sebagai suatu persepsi atas dasar definisi, yaitu : Apa sebenar nya yang dimaksud dengan fundamentalis??
Beberapa puluh tahun yang lalu, umat Islam di Indonesia sudah kebal dengan julukan atau sebutan dengan Islam Fanatik, yang konotasi dan interpretasi nya selalu dihubungkan dengan hal hal yang negatip dan sepihak yang selalu menyalahkan dan menyudutkan orang Islam. Sekarang ganti dengan istilah Islam Fundamentalis yang selalu dinilai sepihak dan selalu dinilai oleh Barat ( non Islam) dengan nilai negatip. Mereka selalu memakai istilah itu dengan nilai dan persepsi ganda semau mereka. Contoh soal bila kaum Muslimin menang dalam Pemilu yang Demokratis mereka berupaya menggagalkan hasil Pemilu dengan segala macam cara dengan alasan yang menang adalah ISLAM FUNDAMENTALIS ???
Apa kita mau ikut , “ mbebek “ dengan mereka , mengorbankan harga diri kita, kita gembar gembor di negeri sendiri dan bila dihadapkan dengan kenyataan di luar , kaum yang menyebut diri nya Liberal dan Pluralis CUMA DIAM DIRI MEMBUNGKAM MULUT? Ya jangan begitu. Perlu kita fair, jujur dan meredefinisi apa arti Fundamentalis itu yang tidak harus merugikan teman seummat sendiri
Komentar Masuk (8)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)