Fundamentalisme Yang Berujung Pada Terorisme - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
08/12/2002

Fundamentalisme Yang Berujung Pada Terorisme

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Genta terorisme di Indonesia semakin gaduh. Sejumlah media baik elektronik maupun cetak terus saja menyuguhkan sajian berita tentang serangkaian peledakan bom dan pembunuhan yang berlangsung di sejumlah ruas wilayah Indonesia. Lihatlah, peristiwa mutakhir di Legian Kuta Bali yang telah menewaskan seratus delapan puluh empat anak manusia tak bersalah. Kejahatan kemanusiaan ini seakan telah menggenapi sebutan Indonesia sebagai--meminjam bahasa Lee Kuan Yew, seperti yang dilansir The Strait Times beberapa bulan yang lalu--“sarang teroris”.

Genta terorisme di Indonesia semakin gaduh. Sejumlah media baik elektronik maupun cetak terus saja menyuguhkan sajian berita tentang serangkaian peledakan bom dan pembunuhan yang berlangsung di sejumlah ruas wilayah Indonesia. Lihatlah, peristiwa mutakhir di Legian Kuta Bali yang telah menewaskan seratus delapan puluh empat anak manusia tak bersalah. Kejahatan kemanusiaan ini seakan telah menggenapi sebutan Indonesia sebagai--meminjam bahasa Lee Kuan Yew, seperti yang dilansir The Strait Times beberapa bulan yang lalu--“sarang teroris”.

Telah santer diopinikan, bahwa kelompok fundamentalis Islam Indonesia adalah induk semang yang tegak dibalik serangkaian aksi teror di Indonesia. Opini itu selanjutnya mendapatkan pembenarannya tatkala tokoh fundamentalis Islam papan atas Indonesia ditangkap satu persatu, mulai dari Ja’far Umar Thalib yang kemudian dilepas kembali, Habib Riziq, hingga Abu Bakar Ba`ayir. Bahkan, dengan sangat mengenaskan, Ba`asyir yang terbaring sakit diciduk secara paksa oleh aparat kepolisian dari RS Muhamadiyah Surakarta beberapa hari lalu.

Pertanyaannya kemudian, apakah seorang fundamentalis memang berpotensi menjadi seorang teroris? Sebaliknya, apakah seorang teroris mesti juga seorang fundamentalis dalam agamanya? Dan bagaimana kita harus memposisikan Islam di tengah haru biru terorisme sekarang ini? Ke arah penjawaban pertanyaan itulah kiranya tulisan ini sedang menuju.

Bahaya Fundamentalisme-Militanisme

Per definisi, Frans Magnis-Suseno (2002) memahami fundamentalisme sebagai sebuah pandangan teologis atau penghayatan keagamaan di mana seseorang mendasarkan seluruh pandangan-pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya, pada ajaran eksplisit agamanya, hal mana kalau ajaran itu termuat dalam kitab suci dekat dengan skripturalisme. Sementara terorisme, menurut Ikram Azzam (1999), adalah serangkaian aksi yang bertujuan pada upaya penebaran kepanikan, intimidasi, dan kerusakan di dalam masyarakat, yang dalam operasinya bisa saja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang biasanya mengambil posisi oposan terhadap negara.

Mencoba bersetuju pada pengertian yang diberikan oleh dua tokoh di atas, maka seorang fundamentalis dapat memegang kuat teologi dan penghayatan agamanya, tanpa perlu menjadi teroris. Artinya, terorisme tidak selalu identik dengan fundamentalisme, baik dalam Islam maupun yang lainnya. Seorang fundamentalis, demikian Suseno, bisa saja menjadi warga masyarakat yang damai dan santun.

Oleh karena itu, kalau fundamentalisme harus dipahami sebagai akar bagi terorisme dalam Islam, itu jelas sesuatu yang musykil. Disebut musykil, karena kalau seorang Muslim benar-benar menjadi fundamentalis, maka ia akan mengalami kesulitan besar untuk melakukan terorisme. Bagaimana tidak musykil, al-Qur`an sendiri sebagai panduan hidup secara verbatim harafiah telah lantang menyuarakan pengingkaran dan penolakan terhadap kekerasan apalagi terorisme.

Problemnya kemudian, sebagian kelompok fundamentalis itu memang tidak berhenti pada penghayatan teologi skripturalistiknya semata, melainkan terus berlanjut pada sikap militan dalam beragama. Kita tahu bahwa militansi keberagamaan Islam meniscayakan dua penyikapan secara sekaligus; positif dan negatif. Ke dalam, seorang militan akan bertindak positif bahwa kelompoknya adalah kawan dan teman seperjuangan yang harus dibela. Sementara, ke luar, ia akan bersikap negatif dengan memandang kelompok lain sebagai musuh dan ancaman yang harus diserang. Dengan langgam seperti itu, maka perbedaan yang seharusnya menjadi sumber kekayaan dan harmoni, di pangkuan kaum fundamentalis-militan ini berubah menjadi disharmoni.

Pampang sejarah menyebutkan bahwa orang yang menjadi teroris “hampir selalu” diawali dengan sikap keberagamaan militan yang ghalibnya mengikatkan diri pada organisasi-organisasi agama yang militan dengan tokohnya yang militan pula. Lihatlah, daftar panjang tindak kekerasan dan serangkaian teror baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri, yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis-militan ini. Inilah bahaya fundamentalisme-militanisme Islam yang seringkali mengundang kewaspadaan, kekawatiran, bahkan ketakutan dari kelompok dan umat agama-agama lain.

Islam Rahmat, Keputusan Final

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, sekali lagi, jelas menolak dan melarang pemakaian kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghayat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al-wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Lebih jauh, Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghair al-munkar).

Tidak ada alasan etik dan moral secuilpun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan terlebih teror. Dengan demikian, kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.

Sekarang, kita sedang membutuhkan upaya yang lebih serius ke arah pembersihan Islam dari sejarahnya yang kelam dan kelabu. Islam telah cukup lama “dibajak” oleh sejumlah kelompok untuk menuai target-target politik kekuasaan. Islam sudah sering dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan penghancuran komunitas lain. Sungguh, gerakan kelompok fundamentalis-militan Islam yang seringkali menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan tafsir agamanya adalah iklan buruk bagi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.

Ke depan, Islam tidak boleh lagi menjadi ruang yang eksklusif-primordial, melainkan harus menjadi tenda dan payung penyungkup bagi seluruh umat manusia. Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah keputusan final dan tuntas, sehingga tidak boleh ada kekuatan apapun, baik perseorangan, kelompok maupun institusi-kelembagaan, yang diperkenan untuk mengamandemen, menistakan, apalagi menghancurkan eksistensinya.

08/12/2002 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

PKS, HTI, NII, FPI JAULAH ISLAMIAH ITULAH ITU LAH YANG SEBENARYAN MENYEBAR IDIOLOGI TERORIS

Posted by saim  on  08/10  at  08:32 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq