Hans Kung dan Tumpang Tindih Paradigma Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
03/05/2010

Hans Kung dan Tumpang Tindih Paradigma Islam

Oleh Novriantoni Kahar

Karena itu, masa depan Islam, bagi Kung, sangat bergantung pada pergulatan yang terjadi di antara berbagai paradigma di atas. Skenario buruk maupun baik dapat saja terjadi pada Islam di masa kini dan di saat mendatang. Pertanyaan kuncinya bagi Kung adalah adakah ruang yang memadai di negara-negara Islam kunci untuk mengkombinasikan antara substansi ajaran Islam dan tantangan abad ke-21? Siapakah ahli waris absah agama yang sudah berumur 14 abad ini yang akan mampu mengajukan pandangan-pandangan segar dan relevan dengan dunia kini? 

Artikel ini sebelumnya dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 1 Mei 2010.

Selama sepekan ini (25 April-2 Mei), publik Indonesia kedatangan Presiden Global Ethics Foundation Profesor Hans Kung. Teolog Katolik asal Swiss itu sudah lama dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan implementasi etika global demi terwujudnya tatanan dunia yang lebih baik dan adil. Itu pulalah yang menyemangatinya untuk menulis buku tentang Islam yang berjudul Islam: Past, Present and Future (2007). Ia ingin memahami dan menjajaki kemungkinan sumbangan Islam sebagai salah satu agama besar dunia bagi terwujudnya dialog dan kesepahaman antarumat beragama di dunia yang fana ini.

Saya membaca buku ini lewat file pdf yang dapat diunduh gratis di berbagai link Internet. Kesan pertama saya terhadap buku ini adalah ketebalannya yang sampai 800 halaman. Tapi itu bisa dimaklumi karena yang diulas adalah Islam dulu, kini, dan proyeksi di masa mendatang. Walau ulasannya bersifat deskriptif saja, tampak sekali bahwa Kung berupaya keras untuk memahami kompleksitas ajaran, sejarah, dan doktrin Islam sejak awal kedatangannya sampai saat ini. Daftar isi buku ini membuktikan bahwa Kung sangat paham tentang fase-fase penting sejarah dan peradaban Islam.

Kesan kedua adalah empati Kung yang mendalam terhadap obyek kajiannya, yaitu Islam, sehingga menghasilkan karya yang obyektif dan berimbang. Kung memang tidak bertendensi untuk menjadi orang dalam Islam sehingga harus menjadi apolog Islam. Dia juga tetap menyisakan kritisisme, sebagaimana kritisismenya terhadap kekristenan. Namun kritisisme itu tidak membuatnya jatuh kepada sinisme yang tak perlu. Orang Islam tak akan terlukai oleh telaah Kung tentang Islam, tapi mereka justru diajak merenungkan kemungkinan-kemungkinan memahami Islam dengan cara yang lebih baik.

Kesan ketiga, keunikan Kung dalam menggambarkan faktor-faktor yang sangat menentukan corak dan warna Islam dalam berbagai fase sejarahnya. Dalam pengantar, dia memberi penjelasan tentang mengapa ia menulis buku ini dan membaginya ke dalam beberapa fase tertentu. Kung menelusuri faktor-faktor paling menentukan dalam sejarah perjalanan Islam. Penelusurannya itulah yang kemudian ia bingkai dengan menggunakan enam paradigma (PI-PVI) pokok pemahaman terhadap Islam.

PI adalah Islam sebagaimana yang di- tentukan coraknya oleh paradigma komunitas Islam perdana yang masih orisinal (original Islamic community). PII adalah Islam yang sangat ditentukan oleh paradigma Arab yang mendinastik. PIII ditentukan oleh kosmopolitanisme atau corak Islam klasik. PIV adalah paradigma ulama dan ordo sufi yang menjadi penentu hitam-putih Islam. PV adalah paradigma modernisasi. Dan semua paradigma itu sangat penting dipahami guna membantu pemahaman kita tentang ke mana arah paradigma Islam kontemporer (PVI).

Bagi Kung, setiap paradigma ditandai oleh ciri dan corak yang paling dominan di masanya. PI, misalnya, sangat ditandai oleh kesederhanaan dan kebersahajaan Islam, karena ia masih dalam proses pembentukan dan perjuangan. PII dan selanjutnya juga sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial tribalisme Arab, yang menjadi penggerak dinamika Islam di masa itu. Namun pembagian enam paradigma ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa tatkala paradigma baru datang, maka paradigma lama akan menghilang begitu saja. Tumpang-tindih antarparadigma tetap mungkin terjadi, bahkan dalam tingkat tertentu justru membantu menjelaskan kondisi riil Islam pada saat- saat tertentu.

Misalnya, di zaman modern ini, bukan tidak ada orang Islam yang masih tercecer dalam paradigma pertama dan berhasrat untuk menyontek pola pikir dan perilaku kaum salaf Islam. Mereka bahkan berupaya mendesakkan paradigma itu ke dalam dunia modern kita. Ketika modernisasi dan spesialisasi di berbagai bidang sudah berjalan begitu ekstensif (PV), bukan tidak ada segmen masyarakat Islam yang masih kuat berpegang pada otoritas ulama. Jika kita memperhatikan masih ditanyakannya hal-hal sepele kepada ulama dan begitu larisnya majelis-majelis zikir di Jakarta (PIV), kita segera tahu bahwa beberapa paradigma yang di muka ternyata masih ikut mewarnai paradigma yang belakangan.

Karena itu, masa depan Islam, bagi Kung, sangat bergantung pada pergulatan yang terjadi di antara berbagai paradigma di atas. Skenario buruk maupun baik dapat saja terjadi pada Islam di masa kini dan di saat mendatang. Pertanyaan kuncinya bagi Kung adalah adakah ruang yang memadai di negara-negara Islam kunci untuk mengkombinasikan antara substansi ajaran Islam dan tantangan abad ke-21? Siapakah ahli waris absah agama yang sudah berumur 14 abad ini yang akan mampu mengajukan pandangan-pandangan segar dan relevan dengan dunia kini? Paradigma manakah yang akan dominan?

Pertanyaan ini akan lebih membumi lagi bila dikaitkan dengan persoalan-persoalan kekinian kita. Misalnya apakah umat Islam masih akan mempertahankan hukum-hukum lama yang melecehkan akal sehat manusia dan merendahkan martabat kemanusiaan kita? Apakah umat Islam akan mendukung kebebasan tiap-tiap individu untuk beragama atau tidak beragama sesuai dengan kehendak nuraninya atau justru akan memaksakan kontrol sosial dan komunal atas keberagamaan orang lain? Jawaban atas tantangan-tantangan dan pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan menentukan di dalam paradigma manakah umat Islam akan terperosok.

03/05/2010 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (13)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Kalau ngomong soal toleransi atau menghormati ajaran lain, umat Islam tidak usah belajar ke Barat. Apalagi kita yang di Indonesia, Sejarah sudah mencatat Hindu dan Bhuda masuk dengan damai, begitu juga Islam. yang masuk dengan bendera Kolonial, itu agama Barat alias Kristen. Kalau pada awal tahun 1990-an Hans Kung mempunyai ide yang dinamai Weltethos (Etika Global), yang merupakan upaya untuk menggambarkan kesamaan di antara agama-agama dunia (ketimbang menekankan hal-hal yang membedakan mereka) dan menyusun suatu susunan peraturan perilaku minimal yang dapat diterima oleh setiap orang, maka hal ini sudah tidak aneh lagi. sufisme Islam sudah mengajarkan itu sejak ratusan tahun yang lalu. sebenarnya saya salut dengan temen-temen di JIL, tapi hati-hati dan jangan terlalu mengkiblat ajaran Barat ketika mengkaji toleransi dan etika beragama, siapapun mereka. mereka belajar toleransi baru puluhan tahun yang lalu, belum lama.
.

Posted by Ali  on  07/14  at  09:06 AM

bagimana mau bener kalau saudara berguru pada imam yang batal, bagaimana bisa merasakan iman kalau imamnya junub, anda terlalu terpesona pada gemerlap dunia yg di tampilkan oleh dunia barat, padahal disisi lain mereka merampas hak-hak orang muslim, membantai, menginjak2 harga diri, memberangus demokrasi hanya demi kepentingan nafsu mereka. selamax kebenaran tdk akan pernah bisa bersanding dengan kedzaliman, kebenaran tdk akan bisa berdamai dengan ketidak adilan. Inilah yang sedang di perjuangkan oleh orang2 yg dianggap fundamentalis itu,....

Posted by Hisam ashadi  on  05/29  at  10:48 AM

Surga adalah tempat manusia yg sebenarnya. Didalamnya para penduduk tak akan pernah saling menyindir, mengolok2 ataupun bertengkar walaupun hukum islam yg dianggap keras itu tidak pernah ada lagi keberadanya. Kalaupun ada yg menganggap di surga itu ada perbuatan2 tsb maka mungkin standar surga kita berbeda atau mungkin itu surga yg khusus dan berbeza pula. Wasalam

Posted by M. Lukman  on  05/24  at  03:34 PM

pa lancif anda menuduh ulama2 pondamentalis sbagai biang keonaran kamu tidak melihat kekejaman SETAN AMERIKA dan IBLIS ISRAEL mengoyak2 Falestin dan Afganistan sesungguhnya setan dan Iblis itu yg membuat ulama jadi fondamentalis karena dia tidak iklas tanahnya dirampas dan dijajah oleh mereka. sebetulnya islam bisa hidup berdampingan dengan agama apapun selama mereka tidak mengganggu dan tidak memaksakan kehendaknya agar mengikuti mereka Islam agama sangat toleran dan semua ulama islam menghormati adanya prulalisme tapi prulalisme itu jangan dimanfaatkan mereka untuk memaksa orang lain agar berpindah agama contoh : kejadian di bekasi banyak tukang ojek dan orang2 miskin yang sudah beragama islam diajak kegereja lalu dikasih uang dengan berkedok bazar ujung2 membaptis orang2 yang ada di situ terakhir sekelompok orang2 kristen masuk ke masjid Albarkah bekasi dengan berorasi di masjid Albarkah apa itu kristen baik? coba dimana letak toleransi mereka terhadap islam mikir dong kalau belum mengerti islam jangan komentar !

Posted by ahot asanja  on  05/14  at  03:02 PM

ada beberapa hal yg blm sy pahami: yg dimaksud dgn hukum-hukum lama yang melecehkan akal sehat manusia dan merendahkan martabat kemanusiaan, itu hukum apa? apa yg jd batasan utk mengkombinasikan antara substansi Islam dgn tuntutan abad 21? apakah nantinya islam dileburkan menjadi suatu ajaran yg baru? atau bgmn? menurut pak novri, jawaban apa yg akan anda berikan untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian yg disebutkan di atas. dan bgmn seharusnya ajaran Islam di masa depan? melebur dgn ajaran lain, shg hilang identitasnya? ataukah tetap seperti apa adanya?

Posted by conan lg mikir  on  05/13  at  09:23 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq