Islam dan Pluralitas(isme) Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

15/06/2009

Islam dan Pluralitas(isme) Agama

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detail-detail syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain. 

Pengertian Dasar

Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Dari asal-usul kata ini diketahui bahwa pluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agama tidak identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu.

Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syari`at yang menyertai agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup.

Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8

Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.

Sikap terhadap non-Muslim

Pluralitas agama dan umat beragama adalah kenyataan. Sebelum Islam datang, di tanah Arab sudah muncul berbagai jenis agama, seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, Zoroaster dan Shabi’ah. Suku-suku Yahudi sudah lama terbentuk di wilayah pertanian Yatsrib (kelak disebut sebagai Madinah), Khaibar, dan Fadak. Di wilayah Arab ada beberapa komunitas Yahudi yang terpencar-pencar dan beberapa orang sekurang-kurangnya disebut Kristen. Pada abad ke empat sudah berdiri Gereja Suriah. Karena itu tak salah jika dinyatakan, Islam lahir dalam konteks agama-agama terutama agama Yahudi dan Nashrani.

Al-Qur’an memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi pluralitas umat beragama tersebut.Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi, Nashrani, Majusi, dan Shabi’ah), umat Islam diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimat sawa`). Kalau terjadi perselisihan antara umat Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jâdilhum billatî hiya ahsan). Terhadap siapa saja yang beriman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan melakukan amal kebajikan, al-Qur`an menegaskan bahwa mereka, baik beragama Islam maupun bukan, kelak di akhirat akan diberi pahala. Tak ada keraguan bahwa orang-orang seperti ini akan mendapatlan kebahagiaan ukhrawi. Ini karena, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridla, keberuntungan di akhirat tak terkait dengan jenis agama yang dianut seseorang.

Al-Qur’an mengijinkan sekiranya umat Islam hendak bergaul bahkan menikah dengan Ahli Kitab. Tidak sedikit para sahabat Nabi yang memperisteri perempuan-perempuan dari kalangan Ahli Kitab. Utsman ibn `Affan, Thalhah ibn Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa`ad ibn Abi Waqash adalah di antara sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Alkisah, Khudzaifah adalah salah seorang sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan beragama Majusi. Nabi Muhammad juga pernah memiliki budak perempuan beragama Kristen, Maria binti Syama`un al-Qibtiyah al-Mishriyah. Dari perempuan ini, Nabi memiliki seorang anak laki-laki bernama Ibrahim. Ia meninggal dalam usia balita. Sejarah juga menuturkan, ayah kandung dari Shafiyah binti Hayy yang menjadi isteri Nabi adalah salah seorang pimpinan kelompok Yahudi.

Nabi Muhammad dan para pengikutnya sangat intens berkomunikasi dengan orang-orang Ahli Kitab. Muhammad muda pernah mendengarkan khotbah Qus ibn Sâ`idah, seorang pendeta Kristen dari Thaif. Muhammad Husain Haikal, sebagaimana dikutip Khalîl Abdul Karim, menjelaskan isi khotbah Qus ibn Sâ`idah itu sebagai berikut;

“Wahai manusia, dengarkan dan sadarlah. Siapa yang hidup pasti mati, dan siapa yang mati pasti musnah. Semuanya pasti akan datang. Malam gelap gulita, langit yang beribntang, laut yang pasang, bintang-bintang yang bercahaya, cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kemaksiatan, makanan dan minuman, pakaian dan kendaraan. Aku tidak melihat manusia pergi dan tidak kembali, menetap dan tinggal di sebuah tempat, atau meninggalkannya kemudian tidur. Tuhannya Qus ibn Sa’adah tidak ada di muka bumi. Agama yang paling mulia semakin dekat waktunya denganmu, semakin dekat saatnya. Maka sungguh beruntung bagi orang yang mendapati dan kemudian mengikutinya, dan celaka bagi yang mengingkarinya”.

Muhammad Husain Haikal melanjutkan kisah tentang Qus ibn Sâ`idah. Alkisah, utusan Bani Iyad--suku Qus ibn Sa`îdah--menemui Nabi. Nabi bertanya keberadaan Qus. Mereka menjawab, Qus ibn Sâ`idah sudah meninggal dunia. Mendengar informasi tersebut, Nabi teringat akan khotbahnya di Pasar Ukazh; ia menunggang unta yang berwarna keabuan sambil berbicara. Tapi, aku tidak hafal detail ungkapannya. Seseorang (ada yang bilang Abu Bakar) berkata, “saya hafal wahai Nabi”. Ia kemudian merapalkan isi khotbah Qus tersebut. Rasulullah berkata, “semoga Tuhan memberi rahmat kepada Qus dan aku berharap agar ia kelak di hari kiamat dibangkitkan dalam umat yang mengesakan-Nya”. `Imad al-Shabbâgh menceritakan, Nabi pada akhirnya hafal isi khutbah Qus tersebut. Nabi bersabda, berbeda dengan kecenderungan orang-orang Arab yang menyembah patung, Qus salah seorang yang menyembah Allah Yang Esa.

Pengakuan tentang kenabian Muhammad datang pertama kali dari pendeta Yahudi bernama Buhaira dan tokoh Kristen bernama Waraqah ibn Nawfal. Melalui pendeta Buhaira terdengar informasi, Muhammad akan menjadi nabi pamungkas (khâtam al-nabiyyîn). Buhairâ (kerap disebut Jirjis atau Sirjin) pernah mendengar hâtif (informasi spritual) bahwa ada tiga manusia paling baik di permukaan bumi ini, yaitu Buhaira, Rubab al-Syana, dan satu orang lagi sedang ditunggu. Menurutnya, yang ketiga itu adalah Muhammad ibn Abdillah. Dan ketika Muhammad baru pertama kali mendapatkan wahyu, Waraqah menjelaskan bahwa sosok yang datang kepada Muhammad adalah Namus yang dulu juga datang kepada Nabi Musa. Waraqah mencium kening Muhammad sebagai simbol pengakuan terhadap kenabiannya, seraya berkata, “Berbahagialah, berbahagialah. Sesungguhnya kamu adalah orang yang dikatakan `Isa ibn Maryam sebagai kabar gembira. Engkau seperti Musa ketika menerima wahyu. Engkau seorang utusan”. Nabi pernah bersabda bahwa Waraqah akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah.

Nabi Muhammad tak menganggap ajaran agama sebelum Islam sebagai ancaman. Islam adalah terusan dan kontinyuasi dari agama-agama sebelumnya. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad agar ia mengikuti agama Nabi Ibrahim (millat Ibrahim). Sebagaimana Isa al-Masih datang untuk menggenapi hukum Taurat, begitu juga Nabi Muhammad. Ia hadir bukan untuk menghapuskan Taurat dan Injil, melainkan untuk menyempurnakan dan mengukuhkannya. Disebutkan dalam al-Qur’an, “Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab (mushaddiq) yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil sebelum al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia dan Dia menurunkan al-Furqan”.

Al-Qurthubi mengutip pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa arti kata mushaddiq dalam ayat itu adalah muwâfiq (cocok atau sesuai). Menurut Ibnu `Abbâs dan al-Dlahhak, makna atau esensi dasar ajaran al-Qur’an sesungguhnya telah tercantum dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an semisal Taurat Musa, Shuhuf Ibrahim. Yang berbeda hanya redaksionalnya bukan makna atau esensinya. Ketika ragu tentang sebuah wahyu, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad untuk bertanya pada orang-orang yang sudah membaca kitab-kitab sebelum al-Qur’an. Sebab, di dalam kitab-kitab suci itu, ada prinsip-prinsip dasar yang merekatkan seluruh ajaran para nabi.

Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detail-detail syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain. Sebab, tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu lain karena diketahui ternyata aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan.

Namun, perbedaan syari`at itu tak menyebabkan Islam kehilangan apresiasinya terhadap para nabi. Dalam pandangan Islam, semua nabi adalah bersaudara. Nabi Muhammad bersabda, “tak ada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan Isa al-Masih ketimbang aku”. Ia bersabda, umat Islam yang mengimani Nabi Isa dan Muhammad SAW akan mendapatkan dua pahala. Nabi Muhammad juga bersabda, sebagaimana dalam Shahih Bukhari, ”sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah rumah. Lalu ia buat rumah itu bagus dan indah, kecuali ada tempat bagi sebuah ubin di sebuah sudut. Orang banyak pun berkeliling rumah itu dan mereka takjub, lalu berkata, “mengapa ubin itu tidak dipasang. Nabi bersabda, “Akulah ubin itu, Aku adalah penutup para nabi”. Umat Islam pun diperintahkan meyakini dan menghargai seluruh para nabi plus kitab suci yang dibawanya. Jika para nabi yang membawa ajaran-ajaran ketuhanan itu dikatakan Muhammad sebagai bersaudara, maka para pengikut atau pemeluk agama-agama itu disebut sebagai Ahli Kitab.

Ketika Nabi Muhammad memasuki Mekah dengan kemenangan dan menyuruh menghancurkan berhala dan patung, dia menemukan gambar Bunda Maria (Sang Perawan) dan Isa al-Masih (Sang Anak) di dalam Ka`bah. Dengan menutupi gambar tersebut dengan jubahnya, dia memerintahkan semua gambar dihancurkan kecuali gambar dua tokoh itu. Dalam riwayat lain disebutkan, yang diselamatkan itu bukan hanya gambar Isa al-Masîh dan ibunya (Maryam), melainkan juga gambar Nabi Ibrahim. Patung Maryam yang terletak di salah satu tiang Ka`bah dan patung Nabi Isa di Hijirnya yang dipenuhi berbagai hiasan dibiarkan berdiri tegak. Tindakan ini diceritakan berbagai sumber sebagai penghargaan Muhammad terhadap Isa, Maryam (Bunda Maria), dan Ibrahim. Ini menunjukkan, sikap saling menghargai telah dikukuhkan Nabi semenjak awal kehadiran Islam.

Itulah sikap teologis al-Qur’an dalam merespons pluralitas agama dan umat beragama. Sementara sikap sosial-politisnya berjalan dinamis dan fluktuatif Adakalanya tampak mesra. Di kala yang lain, sangat tegang. Ketika Romawi yang Kristen kalah perang melawan Persia, umat Islam ikut bersedih. Satu ayat al-Qur’an turun menghibur kesedihan umat Islam tersebut. Disebutkan pula, ketika Muhammad SAW mengadakan perjalanan ke Thaif, ia bertemu seorang budak pemeluk agama Kristen bernama `Uddâs di Ninawi Irak (kota asal Nabi Yunus). Ketika Muhammad dikejar-kejar, `Uddâs yang memberikan setangkai anggur untuk dimakan.

Diceritakan, ketika Muhammad dan pengikutnya mendapatkan intimidasi dan ancaman dari kaum Musyrik Mekah, perlindungan diberikan raja Abisinia yang Kristen. Puluhan sahabat Nabi hijrah ke Abisinia untuk menyelamatkan diri, seperti `Utsman ibn `Affân dan istrinya (Ruqayah, puteri Nabi), Abû Hudzaifah ibn `Utbah, Zubair ibn `Awwâm, Abdurrahman ibn `Auf, Ja`far ibn Abî Thâlib, hijrah ke Abesinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Disaat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya; pengikut Muhammad harus dilindungi dan diberikan haknya memeluk agama. Sebuah ayat al-Qur`an menyebutkan, “kalian (umat Islam) pasti mendapati orang-orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang Islam adalah orang-orang yang berkata, “sesungguhnya kami orang Kristen”. Disebutkan pula, waktu raja Najasyi meninggal dunia, Muhammad SAW pun melaksanakan shalat jenazah dan memohonkan ampun atasnya.

Alkisah, Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang. Rombongan dipimpin Abdul Masih, al-Ayham dan Abu Haritsah ibn Alqama. Abu Haritsah adalah seorang tokoh yang disegani karena kedalaman ilmunya dan konon karena beberapa karomah yang dimilikinya. Menurut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju mesjid tatkala Nabi melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim dikenakan Muhammad SAW. Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka pun tak mencari gereja. Nabi Muhammad memperkenankan rombongan melakukan kebaktian atau sembahyang di dalam mesjid.

Hal yang sama juga dilakukan Nabi pada kalangan Yahudi. Ketika pertama sampai di Madinah, Nabi membuat konsensus untuk mengatur tata hubungan antara kaum Yahudi, Musyrik Madinah, dan Islam. Traktat politik itu dikenal dengan “Piagam Madinah” atau “Miytsâq al-Madînah”, dibuat pada tahun pertama hijriyah. Sebagian ahli berpendapat bahwa Piagam Madinah itu dibuat sebelum terjadinya perang Badar. Sedang yang lain berpendapat bahwa Piagam itu dibuat setelah meletusnya perang Badar. Piagam ini memuat 47 pasal. Pasal-pasal ini tak diputuskan sekaligus. Menurut Ali Bulac, 23 pasal yang pertama diputuskan ketika Nabi baru beberapa bulan sampai di Madinah. Pada saat itu, Islam belum menjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus yang dilakukan ketika pertama kali Nabi berada di Madinah itu, diketahui bahwa jumlah umat Islam hanya 1.500 dari 10.000 penduduk Madinah. Sementara orang Yahudi berjumlah 4000 orang dan orang-orang Musyrik berjumlah 4.500 orang.

Dikatakan dalam piagam tersebut misalnya bahwa seluruh penduduk Madinah, apapun latar belakang etnis dan agamanya, harus saling melindungi tatkala salah satu di antara mereka mendapatkan serangan dari luar. Sekiranya kaum Yahudi mendapatkan serangan dari luar, maka umat Islam membantu menyelamatkan nyawa dan harta benda mereka. Begitu juga, tatkala umat Islam diserang pihak luar, maka kaum Yahudi ikut melindungi dan menyelamatkan. Pada paragraf awal Piagam itu tercantum “Jika seorang pendeta atau pejalan berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, maka aku (Nabi) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nashrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku”.

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah ini menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat traktat serupa di Yerusalem, dikenal dengan “Piagam Aelia”, ketika Islam menguasai wilayah ini. Piagam ini berisi jaminan keselamatan dari penguasa Islam terhadap penduduk Yerusalem, yang beragama non-Islam sekalipun. Salah satu penggalan paragrafnya berbunyi:

“Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”.

Muhammad Rasyîd Ridlâ menuturkan bahwa Umar ibn Khattab pernah mengangkat salah seorang stafnya dari Romawi. Ini juga dilakukan Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalid, raja-raja Bani Umayyah hingga suatu waktu Abdul Malik ibn Marwan menggantikan staf orang Romawi ke orang Arab. Daulah Abbasiyah juga banyak mengangkat staf dari kalangan Yahudi, Nashrani, dan Shabiun. Daulah Utsmaniyah juga mengangkat duta besar di negara-negara asing dari kalangan Nashrani

Di kala yang lain, hubungan umat Islam dengan umat agama lain itu tegang bahkan keras. Islam pernah berkonflik dengan Yahudi, juga dengan Kristen. Sejauh yang bisa dipantau, sikap tegas dan keras yang ditunjukkan al-Qur`an lebih merupakan reaksi terhadap pelbagai penyerangan orang-orang non-Muslim dan orang-orang Musyrik Mekah. Islam bukanlah agama yang memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan pipi kiri ketika pipi kanan ditampar. Membela diri dan melawan ketidakadilan dibenarkan. Dalam konteks itulah, ayat jihad dan perang dalam al-Qur`an diturunkan. Jihad melawan keganasan orang-orang Musyrik dan Kafir Mekah tak dilarang, bahkan diperintahkan. Sebab, orang-orang Musyrik Mekah bukan hanya telah mengintimidasi umat Islam, tetapi juga mengusir umat Islam dari kediamannya.

Fakta ini membenarkan sebuah pandangan bahwa peperangan pada zaman Nabi dipicu karena persoalan ekonomi-politik daripada soal agama atau keyakinan. Ini bisa dimaklumi karena al-Qur’an sejak awal mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Al-Qur’an tak memaksa seseorang memeluk Islam. Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2]: 256), lâ ikrâha fî al-dîn (tak ada paksaan dalam soal agama). Di ayat lain (QS, al-Kafirun [106]: 6) disebutkan, lakum dinukum wa liya dini [untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku]. Al-Qur’an memberikan kebebasan kepada manusia untuk beriman dan kafir [Faman syâ’a falyu’min waman syâ’a falyakfur] (QS, al-Kahfi [18]: 29). Al-Qur’an melarang umat Islam untuk mencerca patung-patung sesembahan orang-orang Musyrik. Al-Qur’an tak memberikan sanksi hukum apapun terhadap orang Islam yang murtad. Seakan al-Qur’an hendak menegaskan bahwa soal pindah agama merupakan soal yang bersangkutan dengan Allah. Tuhan yang akan memberikan keputusan hukum terhadap orang yang pindah agama, kelak di akhirat. Sejarah mencatat, Rasulullah tak pernah menghukum bunuh orang yang pindah agama.

Penutup

Bisa dikatakan, relasi sosial-politik umat Islam dengan umat agama lain sangat dinamis. Sikap Islam terhadap umat lain sangat tergantung pada penyikapan mereka terhadap umat Islam. Jika umat non-Islam memperlakukan umat Islam dengan baik, maka tak ada larangan bagi umat Islam berteman dan bersahabat dengan mereka. Sebaliknya, sekiranya mereka bersikap keras bahkan hingga mengusir umat Islam dari tempat kediamannya, maka umat Islam diijinkan membela diri dan melawan. Setelah kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi dan umatnya bersabar menghadapi ketidakadilan dan penyiksaan di Mekah, maka baru pada tahun ke 15 ketika Nabi sudah berada di Madinah perlawanan dan pembelaan diri dilakukan. Dalam konteks itulah, ayat-ayat perang dan jihad militer diperintahkan.

Oleh karena itu, jelas bahwa pandangan al-Qur’an terhadap umat agama lain dalam soal ekonomi-politik bersifat kondisional dan situasional sehingga tak bisa diuniversalisasikan dan diberlakukan dalam semua keadaan. Ayat demikian bisa disebut sebagai ayat-ayat fushul (fushûl al-Qur’ân), ayat juz’iyyât, atau fiqh al-Qur’an. Ayat-ayat kontekstual seperti itu, dalam pandangan para mufasir, tak bisa membatalkan ayat-ayat yang memuat prinsip-prinsip umum ajaran Islam, seperti ayat yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tambahan pula, ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalah termasuk lafzh `âm (pernyataan umum) yang menurut ushul fikih Hanafi adalah tegas dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan (takhshish, naskh) oleh ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahâd (seperti hadits yang memerintahkan membunuh orang pindah agama) yang dalâlahnya adalah zhanni (relatif). Ayat lâ ikrâha fî al-dîn bersifat universal, melintasi ruang dan waktu. Ayat yang berisi nilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushûl (ushûl al-Qur’ân) atau ayat kulliyât.

Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, saatnya umat Islam lebih memperhatikan ayat-ayat universal, setelah sekian lama memfokuskan diri pada ayat-ayat partikular. Ayat-ayat partikular pun kerap dibaca dengan dilepaskan dari konteks umum yang melatar-belakangi kehadirannya. Berbeda dengan ayat-ayat partikular, ayat-ayat universal mengandung pesan-pesan dan prinsip-prinsip umum yang berguna untuk membangun tata kehidupan Indonesia yang damai.

Untuk membangun Indonesia yang damai tersebut, maka beberapa langkah berikut perlu dilakukan. Pertama, harus dibangun pengertian bersama dan mencari titik temu (kalimat sawa`) antar umat beragama. Ini untuk membantu meringankan ketegangan yang kerap mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalam konteks Islam, membangun kerukunan antar-umat beragama jelas membutuhkan tafsir al-Qur’an yang lebih menghargai umat agama lain. Tafsir keagamaan eksklusif yang cenderung mendiskriminasi umat agama lain tak cocok buat cita-cita kehidupan damai, terlebih di Indonesia. Sebab, sudah maklum, Indonesia adalah negara bangsa yang didirikan bukan hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Dengan demikian, di Indonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir dzimmi) sebagaimana dikemukakan sebagian ulama. Menerapkan tafsir-tafsir keagamaan eksklusif tak cukup menolong bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian

Kedua, setiap orang perlu menghindari stigmatisasi dan generalisasi menyesatkan tentang umat agama lain. Generalisasi merupakan simplifikasi (penyederhanaan) dan stigmatisasi adalah merugikan orang lain. Al-Qur’an berusaha untuk menjauhi generalisasi. Al-Qur’an menyatakan, tak seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dan tindakan sama. Di samping ada yang berperilaku jahat, tak sedikit di antara mereka yang konsisten melakukan amal saleh dan beriman kepada Allah.

Ketiga, sebagaimana diperintahkan al-Qur’an dan diteladankan Nabi Muhammad, umat Islam seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagaimana orang Islam bebas menjalankan ajaran agamanya, begitu juga dengan umat dan sekte lain. Seseorang tak boleh didiskriminasi dan diekskomunikasi berdasarkan agama yang dipilih dan diyakininya. Dalam kaitan ini, umat Islam perlu mengembangkan sikap toleran, simpati dan empati terhadap kelompok atau umat agama lain.[]

15/06/2009 | | #

Komentar

Komentar Masuk (80)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

@ Hari di #79:

Alhamdulillah,Maju terus Mas Hari…

Siapa pun tahu,meskipun secara moralitas setiap agama memiliki persamaan (karena consience atau hati nurani itu adalah anugrah yg fitrah diberikan ALLAH kepada seluruh manusia secara universal), banyak sekali aspek2 mendasar yg membangun agama2 yg sangat berbeda satu sama lain, salah satu yang paling penting adalah: konsep2 ketuhanan di antara berbagai agama itu berbeda2, bahkan bertentangan.

Ketika anda menemukan dua pernyataan yg bertentangan, maka kemungkinan yg ada hanya:
1. salah satunya salah dan yg lainnya benar, atau
2. kedua2nya salah
TIDAK MUNGKIN KEDUA-DUANYA BENAR

contoh yg paling krusial:
pernyataan 1 (ISLAM): ALLAH swt adalah Tuhan, dan Yesus(Isa A.S) BUKAN tuhan, dan ia TIDAK MATI di kayu salib.
pernyataan 2 (kristen): ALLAH adalah Tuhan, dan Yesus ADALAH tuhan, dan ia TELAH MATI di kayu salib untuk menebus dosa manusia.

Menyangkal pernyataan 1, anda akan keluar dari Islam dan menjadi orang musyrik, dosa yg paling besar.
Menyangkal pernyataan 2, anda akan keluar dari kristen dan tidak akan diterima di surga, karena untuk ke surga anda harus menerima Yesus adalah tuhan dan telah mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia.

Penting untuk kita mengetahui perbedaan kebenaran dan kebaikan.
1.Kebenaran (Logika) itu soal: BENAR dan SALAH
2.Kebaikan(Moral/Etika/Akhlak) itu soal: BAIK dan BURUK

Kebenaran itu mutlak seperti 1 + 1 = 2,

di dalam Islam, ALLAH swt memerintahkan orang Islam untuk menegakkan kebenaran “dan sekaligus” berakhlak mulia (baik). Benar dan Baik.

Menghormati, mengasihi dan memanusiakan orang lain, tidak berarti harus membuat kita “mengkhianati” kebenaran.

Menyampaikan dan menegakkan kebenaran bukan berarti kita tidak menghormati dan menyayangi orang lain.

Ketika ada orang yg menipu orang lain dan dirinya sendiri dengan pernyataan 1 + 1 = 3, maka wajib hukumnya kita mluruskan, karena jika tidak, sama artinya kita meninggalkan mereka dalam kesesatan, dan hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kasih sayang bukan?

Dalam menegakkan kebenaran, penting sekali kita menjaga prinsip2 akhlak yg santun, jujur, dan adil.

Kita dapat menegakkan kebenaran “sekaligus” tetap berakhlak yg mulia dalam menyikapi orang2 yg menipu dirinya sendiri dan orang lain.

Setiap pemeluk agama akan mengklaim agama mereka yg paling benar, hal ini WAJAR dan BUKAN HAL YG PERLU DITAKUTKAN, karena hal itu adalah landasan setiap pemeluk agama memeluk agamanya. Jika ia menemukan agamanya tidak benar dan agama lain yg lebih benar maka logis untuk dia berpindah agama.

Untuk menentukan benar atau salahnya, setiap klaim kebenaran maka harus disertai pembuktian.

Dalam menegakkan kebenaran apa pun (termasuk agama) perlu dilakukan pembuktian. Pembuktian dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan dan pengujian. Hal yg tetap konsisten yg dimiliki setiap agama untuk dapat diperbandingkan dan diuji secara obyektif adalah kitab suci dari masing2 agama.

Setiap kitab suci itu diperbandingkan dan diuji dengan cara membuktikan kualitas KOHERENSI dan KORESPONDENSI antara kitab2 tersebut secara obyektif, maka akan jelas kelihatan agama siapa yg benar dan agama siapa yg salah.

Kitab suci yg banyak PERTENTANGAN antara ayat satu dengan ayat lainnya TIDAK lolos uji koherensi.
Kitab suci yg BERTENTANGAN dengan “fakta absolut dan ilmu pengetahuan yg sudah mapan dan mendasar yg tidak dapat disangkal lagi kebenarannya” TIDAK lulus uji korespondensi.

Bila telah lulus uji kebenaran, maka nilai2 kebaikan yg disampaikan oleh kitab suci yg terbukti benarlah, yg pantas diikuti.

Usaha2 apologetik bukanlah hal yg buruk dan harus dipandang sebagai jalan untuk mendapatkan kebenaran yg absolut. Yang penting tetap fair, obyektif dan tetap skeptis.

semoga anda dapat menemukan agama yg benar2 dari TUHAN YANG MAHA BENAR

Wallahu’alam

Assalammu’alaikum

Alpha

Posted by alpha  on  02/26  at  02:37 AM

To : Damai lagi yah di 73

Saat saya kutip pernyataan anda :

Untuk itulah Forum ini diadakan dengan tujuan untuk membuka mata dan hati saudara"ku sekalian bahwa pentingnya menjaga “Mindset” kita dari klaim bahwa agama Islam-lah paling benar yang lainnya hasil bisikan setan lewat karya manusia.

Persoalannya adalah :
ISLAM meng klaim paling benar ? Apakah SALAH ?
KRISTEN meng klaim paling benar ? Apakah SALAH ?
HINDU meng klaim paling benar ? Apakah SALAH ?
BUDHA meng klaim paling benar ? Apakah SALAH ?

Saat AGAMA-AGAMA ini meng KLAIM PALING BENAR ? SAH-SAH saja bukan ?
Semuanya BERPULANG pada PENJELASAN dan orisinalitas sumber yang dipakai kan ?

Masing-masing AGAMA ini mempunyai nama TUHANNYA masing-masing bukan ?
Persoalannya adalah PENJELASAN atas TUHANNYA sendiri itu BAGAIMANA ?
Siapakah DIRINYA ...
EXISTENSI DIRINYA itu SIAPA ?
Apa saja yang telah dilakukannya ...
Semuanya itu tentunya HARUS TERJELASKAN ...
Dari SUMBER OTENTIK ...
Atau SUMBER REFERENSI UTAMA ...
Katakanlah KITAB SUCINYA ...

Apakah saat TUHAN yang menjelaskan dirinya ...
Dalam KITAB SUCINYA itu ...
Dibantah TIDAK oleh AYAT yang SAMA ...
Dari KITAB SUCI yang ada ?

Marilah kita men trace atau MENELUSURI ...
SUMBER-SUMBER OTENTIK yang dipakai ...
HISTORI-nya ...
NARASINYA ...
ALURNYA ...
ALIBINYA ...
FAKTANYA ...
DATANYA ...
Dan ...
KONSISTENSINYA ... ?

Apakah kita MAU JUJUR ...
Bahwa Al-QUR’AN lah SATU-SATUNYA ...
Yang memenuhi KRITERIA tersebut ?
Baik dari sisi HISTORINYA ...
NARASINYA ...
ALURNYA ...
FAKTANYA ...
DATANYA ...
Dan ...
KONSISTENSINYA ...

Nah kalau Al QUR’AN ...
Yang memenuhi syarat-syarat yang ada ...
Sedangkan yang lain banyak sekali PERTANYAANNYA ... ?
Kenapa masih juga TIDAK DIPERCAYA ?
Apakah ini BUKAN BERARTI KEKERDILAN ...
Atau KETAKUTAN ...
Akan ANGGAPAN manusia ...
Bahwa MINDSETNYA ...
Itu KETINGGALAN JAMAN ?

PADAHAL ...
FAKTANYA ...
DATANYA ...
BENAR dan TERKORELASI (Terhubungkan) ...
Dengan apa yang DINYATAKAN ... ?

Kalau SESEORANG ...
MENUTUP DIRI dari KEBENARAN ... ?
Itu namanya apa ?
Kalau BUKAN BERPIKIRAN CUPET alias SEMPIT ...
Atau KATAK dalam TEMPURUNG ... ?

Posted by Hari  on  02/23  at  12:03 PM

Tidak menghargai pluralisme sama dengan tidak demokratis. Tidak demokratis sama dengan tidak menghargai eksistensi orang lain. Tidak menghargai eksistensi orang lain sama dengan tidak menghargai ciptaan Tuhan. Tidak menghargai ciptaan Tuhan sama dengan menghina Sang Pencipta. Jadi siapa yang tidak menghargai pluralisme sama dengan menghina Tuhan. Paham?
Salam
Mak Ijah

Posted by Mak Ijah  on  01/13  at  03:31 PM

Bung mungkin benar secara iftihad (nalar) tapi buktikan kebenaran berfikir bung ... kalau mememang berani melakukan seumpana orang ingin menadapatkan amal yang banyak/bisa cepat masuk surga sebaikanya lakukan aja amal tiap Jum,at beribahan di masjid, Minggu beribadah di gereja sabtu disinegok kalau perlu selasa kliwon di gunung Kawi, ikut perkumpulan Darmo Gandul Pangestu dan Lain2 Sehingga amalnya banyak dan dicatat alah banyat banyat Malaikat dan bertemu banyak “ Tuhan “ Ayo berani ndak tak tunggu okey.

Posted by Trisno  on  01/12  at  01:49 PM

Assalamualaikum.
ada hal yg membuat saya tertarik ninggalin pesan.. Intensnya masyarakat zaman Nabi Muhammad SAW berhub dengan orang non islam, bahkan ada pernikahan dengan non islam jangan di anggap hal yang lumrah,, menurut saya hal itu boleh disaat kita meyakini bahwa yang dinikahi akan menjadi seorang muslim pula,, sehingga pernikahan itu menjadikan keturunan muslim..Tapi saa pernikahan beda agama berlansung sampai akhir hayat,,si anak mau dibawa kemana???
sedangkan islam mengingatkan agar janagn kita meninggalkan keturunan yang lemah imannya..apa lagi tanpa agama yang pasti..
wassalam irwan
http://keretaunto.blogspot.com

Posted by irwan setiawan  on  12/27  at  03:38 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq