Islam Sebagai Agama Perlawanan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Buku
08/08/2003

Islam Sebagai Agama Perlawanan

Oleh Siti Nur Aryani

Jika selama ini para sosiolog lebih cenderung menganggap tradisi sebagai obyek tanpa kritisisme, maka Hanafi mencoba keluar dari konservatisme tersebut. Tawaran paradigma yang diajukan adalah memahami tradisi suatu masyarakat melalui bentuk kritisisme struktural. Hanafi beranggapan, bahwa “tradisi adalah produk sosial dan hasil dari pertarungan sosial-politik, yang keberadaannya terkait dengan manusia.

Judul Buku: Oposisi Pasca Tradisi
Judul Asli: Humum Al-Fikr Al-Watan
(At-turas wa al-Asr wa al-Hadasah Juz I; 341-555)
Dar Qubba’, Kairo 1998
Penulis: Dr. Hassan Hanafi
Editor: Mualaf Imam Aziz
Desain Sampul: Haitamy el-Jaed
Cetakan 1: Pebruari 2003
Penerbit: Syarikat Indonesia, Yogyakarta
Tebal: 306 + ix Halaman


Antara Islam dan kebudayaan Arab adalah dua kenyataan yang berbeda. Islam adalah ajaran yang mempunyai idealitas pembebasan. Sementara, kebudayaan Arab adalah realitas sosiologis, hasil produk ekonomi-politik. Dalam pengertian tegas inilah pembicaraan mengenai Islam dan kebudayaan semestinya dimulai. Sebab, jika masih ada asumsi produk sosial Arab adalah sama dengan ajaran Islam, maka pembahasan mengenai otentisitas Islam, dalam konteks pembaruan pemikiran, barangkali tidak akan pernah beranjak kearah pemikiran kritis.

Penemuan otentisitas ajaran Islam sebagai kajian tentu saja bukan sekedar bertujuan memisah-misahkan antara Islam dengan warisan kebudayaan Arab, melainkan lebih pada tujuan ilmiah, yakni upaya melakukan dekonstruksi dan sekaligus merekonstruksi pemahaman atas ajaran Islam. Dekonstruksi adalah upaya pembongkaran asumsi-asumsi lama yang irasional, irelevan, dan ilutif atas pemahaman otentisistas Islam. Sementara rekonstruksi dihadirkan sebagai wujud pertanggung jawaban intelektual yang memberikan alternatif pemikiran praksis dari dekadensi pemikiran lama tersebut.

***

Salah satu tokoh pemikir Islam yang layak diberi perhatian dalam hal ini adalah buah pemikiran Dr Hasan Hanafi. Dalam rangka menemukan otentisitas Islam ini, Hanafi mencoba menawarkan pemahaman-pemahaman seputar wacana ke-Islaman yang berdialektika dengan tradisi-tradisi di mana tempat umat Islam hidup. Sebagaimana karya tulis lainnya, latar belakang Hanafi dalam karya “Oposisi Pasca Tradisi” berangkat dari kenyataan bahwa Islam sebagai agama pembebas telah mengalami dekadensi ilmu pengetahuan dan praktik politik selama beberapa abad.

Hasan Hanafi mendefinisikan bahwa tradisi (turas) adalah segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan. (Apa Arti Turas dan Tajdid?1991;11).

Dengan demikian tradisi dianggapnya sebagai “titik awal tanggung jawab kebudayaan dan bangsa, sedangkan pembaruan (tajdid) adalah penafsiran ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru.” Oleh karena itu, pembahasan mengenai turas dan tajdid dalam kajian Hanafi tidak dalam konteks filosofis an sich, melainkan dengan menyertakan argumen historis.

Jika selama ini para sosiolog lebih cenderung menganggap tradisi sebagai obyek tanpa kritisisme, maka Hanafi mencoba keluar dari konservatisme tersebut. Tawaran paradigma yang diajukan adalah memahami tradisi suatu masyarakat melalui bentuk kritisisme struktural. Hanafi beranggapan, bahwa “tradisi adalah produk sosial dan hasil dari pertarungan sosial-politik, yang keberadaannya terkait dengan manusia. Jika diacak melalui historisitasnya, tradisi yang demikian itu lahir dari kehendak “seleksi sosial” sebagai salah satu bentuk kekuatan masyarakat yang mempengaruhi pertarungan sosial.

Seleksi sosial, sebagai salah satu bentuk kekuatan sosial yang berpengaruh terhadap pertentangan sosial, berubah-ubah seiring dengan perubahan tingkat kekuatan yang ada. (hal;1) Melalui beberapa fase historis inilah keberadaan tradisi yang hidup dalam ranah ekonomi-politik menjelma dalam dua bentuk yang berdiri secara diametral; di satu sisi hidup tradisi kekuasaan, di lain pihak berkembang pula tradisi oposisi. Jika ada tradisi negara, maka ada pula tradisi rakyat. Dan, karena dalam situasi historis budaya resmi mengalami kemapanan, maka lahirlah budaya perlawanan.

Dalam konteks studi kebudayaan, dialektika yang paling menonjol dalam hal ini terjadi dalam konteks hubungan antara negara dan kebudayaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kekuasaan negara adalah instrumen yang paling dominan bertindak sebagai hakim mutlak yang berkepentingan memenangkan kekuasaan atas rakyat. Namun demikian negara tidak akan mudah melakukan pemaksaan melalui jalan kekerasan semata dalam menghadapi pihak oposisi. Untuk memperkokoh kekuasaanya tersebut muncullah taktik hegemoni.

Hegemoni sebagaimana dimaksudkan oleh Antonio Gramsci, merupakan konsensus moral dalam rangka penaklukan negara atas rakyat. Melalui propaganda media, figur karismatik, agama dll, negara menawarkan berbagai kesepakatan dan janji-janji yang diharapkan dapat meredam perlawanan pihak oposisi. Dalam memainkan hegemoni ini, negara biasanya melakukan seleksi terhadap tradisi masyarakat yang cocok terhadap kepentingan kekuasaan, yang kemudian dijadikan representasi, dijadikan satu pegangan yang dimutakkan, dan mengkafirkan tradisi selain tradisi negara. Di bawah dominasi “tradisi” kekuasaan negara inilah pluralitas kemudian tenggelam, kebudayaan larut dalam satu orientasi, dan sistem politik hanya memiliki satu partai.

***

Islam sebagaimana agama samawi lainnya, yang hidup dalam berbagai tradisi sosial-politik setidaknya terus bergulat di atas dua tradisi tersebut. Pada mulanya kehadiran Islam memang menentang tradisi lama masyarakat jahiliyah di jazirah Arabia, terutama tradisi kekuasaan politik yang korup. Pasca wafatnya Nabi Muhamad, muncullah tradisi baru dalam bentuk kekuasaan khilafah. Dalam masa ini fase-fase tradisi Islam mulai menampakkan perubahan; dari tradisi oposisi menjadi tradisi kekuasaan.

Secara lugas Hanafi menyimpulkan, bahwa semenjak Islam hidup dalam istana penguasa feodal, Islam menjadi agama kekuasaan. Tradisi kekuasaan dalam Islam ini dimulai oleh munculnya klaim kebenaran “pengikut nabi” yang menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlusunnah wal jama’ah, kelompok yang konsisten (istiqamah), kelompok yang berpegang pada riwayat dan hadis (ahl ar-riwayah wa al-hadis). Semenjak kekuasaan ahlusunnah inilah Islam memulai tradisi (kekuasaan) baru, dengan memukul kekuatan-kekuatan tradisi (oposisi ) seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah.Para pendukung tradisi kekuasaan memiliki gelar-gelar seperti, al-Syekh al-Rais, Hujjatul Islam, Imam al-Haramain, Nasir al-Millah wa ad-Din dan seterusnya. Sementara para pendukung tradisi oposisi mendapat gelar semacam atheis, zindiq, kafir, murtad, munafik, manawi, zoroaster, sabi’, barhamiy, dan lain-lain. Dalam tradisi kekuasaan seperti ini kritik Hanafi dimulai dengan pertanyaan: siapakah diantara kita yang tidak menginginkan gelar pertama, dan siapakah yang tidak membenci gelar kedua? (hal;3)

Awal mula sejarah inilah yang telah menjadi fakta politik kekalahan tradisi oposisi yang sebenarnya menjadi misi utama ajaran Islam. disebabkan oleh kepentingan kekuasaan, Islam menjelma menjadi tradisi kekuasaan. Kekuasaan yang hidup dalam masyarakat Islam dan mampu melegitimasi, akan menjadikan negara menjadi kuat, mampu mengatasi gerakan sosial, dan dapat mengawai persegkongkolan terhadap tradisi oposisi untuk menahan rakyat agar tidak memunculkan tradisi tersebut berlindung di dalamnya, dan mulai menghancurkan legalitas oposisi. Di Indonesia negara memberikan pakaian kebesaran terhadap agamawan yang loyal semisal profesor atau doktor. Atau memberikan kekuasaan di jajaran eksekutif atau legislatif.

***

Tradisi dalam Islam, sebagaimana tradisi kebudayaan lain pada mulanya adalah musabab, namun merupakan sebab pada akhirnya, konklusi dan premis, isi dan bentuk, efek dan aksi, pengaruh dan mempengaruhi. Dalam konteks inilah pentingnya upaya melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi pemikiran Islam agar tetap hidup sebagai ajaran yang membebaskan. Hasan Hanafi secara kritis memberikan solusi dalam upaya ini. Sikap konsistennya sebagai intelektual beraliran Marxis tidak membuat dirinya bersikap dogmatis dan kekiri-kirian. Melalui penalaran yang kritis dan kreatif ia sanggup melakukan reinterpretasi dalam menerapkan materialisme-dialektik sebagai paradigma kritis yang mampu menjelaskan berbagai persoalan sosial, agama dan kekuasaan.

Relevansinya dalam konteks ke-Indonesiaan dari tulisan Hanafi adalah, bahwa dirinya sanggup mendaratkan pemikirannya dalam konteks masyarakat di negara Dunia Ketiga. Pokok bahasan dalam buku ini bisa dikatakan berfokus pada persoalan-persoalan yang tergolong “berat”. Namun dengan gaya tulisannya yang lugas dan sederhana, para pembaca yang tergolong pemula pun akan dengan lezat menyantap berbagai menu, sejarah, sosial, politik, ilmu-pengetahuan, dan filsafat dalam buku ini.

Kritik pada buku ini terletak pada pihak editor yang kurang selektif mengedit beberapa huruf yang salah tempat atau hilang. Agar buku sebaik ini tidak ternodai oleh kesalahan-kesalahan tersebut pihak penerbit harus lebih serius dalam mengerjakannya. ***

08/08/2003 | Buku | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya berpendapat bahwa Hasan Hanafi adalah pemikir yang kritis tapi tidak obyektif, dalam arti daya kritisnya hanya berfungsi saat temanya adalah pemikiran Islam di masa keemasan.

Tetapi (sebagaimana pemikir Islam yang mengangkat dirinya sebagi kaum Liberal lainnya), daya kritisnya lenyap saat menghadapi pemikiran yang berjudul “Demokrasi, Toleransi, Emansipasi, Pluralisme dsb “

Islam masa lalu adalah perlu dikritisi/kebenarannya relatif, tapi demokrasi-pluralisme adalah mutlak benar (kira-kira begitu kesimpulan pemikiran JIL...)

Saya jadi teringat seorang Doctor dari golongan JIL (namanya tidak perlu disebut yach...) yang memberi nasehat kepada saya untuk tidak mem-berhala-kan pemikiran Islam masa lalu, tetapi mulailah bersifat demokratis, pluralis dsb… saya sepakat dengan dia untuk tidak memberhalakan pemikiran Islam masa lalu tersebut…

Namun beberapa saat kemudian saya jadi tersadar bahwa sang Doctor memang tidak lagi memberhalakan pemikiran Islam masa lalu, tetapi ternyata dia malah memberhalakan pemikiran Demokrasi, Pluralisme dsb.... nggak jauh beda dengan Hasan hanafi…

Terima kasih Tindyo P membebaskan umat dari berhala bernama Demokrasi dan Pluralisme..
-----

Posted by Tindyo P  on  09/10  at  05:09 PM

Salah satu pekerjaan paling sulit dalam pemikiran Islam adalah meisahkan secara jelas mana yang disebut sebagai “al-Islam” sebagai nilai yang turun secara genuine dari langit dan ‘al-Islam” yang sudah bercampur baur dengan tradisi (turats) serta tradisi itu sendiri yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Pertanyaan derivatifnya adalah, seperti apa yang dimaksud dengan Islam aiutentik itu ?. Di sini lantas orang berdebat yang masing-masing ingin “merebut” apa yang disebut dengan Islam autentik.

Bagi saya, Islam autentik tidak akan pernah kita dapatkan, jika yang dimaksud adalah Islam yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sifat dasar kita yang “meruang” dan “mewaktu” adalah kenyataan kodrati dan distoris dimana kita tidak mungkin menjadi pemilik Islam autentik. Yang paling realistis--dan karenanya juga historis adalah menerima Islam yang sudah teramu dengan tradisi.

Ini bukan berarti ingin mengakomodasi tradisi secara serampangan ke dalam Islam. Maksudnya, sejauh tradisi itu compatible dengan nilai-nilai universal keislaman, maka menerima tradisi itu bagian dari cara kita berislam juga. Muhammad SAW sebagai pembawa “al-Islam” juga melakukan hal itu. Begitu juga dengan dakwah Wali Songo di pulau Jawa. Yang menjadi persoalan adalah, mampukah kita memilah-milah mana yang disebut dengan tradisi dan mana yang Islam.

Posted by A.Muktti-Ro'uf  on  08/18  at  06:08 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq