Kriminalisasi Komunitas Eden - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
03/01/2006

Kriminalisasi Komunitas Eden

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Saya kira, penyelesaian atas perkara ini bisa diserahkan kepada jemaat Lia sendiri. Biarlah mereka yang memberikan penilaian. Jika ia mengandung kesesatan yang nyata, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pasti akan ditinggalkan pengikutnya.

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, Senin 2 Januari 2006

Rabu, 28 Desember 2005, rumah Lia Aminuddin yang beralamat di Jalan Mahoni 30 Bungur Jakarta Pusat dikepung oleh sebagian warga masyarakat. Mereka memprotes penyebaran ajaran Lia yang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah dinyatakan sebagai ajaran sesat. Polisi pun kini telah menetapkan Lia sebagai tersangka dengan tuduhan telah melanggar pasal 156a dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penodaan agama dan penghasutan. Lia diancam dengan hukuman lima tahun penjara. [Koran Tempo, 30 Desember 2005]. Untung saja, tidak ada tindakan pengrusakan terhadap rumah Lia yang sekaligus sebagai markas Tahta Suci Kerajaan Eden itu. Rumah Lia yang mendaku sebagai Jibril Ruhul Kudus tersebut tetap utuh. Tidak juga ada korban jiwa. Puji Tuhan, Alhamdulillah.

Ada beberapa hal mendasar yang perlu kita kemukakan terkait dengan peristiwa tersebut. Pertama, ini bukan kali pertama fatwa MUI dijadikan sebagai alat untuk melakukan penyerbuan terhadap kelompok-kelompok yang telah divonis sesat. Sebelumnya kita juga telah menyaksikan peristiwa penyerangan terhadap markas Ahmadiyah di Parung yang menyebabkan terjadinya derajat kerusakan yang sangat parah. Di Cianjur Jawa Barat, pada tanggal 19-20 September 2005, 70 rumah dan enam mesjid kepunyaan Ahmadiyah rusak berat akibat ulah sebagian massa yang mengaku sedang menjalankan fatwa MUI. Belum lagi penyerbuan terhadap markas Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB. Dalam kaitan ini, saya kira para ulama MUI yang terhormat harus mulai merefleksikan kembali atas fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkannya. Para ulama tidak bisa bermain lugu dengan hanya mengeluarkan fatwa begitu saja tanpa mempertimbangkan dampak ikutan dari fatwa itu. Fa’tabiru ya uli al-albab.

Kedua, ini sebentuk kriminalisasi terhadap tafsir keagamaan, yang biasanya diarahkan buat kelompok-kelompok yang bukan arus utama dan tidak memiliki power, kekuasaan, seperti Ahmadiyah, Komunitas Eden, Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku Malang pimpinan Yusman Roy, dan lain-lain. Sekiranya ajaran mereka menjadi arus utama, pastilah mereka tidak akan dianggap sesat. Malah bisa sebaliknya, warga NU dan Muhammadiyah, misalnya, yang akan tertuduh sebagai menyebarkan ajaran sesat. Atau jika saja banyak para pejabat di negeri ini mengikuti ajaran-ajaran yang non-mainstream itu, bisa diramalkan mereka tidak akan mengalami nasib seburuk ini. Dahulu, ketika doktrin Mu’tazilah menjadi madzhab dan ideologi rezim penguasa, maka orang sunni lah yang dianggap menyimpang sehingga perlu diinterogasi dan diinkuisisi (mihnah). Mungkin saja, tatkala ajaran Syi’ah telah menjadi arus utama di Iran, maka yang dinggap sesat adalah kelompok-kelompok Islam di seberangnya, seperti Sunni, Wahabi, dan lain-lain.  Menurut saya, penyelesaian pluralitas (tafsir) agama dengan cara kriminalisasi seperti pada abad pertengahan itu sungguh tidak sehat bagi tata kehidupan yang damai dan demokratis. Itu adalah termasuk model pemecahan masa lalu yang tidak bisa dipertahankan hingga sekarang. Di dalamnya ada unsur dominasi bahkan hegemoni mayoritas-arus utama terhadap yang minoritas-pinggiran.

Ketiga, baik polisi maupun massa yang mengepung rumah Lia Eden itu bisa diperkarakan sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM). Bahwa, sebagaimana warga negara lain, Lia plus jemaatnya juga memiliki hak untuk menjalankan keyakinannya tanpa ada satu pihak pun yang berwenang untuk menghalang-halangi. Kebebasan berkeyakinan itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28E ayat (2) menyebutkan, “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2) pasal 28E menegaskan, “setiap orang berhak atas kekebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan ahti nuraninya”.  Ayat (3) menyebutkan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengelurkan pendapat”.

Mengacu pada tiga ayat ini, maka Lia memiliki hak penuh untuk menjalankan agamanya secara bebas. Negara hanya boleh mengintervensi jika di dalamnya terdapat unsur kekerasan dan penindasan satu di atas yang lain. Dan pada hemat saya, apa yang dilakukan oleh Lia bukanlah tindakan teror yang menyebabkan terbunuhnya sekian banyak manusia yang tak berdosa seperti yang dilakukan oleh kelompok (Alm.) DR Azahari dan Noordin M Top. Lia pun tidak melakukan jalan kekerasan dan intimidasi di dalam mendakwahkan dan mensosialisasikan ajarannya. Sejauh Lia tidak mengajarkan bom bunuh diri dan jalan kekerasan lain, maka ia tetap absah untuk tumbuh di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini.

Saya secara pribadi tidak sepenuhnya setuju terhadap ajaran Lia Eden. Tapi, itu tidak berarti saya boleh merampas hak Lia untuk menjalankan keyakinannya. Saya kira, penyelesaian atas perkara ini bisa diserahkan kepada jemaat Lia sendiri. Biarlah mereka yang memberikan penilaian. Jika ia mengandung kesesatan yang nyata, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pasti akan ditinggalkan pengikutnya. Belakangan saya mulai mengendus satu gejala, sejumlah ordo-ordo spiritual yang mulai ditinggalkan oleh jemaatnya karena di dalamnya ada aktivitas di luar nalar sehat bahkan ada aroma yang tidak sedap; mulai dari soal skandal dan pelecehan seksual hingga pada masalah pengerukan harta jemaat demi kekayaan sang pimpinan. Tanpa perlu ada fatwa dari MUI, mereka biasanya bubar sendiri, sekurangnya akan sepi pengunjung.

Sebaliknya, kalau ajaran Lia Eden tersebut mengandung kebenaran, maka pastilah ia akan bertahan lama bahkan cenderung akan semakin membesar. Allah SWT berfirman di dalam Alquran, Fa amma al-zabadu fa yadzhabu jufa`an wa amma ma yanfau’u al-nas fayamkutsu fiy al-ardh. Bahwa buih yang tak berguna akan hilang ditelan zaman, sementara sesuatu yang bermanfaat akan berjalan terus. Saya belum tahu, apakah Komunitas Eden itu buih yang sebentar lagi akan hilang atau justeru sesuatu yang bermanfaat sehingga akan berumur sangat panjang. []

03/01/2006 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

lucu banget tanggapan org yg bernama Antonius(?). Yg ditulis sdr Ghazali sangat fair, jauh dr kesan menjelek2an, bahasanya jelas n santun pula. Justru tulisan JIL yang menurut saya paling apa adanya, n I LIKED IT VERY MUCH. Go Ahead JIL, saya support doa buat mereka yang selalu berusaha menegakkan ajaran yg benar n diridhoi Allah SWT, Amin. Yang jelas kekerasan bukan jalan yang dimaksud, don’t u agree??!!! MAJU TERUS
-----

Posted by Muli  on  01/22  at  08:01 PM

Duh betapa susahnya untuk berani tampil menurut keyakinan diri sendiri. Di dalam penglihatan saya terhadap kasus lia ini, nampaknya pemahaman lia ini tidak berbahaya secara fisik (tidak seperti kasus di sulawesi). Tidak ada aksi kekerasan di dalamnya. Hal yang membahayakan menurut masyarakat adalah aliran ini dianggap menyimpang dan tentu saja membawa penyesatan terhadap akidah. Jika masyarakat kemudian tidak senang dengan kehadiran sesuatu yang baru, itu adalah hak masyarakat. Namun kemudian membelenggu bahkan memberangus keyakinan lia dan pengikutnya adalah tindakan yang sekali lagi menjadi preseden-preseden penindasan kaum mayoritas kepada kaum minoritas, bahkan tidak dalam hal keagamaan saja melainkan di dalam hal-hal lain yang berkaitan dengan ekspresi seni dan lain sebagainya. Sangat disayangkan bahwa hal yang sedemikian terus menerus terjadi di negara kita. Padahal sudah sangat jelas bahwa negara menjamin kebebasan masyarakat untuk memeluk agama dan keyakinan...sekali lagi keyakinan warga negaranya. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan bahwa negara yang digunakan sebagai alat untuk membungkam sekte-sekte kecil yang bermunculan ini.

Bayangkan saja, syariat Islam belum diterapkan hal-hal seperti ini terus menerus dilakukan. Bagaimana jika syariat diterapkan? Lalu apakah janji Islam yang mengatakan bahwa kaum minortitas bakal dilindungi apabila syariat diterapkan apakah hanya sekedar jargon kosong belaka yang tidak disertai dengan keinginan untuk melakukannya?

Sungguh saya menyesalkan tindakan mereka yang memberangus Lia dan pengikutnya, dan simpati buat mereka yang telah menjadi diri sendiri tetapi terus menerus tertindas dengan keangkuhan kaum mayoritas!

Posted by tatag triyahyo adi  on  02/01  at  08:02 AM

Saya setuju dengan pendapatnya Irfan Nurudin dari jogja. Saya rasa ,sampai saat ini JIL emang terlalu banyak mencampuri urusan orang lain saja. Maaf kalau perkataan saya agak kasar. Kita hidup di dunia ini janganlah berusaha mencari cari kesalahan orang lain, sementara kita sendiri tidak tahu kesalahan kita apa. Dan kayaknya ada yang aneh pada JIL. JIL ini kan muslim tapi ko kenapa malah mencari kesalahan sesama muslim sendiri. Kenapa ya?

Aneh banget. tapi di sini saya tidak mengkritik JIL aja tapi juga organisasi Islam yang lainya juga. Saya harap kita sesama muslim itu tidak usah saling saling menjatuhkan, saling mengejek, saling mencari kesalahan orang lain tapi marilah kita sebagai muslim bersama sama membela agama kita ini agar jangan sampai ada yang mau merobohkannya.

Dan mengenai adanya aliran Eden itu kan tergantung pada masyarakat kita yang menilainya.Kalau emang aliran itu sesat tentunya gak mau dong masyarakat kita mengikuti aliran sesat tersebut.

Posted by antonius  on  01/30  at  02:01 AM

Seharusnya, umat Islam Indonesia (khususnya di Jawa), tidak lupa pada kulit penyebaran Islam di Tanah Jawa ini. Jika saat itu sang maharaja tidak membuat kebijakan atas hak untuk beribadat yang sesuai dengan keyakinan rakyatnya, maka Islam sangat mungkin tidak pernah ada di bumi Jawa ini, paling tidak akan menjadi kelompok minoritas.

Posted by sunan aji  on  01/19  at  07:02 PM

Saya setuju dengan Bpk. Abdul Moqsith Ghazali bahwa biarlah pengikut komunitas Eden sendiri itu yang akan menilai baik buruknya ajaran Lia. saya pikir yang berhak memutuskan sebuah ajaran itu sesat atau tidak sesat hanyalah Tuhan Yang Maha Benar. Bukankan beribadah yang baik itu yang sesuai dengan hati dan pikiran kita dan tentunya tidak merugikan orang lain.  Sebenarnya kalau mau dicari yang lebih sesat, saya pikir para pejabat yang berada di Departemen Agama yang melakukan korupsi, manipulasi, dsb. Mereka tersebutlah yang membelokkan ajaran agama. Mereka tau hal itu sangat dilarang agama, tapi kenapa dilakukan juga. Secara pribadi dan sekali lagi, biarlah Tuhan yang akan mengadilinya baik di dunia maupun di akhirat perihal sesat tidaknya suatu ajaran.  Wassalam

Posted by Purna Agung Wibowo  on  01/16  at  03:01 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq