Madina, Ahlan wa Sahlan!
Halaman Muka
Up

 

Kolom
23/01/2008

Madina, Ahlan wa Sahlan!

Oleh Hamid Basyaib

Madina boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis Islam yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam keyakinan lain, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun agama ini hidup dalam jiwa dan perilaku pemeluknya.”

Sebuah majalah yang menyatakan diri sebagai “a truly Islamic magazine” mulai bulan ini diterbitkan oleh Yayasan Paramadina, Penerbit Mizan dan PT Dian Rakyat.  Kita boleh menunda diskusi tentang klaim “sejati (truly)” itu, tapi kehadiran Madina cukup melegakan. Tata letaknya terhitung modern, diukur dari standar majalah sejenis, meski boleh dibilang “kuno” dipandang dari sudut “revolusi desain” dewasa ini.

Terbit 96 halaman, edisi perdana Madina segera memancarkan watak dan pesan umum yang mau disampaikan kepada khalayak: modern, variatif, toleran, dan mencerminkan keluasan cakupan Islam. Bahkan tampaknya diniatkan untuk memperlihatkan “totalitas” Islam – ada rubrik Arsitektur, Spiritualitas, Resensi Film, Olahraga, bahkan Humor dan Kuliner, selain rubrik-rubrik standar. Watak pesan ini tampak merupakan perpanjangan langsung dari garis Paramadina sebagaimana dirumuskan oleh pendirinya, Nurcholish Madjid.

Ilustrasi sampul Madina bukan diilhami oleh seniman Muslim abad pertengahan, tapi oleh karya mashur raja pop art Amerika, Andy Warhol. Memang yang tampil bukanlah belasan wajah identik Marylin Monroe warna-warni melainkan, menurut keterangan redaktur, wajah Zaskia Mecca, konon adalah ikon “sinetron Islam”, yang sesungguhnya boleh saja disebut gadis anonim berjilbab. Tema pokok yang diangkat pun menganalogikan pernyataan Warhol yang terkenal bahwa di zaman yang serba instan ini, dengan kian maraknya televisi, setiap orang hanya bisa terkenal selama 15 menit. Plesetan di sampul Madina: “Islam 15 Menit”.

Laporan utama itu mendeskripsikan dan menjelajahi budaya pop Islam di Indonesia sebagaimana terutama ditampillkan di layar televisi. Intinya: terlalu banyak program Islam (atau yang diniatkan sebagai promosi ajaran Islam) yang sangat buruk. Ada pula gejala latah. Jika ada acara yang membawa kata “Ilahi” sukses, semua stasiun mengekor dengan menayangkan acara yang dimirip-miripkan.

Begitu pula dengan buku-buku “sastra Islam” dan “musik Islam”. Epigonisme merajalela. Muncul pula gejala “rock Islam” – grup atau penyanyi rock pindah atau mencoba jalur tembang “rohani Islam”. Semuanya menunjukkan satu hal yang pasti: segala sesuatu yang “Islam” masih laku keras di pasar Muslim terbesar di dunia ini. Tentu saja Madina mengungkapkan preferensinya dalam arus besar budaya pop Islam itu.

Ia, misalnya, memuji karya-karya Deddy Mizwar, yang sukses komersial sekaligus bermutu filmis tinggi – ini paduan yang langka – dengan acara-acara televisinya seperti Lorong Waktu dan film Nagabonar Jadi 2.

Eksplorasi Madina terhadap budaya pop itu memperlihatkan pemahaman yang kuat para redakturnya. Gejala besar yang bercabang-cabang itu dipetakan, dijahit dengan paparan yang lancar, meski tak bisa dibilang ringan untuk dicerna oleh para pelaku dan penikmat budaya pop itu. Dan Madina tak hanya berhenti pada kecaman ataupun imbauan moral tentang sinetron Islami yang ideal, melainkan membedah banyak aspek dari tontotan itu, mulai dari filosofi, kekuatan dan kelemahan skenario, dan segi-segi filmis lainnya. Ia berperan sebagai critics yang memadai.

Tampil dengan sampul dan isi art paper yang glossy, banyak bagian Madina yang mengidap semangat “apologetik”. Dalam rubrik Olahraga, misalnya, ditampilkan sejumlah pemain klub sepakbola Eropa, dengan nama-nama Barat, yang ternyata…..beragama Islam (Frank Ribery, Eric Abidal, Robin van Persie, Nicolas Anelka). “Pemberitahuan: bahwasanya orang-orang Islam juga ada yang pintar main bola, bahkan jadi pemain di klub-klub raksasa Eropa” – begitulah agaknya implikasi yang ingin dimaklumkan.

Beberapa lelucon pendeknya berisi ledekan terhadap ateis – bahkan dalam rubrik Humor, kekentalan ideologis majalah ini rupanya tak sudi dicairkan. Rubrik Kuliner menyajikan “Makanan Favorit Rasulullah”, dengan isi yang cukup mencengangkan dari segi truismenya, yaitu bahwa Nabi Muhammad bukan hanya suka kurma (melainkan juga: anggur, buah ara, delima, susu dan madu). Kita tergoda untuk menduga: jangan-jangan segmen pembaca yang disasar mencakup anak-anak.

Masih perlu dilihat apakah di nomor-nomor selanjutnya rubrik Spiritualitas menyajikan uraian tentang sumber atau aspek-aspek spiritual dari tradisi-tradisi lain di luar Islam. Bukan hanya dari lingkungan sufi, seperti ditulis oleh Haidar Bagir di nomor perdana ini (tentang Jalaluddin Rumi, tentu saja). Membatasi spiritualitas hanya dengan pagar agama, apalagi cuma satu agama, tentulah mencekik keluasan spiritualitas itu sendiri.

Rubrik Spiritualitas yang (kebetulan) tentang penyair sufi itu berbeda dari rubrik “Kisah Sufi” (yang di daftar isi disebut “Kisah Spiritual”). Judulnya: “Cerita Bijak Para Sufi yang Abadi”. Kita akan lihat di bulan-bulan mendatang apakah sumber spiritualitas Islam bisa diperluas ke hal ihwal sehari-hari, yang terkesan profan dan duniawi. 

Madina juga menyajikan Wawancara yang baik, empat halaman dengan Feisal Abdul Rauf, imam Masjid Al-Farah di New York; feature tentang Nasr Hamid Abu Zaid, yang baru-baru ini dilarang bicara di dua forum di Indonesia (meski dia sudah tiba di Jakarta, dari kediamannya di Negeri Belanda); profil pembaru Islam kontemporer Turki, Fetulleh Gulen. Kolom-kolomnya pun enak dibaca (Nurul Agustina, Samsu Rizal Panggabean, Ekky Imanjaya).

Yang mengejutkan adalah tidak dicantumkannya satu pun kredit foto di bawah puluhan gambar yang dimuat Madina, yang sebagian besar dipastikan diambil dari sumber-sumber luar. Ini tentu perlu dibereskan mulai edisi berikutnya, jika “majalah alternatif” ini tidak ingin tampak sangat ironis (karena kemiripan dengan majalah-majalah yang mau diimbanginya).

Kebanyakan artikelnya tak mencantumkan nama penulis; beberapa mencantumkan; dan kita hanya bisa menduga-duga sumber inkonsistensi ini dengan menengok daftar pengelola (masthead). Redaktur hanya terdiri atas tiga orang (Ade Armando, Hikmat Darmawan, Ihsan Ali-Fauzi), dipimpin oleh Farid Gaban. Kalau Madina konsisten, akan terlihat bahwa tulisan-tulisan yang cukup banyak itu dikerjakan oleh penulis yang sangat sedikit. Tak enak juga rasanya nama yang sama muncul terlalu sering dalam satu edisi.

Dengan awak yang berjumlah di bawah minimal itu, sangat mungkin majalah ini akan terengah-engah mempertahankan kelangsungan terbit maupun mutunya, meski ia tampil bulanan. Ini pula mungkin yang menjelaskan mengapa cukup banyak salah-cetak, selain salah-rujuk (bahkan tertulis “Sipiritualitas” di daftar isi). 

Namun melihat edisi perdana ini, Madina boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis Islam yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam keyakinan lain, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun agama ini hidup dalam jiwa dan perilaku pemeluknya.”

Bagaimanapun, Madina tampil secara mengesankan, terutama diukur dari dominasi media Islam yang “panas” dan berkobar-kobar dalam sepuluhan tahun terakhir; ataupun yang meriah menyajikan aspek mistik sampai tingkat yang keterlaluan, dan semuanya menyatakan menerapkan jurnalisme – meski tak ada hubungan dengan prinsip-prinsipnya. Para pengutuk kegelapan boleh gembira sebab pada akhirnya ada orang-orang yang memilih menyalakan lilin bernama Madina.

Sambil menanti nomor-nomor selanjutnya yang mudah-mudahan terus membaik, dengan lengan terentang lebar kita mengucapkan: Ahlan wa sahlan, Madina!

Dan Andy Warhol pun pasti percaya bahwa majalah ini akan tampil lebih lama dari 15 menit.

23/01/2008 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Setelah hunting sekian lama (Coz di tempat saya tinggal ngga ada) akhirnya terbayar sudah rasa penasaran terhadap majalah aneh yang satu ini, itupun harus keluar kota dan bukan dibeli di toko besar yang sudah populer. Barangkali Madina juga harus banyak berterima kasih atas Referensi dari manusia-manusia JIL yang turut memberikan gambaran secara apik serta menarik, meskipun setelah saya baca sendiri ternyata masih belum memenuhi kriteria sebagai bacaan yang saya cari!

Entah bagaimana hubungan struktural apa antara Madina dan Paramadina namun yang jelas secara kultural keduanya tidak bisa dipisahkan dari mikrokosmos seorang Nurchlolis Majdid, sang pembesar Paramadina. Maka dari itu saya heran saja ketika tidak ada satu kolompun yang khusus menyajikan tentang pemikiran sang pembesar, entah karena dilupakan atau bahkan dianggap tidak penting lagi. Ini saya kemukakan mengingat pepatah “ Majalah yang besar adalah majalah yang menghargai jasa pembesarnya”.

Secara umum bisa saya katakan bahwa ada kesan masih malu-malu dari substansi Madina yang selolah ingin bersikap moderat namun bukannya berada di tengah-tengah melainkan setengah-setengah! Kurangnya kontroversi ala “Al-Murtad” barangkali juga disebabkan oleh ketakutan pembredelan model orde baru yang hingga kini memang masih dilegalkan. terlepas dari semua kekurangan dan kelebihannya bagaimanapun memang ucapan SELAMAT DATANG perlu ‘di-adzankan’ pada produk yang satu ini.
-----

Posted by Waheb Muthaleb  on  02/17  at  12:02 AM

ummat islam memang ummat yang tangguh, berani, istiqomah, dan toleran. setiap perjuangan ummat islam akan selalu diwarnai oleh semangat tersebut. dengan semangat tersebut lah kaum muslimin dapat disebut sebagai rahmatan lil’alamin dan ummat yang terbaik. pertanyaannya adalah apakah semangat itu masih ada?.. apakah ummat yang dibunuh di depan mata (kasus irak, iran, libanon, afghanistan, kashmir, cheznya, palestina, al-jazair, poso) dapat disebut ummat terbaik?. apakah ummat menjadi raja korupsi, pelaku maksiyat dan penyebar teror dapat dikatakan rahmatan lil’alamin?

seyogianya Madina sebagai media yang dinantikan harus mampu menjadi SOLUSI bagi ummat ini, dengan berbagai problematika di atas. bagaimana Madina memandang masyarakat kita yang plural ini sebagai pranata sosial yang sakit dan sekaligus menyediakan solusi yang menyejukkan, tentunya menjadi tantangan terberat bagi Madina untuk mewujudkannya. agar jangan hanya mengusung ide yang justifikasi kebenarannya hanya ada di kepala redaktur dan editornya saja. kalo jenis media yang seperti itu sudah banyak. saya ucapkan mari bergabung buat Madina. (REDAKTUR BULETIN KASAMA WEKI ntb)

Posted by abdeurrahman  on  01/29  at  10:02 PM

saya menyambut terbitnya majalah madina, dan mudah-2an bisa juga sampai di daerah saya dan harganya terjangkau. isinya, jangan lupa utk mengkritisi faham-faham fundamentalisme yg mengklaim dirinya sebagai orang-orang yg mengikuti salaf yg marak akhir-akhir ini. terima kasih dan saya sampaikan ucapan selamat atas terbitnya majalah madina ini semoga apa yang diharapkan tercapai.

Posted by abubakar  on  01/24  at  07:01 PM

Setiap mendengar nama “Paramadina”, selalu saja membuat saya berdecak kagum (tentunya dengan tokoh-tokoh yang ada di sana sejak era almarhum Nurcholish Madjid), dan sekarang ada rencana menerbitkan majalah Islam bulanan “Madina”? Wah, ini yang saya tunggu-tunggu. Bosan saya melihat dan membaca majalah-majalah Islam yang selama ini ada yang kebanyakan hanya menampilkan sisi-sisi eksoteriknya saja (ini 100% opini pribadi, lho). Berhubung edisi perdana, semoga saja distribusi nya bisa tersebar merata dan masuk sampai Cianjur (kota kecil kelahiran saya yang banyak “fundamentalisnya").

Dan, meski baru edisi perdana, saya harapkan: 1. Harganya terjangkau (harus!) 2. Isinya benar-benar lain dari yang lain (wajib! agar eksklusif dan memikat pembacanya, baik yang simpati maupun yang antipati dengan nama Paramadina) 3. Tema tasawuf dan hal-hal berbau teologis dan esoterik kiranya lebih banyak halamannya (mesti! sebab banyak umat sekarang sedang mengalami kegersangan spiritual) 4. Semoga pihak redaksi (kelak setelah beberapa edisi) berkenan menerima naskah dari luar (ya iya lah! mesti terbuka dong dengan ide-ide dari luar) 5. Semoga ada edisi elektroniknya (format PDF atau CHM) atau membuat website personalnya MADINA (ini zaman teknologi, Pak! Ekspansi informasi juga harus merambah via Web!)

Selamat datang, MADINA...! Saya menunggu anda di Cianjur!

Posted by Aris Susanto  on  01/23  at  02:01 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq