Masihkah NU Menjadi Jangkar?
Oleh Rumadi
Di sini mulai muncul paradoks; di satu sisi NU (setidaknya) di tingkat pusat selalu menegaskan komitmen kebangsaannya, di sisi lain NU juga membiarkan para kadernya melakukan aktivitas yang bisa mencederai paham kebangsaan yang dijunjung tinggi NU. Hal ini dapat dilihat sebagai titik balik semangat kebangsaan NU.
TAK ada yang menyangkal bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Pandangan-pandangan keagamaannya menjadi jangkar yang dapat mengokohkan berdirinya bangsa ini. Karena itu, tak berlebihan jika NU dalam sejarahnya yang panjang mampu memerankan diri sebagai kekuatan sosial berbasis agama dengan visi kebangsaan yang kokoh. Kekokohan visi kebangsaa itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 ketika NU menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasarnya adalah bentuk final. Ini sungguh kemajuan yang luar biasa, apalagi pandangan ini dirumuskan melalui perspektif fikih yang sebenarnya lebih dekat pada perjuangan negara Islam.
Kekokohan visi kebangsaan itu kembali ditegaskan pada 1992 ketika NU melakukan apel kesetiaan pada Pancasila. Bahkan dalam sebuah wawancara, KH. Abdurrahman Wahid yang waktu itu menjabat Ketua Umum Tanfidziyah PB NU menyatakan: “Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila dengan jiwa raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam” (Douglas E Ramage: 1994). Karena itu, komitmen kebangsaan NU yang paling utama adalah menjadikan Indonesia sebagai “rumah bersama” tanpa ada diskriminasi. Seluruh anggota keluarga berada dalam posisi yang setara dan berkeadilan. Dalam konteks ini, NU bisa dikatakan sebagai satu-satunya organisasi keagamaan dengan visi kebangsaan yang clear, jelas, dan tegas.
Saya sengaja mengangkat kembali masalah ini dalam pembicaraan tentang NU, karena belakangan NU mendapat kritik setidaknya dalam dua hal. Pertama, menyangkut paham kebangsaan, kedua, menyangkut resistensinya terhadap paham keagamaan yang dianggap “liberal”. Poros dari dua masalah tersebut adalah semakin mendekatnya NU dengan agenda gerakan Islam radikal.
Harus diakui, belakangan paham kebangsaan kita mengalami erosi yang mengkhawatirkan. Bangkitnya semangat etno-nasionalisme yang dipadu semangat Islamisme di berbagai daerah, sungguh merupakan erosi paham kebangsaan yang membahayakan. Tidak sedikit aktivis dan tokoh NU lokal yang menjadi pelopor paham Islamisme tersebut dengan mendorong pembuatan Peraturan Daerah (Perda) berbau-bau syariat. Tidak sedikit pula tokoh lokal NU yang terlibat dalam gerakan Islam radikal. Di sini mulai muncul paradoks; di satu sisi NU (setidaknya) di tingkat pusat selalu menegaskan komitmen kebangsaannya, di sisi lain NU juga membiarkan para kadernya melakukan aktivitas yang bisa mencederai paham kebangsaan yang dijunjung tinggi NU.
Hal ini dapat dilihat sebagai titik balik semangat kebangsaan NU. Kekokohan visi kebangsaan NU tampaknya hanya berada pada lapisan elit yang sangat tipis. Bukan hanya di tingkat wilayah, pada tingkat nasional pun ada kesan yang sama: NU semakin larut dalam agenda gerakan Islam radikal. Di tingkat pusat, keterpesonaan NU pada gerakan simbolisme Islam memang belum jelas betul meski lamat-lamat mulai nampak. Namun di tingkat daerah, hal ini jelas sekali kelihatan, terutama menyangkut agenda Perda bernuansa syariat.
Melihat fenomena tersebut, pelan tapi pasti, ada kesan keterlibatan NU, setidaknya di tingkat lokal, dalam gerakan mendominasi “rumah bersama” bernama Indonesia. Gerakan itu belakangan makin menguat seiring makin unjuk giginya kelompok Islam radikal-konsevatif. Anggota keluarga yang lain, meski tidak diusir, merasa tidak lagi nyaman tinggal di rumah itu. Tentu kita tidak ingin anggota keluarga itu minggat dan menimbulkan permusuhan satu atas yang lain. Pembiaran atas situasi demikian ibarat menyimpan bom waktu yang dapat meledak pada saat tertentu.
Ketika dikritik bahwa pendulum NU makin ke “kanan”, Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi, dengan enteng mejawab: “Belakangan muncul anggapan bahwa NU bergeser ke kanan, gara-gara RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Itu tidak benar. Bukan NU yang bergeser ke kanan. Itu karena NU terlalu lama nongkrong di kiri. Jadi ketika ditengahkan serasa bergeser ke kanan.” (www.nu.or.id). Ini sungguh retorika sangat canggih. Namun benarkah di situ letak masalahnya?
Menurut saya, masalahnya bukan NU berada di kiri atau di kanan, tapi bagaimana mampu menjaga segala kemungkinan yang mengancam keutuhan “rumah bersama”. Jangkar kebangsaan NU memang belum tercabut, namun saya melihat ada kekuatan yang coba menggoyang jangkar itu. NU seharusnya tetap setia menjaga Indonesia sebagai “rumah bersama”. Di sinilah jangkar NU harus ditancapkan kuat-kuat.
Masalah kedua adalah soal resistensi NU atas pemikiran keagamaan yang dianggap liberal. Dalam sebuah diskusi, saya pernah ditanya, apakah anak-anak muda NU yang mengusung pemikiran “liberal” masih bisa disebut sebagai bagian dari NU? Pertanyaan ini terkait dengan sejauhmana kelenturan ideologi Aswaja NU dalam menerima berbagai arus pemikiran. Banyak kalangan menganggap pikiran-pikiran yang dikembangkan sejumlah anak muda NU sudah keluar dari rel Aswaja. Karena itu, mereka sulit dikatakan sebagai bagian dari gerakan pemikiran NU.
Untuk menjawab masalah ini, pertama-tama harus dijawab, apa sebenarnya yang menentukan identitas ke-NU-an itu? Menurut saya, identitas ke-NU-an pertama-tama ditentukan oleh kultur, bukan aliran pemikiran yang distrukturkan. Hal ini bisa ditelusuri dari awal sejarah berdirinya NU. Sebelum didirikan pada 1926, NU pada awalnya adalah jamâ’ah, yaitu sekumpulan orang dan komunitas yang memiliki dan menjalankan kultur keagamaan tertentu. Baru kemudian kultur tersebut distrukturkan menjadi jam’iyyah, organisasi. Proses strukturisasi bukan hanya menyangkut penataan kelembagaan, tapi juga membingkai praktik-praktik kultural tersebut dalam rumusan-rumusan paham keagamaan. Hal itu berarti, identitas kultur dan perasaan menjadi bagian dari NU merupakan hal terdalam dari identitas ke-NU-an itu sendiri.
Proses strukturisasi kultural demikian, selalu membawa dampak ganda. Di satu sisi akan terjadi proses penguatan karena organ kultural yang berserakan bisa diorganisir menjadi sosok kuat, sehingga kultur akan tetap bertahan. Namun di sisi lain, bisa juga terjadi ketegangan karena struktur sering kali merasa berkuasa untuk mengatur kultur. Rumusan-rumusan paham keagamaan dalam struktur juga sering dianggap sebagai rumusan yang final dan selesai. Akibatnya, rumusan paham keagamaan itu digunakan untuk mengukur apakah seseorang masih dalam bingkai paham keagamaan yang diakui atau tidak.
Menstrukturkan paham keagamaan melalui lembaga menjadikan NU sulit untuk melakukan akselerasi. Doktrin juga menjadi kurang lentur dalam menghadapi perubahan. Akibatnya, NU bisa berubah menjadi baju yang sempit jika pengendali NU punya wawasan keagamaan yang “sempit”. Belakangan proses “penyempitan” itu begitu terasa, terutama ketika NU diperhadapkan dengan derasnya arus informasi ilmu pengetahuan yang memaksanya untuk meninjau ulang sejumlah doktrin keagamaannya.
Sampai di sini, saya ingin menegaskan, NU perlu menancapkan kembali jangkarnya, baik sebagai pengawal paham kebangsaan maupun pengembang wawasan keagamaan yang progresif-tranformatif. Baju ideologi NU, Aswaja, harus menjadi kekuatan dan inspirasi membangun semangat kebangsaan yang kokoh. Tanpa itu, bukan tidak mungkin NU tidak lagi menjadi jangkar bangsa.***
Penulis adalah peneliti The WAHID Institute, dan staf pengajar Fak. Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Komentar
Nahdlatul Ulama berdiri untuk mempertahankan kehidupan keagamaan berdasarkan empat mazhab, tapi juga untuk membendung sikap kaku kaum Wahabi.
Begitu Perang Dunia I berakhir pada 1918, Kesultanan Turki Usmani di Turki guncang, sementara kekuasaan sultan—yang meneruskan tradisi kekhalifahan Islam di seluruh dunia – mulai dipersoalkan oleh kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. Akhirnya, pada 1922, Majelis Rakyat Turki menghapus kekuasaan Sultan Abdul Majid dan menjadikan Turki sebagai republik. Dan dua tahun kemudian Majelis menghapuskan lembaga khilafat.
Perkembangan politik di Turki tersebut ternyata cukup bikin bingung dunia Islam. Ada di antara para pemimpin Islam yang kemudian mulai berpikir untuk membentuk khilafat baru. Termasuk kaum muslimin Indonesia, yang merasa ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saat itu, pada 1924, kebetulan Mesir sedang mempersiapkan sebuah muktamar tentang masalah khilafat tersebut.
Untuk mengantisipasi diselenggarakannya kongres tersebut, pada 4 Oktober 1924 sejumlah ormas Islam membentuk Komite Khilafat di Surabaya. Komite itu diketuai oleh Wondoamiseno (Sarekat Islam), dengan K.H.A. Wahab Chasbullah (kalangan pesantren) sebagai wakil. Dalam Kongres Al-Islam III di Surabaya, Desember 1924, antara lain diputuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafat di Kairo, yang beranggotakan Suryopranoto (Sarekat Islam), AR Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H. Wahab Chasbullah (pesantren).
Ternyata Kongres Khilafat di Kairo ditunda, karena perhatian umat Islam seluruh dunia tertuju pada perkembangan di Hijaz (kini Saudi Arabia) ketika Ibnu Saud – yang kemudian menjadi raja—mengambil alih kekuasaan Syarif Husein. Berkolaborasi dengan para ulama Wahabi, pemerintahan baru di Hijaz mulai melakukan pembersihan terhadap praktek beragama yang dianggap tak sesuai dengan faham Wahabi. Di Indonesia, gerakan Wahabi itu di satu pihak mendapat sambutan baik dari kalangan Islam modernis, tapi di lain pihak ditolak oleh kalangan kiai dan pesantren.
Pada 21-27 Agsutus 1925, digelarkan Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta. Salah satu agendanya ialah membahas undangan Raja Ibnu Saud kepada umat Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres Islam se Dunia se Dunia di Makkah. Undangan itu juga dibahas dalam Kongres Al-Islam V di Bandung, 5 Februari 1926. Dalam kedua kongres tersebut, kaum muslim modernis, seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam, sangat mendominasi. Bahkan sebelumnya, 8-10 Januari 1926, mereka juga sudah menggelar pertemuan tersendiri. Dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim H.O.S. Tjokroaminoto (Sarekat islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) untuk menghadiri Kongres Islam se Dunia se Dunia di Makkah. Keputusan itu kemudian diperkuat dalam Kongres Al-Islam V di Bandung.
Dalailul Khayrat
K.H.A. Wahab Chasbullah, yang mewakili komunitas kiai dan pesantren, seperti tersingkir dari arena kongres. Beberapa usul yang ia ajukan berdasarkan aspirasi kaum tradisionalis, tidak mendapat tanggapan. Begitu pula saran agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keislaman sebagaimana tercantum dalam kitab Dalailul Khayrat, sepertinya tidak digubris.
Akhirnya, Kiai Wahab dan tiga santrinya meninggalkan arena kongres. Mereka lalu menyelenggarakan pertemuan dengan para ulama di Surabaya. Dalam pertemuan-pertemuan seperti itu, Kiai Wahab tak jemu-jemunya menyodorkan gagasan perlunya membangun sebuah jam’iyyah (perkumpulan) kepada para ulama, termasuk kepada gurunya, K.H. Hasjim Asj’ari. Namun, Kiai Hasjim tidak serta merta menerima dan merestui ide tersebut, sebelum melakukan shalat istikharah selama beberapa bulan. Dalam pada itu diam-diam Kiai Cholil dari Bangkalan, Bangkalan, mengamati perkembangan tersebut. Kiai Cholil adalah guru Kiai Hasjim dan Kiai Wahab. Suatu hari ia memanggil seorang santri yang juga masih cucunya, As’ad Syamsul Arifin, yang ketika itu baru berusia 27 tahun. “Saat ini Kiai Hasjim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata Kiai Cholil sambil menyerahkan sebatang tongkat. “Baik, kiai,” jawab As’ad, yang kelak juga menjadi ulama besar.
Lalu Kiai Cholil berpesan kepada cucunya itu: “Bacakanlah ayat-ayat ini kepada Kiai Hasjim: Wama tilka biyaminika ya Musa. Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa ahusysyu biha ‘ala ghanami awliya fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya Musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala khudzha wala takhaf sanu’iduhi siratahal ula. Wadhmum yadaka ila janahika tahruj baidha’a min ghairi su’in ayatan ukhra. Linuriyaka min ayatinal kubra” (QS 20: 17-23). Ayat-ayat tersebut mengungkapkan kualitas kepemimpinan Nabi Musa.
Artinya, “Apakah yang di tangan kananmu, hai Musa?” Jawab Musa, “Ini tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul untuk kambingku, dan ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkat itu!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu. Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut. Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula. Kepitkanlah tangan ke ketiakmu, niscaya ia menjadi putih cemerlang tanpa cacat sebagai mu’jizat, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.”
Maka As’ad pun segera menuju ke Pesantren Tebuireng, kediaman Kiai Hasjim. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tongkat ini kepada Kiai,” kata As’ad sambil mengulurkan sebatang tongkat. Kiai Hasjim menerimanya dengan penuh khidmat. “Ada lagi yang hendak engkau sampaikan?” tanya Kiai Hasjim.
“Ada, Kiai,” jawab As’ad, kemudian membacakan ayat-ayat yang disampaikan oleh Kiai Cholil. Mendengar ayat-ayat itu, hati Kiai Hasjim tergetar. Matanya menerawang, mengenang wajah Kiai Cholil yang tua dan bijak. Ia menangkap isyarat, bahwa gurunya itu tidak keberatan jika ia dan teman-temannya mendirikan sebuah jam’iyyah.
Sejak itu, keinginan untuk mendirikan jam’iyyah semakin matang. Beberapa tahun kemudian, pemuda As’ad muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyampaikan tasbih ini,” katanya. “Kiai juga diminta mengamalkan doa Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap saat,” tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya itu diterima oleh Kiai Hasjim dengan penuh khidmat. Dan kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan sebuah jam’iyyah.
Empat Mazhab
Setahun kemudian, 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti K.H. Hasjim Asj’ari, K.H. Bisri Sansuri (kduanya dari Jombang), K.H. Ridlwan Abdullah (Surabaya), K.H. Asnawi (Kudus), K.H. Ma’sum (Lasem), K.H. Nawawi (Pasuruan), K.H. Nahrowi (Malang), K.H. Alwi Abdul Aziz (Surabaya), dan lain-lain.
Pertemuan tersebut antara lain memutuskan, mengirim delegasi yang terdiri dari K.H. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran mazhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat mazhab dan faham Ahlusunnah wal Jama’ah.
Pertemuan para ulama di Surabaya itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyyah itu diberi Nahdlatoel Oelama yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan faham Ahlusunnah wal Jama’ah. Pertemuan tersebut sebenarnya juga merupakan reaksi terhadap policy pemerintah Hindia Belanda yang membatasi umat Islam menunaikan ibadah haji.
Hal itu juga didasarkan pada pengalaman dakwah Walisongo, yang secara cerdas dan kreatif mengislamkan Nusantara tanpa gejolak—yang membedakan Nahdlatul Ulama dengan gerakan Islam modernis. Pada awal berdirinya, NU belum menetapkan anggaran dasar. Baru pada muktamar 1928, NU menetapkan anggaran dasar untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Hindia Belanda. Belakangan, NU menetapkan anutannya terhadap empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) demi kemaslahatan umat. Artinya, NU tampil sebagai pengawal kesinambungan tradisi dan ajaran empat mazhab dan akidah Ahlusunnah wal Jamaah. NU berusaha mempertahankan otoritas ulama dalam menafsirkan ayat atau hadis dari “kecerobohan” penafsiran kaum muda yang ingin mempertanyakan ajaran Islam—yang telah ditafsirkan oleh para ulama salaf saleh (salafus shalih)—yang mereka pandang sudah mapan. Itu tidak berarti NU alergi terhadap pembaruan atau modernisme. Beberapa pemikiran Islam modernis juga diserap oleh NU, khususnya berkaitan dengan sistem pendidikan dan kurikulum. Secara perlahan-lahan, madrasah NU juga mengajarkan ilmu umum di samping pelajaran agama.
Aswaja dan Kewajiban Bermazhab
Mayoritas kaum muslimin Indonesia adalah penganut Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Perkembangan Aswaja di Indonesia bisa dirunut dari pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani (Banten, Jawa Barat) dan Syaikh Mahfudz at-Tarmasi (Termas, Pacitan, Jawa Timur). Kedua ulama besar itu memadukan pandangan para ahli hadits (yang lebih mementingkan syariat) dan ahli ra’yi yang lebih mengedepankan rasio. Dari perpaduan itulah kemudian muncul konsep Aswaja sebagai jalan tengah.
Membaca pemikiran tersebut, Hadlratusy Syaikh K.H.M. Hasjim Asj’ari tertarik dan bermaksud mengembangkannya. Belakangan, pada 1926, bersama para ulama yang lain Kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) yang menegaskan Aswaja dalam Qanun Asasi atau Anggaran Dasarnya.
Dan sesungguhnya konsep pemahaman agama seperti itu bukanlah semata-mata sikap taqlid buta (mengikuti tradisi lama tanpa alasan rasional), tapi juga tidak berarti mendewakan akal pikiran. Ciri khas paham Aswaja ialah keharusan bermazhab, dan berpegang pada kaidah fiqih yang berbunyi Al-muhafazhah ’ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, sambil menerima tradisi baru yang lebih baik).
Menurut Kiai Hasjim, bermazhab itu penting sebab akan (lebih) mendekatkan kaum muslimin kepada kebenaran, dan memudahkannya untuk menjangkau suatu hukum atau pengertian ajaran Islam. Bahkan kemudian ia menegaskan, bahwa mengikuti mazhab yang benar merupakan suatu kewajiban. Dalam Qanun Asasi NU – yang konsepnya disusun sendiri oleh Kiai Hasjim—ditegaskan bahwa meninggalkan mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) bisa mengakibatkan kesalahan yang fatal dalam emmahami ajaran agama Islam.
Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal-Jama’ah, Kiai Hasjim mengutip sebuah hadits Nabi, ”Ummatku tidak mungkin berkumpul atas kesesatan; dan Tangan Allah berada di atas tangan jamaah. Barang siapa mengucilkan diri, maka ia mengucilkan diri menuju neraka....” (H.R. At-Tirmidzi). Sementara dalam riwayat Ibn Majah ada tambahan redaksi, ”Oleh sebab itu, apabila terjadi perselisihan wajib bagimu mengikuti as-sawadul a’dzam (mayoritas yang benar).” Selain itu, menurut Imam Ahmad ibn Hanbal—pendiri mazhab Hambali – kaum muslimin juga perlu berpegang pada tradisi para pendahulu, yaitu Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, dan seterusnya.
Dalam hal akidah (teologi), beberapa kelompok kaum muslimin di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan sebagainya, pada umumnya menerima ajaran para pendahulu seperti Al-Asj’ari dan Al-Maturidi sebagai perintis faham Aswaja. Bedanya terletak pada penerimaan empat mazhab fikih. NU, misalnya, tidak hanya menganut mazhab Imam Syafi’i – sebagaimana yang selama ini banyak disalah fahami – melainkan mengikuti mazhab keempat-empatnya.
Menurut Kiai Hasjim – dengan mengutip panjelasan Abul Baqa’ dalam kitab Al-Kulliyyat – secara etimologis kata sunnah berarti ’jalan’ dan kebiasaan atau tradisi—baik yang disukai atau tidak. Sedangkan menurut syara’, kata sunnah adalah ’jalan’ (yang disukai) dan dijalani dalam pengamalan ajaran agama Islam—sebagaimana dipraktikkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, ulama tabi’in, dan seterusnya.
Manfaat Madarat
Berdasarkan pengertian tersebut, dilengkapi dengan inspirasi praktik dakwah Walisongo, maka amalan keagamaan seperti ziarah ke makam Rasulullah SAW dan tempat-tempat bersejarah sepanjang menyangkut agama—yang selama ini dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim di Indonesia—harus dilihat dalam konteks tradisi yang harus dipertimbangkan sisi manfaat dan mudaratnya, sehingga tidak bisa begitu saja dihilangkan.
Yang perlu dilakukan terhadap tradisi semacam itu ialah memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya sebagaimana dakwah kultural Walisongo. Sunan Kalijaga, misalnya, mampu mengislamkan kesenian Jawa, baik kesenian wayang, gending (musik) maupun sekar (lagu), bahkan juga gending dolanan (lagu anak-anak). Salah satu karya budaya Walisongo yang cukup monumental ialah Sekaten (Syahadatain), peringatan maulid Nabi yang penuh dengan simbol-simbol Islam tapi dengan idiom-idiom budaya Jawa. Semangat memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi yang sudah berkembang di masyarakat tersebut, justru mendorong pandangan bahwa Islam merupakan agama penyempurna. Sebab, Islam memang agama fitri yang menyempurnakan peradaban dan kebudayaan manusia. Islam menyempurnakan nilai-nilai baik milik atau ciri suatu kelompok suku atau bangsa, dan sama sekali tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tradisi seperti itu.
Dalam konteks inilah persamaan dan perbedaan dalam kehidupan umat manusia harus dihormati sebagai pluralitas. Dengan pemikiran seperti itulah pula kita memahami hadits Nabi yang sangat terkenal, ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan akhlak” (H.R. Ath-Thabrani).
Sebagai paham keagamaan, Aswaja merupakan bentuk ajaran Islam yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui jalur periwayatan (sanad) yang sah dan terpercaya sampai ke Rasulullah SAW. Oleh karena itu, substansi paham Aswaja ialah ajaran Islam yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat sebagaimana disebut oleh Rasululah SAW, ”Ma ana ’alayhi wa ashhabi” (Apa yang aku lakukan bersama para sahabatku).
Secara maknawi dan substansi, apa yang bisa dipahamai dari ungkapan tersebut tentulah tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadits. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, Rasulullah SAW merupakan referensi atau sumber teladan utama dalam pengamalan ajaran Islam. ”Apa yang disampaikan kepadamu oleh Rasulullah hendaklah kamu ambil, dan apa yang Rasulullah larang hendaklah kamu hindari” (Q.S. Al-Hasyr:7). Dengan demikian, beragama identik dengan mengikuti mazhab tertentu. Sebab, tidaklah mungkin mengamalkan agama tanpa sumber dan rujukan historis dari generasi pendahulu yang tepercaya. Dan bermazhab bukan berarti taqlid alias mengikuti suatu pendapat tanpa alasan.
Tentang hal ini, Kiai Hasjim menjelaskan, ”Tidak seorang mukallaf pun yang bukan mujtahid (mampu berijtihad) berhak menggunakan dalil ayat Al-Quran maupun hadits. Sedangkan orang yang mampu berijtihad haram bertaklid dalam persoalan yang ia sendiri mampu berijtihad. Sebab, hasil ijtihadnya justru akan menjadi rujukan bagi mereka yang bertaklid.” Mukallaf ialah orang yang sudah terbebani ketentuan dan hukum agama, dewasa, sehat lahir batin.
Untuk menjalankan agama secara benar, ada dua model bermazhab yang bisa dilakukan sesuai dengan kapasitas orang yang bermazhab, yaitu: (1) al-mazhab al-manhajiy (mazhab manhaji), yaitu berijtihad sesuai dengan metode ijtihad yang digunakan oleh para pendahulu mazhab; dan (2) al-mazhab al-qawliy (mazhab qauli), yaitu mengikuti pendapat atau hasil ijtihad para mujtahid mu’tabar (yang kompeten dan diakui), yang telah termaktub dalam sumber-sumber tepercaya. Para ahli agama yang sudah memenuhi persyaratan berijtihad dapat bermazhab secara manhaji, sedangkan masyarakat awam tidak ada pilihan lain kecuali bermazhab secara qauli.
AST
-----
mengapa harus menjadikan NU jangkar,bila kita mampu membuat kapal baru dan menjadi jangkar yang lebih baik bagi generasi muda NU. NU sudah terlalu tua untuk berperan aktif dalam percaturan politik islam dengan konsep tradisional dan doktrin senior/sesepuhnya saat ini, umat NU harus/wajib mempunyai lokomotif baru dalam menyuarakan suara politiknya.
Sepertinya inilah saatnya bagi kita untuk introspeksi diri dan mau jujur berkaca, melihat seberapa bopengkah wajah kita? Kalo saya boleh tawarkan ke rekan2, gimana kalo kita memperkuat lagi wacana2 agama yang melampaui syariah berlandaskan prinsip kesejajaran, kebersamaan, demokratis; dan yg terpenting adalah menanamkan kedisiplinan yang demokratis pada generasi muda NU.
Jangan lupa pula, senantiasa mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak terkesan mengikuti arus pasar, mengingat sekarang banyak muncul MI/SD Islam binaan NU yang hanya mengedepankan gengsi sekolah tanpa mempedulikan kondisi psikologis siswa. sehingga akhlak yang seharusnya terbina, justru terbengkalai. moga masukan ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin!
NU Islam radikal..? Ngak mungkin, man..!!
Justru orang2 NU itu seakrang didekatin pas lagi mau ikut PEMILU, soalnya massanya buanyak buanget, trus mayoritas massanya masih pake senioritas, jadi kalo msih junior berapa pun intelektualnya dia, pasti dicap ngak bener/salah arah lah, atau apa lah.
Jadi sepertinya NU emang harus dibenahi dan konsep senioritas dan seremonial sesepuh harus didemokrasikan.
Akhirnya ada juga yang mengangkat atawa setidaknya mewakili tanda tanya yang belaknagn ini muncul dalam kepala saya. rasanya .... gimana gitu......, plong kali ya!
Belakangan ini saya memang bertanya-tanya di mana posisi NU sekarang? terutama dengan maraknya draft UU dan juga PERDA yang membatasi gerak sebagian masyarakat Indonesia. Saya merasa cukup beralasan menanyakan - bukan mempertanyakan - posisi kapal NU karena berdasarkan pengetahuan sejarah keberadaan NU saya yang amat-sangat-terbatas, posisi NU betul-betul memberi sumbangan yang sangat besar terhadap ke"Indonesia"an bangsa ini.
Tetapi sesudah maraknya usulan perundangan dan PERDA yang ada di Indonesia, saya merasakan kekhawatiran bahwa peran NU dalam kehidupan bernegara sedikit berkurang. Lha kalo tanggapan NU terhadap hal-hal seperti ini “dingin-dingin “ saja, boleh kan saya bertanya “QUO VADIS NU? Apakah NU masih bisa diharapkan sebagai salah satu alat pemersatu bangsa ini?
Dalam buku A Nation in Waiting~nya karya Adam S, Gus Dur, salah satu figur idola saya, megatakan seberapa pentingnya posisi NU sebagai slah satu pilar dalam sejarah kebangsaan Indonesia bahwa NU masih “dirindukan” kehadirannya. Jadi, boleh dong kalo saya juga kembali bertanya “ di mana NU sekarang?” Apakah tradisi yang ada dalam NU juga sudah mulai berubah haluan? Atau memang ini salah satu cara NU untuk melihat dan akhirnya mengambil posisi yang pas dalam situasi sekarang?
Saya masih berharap bahwa ternyata tanda tanya sudah terjawab dengan memuaskan, bukan lagi ternyata pertanyaan saya beralasan. Artinya “ AYO NU.... tunjukkan dirimu!!! atau kalo dengan lagu akan berbunyi “Aku masih seperti yang dulu, hehehe....
Semoga!!!!!!
Komentar Masuk (6)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)