Memaknai Ulang Pluralisme - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
02/10/2005

Melawan Budaya Kekerasan: Memaknai Ulang Pluralisme

Oleh Trisno S. Sutanto

Pluralisme tidak pernah berupaya menyamaratakan semuanya, seperti dituduhkan MUI dalam fatwa yang menimbulkan kontroversi itu. Pluralisme justru menerima dan menghargai keragaman, malah mau merayakan dan merawat keragaman yang merupakan buah-buah kehidupan. Dengan kata lain, pluralisme adalah mengatakan “Ya!” pada kehidupan.

SEBUAH buku kumpulan kajian yang mau melacak akar-akar kekerasan di Indonesia, dibuka dengan penegasan begini: ”Indonesia is a violent country” (Colombijn dan Lindblad, 2002). Dan pengalaman sejarah, agaknya, membenarkan penegasan itu. Betapapun pahitnya.

Berulang kali dalam sejarah panjang negeri ini, bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat massif dan sistematis dipergunakan dalam setiap pergantian rezim kekuasaan dengan seluruh justifikasinya. Kekuasaan di sini selalu dipersepsi sebagai sesuatu yang bersifat absolut, terpusat pada segelintir orang atau kelompok, dan tidak menyisakan ruang sama sekali bagi sang liyan (the other). Model tumpas kelor semacam itu sepertinya tak bergeming, termasuk oleh arus pembentukan negara-bangsa modern, yang pilar-pilar landasannya justru mengandaikan mekanisme timbal balik dan pembagian kekuasaan.

Malah dalam analisa Henk Schulte-Nordholt yang sudah sering dikutip orang, proses-proses pembentukan negara-bangsa Indonesia yang modern erat berkelindan dengan penciptaan rezim teror “negara-kekerasan” (state of violence) oleh ekspansi kolonial Belanda. Genealogi kekerasan inilah yang kemudian terus menerus di(re)produksi oleh setiap rezim pemerintahan pasca-kolonial dengan segala aparatusnya dalam berbagai bentuknya.

Karena itu tidak mengherankan jika kekerasan – seperti juga korupsi, kembarannya dalam tatanan kekuasaan absolut – lalu dimaknai banyak kalangan telah menjadi “budaya kekerasan” yang berurat berakar dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di tengah politik pengabaian aparat keamanan yang tidak melakukan apa-apa melihat praktik kekerasan berlangsung di depan mata mereka, dan pengabaian hak-hak paling asasi masyarakat sebagai warga suatu negara yang berdaulat. Kasus penyerbuan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang belum lama ini terjadi hanyalah satu dari pola yang sama yang berulang kali terjadi.

Budaya Kekerasan

BERBAGAI kajian komparatif-historis terhadap praktik-praktik kekerasan di Indonesia memperlihatkan betapa sangat dalamnya akar-akar budaya kekerasan telah tertanam dan tersebar luas. Di situ penggunaan cara-cara kekerasan, baik yang dilakukan secara sistematis oleh negara maupun praktik-praktik sporadis masyarakat, sering kali diterima sebagai jalan penyelesaian masalah yang legitim. Bukankah jalan penyelesaian yang lebih beradab, yakni melalui mekanisme hukum, kerap disumbat oleh kepentingan kelompok yang lebih beruntung?

Salah satu temuan menarik yang dikemukakan Colombijn dan Lindbald adalah bahwa kekerasan dipandang sebagai cara legitim “hanya jika ditujukan pada orang asing (outsiders).” Di sini, “orang asing” merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok (outgroup), tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok (ingroup) yang dipersepsi sebagai “orang asing”. Atau bahkan bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti “zionis”, “kapitalis”, “komunis”, dstnya yang tidak pernah jelas dan berlaku semena-mena.

Dengan kata lain, akar-akar kekerasan itu sudah ada pada bagaimana cara kita mempersepsi dan memperlakukan sang liyan. Ketika orang lain tidak lagi diterima dan dihargai sebagai orang lain dengan segala keberlainannya, melainkan direduksi menjadi sekadar simbol identitas yang beku dan dibekukan, atau dikonstruksi sebagai “orang asing” yang layak disingkirkan, di situ kekerasan telah siap menebarkan jaring-jaring pesonanya. Masalahnya jadi luar biasa kompleks ketika identitas tersebut merupakan hasil sedimentasi trauma historis berkepanjangan, dan selalu dihidupkan demi kepentingan langgengnya kekuasaan.

Sejarah panjang menjadi-Indonesia dipenuhi oleh trauma historis seperti itu, konstruksi “musuh-musuh imajiner” yang dapat dikenakan pada orang atau kelompok manapun yang hendak disingkirkan. Identitas kecinaan vis-à-vis “pribumi”, kekristenan sebagai “agama kolonial”, kaum penghayat kepercayaan sebagai kelompok “belum beragama” dstnya, merupakan hantu-hantu yang terus menerus menggelisahkan ke(ny)amanan kita. Pada titik itu, tidak salah jika upaya membangun tatanan ke-Indonesia-an yang nir-kekerasan bagaikan upaya mempertahankan suatu utopia.

Saya ingin mengelaborasi soal utopia itu, dan menariknya ke dalam pergulatan yang akhir-akhir ini, menjelang perayaan enam dasawarsa proklamasi kemerdekaan Indonesia, mencuat tajam: pluralisme. Sebab, menurut saya, perjuangan demi pluralisme erat berkelindan dengan perjuangan melawan budaya kekerasan.

Merawat Kehidupan

SEORANG teolog dari Amerika Latin pernah mengingatkan, apa yang disebut “utopia” ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi, utopia menunjuk pada “wilayah” (topos) yang belum ada (u-topos); tetapi, pada sisi lain, utopia justru merupakan kritik terhadap tatanan yang sudah ada. Menurut teolog itu – dan saya setuju dengannya – di situlah fungsi hakiki panggilan religius yang menjadi spirit sejati setiap perjuangan melawan budaya kekerasan.

Di situ, utopia nir-kekerasan merupakan resistensi terhadap pemakaian cara-cara kekerasan, yakni mengatakan “Tidak!” pada jalan kekerasan, sekaligus menyibakkan harapan bagi masa depan yang lebih baik, yakni mengatakan “Ya!” pada kehidupan itu sendiri. Dalam setiap tindak kekerasan, kehidupanlah yang sesungguhnya sedang dipertaruhkan. Sebab setiap bentuk kekerasan pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap kehidupan; budaya kekerasan hanya akan melahirkan budaya kematian.

Akan tetapi, seperti didedah di atas, mengatakan “Tidak!” terhadap budaya kekerasan harus bertitik tolak dari kritik-diri yang radikal (radix: akar). Sebab benih-benih kekerasan sudah dimulai dari pra-andaian yang melandasi bagaimana kita mempersepsi sang liyan, kategori-kategori yang kita gunakan untuk menempatkan orang lain dalam kotak-kotak kecil identitas yang beku, mendefinisikan mereka, dan sekaligus membungkam suara-suara mereka.

Pada titik inilah perlawanan terhadap budaya kekerasan berkelindan erat dengan perjuangan demi pluralisme, yakni sikap penghargaan terhadap keragaman yang memungkinkan sang liyan dapat diterima sebagaimana adanya. Pluralisme tidak pernah berupaya menyamaratakan semuanya, seperti dituduhkan MUI dalam fatwa yang menimbulkan kontroversi itu. Pluralisme justru menerima dan menghargai keragaman, malah mau merayakan dan merawat keragaman yang merupakan buah-buah kehidupan. Dengan kata lain, pluralisme adalah mengatakan “Ya!” pada kehidupan.

Panggilan etis untuk merawat keragaman, yakni mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan “Ya!” pada kehidupan, menurut saya merupakan tuntutan paling hakiki yang harus dijawab para elite politik. Taruhannya sangat mendasar: keadaban publik yang menjamin kehidupan bersama masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia.

Itu jika Indonesia yang dibayangkan para pendiri bangsa ini memang masih bermakna! []

Trisno S Sutanto, koordinator program MADIA, Jakarta

02/10/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Tidak ada agama yang tidak mengklaim dirinya benar.  Kalau jelas-jelas keliru, atau kadang keliru dan lain waktu benar, maka tentu ajaran itu tidak akan menjadi sebuah agama yang diyakini oleh para pemeluknya.  Demikian pula seorang manusia tidak akan menjalani hidupnya dengan cara yang dianggapnya salah.  Apa pun standar yang ia gunakan, pastilah cara hidupnya benar menurut anggapannya.

Seorang manusia hanya melakukan segala kekejian – mencuri, membunuh, memperkosa, berbuat curang, memfitnah, menyiksa, dan semacamnya – jika ia merasa cara-cara tersebut dapat memberikan hasil yang baik bagi dirinya.  Manusia hanya merampok jika ia merasa bisa melakukannya tanpa ketahuan.  Manusia hanya membunuh jika ia merasa bisa meloloskan diri dari hokum.  Tentu saja, Hitler pun tidak pernah menyangka bahwa suatu hari ia akan digulingkan, dan mimpi rasialisnya akan runtuh begitu saja.

Manusia juga tidak akan melakukan berbagai kebodohan di dalam hidupnya dengan sengaja.  Mereka tidak akan menggunakan narkoba untuk merusak dirinya sendiri.  Mereka pun tidak akan menyentuh minuman keras hanya untuk menghancurkan hidupnya.  Mereka selalu beralasan, “OK, saya akan memakainya sesekali saja.  Saya tidak akan menggunakannya terlalu sering.  Saya akan berhenti sebelum segalanya terlambat, dan saya akan baik-baik saja.”

Setiap manusia menjalani hidupnya dengan cara yang dianggapnya benar.  Kita bisa memenjarakan mereka yang melanggar hukum, tapi kita tidak bisa membuat mereka merasa bersalah.  Kita bisa mempermalukan mereka di depan umum, tapi kita tidak bisa membuat mereka menyesal.  Tentu saja kita bisa mengintimidasi mereka dengan segala cara yang menakutkan, tapi kita tidak bisa mengubah pendapat mereka.  Manusia adalah makhluk yang memiliki pendapat.  Pendapat itu bisa berubah setiap saat, tapi bukan dengan paksaan.

Pemotongan tangan bagi seorang pencuri, hukuman mati bagi para pembunuh dan pemerkosa, atau hukuman-hukuman fisik lainnya sama sekali tidak dilakukan untuk mengubah kesesatan para pelanggar hukum.  Mereka boleh saja mempertahankan kesesatan cara berpikirnya, tapi setidaknya mereka akan ingat akan rasa sakit yang akan dialaminya jika ia melakukan kejahatan itu lagi.  Alasan lainnya – yang bahkan lebih kuat daripada alasan yang pertama – adalah karena kejahatannya itu telah mengakibatkan penderitaan pada orang lain.  Oleh sebab itu, pembalasan yang setimpal (qishash) adalah jalan keluar yang terbaik.  Tentu saja semua hukuman ini bisa dihapuskan begitu saja jika orang yang dizalimi sudi memaafkannya.

Sampai di hadapan tiang gantungan sekalipun, Sayyid Quthb tidak mau mengubah pendiriannya.  Ia tetap mengucapkan kata-kata yang benar dan teguh dalam membela apa yang ia anggap benar.  Tidak hanya para pembela kebenaran yang berbuat demikian.  Para pengikut Iblis pun banyak yang demikian.  Banyak di antara para diktator yang mati dalam sebuah kudeta berdarah, dan mereka tetap menganggap dirinya benar hingga akhir hayatnya.  Jika terlalu sulit untuk membuktikan hal ini, tanyakanlah pada para penjahat di penjara.  Apakah mereka menyesal?  Apakah mereka mau mengubah cara hidupnya?  Apakah mereka mau bertaubat?  Ada yang bertaubat, tapi banyak pula yang tidak.

Cara apa pun yang kita gunakan, pendirian seorang manusia tidak akan berubah kecuali atas keinginannya sendiri.  Tentu kita bisa memaksa dengan kekerasan, tapi hasil akhirnya hanyalah sebuah keterpaksaan.  Barangkali kita juga bisa menghipnotisnya, tapi siapakah manusia jika ia tidak memiliki pikirannya sendiri?

Dalam prakteknya, banyak cara yang digunakan manusia untuk mempertunjukkan keyakinannya atas sesuatu yang dianggapnya benar.  Apakah kaum homoseksual di New Orleans melaksanakan festival tahunan Mardi Gras hanya untuk seni?  Tentu tidak!  Mereka melakukannya sebagai show of force, memaksa dunia untuk mengakui keberadaan mereka yang semakin banyak dari tahun ke tahun.  Dengan cara ini, mereka berusaha memberikan kesan bahwa mereka tidak lagi minoritas, dan mereka tidak perlu lagi malu akan homoseksualitas mereka. 

Pihak lain menggunakan cara-cara yang lebih intelek untuk mempresentasikan pendapat mereka, misalnya dengan membuat artikel-artikel, menulis buku-buku, mengadakan berbagai seminar, membuat situs di internet, dan sebagainya.  Dengan cara ini mereka ‘bergerilya’ memasyarakatkan pendapat-pendapatnya, kemudian mereka pun mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, atau kecaman.  Cara-cara semacam inilah yang digunakan oleh Harun Yahya dalam melawan paham Darwinisme.

Tentu saja masih banyak cara lain yang dapat ditempuh untuk menyuarakan pendapat.  Sebagian dari cara-cara itu dapat diterima oleh moral dan intelektual, namun sebagian lainnya jelas tidak manusiawi.  Banyak sekali kebohongan publik yang telah dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui media-media massa miliknya, dan hal ini – harus diakui – cukup efektif dalam membentuk opini dunia.  Ini adalah salah satu cara kotor yang dapat dilakukan.  Perlu dicatat sekali lagi bahwa pemerintah Amerika Serikat pun tidak akan melakukan hal semacam ini jika mereka tidak merasa dirinya benar dan berhak.

Cara paling kotor yang dapat dipilih adalah dengan melakukan pemaksaan secara fisik.  Ketika tentara Salib menguasai Palestina, darah menggenang di mana-mana.  Ribuan orang disembelih, tua dan muda, laki-laki dan perempuan.  Ada orang yang dibakar hidup-hidup karena mengatakan bahwa bumi mengitari matahari, sementara Gereja mengatakan sebaliknya.  Colosseum yang megah didirikan oleh bangsa Romawi demi nafsunya atas kekerasan.  Di panggung terbuka itu, mereka biasa mempertontonkan adegan bunuh-bunuhan antar gladiator, pertarungan para prajurit dari negeri taklukan melawan singa-singa lapar, atau sekedar untuk melihat para musuh negara dipenggal.  Brutal, namun mereka sungguh-sungguh merasa dirinya benar.

Sangatlah wajar jika kita merasa khawatir melihat sebagian pihak yang mendemonstrasikan pendiriannya dengan cara yang salah.  Memang ada orang-orang tertentu yang suka memaksakan pendiriannya kepada orang lain.  Akan tetapi, kita tidak bisa mencegah siapa pun untuk tidak merasa benar.  Mereka selalu merasa benar.  Jika mereka merasa salah, tentu mereka akan mengubah cara hidupnya. 

Kini, nama “pluralisme” semakin sering terdengar dalam banyak diskusi.  Secara sederhana, ajaran ini menyatakan bahwa tidak seorang pun manusia yang boleh merasa dirinya paling benar, karena kebenaran adalah relatif.  Dengan demikian, tidak ada seorang pun – atau institusi mana pun – yang berhak berbicara atas nama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, atau Budha, karena agama adalah wilayah privasi bagi masing-masing individu.

Akan tetapi, sesuai namanya, pluralisme pun nyata-nyata sudah mengalami dualisme.  Di satu sisi ia mengatakan bahwa “semua berhak bicara”, namun di sisi lain ia memaksa orang lain untuk diam.  Di satu sisi ia melarang siapa pun untuk ikut campur dalam masalah keimanan orang lain, namun di sisi lain ia sendirilah yang suka mencampuri urusan agama orang lain.  Ia ingin dibiarkan berkhotbah menyampaikan apa yang dianggapnya benar, namun orang lain tidak dibiarkan untuk melakukan hal yang sama.

Sesungguhnya tidak ada orang yang memiliki pandangan hidup pluralisme semacam ini.  Setiap manusia meyakini sebuah kebenaran, dan menganggap yang lainnya salah.  Orang yang tidak meyakini apa pun sebagai suatu kebenaran adalah orang yang tidak berkepribadian atau gila.  Jika orang-orang pluralis itu benar-benar merasa yakin dengan ajaran pluralisme-nya, maka mereka seharusnya duduk tenang dan membiarkan semua orang hidup dengan caranya masing-masing sesuai keyakinannya sendiri.  Namun hal ini tidaklah mungkin.  Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk menyatakan keyakinannya, dan mengajak orang lain untuk mengikuti keyakinannya.

Orang-orang pluralis sesungguhnya hanyalah orang-orang sekuler yang menggunakan panggilan lain untuk ‘mempermanis’ wajahnya.  Mereka adalah orang-orang sekuler yang juga ingin membuat orang lain menjadi sekuler, karena itulah yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran.  Mereka akan berusaha untuk menularkan ajaran mereka kepada siapa saja, mulai dari orang-orang terdekat mereka, yaitu keluarga dan teman.  Hal ini sebenarnya manusiawi, karena umat yang taat beragama pun pasti berdakwah mulai dari kalangan terdekatnya. 

Yang jelas, pluralis sejati tidaklah eksis di dunia ini, karena manusia memang diciptakan dengan kecenderungan untuk menyuarakan apa yang dianggapnya benar.  Kita manusia, karena kita memiliki pendapat.  Seorang sekuler tidak punya hak untuk memaksa orang lain menjadi sekuler atau mencegah siapa pun untuk mendakwahkan ajaran agamanya.  Manusia yang sekuler bebas berpendapat, dan mereka yang taat beragama pun bebas berpendapat. 

Welcome to the world of propaganda!
-----

Posted by Pengamat JIL  on  02/05  at  07:02 AM

Saya sangat tertarik dengan tulisan Saudara Trisno, teman saya ketika di STF Driyarkara dulu. Pluralisme sebagaimana Trisno gambarkan memang sangat normatif, tetapi itulah adanya, dan memang harus dari sana pijakannya. Saya menganjurkan kepada teman-teman yang masih berpikir gaya MUI agar membaca buku bagus hasil kerja keras Parlemen Agama-Agama tahun 1993 yang menghasilkan Deklarasi Etika Global.

Semoga bermanfaat. Eusta Supono

Posted by Eusta Supono  on  10/14  at  12:11 AM

Saya rasa, pluralisme yang sering digembor-gemborkan oleh JIL saat ini benar-benar sudah menyebar dan bahkan sudah mengaduk-aduk pola pikir bangsa dan khusunya umat Islam. Karena sepengetahuan saya, dalam Islam tidak ada makna pluralisme, yang ada hanyalah satu, Islam Kaffah. Sebenarnya, mengapa sih kita mesti bingung untuk meracuni pikiran orang lain dengan makna pluralisme ??? Agama merupakan wahyu dari Yang Maha Kuasa. Dan adanya keragaman agama saat ini janganlah masing-masing dari kita sibuk untuk menyamaratakan ajaran. Ayolah JIL, janganlah anda-anda semua sibuk untuk merayakan atau menyebarkan pluralisme itu sendiri. Sebaiknya yang patut kita persiapkan adalah bagaiman kita mempersiapkan bekal untuk menghadapi hari-hari kemudian. Jangan bingung untuk meracuni pikiran-pikiran orang lain.

Posted by lailah  on  10/07  at  10:11 PM

Tulisan tidak jelas, kekerasan macam mana yang ada dan terjadi di Indonesia...mestinya ada contoh, apa, kapan dan dimana kekerasan itu, siapa pelakunya.? etc… Apakah di negara lain tidak ada kekerasan..? Apa hubungan plurisme dengan kekerasan....? Kalau kita mengharamkan plurisme, apakah sama artinya dengan kita boleh menggunakan kekerasan terhadap agama lain...? Sama bingung, kenapa saya bingung terhadap tulisan ini, karena biasanya saya tidak bingung…

Posted by rusman  on  10/03  at  06:10 AM

Dari William Liddle (Ohio State University) dan Diana Eck (Harvard University) hingga Franz Magnis Suseno (STF Driyarkara). Yang disebut terakhir, seorang pendeta Jesuit, berusaha mengaburkan makna pluralisme, menceraikannya dari relativisme dan menyamakannya dengan toleransi. “Hanya seorang pluralis sejati yang toleran” tulisnya di sebuah koran ibukota. Pernyataan ini menyiratkan seolah-olah mereka yang tidak pluralis tidak toleran.

Pandangannya itu mungkin perlu disebarluaskan dan patut diterima oleh rekan seagamanya, tetapi bukan oleh dan untuk Umat Islam.

Seorang Muslim yang memahami ajaran agamanya tentu mengetahui bahwa padanya selalu dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam ber-aqidah, beribadah dan ber-mu’amalah antar sesama manusia.

Anda disuruh berjihad, tapi juga diperintahkan menebarkan kedamaian. Saling menghormati dan toleransi kepada pemeluk agama lain diharuskan, namun dakwah kepada mereka juga diwajibkan.

Minoritas non-Muslim (ahli dzimmah) yang lurus wajib dilindungi, namun mereka yang berkhianat dan memusuhi Islam dan Umat Islam harus diperangi. Demikianlah rule of the game-nya, sehingga peaceful coexistence dapat terwujud.

Sebaliknya, jika aturan main tersebut dilanggar, maka timbulnya berbagai macam konflik akan sulit dihindari.

Bahwa terdapat bermacam-macam agama di muka bumi ini adalah kenyataan yang tak terelakkan. Masalahnya, bagaimana menyikapi pluralitas dan diversitas agama-agama yang ada itu?

Menjawab pertanyaan serius ini, para pemikir terbelah menjadi beberapa kelompok. Kaum skeptis, positivis dan naturalis berkata, adanya macam-macam agama dengan doktrin yang berbeda-beda itu justru menunjukkan bahwa tidak ada satupun agama yang benar dan layak dipercaya.

Cukuplah perbedaan dan perselisihan merobohkan keseluruhan bangunan agama. Sebab, tidak ada satu kriteria pun yang dapat memastikan kebenarannya. Maka pluralitas agama hanya dapat dijelaskan secara sosiologis, anthropologis, dan psikologis.

Munculnya agama-agama disebabkan oleh faktor-faktor yang tak ada hubungannya dengan benar-salah (truth-blind causes), yaitu adat istiadat, kekuasaan politik, kepentingan serta kecenderungan pribadi dan budaya masyarakat setempat.

Agama adalah seperangkat ilusi, ungkapan emosi dan kepercayaan kosong. Begitulah pendapat Feuerbach, Marx dan Freud.

Penganut relativisme dengan polos berpendapat bahwa semua agama sama benarnya (every religion is as true and equally valid as every other). Kebenaran bukan monopoli satu agama tertentu. Tidak boleh pemeluk suatu agama menyalahkan atau menganggap sesat penganut agama lain.

Mereka ini lugu, karena memegang pisau bukan gagangnya, tetapi badannya. Pandangan ini merupakan induk dari paham esensialisme, sinkretisme, dan pluralisme agama. Maka kekeliruan tiga paham inipun tidak jauh berbeda dan tak dapat dipisahkan dari relativisme.

Yang dimaksud dengan esensialisme disini ialah pandangan yang mengatakan bahwa semua agama pada intinya sama. Bahwa agama-agama hanya berbeda formatnya saja, namun substansinya sama: kepercayaan pada Tuhan, kenabian dan moralitas.

Perbedaan yang ada tidak esensial, karena faktor sejarah dan pengaruh kondisi kultural dimana agama tersebut lahir. Walaupun sangat reduksionistik, pandangan ini cukup banyak peminatnya.

Sebut saja, misalnya, Frithjof Schuon yang mengolah gagasan ini menjadi kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Agar lebih memikat, agama barunya ini ia namakan juga agama abadi (religio perennis) dan agama hati (la religion du coeur) yang konon merupakan sari-pati agama-agama (Lihat: Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart. Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991).

Sinkretisme bertualang lebih jauh, berhasrat mencairkan konflik dan mempertemukan agama-agama.

Karena semua agama membawa kebenaran dan menganjurkan kebaikan, mengapa tidak kita gabungkan saja semuanya Ambil unsur-unsur yang disepakati dari semua agama dan buang yang masih diperdebatkan. Jadilah “agama gado-gado” hasil comot sana-sini.

Sosiolog Peter L. Berger dari universitas Boston menyebutnya patchwork religion. Contohnya adalah Sikhisme di India, Baha’isme di Iran, Cuadaisme di Vietnam, atau aliran-aliran kebatinan semacam Sumarah, Pangestu, Darmo Gandhul dan sebagainya di Indonesia.

Seperti saudara-saudaranya, pluralisme juga bertolak dari keinginan mencari titik-temu antara agama-agama yang berbeda. Pluralisme memang tidak gebyah-uyah menyamakan semua agama. Sebab, andaikata semua agama sama, maka pluralitas tidak ada.

Namun, kaum pluralis tidak sekedar mengakui keberadaan berbagai agama. Lebih dari itu, mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun porsinya tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan, walaupun resepnya berbeda-beda. Terdapat banyak jalan menuju Tuhan.

Semuanya oke, tidak ada satupun yang buntu atau menyesatkan. All religions are equally effective means to salvation, liberation, and happiness, menurut paham ini.

Lalu apa bedanya dengan relativisme? Sebagaimana ditegaskan Peter Byrne, di dalam pluralisme bersemayam agnostisisme, paham bahwa kebenaran hanya bisa didekati, tetapi mustahil ditemukan.

Pluralisme agama, jelasnya, merupakan persenyawaan tiga proposisi. Pertama, semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci.

Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama harus selalu terbuka untuk dikritisi dan direvisi (Lihat bukunya, Prolegomena to Religious Pluralism, London: Macmillan Press, 1995).

Di Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan inklusivisme. Oleh para pengusungnya, gagasan ini diartikan sebagai paham keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain.

Sekilas memang nampak tak bermasalah. Apalagi jika tujuannya dikatakan untuk menemukan common platform demi terwujudnya kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama.

Namun pada hakikatnya, inklusivisme cukup berbahaya. Ia mengajarkan bahwa agama anda bukanlah satu-satunya jalan keselamatan . Tidak boleh anda menganggap penganut agama lain bakal penghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik apapun agamanya bisa saja selamat. Islam berarti penyerahan diri pada Tuhan, tidak lebih dari itu. Maka siapapun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun secara formal ia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim (Lihat: Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan Pustaka, 1997; Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001; dan Nurcholis Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2005).

Semua paham tersebut diatas sesungguhnya lebih merupakan pendangkalan ketimbang pendalaman, pengaburan ketimbang pencerahan. Jika dibiarkan, paham-paham ini akan bekerja menghabisi semua agama.  wallahu’alam bishowab

Posted by hendra sugita  on  10/03  at  12:10 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq