Membaca Peta Industri Perbukuan Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
19/03/2007

Membaca Peta Industri Perbukuan Islam

Oleh Novriantoni

Dalam lima tahun terakhir, pameran buku-buku keislaman di Jakarta selalu lebih semarak daripada pameran buku lainnya. Itulah kesan saya ketika menyaksikan beberapa kali perhelatan Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan Jakarta. Terakhir adalah Islamic Book Fair 2007 yang berlangsung 3-11 Maret lalu. Tidak hanya menjual buku, IBF tahun ini juga dimeriahkan serangkaian kegiatan bertajuk “Indahnya Syariah dalam Kehidupan”.

Dalam lima tahun terakhir, pameran buku-buku keislaman di Jakarta selalu lebih semarak daripada pameran buku lainnya. Itulah kesan saya ketika menyaksikan beberapa kali perhelatan Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan Jakarta. Terakhir adalah Islamic Book Fair 2007 yang berlangsung 3-11 Maret lalu. Tidak hanya menjual buku, IBF tahun ini juga dimeriahkan serangkaian kegiatan bertajuk “Indahnya Syariah dalam Kehidupan”. Inilah memonetum tahunan tatkala semua penerbit buku-buku keislaman panen-raya, bahkan dapat menjual kembali stok lama dengan harga murah.

Namun beberapa alumnus UIN dan penulis muda yang saya temui punya kesan khusus terhadap IBF tahun ini. ”Terlalu banyak buku terbit, sangat sedikit yang bermutu,” demikian komentar salah seorang dari mereka. Komentar serupa tidak hanya saya dengar dari satu orang, tetapi hampir mereta di kalangan terdidik Islam yang gemar membaca dan menulis seperti alumnus UIN tadi.

Tingkatan Pembaca

Komentar tadi kontras dengan antusiasme sebagian besar pengunjung pameran yang tampak dahaga akan bacaan-bacaan Islam paling mendasar. Bagi ”pembaca pemula” itu, IBF adalah tempat menghilangkan dahaga akan bahan-bahan bacaan keislaman. Karena itu, komentar ”pembaca menengah-lanjut” bahkan ”pembaca kritis” seperti teman UIN tadi tak masuk dalam pertimbangan mereka dalam membeli buku.

Artinya, ada strata pembaca buku Islam yang jelas di tengah masyarakat Indonesia saat ini. Bagi pembaca pemula, yang penting adalah banyaknya stok buku-buku keislaman paling dasar dengan beragam coraknya. Untuk mereka, sedikit gombalan pada judul dan kulit sampul buku sudah cukup menarik minat untuk melihat dan mungkin membeli.

Industri perbukuan Islam untuk pembaca jenis ini memang berlimpah. Pihak pengelola industri perbukuan tahu betul bahwa masyarakat pembaca kita adalah pembaca pemula atau sedikit menapaki jenjang menengah-lanjut; belumlah pembaca kritis. Untuk itu, kebanyakan stok buku yang mereka sediakan terkhusus untuk segmen pasar masyarakat pemula itu.

Sementara pembaca kritis yang membaca untuk kepentingan referensi ilmiah ketika berdiskusi, berdebat, meresensi, atau menulis di media massa, belumlah sebanyak pembaca pemula tadi. Itu juga menggambarkan bahwa masyarakat kita belum masuk ke tingkatan masyarakat kritis-ilmiah yang butuh kajian mendalam dan kritis terhadap bahan-bahan dan sumber-sumber bacaan keislaman. Karena itu, wajar kalau teman pembaca-kritis tadi kecewa dengan sedikitnya stok buku kalangan mereka.

Peta Buku Islam

Di samping strata pembaca yang berbeda tadi, peta perbukuan Islam juga dapat digambarkan sesuai dengan segmen pembacanya. Sebatas pengamatan singkat saya, setidaknya ada tida kategori buku-buku keislaman yang tersedia di IBF kemarin. Pertama adalah stok buku-buku bercorak Islam Puritan/Radikal. Yang dimaksud buku Islam puritan/radikal adalah buku-buku dasar keislaman yang membicarakan Islam secara taken for granted.

Buku-buku jenis ini berusaha mengetengahkan Islam dalam bentuk yang dinggap atau dibayangkan paling murni dan otentik. Buku-buku daras yang dasar dan sederhana tentang fikih, teologi, akhlak, tasawuf, termasuk dalam jenis buku ini.

Salah satu karakteristik buku Islam puritan/radikal adalah usahanya yang sungguh-sungguh bahkan tanpa tedeng aling-aling menyajikan Islam yang dianggap murni dan otentik itu ke tengah kontradiksi dunia modern. Buku-buku jenis ini tak tertarik mendialogkan Islam dengan dunia modern, agama lain, sistem dunia baru, dan penemuan-penemuan mutakhir. Bahkan, pandangannya terhadap semua itu tampak negatif. Bagi buku jenis ini, yang positif adalah Islam yang mereka bayangkan dan ketengahkan, sementara lainnya adalah subordinasi atau inferior berhadapan dengan Islam.

Berada di tengah-tengah, buku-buku Islam Moderat/Akomodasionis justru berusaha menunjukkan keluesan Islam berhadapan dengan kompleksitas dunia modern. Sembari menjalankan misi itu, buku-buku jenis ini coba mendialogkan ajaran dan nilai-nilai keislaman agar tak tampak berbenturan dengan nilai, budaya, dan peradaban modern. Buku jenis ini juga sudah menampakkan niat untuk melakukan perjumpaan dengan agama dan nilai-nilai lain sembari tetap menekankan bahwa Islam tidak kalah apiknya dibandingkan agama dan nilai-nilai peradaban modern itu.

Pada tingkatan praksis, buku-buku jenis ini tampil membela nilai-nilai keislaman yang pakem dan lama sambil berusaha mencocokkannya dengan kondisi dunia modern. Buku-buku ini misalnya membahas soal jilbab trendy, gaulnya muda-mudi Islam, pesona Islam di Barat, kemungkinan perbankan dan psikologi Islam, motivasi-diri bercorak Islam, dan lain sebagainya.

Pendek kata, buku jenis ini tak membuat pembacanya harus memilih dua kutub ekstrem antara nilai-nilai Islam yang terkadang sudah balia dengan dunia modern yang dianggap durjana. Pembaca diajak untuk tetap berislam dengan pendekatan yang berbeda agar mereka tetap dapat tune in dengan kompleksitas kehidupan dunia modern.

Sementara untuk pembaca lanjut dan kritis, buku-buku Islam Progresif/Liberal juga tersedia dengan segala keterbatasan jumlahnya. Beberapa penerbit progresif/liberal tetap menyediakan jenis-jenis buku keislaman yang kritis, ilmiah, dan progresif. Dulu, selain terkesan moderat dan akomodasionis, Penerbit Mizan dan Paramadina adalah penerbit garda terdepan dalam memasok buku-buku jenis ini. Tapi kini, yang tampak memimpin adalah Penerbit Serambi yang semarak dengan buku-buku fiksi maupun nonfiksi progresif/liberalnya.

Salah satu karakteristik jenis buku Islam progresif/liberal ini adalah usahanya untuk tidak hanya mengetengahkan Islam secara sederhana dan urakan, tapi lebih kritis, ilmiah, dan multidimensional. Soal-soal mendasar dalam Islam misalnya, disajikan dengan perspektif baru yang kritis dan ilmiah. Di sini mulai ditemukan buku-buku yang membahas Islam dari perspektif perempuan, bermuatan kritik atas klaim-klaim keislaman yang dianggap mapan, sembari menampilkan cara baru dalam melihat Islam.

Persengketaan politik pada awal Islam misalnya, tak hanya dilihat dari sisi teologisnya an sich tapi juga menggunakan analisis sosial dengan memasukkan unsur-unsur dan faktor-faktor nonteologis yang memengaruhi konflik. Buku-buku terbitan LKiS, terutama hasil terjemahan dari beberapa pemikir Islam progresif/liberal dari Timur Tengah maupun Barat adalah contohnya.

Beberapa buku Mizan juga masuk jenis buku yang progresif/liberal. Penerbit Serambi, tak pelak lagi telah mengetengahkan banyak buku jenis ini. Tengoklah buku-buku karangan Tariq Ali, Fadwa el-Gundie, Khaled Abou El Fadl, untuk menyebutkan beberapa, dan buku-buku fiksi terbitan Serambi. Semuanya mampu memuaskan dahaga kalangan pembaca kritis-profesional-terpelajar-Islam.

Quo Vadis Buku Islam Progresif/Liberal?

Yang menarik dalam industri perbukuan Islam saat ini adalah kontestasi di kalangan penerbit Islam sendiri untuk merebut segmen pasar yang tersedia dari beragam tingkatan pembaca tadi. Perebutan pada segmen pembaca pemula dan menegah-lanjut mungkin termasuk yang paling sengit. Ini mengingat banyaknya penerbit yang tak mau ambil risiko dengan mengais segmen pembaca kritis yang konon hanya sejumput.

Namun begitu, segmen pembaca kritis Islam tak mungkin statis dan tidak dapat berkembang. Saya mengasumsikan strata pembaca buku Islam tidak hanya akan terpaku pada tingkatan pemula saja. Kalau harga buku semakin terjangkau dan tingkat perekonomian bangsa makin membaik, peningkatan segmen pembaca menengah-lanjut dan kritis mungkin tak akan terbendung. Di saat itulah penerbit buku-buku Islam progresif/liberal tidak perlu berkecil hati, tampak lesu dan lusuh lagi. Semoga ini bukan sekadar harapan.

** Penulis adalah alumnus Pacasarjana Sosiologi Universitas Indonesia 2005.

19/03/2007 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Bukannya kalau mau belajar tentang sesuatu hal maka yang harus dibaca dan dipahami yang pertama sekali adalah basicnya? Lalu jika ada buku yang bertentangan disitulah letak kesenangan dalam membaca buku, karena melalui proses komparasi antara (apa yang Anda sebut puritan dan progresif/liberal) dialektika berfikir berjalan. Contoh, tak kan mungkin kita membahas post-Marxist apabila belum pernah membaca teori-teori Marxian.
-----

Posted by Harry Perdana  on  03/27  at  08:03 PM

Secara umum minat baca kita adalah masih rendah. Kalau yang dipakai alasan adalah tidak adanya uang untuk beli buku kok masih tidak pas menurut saya. Mungkin karena bangsa Indonesia lebih terbiasa dengan budaya verbal, yang kelanjutannya adalah terbiasa untuk menerima sesuai dengan lingkungan dimana kelanjutannya adalah tidak mampu untuk mempengaruhi/mengkreasi lingkungan. Jadi stigma ketakutan untuk berinisiatif baru karena ada yang menganggap ini bidah atau menyalahi tatanan. Hingga akhirnya yang ada adalah budaya ikut-ikutan. Kalau ada yang mencoba hal baru dicurigai, kalau gagal diumpat habis-habisan tapi kalau berhasil mulai ikut-ikutan membabi buta. Ini adalah typical peradapan yang kalah. Dan hanya menunggu kehancuran saja. So, kalau mau maju dan mengejar ketinggalan baca dan belajar saja sebanyak-banyaknya apapun yang positif apapaun yang baru dan dalam bidang apapun. Saya yakin kalau umat Islam demikian pasti akan survive. Amien. Semoga juga semakin banyak pengarang yang berani untuk mengungkapkan cara pandang baru dalam segala bidang. Saya tidak yakin peradapan Islam awal yang dibentuk selama sekitar 35 tahun bisa menghancurkan peradapan yang telah dibentuk hampir 600 tahun sebelumnya, jika dan kalau orang-orangnya adalah yang kaku, tidak flexible, intimidatif, dan tidak pintar.

Posted by Jarot Mursito  on  03/25  at  09:04 AM

Kalo buku-buku tentang Mujarobat...kira-kira kategorinya dimana yah...????  heheh, karena banyak juga segmennya mas!

Posted by matto  on  03/23  at  05:04 PM

Saya kira Novriantoni berupaya untuk menghilangkan kekhawatiran para pembaca kritis Islam terhadap minimnya ketersediaan buku bagi mereka. Tapi pertanyaan saya, apakah pembaca kritis yang anda maksud sebatas kumpulan orang-orang yang terpesona dengan gagasan-gagasan agains mainstream? Anda tentunya paham betul bahwa pembaca dan peminat pemikiran islam progresif/liberal adalah orang-orang yang mencoba melawan arus keislaman di Indonesia. Kalau memang betul itu yang Anda maksud, perlu dipertanyakan lagi kapasitas Anda sebagai penulis dan pemikir keislaman. Menurut saya, Anda teralu mengkotak-kotakkan pembaca. Apakah tidak mungkin pembaca kritis itu juga termasuk pembaca yang merespon secara konstruktif buku-buku Islam untuk “pembaca pemula?”

Posted by Condra Antoni  on  03/22  at  04:04 AM

Memang ada fenomena, banyak buku bernafaskan Islam terbit. Peminatnya juga banyak. Cuma, para penggemar buku tersebut kebanyakan memang dari kalangan pemula. sementara buku untuk tujuan ilmiah, kurang diminati, karena penggemarnya juga tidak banyak. Kenapa ini terjadi? Ada beberapa penyebabnya. Pertama, penulis buku Islam yang progresif/liberal tidak banyak, miskin penulis di Indonesia. sebagai contoh, di Kalbar pernah ada proyek penulisan 60 buku dari Ford Foundation tahun 2002. Temponya, selama satu tahun. dari 60 juga kebanyakan tidak bermutu, ditulis asal-asalan. akibatnya, begitu buku terbit, hanya beberapa buku saja yang memberikan kesan ilmiah dan diterima masyarakat. sementara yang lain, asal terbit, begitu diserahkan, habis ceritanya. yang tahu hanya penulis dan pihak panitia, sementara masyarakat tidak banyak tahu. di sini membuktikan, Kalbar ataupun Indonesia miskin penulis. Memang banyak penulis, tapi karya tidak monumental, atau tidak mengundang ketertarikan orang untuk membacanya.  Kedua, tulisan ilmiah, tidak menarik pembaca,terutama kalangan pemula. Karena, bahasa yang digunakan terlalu tinggi, tidak ditulis dengan bahasa sederhana. ada kawan bertanya, kenapa tulisan ilmiah tidak menarik, sementara tulisan wartawan menarik. Jawabannya, tulisan wartawan ditulis dengan bahasa sederhana, mudah dipahami, dan tidak bertele-tele. sementara tulisan ilmiah, banyak istilah yang tidak familiar di masyarakat, bertele-tele, dan sulit dimengerti. Ketiga, buku yang diminati pembaca pemula adalah buku-buku Islam yang sederhana. Ditulis dengan bahasa sederhana, singkat, dan dikemas dengan sampul menarik. memang, kalau untuk kalangan akademisi, buku seperti ini kualitasnya kurang, karena ditulis tidak menggunakan standar ilmiah. kadang tidak ada referensinya. Anehnya, justru buku seperti ini sangat diminati masyarakat awam. Tidak ada salahnya, para penulis Islam yang mengaku berpikir ilmiah, intelektual, cendekiawan Islam yang ingin memberikan pencerahan luas kepada masyarakat, jika ingin menulis, tulislah dengan bahasa sederhana, mudah dimengerti masyarakat. Jangan sok-sok ilmiah. buat apa buku tebal, referensi ratusan buku, kalau dibaca hanya dibaca segelintir orang. lebih baik ditulis sederhana, bahasa mudah dipahami, tapi maksud dan tujuan isi buku tersebut bisa diterima masyarakat.

Posted by rosadi Equator  on  03/21  at  02:03 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq