Membangun Mentalitas Umat Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
04/04/2005

Membangun Mentalitas Umat Islam

Oleh Airlangga Pribadi

Peradaban Islam dari Damaskus, Kordova, dan Tunisia, selama beberapa abad lamanya mampu mengguratkan tinta emas kebesaran peradaban dan kebudayaan umat manusia yang begitu gemilang. Pelajaran penting yang dapat kita ambil dari jejak historis tersebut: Islam dalam berbagai perwujudannya selalu menampilkan mentalitas masyarakat pada zamannya.

Sastrawan multikulturalis asal Lebanon, Amin Maalouf, dalam karyanya In The Name of Identity memberi pernyataan reflektif dan menggelitik tentang hubungan antara identitas kebudayaan, manusia, dan agama. Menurutnya, kita terlalu sering melebih-lebihkan pengaruh agama terhadap manusia dan kebudayaan, sambil kerapkali mengesampingkan pengaruh manusia terhadap wajah agama. Pernyataan ini memiliki makna luas tentang hubungan antara agama dan kemanusiaan.

Dalam perdebatan soal hubungan antara manusia dan agama, khususnya hubungan antara Islam dan penganutnya, kita sering kali terjebak dalam dua kutub ekstrem pandangan yang bersifat esensialis namun punya banyak kemiripan. Kutub pertama diwakili pandangan kalangan orientalis maupun akademisi (seperti Daniel Pipes, Bernard Lewis, dan Samuel Huntington) yang melihat Islam sebagai agama yang memiliki sumbangan besar dalam membentuk karakter budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai modernitas. Kutub lain diwakili tokoh-tokoh fundamentalis (seperti Sayyid Qutb, Taqiyuddin An-Nabhani, Abul A’la al-Mawdudi) yang memberikan jawaban-jawaban apologetik tentang keutamaan Islam dalam membentuk kebudayaan umatnya. Mereka tak lupa memberi batasan yang eksklusif bahwa Islam lebih unggul dan berbeda dengan nilai-nilai modernitas.

Ibarat musuh dalam cermin, dua pandangan yang saling bertentangan itu bertemu dalam satu karakter diskursif. Keduanya sama-sama berasumsi bahwa setiap keyakinan memiliki tatanan nilai yang tetap, tidak berubah, dan sangat memengaruhi karakter budaya pemeluknya. Hal yang dilupakan kedua wacana esensialis ini: apabila wajah agama bersifat monolitik dan tidak berubah, bagaimana mungkin kita mengenal berbagai kebudayaan dan peradaban Islam yang plural dan berbeda-beda dalam setiap momen sejarah?

Padahal, setiap sejarah—tak kecuali sejarah agama--memiliki karakter yang khas, yang ditandai oleh pola synchronic (ketersambungan) dan pola diachronic (keterputusan) seperti dikemukakan Fernand Braudel. Sejarah dunia muslim menunjukkan bahwa masyarakat muslim ikut menciptakan wajah Islam sesuai dengan keadaan mentalitas diri masing-masing. Pada tiap momen sejarah terdapat berbagai ekspresi peradaban Islam yang saling berbeda dan tidak pernah sama, walau tetap dihubungkan oleh warisan simbol, khasanah tradisi, dan keyakinan khas.

Saat ini media massa menyodorkan citra Islam yang bersifat radikal, eksklusif, anti HAM dan cenderung keras, seperti Islam Taliban. Tapi pada abad 9-10 M lalu, peradaban Islam yang dibangun oleh Dinasti Buwaihi di Bagdad justru telah menghasilkan wajah peradaban yang kosmopolit, dan menjadi tempat sirkulasi ide-ide filsafat Yunani. Dengan itu, mereka justru memaknai iman Islam mereka dalam semangat toleransi dan inklusivitas yang menandai masa renaisans Islam (Joel L. Kraemer: 1986).

Peradaban Islam dari Damaskus, Kordova, dan Tunisia, selama beberapa abad lamanya mampu mengguratkan tinta emas kebesaran peradaban dan kebudayaan umat manusia yang begitu gemilang. Pelajaran penting yang dapat kita ambil dari jejak historis tersebut: Islam dalam berbagai perwujudannya selalu menampilkan mentalitas masyarakat pada zamannya. Ketika masyarakat Islam tidak dalam posisi marjinal dan punya rasa percaya diri yang tinggi, maka mereka akan mampu menampilkan wajah Islam yang terbuka, progresif, kosmopolit, dan berkarakter liberal. Sebaliknya, ketika posisi masyarakat muslim terpuruk dan tertekan, maka yang menonjol justru karakter masyarakat Islam yang paranoid, eksklusif dan reaktif. Kondisi ini juga akan memunculkan wajah Islam yang tertutup, anti dialog, dan cenderung menggunakan bahasa kekerasan karena rasa putus asa yang mendalam. 

Makanya, kini saatnya untuk menentukan dan mengonstruksi peradaban Islam mendatang. Kondisi mentalitas masyarakat muslim akan memberi andil sangat besar untuk melahirkan wajah Islam masa mendatang. Ketika dunia telah bergerak cepat, bahkan berlari tunggang langgang dalam proses perubahan global yang begitu cepat, masyarakat muslim juga dituntut untuk merevitalisasi diri dan membangun identitas dirinya sebagai warga dunia dengan penuh percaya diri.

Namun itu tidak mudah. Kita juga kerap kali mendengar keluhan-keluhan pesimistik tentang hantaman-hantaman budaya terhadap umat Islam, akibat arus besar modernitas dan globalisasi. Perubahan yang berlangsung tergopoh-gopoh itu, selalu dimaknai sebagai hantu yang akan merongrong iman, kepercayaan, dan nilai-nilai fundamental agama. Umat Islam merasa terdesak dalam kepungan arus globalisasi, sehingga tergoda untuk mengambil posisi yang defensif demi membendung pengaruh multikulturalisme, wacana pembebasan, sampai budaya pop. Mereka sering kali meratapi begitu kuatnya penetrasi budaya global yang menghantam nilai-nilai suci yang mereka genggam erat-erat. Padahal, pada titik inilah umat Islam mestinya dapat membangun pahatan-pahatan indah sejarahnya di masa depan. Saat ini, umat Islam didorong terus menerus untuk memaknai kembali dirinya, dan melakukan penafsiran atas isu-isu seperti hubungan agama dan negara, kesetaraan gender, hak-hak kaum perempuan, kebebasan berpikir, dialog antar-iman, demokratisasi politik dan budaya, dan penerimaan atas warna-warni identitas manusia.

Kemampuan untuk merekonsiliasikan diri secara kreatif dan cerdas dengan berbagai tantangan perubahan global tersebut, tentu akan menciptakan tekstur peradaban Islam yang progresif, liberatif, dan toleran. Agama yang lahir dari rahim komunitas muslim yang percaya diri dan terbuka terhadap setiap kemungkinan perubahan, akan menciptakan peradaban yang progresif dan terbuka.

Perjalanan membangun komunitas muslim yang inklusif, kreatif, dan berkarakter kosmopolit tentunya bukan perjalanan mudah. Jalan terjal, berliku, dan mendaki merupakan tantangan yang harus dihadapi. Buktinya, sampai saat ini wacana-wacana liberal dan inklusif masih menjadi subaltern knowledge (pengetahuan terpinggirkan) di tengah dominasi narasi pengetahuan yang patriarkhis, anti liberal, dan eksklusif. Makanya, dari kalangan agen inetelektual muslim liberal diperlukan waktu panjang dan kegigihan untuk membangun pemaknaan yang liberatif atas Islam. Yakinlah, jaringan komunikasi intercultural dengan peradaban lain akan menyemai benih-benih keterbukaan, pembebasan, dan perubahan di dalam masyarakat Islam. []

Airlangga Pribadi, Staf Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Associate Researcher Soegeng Sarjadi Syndicated

04/04/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq