Memetik Buah Warta Kebencian - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
27/11/2005

Memetik Buah Warta Kebencian

Oleh Pormadi Simbolon

Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba “menjual” dan mewartakan ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan, penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya.

27/11/2005 19:01 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Agama kita yang benar ... agama lain sesat

Saya yakin para pendeta ... atau semua guru agama ( Islam, Kristen, Budha, Hindu, dsb) sebatas menumbuhkan keyakinan IN (Fanatisme kedalam), meskipun dengan hasil EX yang salah sehingga tercipta kebencian antar pemeluk agama ct :  begitu bencinya pemeluk agama kristen / katholik terhadap pemeluk agama Islam begitu sebaliknya (dan bahkan kebencian ini muncul pada saat mereka masih sangat kecil) ~siapa yang harus dipersalahkan?~

masih menurut keyakinan saya, tidak perlu di ubah pelajaran menumbuhkan fanatisme kedalam tsb, hanya yang perlu ditambah adl pelajaran saling menghormati sesama dan antar umat beragama, di sini termasuk tugas dari orang tua masing - masing ... sebab kebencian tsb muncul bukan pada saat mereka dewasa tetapi ada tunas kebencian pada saat mereka masih kecil.

Rgds Nugtasa

#1. Dikirim oleh Nugtas Saputra  pada  28/11   12:12 AM

Pendorong-penyebab kekerasan agama, seperti yang disampaikan pak Pormadi Simbolon, salah satunya adalah doktrin eksklusif-kebencian yang disampaikan para pemuka agama. “Warta Kebencian” inilah yang mendorong umat untuk menganggap bahkan memaksakan diri secara fanatik sempit bahwa agamanya paling benar dan yang lain salah, sesat, kafir dan dilaknat Tuhan.

Selanjutnya, umat yang terjangkit paham seperti ini, bersikap sombong, suka mencemooh-membenci, sekaligus bercita-cita menghancurkan agama lain yang dianggap sesat-kafir itu. Umat yang eksklusif ini malas, sulit atau tidak mau berjihad secara sportif, bahkan tidak rela sekaligus ketakutan kalau agama lain maju dan berkembang. Segala cara, seperti teror, adu domba, perang, monopoli tafsir, manipulasi ayat, menjelek-jelekkan ajaran, saling memfitnah dan lain-lain, dilakukan untuk memenangkan doktrin agamanya. Sejarah telah mencatatnya sebagai kekerasan agama.

Sampai sekarang, kekerasan agama dengan segala modelnya masih terjadi, tak terkecuali di Indonesia. Kekerasan agama itu semakin menjadi apabila ada perselingkungan agama dengan politik. Menurut saya, kasus pelarangan pendirian tempat ibadah, kasus penyerangan-pengrusakan terhadap kelompok aliran agama, pembunuhan sampai peledakan bom atas nama agama, penetapan peraturan yang mendiskriminasi agama lain dan seterusnya, merupakan imbas dari “pertarungan politik” yang dimainkan oleh tokoh-tokoh agama. Padahal kekerasan agama semacam itu sungguh sangat merugikan Indonesia, bangsa yang plural ini.  Untuk itu, Indonesia dengan Pancasilanya, umat beragama dan masyarakat pada umumnya harus diselamatkan dengan menghindarkan mereka dari “doktrin-warta kebencian” itu. Sudah semestinya dimunculkan pemuka-pemuka agama yang mampu menyampaikan agama secara inklusif-pluralis, secara liberal-progresif.

Pemunculan tokoh-tokoh semacam itu bisa melalui berbagai cara. Kali ini, saya lebih fokus pada media televisi. Bagaimana program-program acara televisi ini secara intensif menghadirkan tokoh-tokoh agama yang inklusif-pluralis. Tayangan televisi yang ada akhir-akhir ini, menurut saya masih banyak menyampaikan pesan-kesan agama yang eksklusif serta kurang mendidik-mendewasakan umat dalam beragama. Lihat saja tayangan sinetron maupun acara mimbar-mimbar agama televisi. Saya sendiri mengkritik sekaligus menyarankan agar acara televisi yang menayangkan “Drama Agama” yang lebih bernuansa mistis-tak realitis dan aneh-aneh itu, serta acara mimbar-mimbar agama yang eksklusif-tekstual segera dikurangi-diakhiri dan diganti dengan tayangan yang lebih mendidik umat beragama.

Bukankah pemahaman agama yang inklusif-pluralis sejatinya sangat dibutuhkan masyarakat dan bangsa yang plural ini ? Bukankah televisi sampai sekarang masih menjadi media yang paling berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan masyarakat ? Karena itu mari kita letak-perankan televisi sebagai media pembangun keberagamaan masyarakat. Sebagai wujud usahanya, kita dukung televisi untuk menayangkan program acara pendewasaan beragama dengan menghadirkan pemuka-pemuka agama yang inklusif dan pluralis dalam berbagai acara, seperti mimbar agama, sinetron dan lain-lain.

Tampaknya dengan usaha seperti inilah, masyarakat-umat beragama semakin sadar dan mengerti bahwa agama itu untuk kebaikan bukan kejahatan, untuk kedamaian bukan peperangan, untuk kerukunan bukan perpecahan, untuk kemajuan bukan kemunduran, untuk perlindungan bukan pembantaian, untuk kemakmuran bukan pengrusakan, untuk ketentraman bukan kekerasan dan untuk rahmatan lil alamin bukan la’natan lil alamin. Semoga.
-----

#2. Dikirim oleh Sarwanto  pada  03/12   07:13 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq