Menafsir Teks secara Kritis - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
22/06/2003

Menafsir Teks secara Kritis

Oleh M. Khoirul Muqtafa

Perilaku keberagamaan umat beragama tak bisa lepas dari pengaruh teks agama berikut penafsirannya. Wajar kalau kemudian fenomena radikalisme, fanatisme, fundamentalisme, bahkan ekstremisme umat beragama banyak dituduhkan bermula dari penafsiran teks yang serba formalistik-simbolik sehingga terkesan kaku, rigid, dan tidak fleksibel. Pemahaman yang muncul seringkali lebih bersifat literal-verbal, tekstual, bukan kontekstual. Akibatnya, teks agama hanya dipahami pada tataran permukaan. Sedang hal yang bersifat mendasar terabaikan.

Dalam tradisi umat beragama, teks selalu menempati posisi sentral. Teks senantiasa menjadi rujukan utama bagi laku beragama mereka. Ia kerap berfungsi sebagai hakim atas problematika yang dihadapi. Ikhwal ini karena teks bukanlah hanya berupa lembaran-lembaran kertas, tapi juga berarti orisinalitas dan otentisitas.Teks dianggap memiliki otoritas (autorithy) yang mutlak untuk mengadili para pembangkang teks karena pengarangnya (the author) adalah Tuhan atau Nabi. Saking kentalnya merasuk, tak heran bila teks kemudian mampu menentukan langgam serta gaya hidup (life style) umat beragama.Pada aras ini, teks telah menjadi ikon pembentuk peradaban dan budaya masyarakat. Peradaban Arab-Islam misalnya sering disebut dengan peradaban teks (Nasr Hamid Abu Zayd: 1993).

Dengan demikian bisa dipastikan perilaku keberagamaan umat beragama tak bisa lepas dari pengaruh teks agama berikut penafsirannya. Wajar kalau kemudian fenomena radikalisme, fanatisme, fundamentalisme, bahkan ekstremisme umat beragama banyak dituduhkan bermula dari penafsiran teks yang serba formalistik-simbolik sehingga terkesan kaku, rigid, dan tidak fleksibel. Pemahaman yang muncul seringkali lebih bersifat literal-verbal, tekstual, bukan kontekstual. Akibatnya, teks agama hanya dipahami pada tataran permukaan. Sedang hal yang bersifat mendasar terabaikan.

Pola pikir umat beragama cenderung ter(di)bentuk (constructed) menjadi kelompok yang berbudaya diam (silence culture), tidak kritis ketika berhadapan dengan teks. Sikap reaksioner dan emosional acapkali muncul tatkala teks ditafsirkan berbeda dari cara pandang yang telah mapan. Bahkan tak jarang teks agama menjelma bak algojo yang siap menjemput nyawa si (tertuduh) pembangkang. Ironis! Padahal teks semestinya difungsikan untuk membimbing umat beragama menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam situasi demikian, tentunya sangat urgen menafsir kembali teks agama secara kritis. Bagaimanapun juga, perbincangan seputar umat beragama tidak bisa lepas dari perbincangan teks. Pun demikian, ini bukan berarti sebuah afirmasi untuk kaum tekstualis dan skripturalis malah sebuah tantangan untuk selalu melakukan kontekstualisasi terhadap teks sehingga up to date dan tidak basi. Untuk itulah desakralisasi sebagai cara pandang terhadap teks maupun pemikiran keagamaan layak dikedepankan sebagai upaya mendobrak sakralisasi (al-taqdis) yang sekian lama menghegemoni kesadaran umat beragama.

Desakralisasi di sini menekankan adanya sebuah dekonstruksi sebagai salah satu proses kritik dari dalam dan strategi untuk membangun kritisisme dan kemajuan berfikir. Dekonstruksi akan menampakkan aneka ragam aturan yang sebelumnya tersembunyi yang menentukan teks. Ini dimaksudkan untuk menggali lebih jauh lagi makna-makna dan pesan-pesan teks yang bersemayam dan mengendap jauh didalam teks karena untuk menuju kontekstualisasi teks (rekonstruksi) harus ada dekonstruksi teks. Sehingga—meminjam kategori yang sering dipakai oleh Arkoun—batas-batas antara hal yang terpikirkan (thinkable) dan hal yang tak (belum) terpikirkan (unthinkable) meleleh. Tak ada lagi penjarakan dan pembedaan antara keduanya.

Intertekstualitas

Dalam memahami sebuah teks, menarik bila kita menelaah pemikiran Julia Kristeva, seorang pemikir post-strukturalis Perancis. Dalam kedua bukunya: Revolution in Poetic Language (Kristeva: 1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (Kristeva: 1979) ia memperkenalkan istilah ‘intertekstualitas’ sebagai kunci untuk menganalisis sebuah teks. Menurutnya, relasi dalam sebuah teks tidaklah sesederhana relasi-relasi antara ‘bentuk’ dan ‘makna’ atau ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified) sebagaimana dipertahankan oleh semiotika konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu. Sebuah teks dibuat di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu mesti ada relasi-relasi antara satu teks dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu.

Kristeva menandaskan bahwa sebuah teks tidak berdiri sendiri, tidak mempunyai ‘landasan’ atau kriteria dalam dirinya sendiri—tidak otonom dalam pengertian bahwa teks tersebut, eksis berdasarkan relasi-relasi atau kriteria-kriteria yang internal pada dirinya sendiri, tanpa ‘dilatarbelakangi’ oleh sesuatu yang eksternal—melainkan sebuah permainan dan mosaik dari kutipan-kutipan dari teks yang mendahuluinya. Sebuah teks hanya dapat eksis bila di dalam ruang teks tersebut, beranekaragam ungkapan-ungkapan yang diambil dari teks-teks lain silang-menyilang dan saling menetralisir satu sama lain.    

Senada dengan Kristeva, Mikhail Bakhtin, seorang pemikir Rusia, mengatakan bahwa tidak ada ungkapan yang tidak berkaitan dengan ungkapan lainnya. Secara implisit Bakhtin menerangkan bahwa sebuah teks diungkapkan atau diproduksi dalam suatu ajang komunikasi, entah dalam bentuk karnaval atau dialog. Sebuah teks bukanlah dihasilkan oleh seorang pengarang yang ‘bergumam’, bicara pada dirinya sendiri, dalam suatu monolog: sebuah teks bukanlah refleksi diri pengarang secara utuh dalam suatu proses ‘referensi diri’ (self reference).

Di sinilah faktor historisitas dengan latar sosio-kultural, politik, ekonomi, struktural yang mendasari turunnya sebuah teks mesti diperhatikan. Karena sebuah teks tidak akan turun atau dibuat tanpa sebab-sebab tertentu (asbab an-nuzul) atau, sebagaimana disitir oleh Francis Bacon dalam karyanya De Augmentis Scientiarum (1605), setiap teks mempunyai roh-zamannya (zitgeist). Historisitas tidak hanya meliputi ruang dan waktu melainkan sekaligus ia adalah sebuah teks itu sendiri yang berkaitan erat dengan teks lainnya yang akan menentukan makna teks.

Satu hal yang juga layak menjadi catatan adalah, dalam menangkap makna sebuah teks diperlukan tidak hanya pemahaman gramatika bahasa, melainkan memerlukan data dan imajinasi konteks sosial serta psikologis, baik dari sisi pembicara (pengarang) maupun pendengar (pembaca). Dalam bahasa Fazlur Rahman, semua ayat (al-Quran) yang turun, sebagaimana ayat-ayat itu diwahyukan pada waktu tertentu dalam sejarah, beserta keadaan yang umum maupun khusus yang menyertainya, menggunakan ungkapan yang relatif mengenai keadaan tersebut. Pembaca atau penafsir harus mampu memahami implikasi yang tersirat dari pernyataan al-Quran, sewaktu pernyataan itu diwahyukan, dalam menentukan makna utamanya.

Seorang penafsir haruslah bersikap terbuka dan objektif dalam menafsir teks. Ia juga harus bisa melepaskan diri dari kondisi dan beban psikologis yang traumatik sehingga penafsiran ulang terhadap sebuah teks menjadi semakin kritis, objektif, dan kontekstual.

Menafsir sebuah teks tentu saja memerlukan kehati-hatian dari si penafsir teks. Me-reaktualisasikan teks agama bukan berarti menafsirkan teks secara serampangan melainkan agar teks-teks tersebut selalu eksis seiring dengan perubahan zaman yang serba cepat. Apalagi teks yang selama ini dipahami adalah teks yang sudah terpisah dari kondisi objektif-historisnya. Teks mesti dimaknai kembali secara lebih luas untuk menghindari pemahaman yang monolitik, tidak variatif dan beragam. Sebab hal ini hanya akan menggiring ke dalam bentuk pemikiran dan pemahaman yang teologis-dogmatis. Kita juga mesti bersikap arif untuk menerima perbedaan penafsiran, karena sesungguhnya ketika teks telah menjadi sentral peradaban atau kebudayaan maka dapat dipastikan tafsir dan interpretasi akan beragam sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat bersangkutan. Bukankah perbedaan merupakan sunnatullah?

22/06/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

kepada Mas Kholidul Adib, saya sependapat bahwa kepentingan politik selalu mewarnai setiap berubahan di kurun waktu tertentu, tetapi tidaklah arif jika kita menilai kepentingan politik selalu ada tendesi subyektif, dalam artian untk kepentingan pribadi, kelompok dan gologan tertentu.
Dalam konteks penyeragaman bacaan dan tulisan pada zaman Usman, merupakan bentuk kearifan politik sebagai usaha mempersatukan umat Muslim yang diujung perpecahan ditengah meruncingnya perdebatan sekitar otentisitas bacaan Al-Qur’an, bukti dari kearifan politik masa itu adalah,
Pertama, bahwa Usman hanya menulis ulang dari berbagai kumpulan mushaf yang telah ditulis para sahabat di zaman Rasul, rujukan kepada Bahasa Quraish digunakan pada saat menemukan adanya berbagai varian bacaan yang tidak dapat diakomodasi antara bacaan yang satu dengan yang lain.
Kedua, mengenai ahrufus sab’ah, justru Usman mengakomodir semua varian ahrufussabah dengan jalan menuliskan Al-Quran sebanyak 5 Mushaf yang berbeda-beda dan dikirim di negeri yang berbeda-beda disesuaikan dengan bacaan yang digunakan di daerah tersebut, bahkan Usman mengirim Qari senior dari kalangan sahabat untuk mengajarkan bacaan yang ada dalam masing-masing mushaf.
Ketiga, mengenai varian mushaf dari beberapa sahabat senior yang dibakar, adalah hasil mufakat dari seluruh sahabat. hanya Ali pada waktu itu yang tidak setuju karena tidak dilibatkan dalam tim Lajnah karena berrada di Azerbaijan mengikuti ekspedisi. tetapi kemudian hari Ali berbai’at atas kesetujuannya dengan mushaf Usman.
jadi tidak benar jika Usman dikatakan sebagai tokoh Quraisasi al-Quran, justru Usman adalah pemersatu umat.

Posted by Saifuddin  on  03/13  at  12:20 PM

Secara historis, teks mushaf Alquran memang perlu dikritisi. Namun kritik ini hanya dapat dilakukan sebatas teksnya saja, bukan qiraatnya yang sudah diakui mutawatir. Karena Alquran yang turun dari Allah kepada Nabi Muhammad tidak dalam bentuk teks tertulis, melainkan berupa susunan lafal yang mengandung makna. Karena itu, yang sakral dari Alquran adalah lafal dan susunan kalimatnya, bukan teksnya. Dengan demikian, prilaku umat Islam yang cendrung mensakralkan mushaf, sehingga memegangnya pun harus berwudhu, dapat dikategorikan sebagai sakralisasi sesuatu yang profane. Hal ini tidak jauh beda dengan mengkramatkan makam-makam para wali.

Posted by tuningrat  on  11/27  at  11:42 PM

Kritik Historisitas Alquran

Saya sepakat dengan Alif Qiqi Mubarok bahwa Alquran, dalam beberapa hal memang perlu dikritik terutama aspek kesejarahannya. Namun bukankah Alquran oleh umat Islam diyakini sebagai firman Tuhan? Keyakinan inilah yang membuat umat beragama menjadikan teks-teks keagamaan sebagai sesuatu yang sakral, mutlak, otoritatif, dan bahkan dalam beberapa hal, mistis? Kenapa umat beragama tidak berani melakukan reserve atau setidaknya kritik terhadap Alquran, padahal kalau melihat sejarahnya, kitab ini diselimuti kontroversi?  Kenapa teks perlu dikritik. Sudah ditegaskan bahwa teks itu hadir tidak lepas dari relasi kuasa sejarah kehadirannya, termasuk kepentingan politik rezim yang menghadirkannya. Memang, teks-teks keagamaan bak magnit. Mungkin, karena ia menawarkan spiritualitas, hingga membuat umat beragama tak kuasa menampiknya. Alquran berhasil menyedot perhatian umat dan menjadi remot kontrol nalar umat beragama dengan menendang rasionalitas. Rasionalitas yang konon tak bertubrukkan dengan teks-teks keagamaan, dalam praktiknya ternyata tak mampu berbuat banyak. Rasionalitas dipaksa tunduk pada teks. Kalau menolak, kata umat beragama, maka akan mendapat laknat Tuhan. Kondisi umat beragama yang memprihatinkan tersebut itulah yang membuat saya mengapresiasi gagasan Ali Harb tentang pentingnya kritik teks. Dalam hal ini, menarik sekali jika kita mau mengkaji gagasan Mohamad Abid al-Jabiry, yang mengusulkan tiga metode dalam membaca dan mengkritisi sebuah teks, yakni: Pertama, metode strukturalisme. Metode ini melihat teks apa adanya, dengan meletakkannya sebagai satu kesatuan sistem. Pertamakali yang perlu dilakukan adalah melokalisir pemikiran produsen teks (penulis, sekte, atau aliran pemikiran tertentu) pada satu fokus. Dalam kerangka problematika ini mencakup berbagai perubahan yang menggerakkan dan membatasi pemikiran produsen teks. Oleh karena itu, makna tidak bisa merepresentasikan sebuah makna. Dan itu hanya dapat ditangkap melalui pembacaan kritis terhadap teks. Kedua, analisa historis. Pendekatan ini berupaya menghubungkan pemikiran pemilik teks dengan kondisi sejarahnya, budaya, politik dan seterusnya. Hal ini penting setidaknya dua hal: (i) keharusan memahami historisitas; dan (ii) genealogi pemikiran. Cara kedua ini juga dimaksudkan untuk menguji kebenaran validitas dan kebenaran logis konklusi pendekatan strukturalisme. Ketiga, kritik ideologi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap fungsi ideologis, fungsi sosial-politik yang dikandungnya, atau yang sengaja dibebankan pada sebuah teks dalam sistem pemikiran (episteme) tertentu. Menyingkap fungsi ideologi sebuah teks adalah jalan untuk menjadikan teks itu kontekstual dan dapat clear untuk diposisikan dalam konteks sejarah tertentu (Mohamed Abid al-Jabiry: 2000).  Berpegang pada anlisa teks yang ditawarkan Mohamed Abid al-Jabiry tersebut, maka dapat diketahui bahwa keberadaan sebuah teks itu tidak lepas dari (dipengaruhi) oleh konteks (relasi kuasa). Artinya kalau kita kaitkan dengan teks Alquran, maka teks Alquran itu mempunyai keterbatasan pada lokalitas Arab ketika Alquran diucapkan oleh Nabi Muhammad. Hal ini bisa dimengerti misalnya ketika kita mengkaji Alquran, maka di situ kita akan melihat betapa banyaknya tradisi Arab baik itu berupa sistem ritual seperti shalat, puasa, haji, maupun berupa aturan sosial/hukum seperti hukuman potong tangan, tradisi berjilbab, hukum waris, dst. Realitas Alquran yang demikian itu adalah bukti bahwa Alquran itu heterodoks, bukan ortodoks. Walau saya akui, bahwa oleh Islam, tradisi ritus, dan sistem hukum Arab tersebut di sana-sini ada juga yang dipermak menyesuaikan dengan kebutuhan. Walau Alquran mempunyai keterbatasan secara historis, namun ia juga tidak terbatas pada tataran moral-etik atau kandungan nilainya akan tetap abadi. Dan setiap teks pasti mempunyai keterbatasan dalam hal historisnya, tapi juga memiliki ketidakterbatasan dalam hal moral-etik dan nilai univeralnya. Teks apa pun itu Nah, karena Alquran itu mempunyai keterbatasan secara harfiah yakni keterikatanannya pada lokalitas Arab, realitas 14 abad silam, maka tidak fair ketika harus dipaksakan untuk realitas sekarang. Jangankan untuk lokalitas di luar Arab seperti Indonesia, untuk lokalitas Arab di era sekarang sendiri pun banyak yang tidak cocok. Suburnya kritik tradisi yang dilakukan oleh para pemikir Arab sekarang seperti al-Jabiry, Ali Harb, Hassan Hanafi, Nash Hamid Abu-Zayd, adalah bukti bahwa orang Arab sendiri sekarang melakukan gugatan terhadap upaya tekstualisasi Alquran. Lantas kenapa, kita, orang Indonesia, merasa tidak perlu melakukan kritik terhadap teks Alquran? Padahal, kritik itu kan bertujuan baik. Karena tidak ada kritik yang bertujuan jelek. Ingat, kritik itu bukan berarti menghancurkan, atau meninggalkan Alquran. Karena maksud dari kritik hanyalah untuk melihat sebuah obyek dengan apa adanya, melihat celah-celah fakta yang selama ini terselimuit. Sehingga publik menjadi paham dan mengerti tentang hakikat obyek yang sebenarnya.  Dalam studi kritik Alquran, di luar kajian kosa kata dan sistem semantiknya, adalah studi kritik historisitas Alquran. Dalam studi kritik historisitas Alquran, pertama kali yang perlu dilakukan adalah mengkritisi pembukuan Alquran oleh Khalifah Usman Ibnu Affan (kemudian kita sebut mushaf usmani), dengan menjadikan dialek Quraisy sebagai patokan dalam penulisn naskah Alquran. Sebab, imbas dari pembukuan ini sangat besar pada ortodoksi Islam. Pun dengan danya pembukuan Alquran dengan dialek Quraisy tersebut, juga telah menjadikan Alquran yang mulanya menjadi kontestasi pembacaan para sahabat, kemudian berubah hanya menjadi monopoli baca bangsa Quraisy.  Adalah Muhammad SAW., seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasi nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas lokal Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi Muhammad tampak tidak kreatif dan hanya mem-bebek pada bangunan nlar dan tradisi yang dibangun Muhammad. Padahal, realitas terus berjalan, mengalami historisitas.  Dan dari sekian tumpuk daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad tersebut, yang paling tidak kreatif adalah pembukuan Alquran, oleh Usman, dengan dialek Quraisy, dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik Sahabat yang lain, seperti mushaf milik Abdullah Ibn Mas’ud, mushafnya Ubay Ibn Ka’ab, mushafnya Abdullah Ibnu Umar, mushafnya Abu Musaal-Asyari, dan mushaf milik Abdullah ibn Abbas. Semua mushaf milik sahabat tersebut, oleh Usman, dibakar dan dihilangkan pengaruhnya. Walau pembukuan Usman ini mendapat kritik cukup pedas, tapi Mohamad Arkoun menilai pembukuan Usman ini telah menghasilkan karya agung utama sastra (adab) yang kemudian menggugah dan mengarahkan segenap produksi intelektual Arab-Islam.  Kenapa pembukuan Alquran oleh Usman saya nilai sebagai tindakan yang tidak kreatif? Sebab, sikap Usman tersebut sangat tidak sesuai dengan hasits Nabi; bahwa Alquran itu diturunkan dalam tujuh huruf. Hadits ini dikenal cukup mutawatir dan masyhur, di antaranya diriwayatkan oleh Umar Ibn Khattab, Hisyam ibn Hakim, dan Ubay ibn Ka’ab. Para sarjana ulum alquran memang berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkan maksud dari “tujuh huruf”. Namun, Abu Bakar al-Wasithy, dalam kitabnya, al-Irsyad fi al-Qira’at al-Asy’ari, berpendapat: “Dalam Alquran terdapat 50 macam bahasa. Di antaranya, selain bahasa Arab, adalah bahasa Pers, Romawi, Nabath, Habsyi, Suryani, Ibrani, dan Qibti.” Sementara As-Suyuti dalam al-Itqon fi Ulum Alquran berpendapat: “Ada bahasa selain bahasa Arab dalam Alquran, tepatnya dalam pembahasa yang ke-38” (as-Suyuti: 1398 H: 177).  Yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa standarisasi Usman dalam pembakuan Alquran dengan menjadikan dialek Quraisy sebagai standar kebenaran dialek Alquran adalah hanya faktor politik, untuk memperkuat hegemoni Quraisy atas nalar bangsa lain melalui jalur teologis keislaman. Sehingga, saya katakan, bahwa jika ada orang yang tidak berani melakukan kritik teks Alquran yang diproduksi oleh orang Arab Quraisy itu berarti telah terperangkap dalam permainan politik bangsa Arab-Quraisy. Akhirnya, yang terjadi adalah kuatnya ortodoksi Islam dengan menajdikan Arab sebagai patokan kebenaran berislam.  Saking kuatnya hegemoni nalar Arab-Quraisy atas nalar Islam hingga membuat umat Islam tidak sanggup membedakan mana nilai-nilai luhur agama (dieny) dan mana saja yang budaya/tradisi (tsaqafy). Di situlah, pentingnya kita melakukan kritik Alquran, termasuk membongkar sejarah pembukuan mushaf usmani yang disinyalir mengandung unsur politis.

M. Kholidul Adib, Pemimpin Redaksi Jurnal Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
-----

Posted by M Kholidul Adib Ach.  on  01/14  at  01:01 PM

Runtuhnya Hegemoni Alquran:  Keluar dari Arabisme & Tekstualisme Oleh : Alif Qiqi Mibarok

Tulisan ini mencoba ikut meramaikan gagasan tafsir kritis Alquran. Terutama berkaitan dengan historisitas Alquran.  Satu hal yang perlu dikaji kenapa kebanyakan umat Islam meyakini Alquran (Alquran yang kita terima sekarang adalah mushaf usmani) sebagai firman Tuhan di mana Alquran begitu sakral, transenden, dan mutlak sehingga kita seakan dilarang melakukan kritik dan reserve.

Pelarangan kritik Alquran hanyalah siasat politik bangsa Arab-Quraisy (termasuk para inteleknya seperti Imam Syafi’I sebagai strategi untuk memperkuat dan mempertahankan hegemoninya atas nalar Islam. Sehingga, kritik Alquran juga bisa dipahami sebagai upaya untuk mruntuhkan hegemoni Alquran yang produksi bangsa Quraisy itu. Karenanya, ketika ada orang yang mensakralkan Alquran berarti ia telah terperangkap siasat Arab-Quraisy tersebut.  Karena itu, tidak ada alasan untuk melarang kritik Alquran.

Dalam kritik Alquran, pertama kali yang harus dikritik adalah studi Alquran yang hanya terkubang pada wilayah teologis-dogmatis, sehingga membuat umat terlelap dalam mistisisme tak terarah. Di sini, kita harus menggeser studi Alquran dari normatif-teologis menuju rasionalisme-kritis dan dekonstruktif. 

Studi ini terasa semakin menggairahkan setelah terbantu teori teks dan metode kritik wacana dari berbagai aliran filsafat kontemporer seperti strukturalisme dan post-strukturalisme, semiotika, linguistik, antroposentris, hermeneutika, dekonstruksi, arkeologi, dan genealogi. Walau kita tidak menganggap teori-teori tersebut sebagai satu-satunya teori paling valid untuk studi Alquran. Namun, setidaknya, teori-teori tersebut bisa melengkapi teori-teori klasik yang sudah dikenal sebelumnya.

Klarifikasi Historis

Satu hal cukup penting dalam studi ini adalah kritik nalar dan kritik teks. Kritik nalar bertujuan mengkritik nalar umat yang terhegemoni teks hingga tidak bisa menerima kebenaran di luar teks yang dibacanya.  Apalagi setiap teks punya strategi untuk mempertahankan kebenaran yang dikandungnya. Sementara kritik teks bertujuan untuk membongkar ideologi apa yang menyertai teks, mengingat kehadiran teks terkait dengan relasi kuasa yang melingkupinya. 

Arkoun pernah mengajak umat Islam untuk melakukan klarifikasi historis (al-ida’ah at-tarikhiyyah) dengan memikir ulang kesejarahan Islam selama empat belas abad, termasuk kodifikasi Alquran di masa Khalifah Usman ibn Affan, kemudian dilanjutkan pada transforamasi nalar Islam modern. “Di sinilah islamologi Terapan Saya berpijak,” kata Arkoun (Mohammed Arkoun: 2002).

Komentar Arkoun tersebut menyadarkan kita bahwa kritik historitas Alquran itu sangat penting, terutama kritik terhadap pembukuan Alquran oleh Usman ibn Affan. Ada kepentingan apa dibalik pembukuan (unifikasi dan stabilisasi) Alquran dengan dialek Quraisy oleh Usman.

Ini penting dikaji karena dampak dari pembukuan ini sangat besar pada ortodoksi Islam. Mengingat pascapembukuan tersebut, nalar umat Islam menjadi tumpul karena diharuskan tunduk pada mushaf sang Imam (mushaf usmani), yang oleh Usman, selaku Khalifah, dilegalkan sebagai satu-satunya mushaf terabsah. Padahal pembukuan ini mendapat tantangan dari sebagian sahabat, terutama para sahabat dari selain suku Quraisy seperti Abdullah ibn Mas’ud, seorang sahabat keturunan Bani Hudzail.

Dari sinilah, muncul kecurigaan bahwa dibalik pembukuan Alquran tersebut sarat muatan politik kelompok Quraisy untuk menghegemoni nalar Islam, dalam ranah politik, agama dan budaya (Khalil Abdul Karim: 2002). Asumsi itu benar jika kita kaitkan dengan banyaknya umat Islam yang mengidentik-kan apa saja yang asal berbau Arabisme sebagai “Islam yang benar dan otentik.” Sehingga mengesampingkan kesahihan agama lokal, termasuk proses sinkretisme.

Saking kuatnya hegemoni nalar Arab-Quraisy atas nalar Islam telah membuat umat Islam tidak mampu membedakan antara mana nilai-nilai agama (dieny) dan mana yang budaya/kultur atau sejarah (tsaqafi/tarikhi).  Artinya, melalui pembukuan Alquran tersebut, Usman bukan hanya membuat Alquran menjadi wilayah yang tak bisa disentuh, tapi juga menimbulkan ortodoksi Islam dengan meneguhkan ketunggalan dimensi keagamaan. Sehingga, sikap yang dijunjung adalah penyamaan bahwa Islam adalah Alquran, Alquran adalah wahyu, dan wahyu adalah Tuhan.  Ortodoksi ini kemudian mengesampingkan bahkan menolak kerja-kerja budaya semisal upaya penafsiran terhadap teks untuk kemudian menjadikannya sebagai agama dalam tataran manusia (Miftahus Surur:  2003).

Stabilitas nalar Islam di bawah payung Alquran dialek Quraisy tersebut semakin menampakkan kekuatannya ketika Imam Syafi’i (150-204 H/abad II H) menjadikan Alquran sebagai otoritas mutlak. Imam Syafi’i, seorang ulama keturunan Quraisy, dalam hal ini juga menyusun disiplin ilmu baru untuk memperkuat sangga ortodoksi yakni Ilmu Ushul Fiqh.  Kalau kita cermati, adanya teori Ushul Fiqh Syafi’i yang menyandarkan konstruk nalar Islam pada al-Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas dengan menyusun kegunaannya secara hirarkis menunjukkan bahwa ilmu Ushul Fiqh ala Syafi’i adalah upaya memperkuat sangga otoritas nalar Islam Arab-Quraisy (Nasr Hamid Abu-Zayd: 1992).

Upaya ortodoksi Syafi’i ini diteruskan Ibnu Hanbal, murid setianya, dan Ibnu Taimiyyah (abad 14 M). Kita memang tidak menutup mata bahwa hingga saat ini, nalar Islam konstruk Syafi’i tersebut masih kuat mencengkeram nalar Islam.

Patut disayangkan memang, generasi pasca-Syafi’i tidak kreatif dan hanya mem-beo pemikiran Syafi’i. Teori Ushul Fiqh ala Syafi’i yang ke-Arab-an inilah yang harus kita “amandemen.”

Itulah tanggung jawab kita sebagai generasi masa kini untuk menyusun teori Ushul Fiqh baru dengan lebih mengedepankan aspek demokrasi, rasionalitas, dan pro tradisi lokal. Proyek ini memang pekerjaan berat. Namun, bukan berarti mustahil.

Karena Alquran adalah teks.  Dan teks tidak bisa lepas dari konteks. Maka, teks Alquran juga tidak bisa lepas dari konteks Arab 14 abad silam, tempat Alquran hadir. Bahkan konteks pada dasarnya telah mendahului teks. Teks Alquran adalah hasil proses heterodoksi, pensikapan, dan jawaban Muhammad atas konteks Arab saat itu. Sehingga, Alquran itu didisain, dikonstruk, diinvensi oleh konteks bangsa Arab 14 abad silam. Misalnya, doktrin tentang jihad, sangat terkait dengan kondisi bangsa Arab waktu itu yang primitif dan suka perang.

Tradisi berjilbab juga tak lepas dari kondisi daerah Arab yang sangat panas, tidak hanya perempuan, kaum laki-laki juga memakai jubah, dan pakaian yang menutupi seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki.  Dan termasuk proses heterodoksi adalah, banyaknya unsur-unsur Yudeo- Kristiani dalam Alquran.

Kita pun bertanya-tanya, kenapa Alquran hanya menyebut agama Yahudi dan Nashrani, dan tidak menyinggung agama lain? Hal itu ternyata juga tak lepas dari keterbatasan Alquran yang berdialog dengan realitas yang ada. Dan karena realitas saat itu, hanya dua agama tersebut yang dikenal dan menyebar luas di jazirah Arab. Maka wajar jika hanya dua agama tersebut yang disinggung Alquran. Coba, kalau agama Budha, Hindu, Kong Hu Cu dan Zaraasther sudah berkembang subur di bumi Arab. Saya yakin, Alquran juga akan menyinggung agama-agama tersebut mengingat Alquran itu heterodoks.

Dan karena Alquran sangat terbatas pada lokalitas, tentu tidak fair jika kemudian Alquran secara ombyokkan kita paksakan untuk realitas sekarang, tanpa kritik dan reserve. Apalagi lokalitas sekarang berbeda dengan lokalitas Arab. Dan bukankah bahasa juga mengalami pergeseran makna? Entah itu penyempitan atau perluasan makna.

Hal itu belum lagi jika dikaitkan dengan lokalitas lokal. Lokalitas Indonesia atau Jawa misalnya yang sangat berbeda dengan lokalitas Arab. Karenanya, ia agaknya susah menerima tradisi yang serba Arab. Soalnya, Indonesia atau Jawa, juga punya tradisi, yang perlu ditransformasikan. Di sinilah, harus ada kritik terhadap upaya geneunisasi Islam. Karena apa yang dianggap genuine Islam dengan Arab sebagai otoritas, pada dasarnya mengandung kelemahan epistemologi dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Orientasi Pembebasan

Di luar itu, realitas kekinian membutuhkan karakter keberagamaan yang berorientasi pembebasan. Isu-isu kontemporer seperti isu kebebasan sipil (HAM), gender, kebebasan beragama, demokrasi, civil society, kemiskinan, hegemoni dan dominasi Barat, terorisme, perang dunia, dan sebagainya, sangat membutuhkan pensikapan secepat mungkin dari umat beragama.  Karena isu-isu tersebut dihadapi semua umat beragama, maka dibutuhkan cara pandang yang lintas agama pula, cara pandang yang tidak terkotak-kotak dalam perspektif agama tertentu. Maka, bagi umat beragama, sangat dibutuhkan sikap keberagamaan yang inklusif dan transformis. Artinya, sangat tidak fair jika kita tetap bersikukuh pada pemahaman beragama yang ekslusif dan literalis. Dan lebih picik lagi, jika isu-isu tersebut harus kita jawab dengan kembali ke masa lalu. Masa ketika teks-teks keagamaan muncul. 

Lantas, apa yang mesti kita perbuat atas teks-teks keagamaan? Apa yang musti kita lakukan adalah membaca teks-teks keagamaan -seperti Alquran- secara kritis.  Supaya bisa menghasilkan produk tafsir yang dialogis dengan realitas, kita harus mengedepankan prinsip inklusivisme, pluralisme, dan transformisme. Pemikiran ini memungkinkan kita untuk mengikuti kaidah-kaidah positif Alquran seperti tauhid, keadilan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan beramal sholeh; dan tidak mengikuti kaidah-kaidah negatif Alquran seperti doktrin tentang jihad pakai pedang untuk membunuh orang yang berbeda agama, hukum potong tangan, dan pembagian harta waris yang bias gender.

Sikap demikian itu bukanlah mereduksi Alquran, tapi justru akan membuktikan sejauhmana Alquran mampu berdialog dengan realitas. Bukankah inti beragama adalah menciptakan sistem sosial yang demokratis dan santun? Membebaskan umat manusia dari segala bentuk dominasi dan penindasan, baik fisik maupun nalar?

Sebenarnya, sikap kritis terhadap teks-teks keagamaan bukan hanya agenda umat Islam semata, tetapi agenda semua umat beragama. Sebab semua agama juga menggenggam nilai-nilai universal seperti keadilan, egalitarianisme, dan demokrasi. Hal demikian memang tidak mudah. Harus ada kesadaran penuh dari semua umat beragama.

Ketika semua umat beragama sudah sadar dan sanggup melakukan pembacaan kritis atas teks-teks keagamaan, sehingga nalarnya tidak ekslusif, maka hal demikian itu akan mempermudah proses penciptaan sistem sosial yang demokratis dan santun. Umat beragama harus bersama-sama menjaga dunia ini dari bandit-bandit yang suka berbuat kedzaliman. Hal demikian ini pula yang akan membuktikan sejauhmana kehadiran Tuhan dalam teks-teks keagamaan, termasuk di antaranya adalah teks Alquran.*

Alif Qiqi Mubarok. Aktivis kelompok diskusi eLSa Semarang.

Posted by Alif Qiqi Mubarok  on  07/28  at  07:07 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq