Mendewasakan Pendidikan Agama
Oleh Saidiman Ahmad
Pendidikan agama di sekolah masih diandaikan hanya sebatas teologi dan doktrin agama. Padahal ilmu-ilmu agama telah berkembang luas melampaui batas-batas teologi dan doktrin. Kajian sosial mengenai perilaku umat beragama juga adalah kajian agama. Beberapa tahun terakhir muncul minat yang luar biasa besar terhadap kajian Islam di dunia Internasional. Kajian utama yang paling banyak menarik perhatian bukanlah mengenai doktrin Islam, tetapi mengenai perilaku umat Islam dan pandangan mereka terhadap agama yang dianutnya.
Dalam sebuah seminar internasional di Jerman yang diselenggarakan oleh Friedrich Naumann Foundation (FNF) tentang agama dan pendidikan pertengahan Maret (2010), beberapa utusan dari negara-negara bekas Uni Soviet mengusulkan sebaiknya agama masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Mereka berasal dari Rusia, Belarusia, Slovenia, Kyrgistan dan Ukraina. Alasan utama mereka adalah bahwa agama adalah bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia. Kita tidak mungkin membicarakan manusia tanpa agama.
Yang menarik adalah bahwa pendapat semacam itu dikemukakan oleh para aktivis dan pemikir dari negara-negara yang memiliki latar belakang ateistik. Teorinya adalah bahwa bahkan di negara-negara dengan peran agama yang tidak signifikanpun agama masih dipertimbangkan masuk ke dalam kurikulum pendidikan.
Tentu saja Indonesia telah lama memasukkan agama ke dalam kurikulum, acapkali bahkan dengan proporsi yang berlebihan. Yang harus dirumuskan adalah agama seperti apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah? Pertanyaan ini penting karena sejatinya lembaga pendidikan bukanlah lembaga dakwah atau misionari, melainkan lembaga untuk mencetak sumber daya manusia yang bermutu.
Dengan demikian, pengajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar-standar ilmiah. Bukan agama pada dirinya yang menjadi fokus pengajaran, melainkan kajian-kajian ilmiah mengenai agama. Dengan begitu, para siswa akan memiliki pengetahuan agama secara objektif dan tidak berdasar kepada pengetahuan dan iman subjektif belaka.
Konsekuensi dari pola kurikulum semacam ini adalah bahwa tenaga pengajar agama bukanlah agamawan, melainkan ilmuan agama, apapun latar belakang agamanya. Sejauh ini, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia masih mengandaikan pengajaran agama adalah bagian dari penyebaran agama. Sehingga guru-guru agama mestilah datang dari para da’i, pastur, pendeta, dan lain-lain. Banyak ahli agama kemudian tersingkir dan sekedar menjadi pengamat agama, bukan malah mengajarkan agama di lembaga-lembaga pendidikan.
Salah kaprah mengenai pendidikan agama juga menyebabkan menyempitnya ruang lingkup pendidikan agama di sekolah-sekolah. Pendidikan agama di sekolah masih diandaikan hanya sebatas teologi dan doktrin agama. Padahal ilmu-ilmu agama telah berkembang luas melampaui batas-batas teologi dan doktrin. Kajian sosial mengenai perilaku umat beragama juga adalah kajian agama. Beberapa tahun terakhir muncul minat yang luar biasa besar terhadap kajian Islam di dunia Internasional. Kajian utama yang paling banyak menarik perhatian bukanlah mengenai doktrin Islam, tetapi mengenai perilaku umat Islam dan pandangan mereka terhadap agama yang dianutnya. Sejumlah ilmuan besar seperti Samuel Huntington, Ernest Gellner, Max Weber, dan lain-lain telah memprovokasi kajian Islam secara lebih luas.
Beberapa temuan penting dalam studi-studi ini sangat menarik. Kebanyakan dari mereka mengajukan sejumlah data dan kesimpulan yang bertolak belakang dengan asumsi Huntington dan Weber mengenai Islam. Jika kedua ilmuan itu menyatakan bahwa Islam adalah entitas yang unik, sehingga ide-ide Barat mengenai demokrasi dan kebebasan sipil sulit diterapkan, maka temuan-temuan mutakhir dengan pendekatan penelitian empiris pada perilaku umat Islam justru menunjukkan sebaliknya.
Dalam pendekatan kajian agama semacam ini, doktrin dikemukakan sebagai fakta iman. Yang dilakukan adalah mengkaji fakta-fakta iman, dan bukan memberi kategori benar salah. Pemberian kategori benar salah adalah urusan kaum agamawan, bukan para ahli agama.
Kajian-kajian Islam sosiologis semacam itu masih dianggap pinggiran—kalau bukan tidak diperhitungkan sama sekali—dalam ilmu agama di Indonesia. Akibatnya adalah lembaga-lembaga pendidikan agama tidak melahirkan para ahli ilmu-ilmu agama, melainkan para pendakwah.
Tantangan terbesar dalam pendekatan kajian agama semacam ini justru datang dari kaum agamawan itu sendiri. Mereka akan bersikukuh bahwa pendidikan agama adalah sarana menjaga dan menyebarkan iman. Itulah sebabnya, sejak dini anak-anak diberitahu mengenai doktrin-doktrin agama. Hal itu dilakukan agar sang anak kelak mengikuti keyakinan orang tuanya.
Tentu banyak orang tua yang menginginkan anaknya menganut ajaran yang sama dengan yang dia anut. Persoalannya bukan bahwa orang tua tidak berhak mengarahkan anaknya memeluk agama tertentu sejak dini. Persoalannya adalah apakah lembaga pendidikan publik memiliki kewenangan yang sah untuk mengarahkan anak didik memercayai keyakinan tertentu. Dalam hal ini, harus dipisahkan antara lembaga pendidikan formal atau publik dan pendidikan informal. Lembaga pendidikan formal harus ketat dengan standar-standar ilmiah, yang oleh karenanya tidak bisa memvonis sebuah keyakinan. Itu adalah wilayah informal keluarga. Di ranah keluargalah pendidikan doktrinal itu dilakukan.
Yang terjadi di Indonesia selama ini adalah bahwa baik pada level keluarga maupun sekolah formal pendidikan agama bersifat doktrinal. Tujuan ilmiah yang seharusnya menjadi fokus lembaga pendidikan publik tergerus oleh tujuan penyebaran iman. Yang seharusnya terjadi adalah lembaga pendidikan formal mengajarkan ilmu agama ilmiah sementara orang tua memberi landasan etisnya. Pendidikan agama doktrinal yang dilakukan di lingkungan keluarga pun harus memperhatikan bahwa pada usia akil baligh, setiap anak berhak menentukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Orang tua hanya bisa mengajak dan memotivasi, tetapi sang anak itu sendirilah yang memberi keputusan final.
Dengan begitu, harapan untuk mencetak manusia-manusia yang unggul dalam keilmuan dan teguh dalam keimanan akan terwujud. Akan muncul generasi umat beragama yang dewasa. Tanpa itu, yang terjadi adalah munculnya generasi kaum beriman fanatik yang membabi buta mengklaim kebenaran tunggal.
Komentar
Di Indonesia memang mayoritas Islam,tetapi baru sebatas kwantitas, belum kwalitas. Oleh karena itu tugas kita bersama untuk menjadikan anak-anak kita agar mau belajar agama, mau mengerti agama, dan mau melaksanakan agama.kita tidak perlu menyalahkan orang lain sementara kita sendiri tidak berbuat apa-apa. lihatlah kepada diri kita seperti apa Islam kita, kemudian keluarga kita, sudahkah kita pantas disebut sebagai orang Islam? untuk itu saudara-saudaraku seiman marilah kita berlomba-lomba untuk menjadi orang Islam yang Kaffah ( Imannya - Islamnya - Ikhsannya )
..ini lah pentingnya seorang ulama juga (seharusnya) memiliki pengetahuan lain selain pengetahuan agama itu sendiri, sehingga mereka memiliki referensi tentang hal yg akan di bahas, diuji, maupun di perdebatkan sekalipun...ada suatu permasalahan akut di tubuh umat islam saat ini tentang ilmu pengetahuan...di tempat saya (kalimantan selatan, yg merupakan basis nahdiyin) dan juga mungkin di semua tempat di indonesia, Ilmu agama di anggap dapat memecahkan semua permasalahan di dunia...garis bawah, SEMUA PERMASALAHAN DIDUNIA, padahal yg saya percaya, agama hanya mengatur tentang moral/akhlak manusia...sedangkan untuk masalah yg lain ada bidangnya sendiri-sendiri dan mungkin inilah yg jadi pokok permasalahannya mengapa ulama-ulama kita sangat miskin rujukan( referensi) dari bidang keilmuan yg lain.
..ambil contoh: seorang muslim ingin naik haji, pada zaman kakek saya untuk naik haji harus naik kapal layar yg memakan waktu berbulan-bulan di laut.......Agama tidak memberikan solusi untuk efisiensi naik haji agar cepat sampai tujuan, solusi naik haji di pecahkan oleh ilmu pengetahuan, dalam hal ini teknologi transportasi kedirgantaraan ( pesawat terbang) misalnya...contoh di atas adalah bukti bahwa Ilmu agama ( atau agama) tidak menjawab smua permasalahan di dunia...akan tetapi janganlah anda-anda berburuk sangka terhadap pernyataan ini, sebab ilmu agama dan agama justru sangat-sangat di perlukan olehkarena walaupun agama hanya mengatur tentang perbaikan akhlak manusia semata, hal ini teramat penting karena akhlak manusia itu ibarat Fondasi yang melandasi smua kebaikan manusia atau pendek kata, baik aklak manusia maka baik pula manusianya.
mungkin inilah salah satu sebab ketidakbermutuan beragama di Indonesia, Islam itu tidak mungkin tidak rasional, perkara otak belum mengerti itu urusan lain (disitulah perjuangan) mari kita mencoba untuk bisa melihat Islam tidak melulu dari dalam, sekali-kali dari luar..... (setuju kang Wawan) maaf namanya sama
saya setuju sama penulis...kami didesa,cari guru yang faknya matematika,fisika,kimia, sulitnya minta ampun. tapi yang bidang agama ‘sakembreg’ banyak. padahal tahu sendirilah moral zaman sekarang...??!!
@bunga. menjawab pertanyaan anda ttg guru agama lain mengajarkan tentang agama lain, di beberapa sekolah Katolik yang saya tau, murid (SMA) sekarang diajarkan etik. Pada masa saya bersekolah, saat membahas suatu topik, misalnya ttg akal budi, maka dibahas pula ajaran tidak hanya dari agama lain, tapi juga dari kultur mengenai topik tersebut, tentunya penekanan lebih pada ajaran katolik. tapi justru dengan demikian, kami diajar melihat persamaan yang ada di keanekaragaman. Saya rasa hal itu menjembatani kerukunan beragama.
Saya juga mengetahui ada guru agama dari agama mapapun yang menjelek-jelekkan agama lain. Apakah itu metoda untuk menambah iman terhadap agamanya sendiri? Terus terang saya justru menilai mereka yang demikian justru kurang beriman terhadap agamanya sendiri sehingga merasa perlu untuk meyakinkan bahwa pilihannya yang benar, sementara yang lain salah.
Komentar Masuk (14)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)