Mengkaji Ulang Makna Pembakaran Dosa
Oleh Amir Tajrid, M.Ag.
Slogan “Ramadan adalah bulan pembakaran dan peleburan dosa” tidak boleh dipahami secara tekstual belaka. Ia juga harus dipahami secara kontekstual. Tegasnya, ini sepenuhnya tergantung pada usaha seorang muslim sendiri untuk mewujudkannya.
Di balik pensyariatan puasa Ramadan tersirat banyak hikmah yang dapat diambil sebagai pembimbing manusia beriman dalam mengarungi kehidupan. Tetapi manusia terkadang kurang menyadari hikmah yang ada dalam puasa itu sendiri. Puasa Ramadan disamping sebagai wahana pengendalian diri ia juga dapat dijadikan sebagai momentum untuk pembakaran dan peleburan dosa.
Slogan bahwa “Ramadan adalah bulan pembakaran dan peleburan dosa” ini, sudah umum dikenal di kalangan umat Islam. Istilah ini terdengar dalam berbagai arena pengajian atau majlis taklim terutama ketika menjelang atau pada saat bulan Ramadan. Anehnya istilah ini sering dipahami secara literal oleh sebagian besar umat Islam. Mereka memahami slogan tersebut secara tidak rasional dan menerima apa adanya. Oleh karenanya diperlukan sebuah upaya penafsiran yang bisa diterima oleh akal. Yakni, bagaimanakah rasionalisasi bahwa puasa ramadan dapat dijadikan sebagai media untuk membakar atau melebur dosa-dosa yang telah di lakukan manusia?
Dosa dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang melanggar perintah-perintah pembuat hukum (syari’) yang dalam hal ini adalah Allah SWT, baik perintah untuk melaksanakan sesuatu dan atau meninggalkannya. Hal-hal yang menjadi tuntutan Tuhan untuk dilaksanakan dapat diidentikkan sebagai sebuah kebaikan. Sebab Tuhan tidak pernah akan memerintahkan kejahatan atau keburukan. Sebaliknya, hal-hal yang menjadi tuntutan Tuhan untuk ditinggalkan dapat diidentikkan dengan kejahatan atau keburukan. Dalam istilah tasawuf kejahatan atau dosa identik dengan kegelapan dan nafsu syetan, sedangkan kebaikan identik dengan cahaya atau pahala. Kebaikan dekat dengan alam ke-Tuhanan sedangkan kegelapan jauh dari pada-Nya. Oleh karenanya, kebaikan dan kejahatan merupakan dua kutub yang saling berlawanan. Dapat disimpulkan bahwa Tuhan adalah simbol kebaikan, dan cahaya, sementara nafsu syaithaniyah merupakan simbul kegelapan dan dosa.
Konon Nabi Adam as. dan Hawa diturunkan dari surga karena dosa yang dilakukan oleh keduanya. Mereka telah mealanggar tuntunan yang diberikan Allah SWT untuk tidak memakan buah keabadian (Al-khuld). Mereka tergoda dan memilih ajakan syetan untuk memakan buah tersebut. Dalam konteks ini Nabi Adam as. dan Hawa telah melakukan dosa karena melanggar larangan Allah SWT.
Karena sifat kejahatan (dosa) dan kebaikan (pahala) berbeda, maka keduanya tidak dapat disatukan, dan bahkan saling menegasikan. Sebagai ilustrasi, sikap iman, yakni mengakui Allah SWT sebagai Tuhan, itu berarti berlawanan dengan sikap kufur, yakni tidak mengakui adanya Allah SWT sebagai Tuhan. Ini berarti ketika seseorang mengakui Allah SWT sebagai Tuhan, maka berarti ia menegasikan atau meniadakan tuhan selain Dia. Tuhan-tuhan lain selain Allah SWT dengan sendirinya akan lebur, akan hilang dan terbakar karena pengakuan seorang yang beriman terhadap keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan.
Soal penegasian, pembakaran dan peleburan kejahatan/keburukan oleh kebaikan, Al-Qur’an sendiri telah menegaskan: ”Inna al-hasanat yudzhibna al-sayyi’at”, sesungguhnya kebaikan akan melebur dan membakar kejahatan atau keburukan. Ini selaras dengan pernyataan bahwa dalam diri manusia terdapat dua bagian, yakni bagian yang mengajak kepada kebaikan yang dikendalikan oleh malaikat dan bagian yang mengajak kepada keburukan atau kejahatan yang dikendalikan oleh setan. Dua bagian tersebut bersemayam dalam hati manusia, yang oleh Bimbo dikatakan sebagai cermin tempat pahala dan dosa bertarung. Pertarungan ini ada kalanya dimenangkan oleh kebaikan, ada kalanya sebaliknya. Jika yang dominan adalah sifat baik, dengan sendirinya sifat buruk akan terbakar, lebur, lari dan menyingkir dari seseorang, maka segala tindakan yang dilakukan olehnya berujung pada sikap dan perbuatan yang baik dan berpahala. Sebaliknya jika yang dominan adalah sifat buruk maka segala tindakan dan perbuatannya akan mengarah kepada kejahatan dan perbuatan dosa.
Terkait dengan Ramadan sebagai bulan pembakaran dosa, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa inti dari berpuasa adalah bagaimana manusia dapat mengendalikan dirinya sendiri untuk tidak melakukan hal-hal yang telah dilarang oleh syara’ dan mengerjakan apa saja yang diperintahkannya. Ini berarti manusia harus berusaha membakar dosa-dosanya sendiri yang telah ia perbuat dengan memperbanyak amal ibadah pada saat Ramadan. Dengan melaksanakan amal ibadah berarti ia membakar, menghapus, dan menegasikan dosa-dosa yang telah dilakukan, demikian juga pada saat ia menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang terlarang. Penegasan mengenai upaya penegasian dan pembakaran dosa-dosa ini dapat dilihat dalam hadis Nabi SAW. Beliau bersabda: “Puasa adalah perisai/tameng. Maka janganlah seseorang berkata kotor dan bertindak bodoh. Dan bila seseorang di caci maki dan diajak bertengkar, maka berkatalah : “Aku sedang berpusa” dua kali. Demi Dzat yang diri-Ku dalam genggamannya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih baik dan menyenangkan bagi Allah dibanding dengan bau seorang yang berminyakkan misik. Ia tinggalkan makanan, minuman, dan nafsu birahinya karena demi Aku (Allah). Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendirilah yang memberikan balasan pahalanya. Satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan” (HR. Bukhari).
Berdasarkan tuntunan Nabi SAW di atas, dapat dikatakan bahwa tidak berkata-kata kotor dan tidak bertindak bodoh merupakan usaha yang dilakukan dalam rangka menegasikan perbuatan buruk. Adanya larangan untuk tidak berkata kotor berarti perintah untuk berbicara baik, yang juga berarti usaha untuk menghadirkan hal-hal baik yang lain pula. Tuntunan ini pada akhirnya dapat memberikan arahan dan membuka ruang gerak secara terbuka bagi seorang muslim yang berpuasa untuk lebih meningkatkan amal kebajikan, dan tidak memberikan celah sedikitpun ruang gerak terhadapnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar agama. Sehingga selama bulan Ramadan seluruh perbuatan dan tindakan seorang muslim lebih terkendali. Bulan ramadhan menjadi bulan penuh kebaikan, bulan yang benar-benar dapat membakar dosa dan kejahatan.
Akhirnya slogan bahwa “Ramadan adalah bulan pembakaran dan peleburan dosa” tidak hanya sebatas retorika yang kandas dalam tataran teori saja. Tetapi benar-benar teraplikasi dalam dunia praksis umat Islam. Umat Islam mampu mengaktualisaskan nilai-nilai ibadah dan kebaikan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Kekhawatiran bahwa ia hanya menjadi slogan semata, yang kosong tanpa arti dan makna, bisa jadi benar. Dan kekhawatiran tersebut patut dipertimbangkan. Karena dalam kenyataannya masih banyak ditemukan kaum muslimin tidak berubah sikap dan perilakunya pada saat puasa Ramadan. Sebaliknya, mereka lalai dan melakukan banyak kejahatan dan keburukan. Puasa tidak menjadikan dosa-dosa yang telah mereka lakukan terbakar, hapus, dan lebur melainkan semakin menumpuk. Puasa tidak dapat memberikan efek yang nyata pada perbuatan dan perilaku mereka.
Betul apa yang dikatakan Nabi SAW.: ”Kam min sha’imin laysa lahu min shiyamihi illal ‘athasa wa al-ju’”, Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa haus dan lapar. Hadis ini menjelaskan bahwa banyak orang yang melakukan puasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya dikarenakan tidak menjaga perilaku dan omongannya. Perilaku dan omongannya jauh dari kebaikan. Ini berarti sangat kontraproduktif dengan tujuan puasa itu sendiri, yaitu harapan akan terampuninya dosa-dosa yang telah dilaksanakan.
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa slogan “Ramadan adalah bulan pembakaran dan peleburan dosa” tidak boleh dipahami secara tekstual belaka. Ia juga harus dipahami secara kontekstual. Tegasnya, ini sepenuhnya tergantung pada usaha seorang muslim sendiri untuk mewujudkannya. Semoga bulan Ramadan ini menjadi bulan yang penuh rahmat dan ampunan, bulan kebajikan bagi seluruh umat Islam sedunia. Amin. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Amir Tajrid, M.Ag. Dosen STAIN Samarinda Kalimantan Timur dan Direktur Pengembangan Intelektual pada Pusat Pengembangan Masyarakat Indonesia (BARNEA-Center) Kalimantan Timur.
Komentar
kepada Pak Amir Tajrid
membaca tulisan anda tentang “mengkaji ulang makna pembakaran dosa” yang dalam tulisan anda terkesan hanya terjadi dilakukan oleh masyarakat pada bulan puasa saja. memang ramadlan adalah bulan yang penuh dengan berkah dan rahmat akan tetapi jika kita sadari bahwa setiap hari kita mampu menganggap hari-hari kita seperti ramadlan dengan memaknai yang sesungguhnya yaitu berpuasa dari segala nafsu dlolalah maka kita akan tahu bahwa di setiap tindakan kita akan tercermin sebuah kebahagiaan abadi. jika peleburan itu hanya dilakukan pada bulan ramadlan saja, tentu dari kesebelas bulan biasa bebas melakukan apa saja dan apakah hal ini bisa menjadikan kita sebagai merasa bersyukur jika disatu sisi lain kita tidak mensukuri karena tidak menganggap yang lain berarti. jadi memang ramadlan wajar jika dilebihkan dimata masyarakat karena diyakini sebagai bulan yang penuh berkah tapi akan lebih bermakna jika setiap hari kita menjadikannya seperti hari yang penuh dengan berkah.
-----
Komentar Masuk (1)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)