Menyederhanakan Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
22/10/2010

Menyederhanakan Islam

Oleh Taufik Damas

Moderniasi hanya ingin menegaskan, selain ibadah, segala aspek dalam kehidupan ini harus diselesaikan oleh ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan bebas. Inilah yang dimaksud menyederhanakan Islam.

Pada awalnya, empat belas abad silam, Islam diturunkan sebagai ajaran ketuhanan. Islam dianut oleh sekelompok manusia sebagai pengganti dari ajaran ketuhanan yang ada ketika itu (periode Mekah). Pada perkembangan selanjutnya, secara sederhana, Islam menjelaskan hukum-hukum sosial-politik ketika masyarakat muslim telah terbentuk di Madinah (periode Medinah). Hukum-hukum sosial-politik ini tertera secara gamblang dan sederhana dalam al-Quran seperti soal zina, judi, zakat, rumahtangga, hubungan dengan kelompok non-muslim dan lain-lain.

Perkembangan ini berhubungan erat dengan kondisi masyarakat muslim yang memerlukan adanya aturan hidup setelah mereka terbentuk menjadi satu masyarakat yang baru. Hukum-hukum dasar ini kemudian dianggap sebagai hukum ilahi karena turun langsung dari Allah sebagai pemberi wahyu kepada Nabi Muhammad.

Setelah Islam semakin menyebar dan masyarakat muslim semakin heterogen, kebutuhan akan rumusan hukum yang lebih luas harus disediakan. Kehidupan masyarakat muslim menjadi jauh lebih kompleks dari kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat muslim Madinah.  Lahirlah satu konsep pemikiran untuk mengembangkan hukum-hukum sederhana Islam. Konsep pemikiran ini dikenal dengan istilah ijtihad, yaitu upaya menggali hukum dari sumber asli Islam, al-Quran dan Sunnah. Proses ijtihad ini melahirkan berbagai corak pemikiran hukum (fikih) dan para tokohnya. Di kalangan Suny, para tokoh yang terkenal adalah Malik, Syafii, Hanafi dan Hambali. Di luar Suny, tentu banyak tokoh dalam bidang fikih yang dianggap memiliki otoritas.

Keberagaman mazhab dalam fikih ini menunjukkan perbedaan interpretasi tentang hukum Islam pada saat itu. Perbedaan ini pun disebabkan oleh perbedaan metode atau manhaj dalam proses menentukan hukum atas kasus-kasus yang berkembang. 

Pada perkembangan selanjutnya, kalangan muslim konservatif memandang keputusan hukum yang telah ditentukan oleh para ulama itu sudah final. Tugas masyarakat muslim saat ini hanya menjalankan hukum-hukum yang sudah tertera dalam berbagai buku fikih karya mereka. Ijtihad baru sudah tidak dibutuhkan lagi. Perkembangan masyarakat tidak dapat dijadikan alasan untuk memberikan peluang lahirnya hukum-hukum baru. Masyarakat harus menyesuaikan diri pada hukum-hukum normatif, bukan sebaliknya. 

Kalangan muslim fundamentalis (atau neo-fundamentalis) memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok muslim konservatif. Mereka mengusung gerakan kembali kepada Islam atau syariah. Meski menghormati rumusan hukum Islam klasik, mereka tidak terikat dengan rumusan hukum klasik itu. Salah satu tokoh yang sering dijadikan rujukan dalam gerakan ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab. Ia tidak mempertahankan taqlid (tunduk pada rumusan hukum ulama-ulama klasik), tapi mengajak kaum muslim untuk kembali kepada al-Quran dan Hadis. Dan, gerakan ini lebih tepat disebut sebagai gerakan purifikasi Islam, bukan pembaruan Islam.

Selain kelompok konservatif dan fundamentalis, dalam tubuh umat Islam ada gerakan pembaruan yang bertujuan melakukan modernisasi Islam. Gerakan modernisasi Islam ini melihat bahwa Islam harus mampu merespon perubahan zaman. Islam harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agar umat Islam dapat mengejar ketertinggalan mereka. Gerakan ini menegaskan bahwa banyak interpretasi (doktrin) terhadap Islam yang perlu diperbarui. Meski demikian, mereka mengakui adanya doktrin-doktrin mutlak yang tidak dapat diubah.

Gerakan modernisasi selanjutnya menemukan bahwa doktrin yang tidak dapat diubah mengalami pengurangan. Banyak doktrin yang dianggap absolut ternyata bersifat relatif. Modernisasi Islam tidak dapat menghindar dari gerakan mempertegas doktrin-doktrin relatif Islam. Konsekwensi dari modernisasi meniscayakan bahwa doktrin-doktrin agama dapat diubah karena standar modernisasi adalah kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, bukan teks-teks agama. Gerakan ini kemudian menuai berbagai kritikan keras dan sangat rentan untuk dipahami secara keliru.

Betapa tidak, gerakan modernisasi Islam ini berbenturan dengan kelompok konservatif dan fundamentalis. Bagi kelompok konservatif, modernisasi Islam bukan saja menyimpang, tapi membuat mereka kehilangan lahan dalam kehidupan ini. Otoritas mereka dalam mengontrol masyarakat menjadi tidak efektif ketika berhadapan dengan gerakan modernisasi Islam yang menekankan masyarakat untuk lebih percaya pada konsep-konsep modern ketimbang tokoh agama (ulama). Modernisasi mengandaikan pengalihan otoritas dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam bidang hukum. Otoritas itu ada di tangan parlemen bukan tokoh agama karena masyarakat modern diikat oleh satu konsep bermasyarakat yang disebut negara. Dalam negara, tokoh agama tidak dianggap sebagai pengambil keputusan hukum, tapi itu bagian dari tugas negara.

John L. Esposito menegaskan, bagi ulama, modernisasi telah membawa erosi yang serius terhadap kekuatan dan otoritas tradisional mereka. Reformasi-reformasi pendidikan dan hukum sangat mengurangi peran dominan ulama di bidang pendidikan dan hukum, mengurangi sumber-sumber penghasilan mereka dan menimbulkan berbagai pertanyaan serius tentang kompetensi dan relevansi mereka (Islam Warna Warni, 2004). Ketegangan antara pengusung modernisasi dan kelompok konservatif-fundamentalis dalam Islam tak terelakkan hingga saat ini. 

Realistis
Pemaparan singkat tentang perkembangan pemikiran dalam Islam ini bertujuan menawarkan rumusan tentang keislaman yang realistis. Keislaman realistis adalah sikap keberagamaan yang menyadari bahwa kenyataan hidup modern tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Dunia selalu bergerak dengan hukum-hukum obyektif yang menggiringnya. Tidak satu doktrin pun yang mampu berhadapan dengan hukum pergerakan kehidupan duniawi ini. Setiap doktrin, lambat-laun, pasti akan menemukan kelemahan dan kelelahannya di hadapan hukum-hukum dunia modern.

Meski demikian, ruang spiritualitas tetap tersedia dalam dunia modern. Di sinilah ruang bagi agama untuk mengaktualisasikan diri. Agama dapat dipertahankan oleh siapa pun sebagai pintu-pintu menuju Tuhan. Bagi umat Islam, menjadi modern bukan berarti tidak dapat melaksanakan bentuk-bentuk ibadah murni dalam rangka pemenuhan kebutuhan spiritual. Modernisasi tidak sedikit pun melarang hak manusia untuk melaksanakan ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing. 

Moderniasi hanya ingin menegaskan, selain ibadah, segala aspek dalam kehidupan ini harus diselesaikan oleh ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan bebas. Inilah yang dimaksud menyederhanakan Islam.

22/10/2010 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

kalau kita berbicara soal isi kitab suci, dalam perspektif islam adalah isi dalam Al-Qur’an sudah memang begitu adanya tidak ada yang dilebih-lebihkan atau yang dikurang-kurangkan atau malah dirubah-rubah seperti dalam kitab suci lainnya,dalam islam pada waktu wahyu itu turun belum ada penulisan sama sekali sampai akhir wahyu itu turun karena sistem yang digunakan adalah menghafal pada setiap wahyu yang turun,metode ini digunakan agar menghindari pengubahan-pengubahan wahyu yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan alhamdulillah sampai saat ini Al-Qur’an masih seperti saat nabi Muhammad dan akan tetap sama sampai hari kiamat tiba.
mengenai ayat yang menimbulkan perbedaan tafsir,hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an QS Al-Imran:7, Allah berfirman:"Dia-lah yang menurunkan Al-kitab (Al-Qur’an) kepadamu.Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang “muhkamaat”, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) “mutasyaabihaat”.Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:"kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”.Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
dalam tafsir ibnu katsir didalam Al-Qur’an terdapat ayat yang muhkamat yaitu ayat yang jelas dan terang pengertiannya dan adapula ayat mutasyabihat yaitu ayat yang samar atau pengertiannya masih memerlukan ayat-ayat yang lain sehingga barangsiapa mengembalikan yang samar itu kepada yang jelas dalam Al-Qur’an,serta menjadikan ayat yang muhkam sebagai penentu bagi yang mutasyabih itu,berarti dia telah mendapat petunjuk.
jadi dalam Al-Qur’an sebenarnya tidak lah ada suatu ayat yang relatif,kalau ada seorang yang mengaku muslim dan berusaha mengaburkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an sesuka hatinya,mengatakan sekuler itu ada dalam Al-Qur’an,berusaha menghujat Al-Qur’an maka itu lah orang yang hatinya condong kepada kesesatan, “Jika kalian melihat orang yang berbantah-bantahan tentang Al-Qur’an,maka mereka itulah orang-orang yang dimaksud oleh Allah,maka waspadalah kepada mereka” (HR Ahmad).Wallahu A’lam

Posted by rifki akbar  on  10/28  at  08:44 AM

Kalau kita bicara soal isi kitab suci, sudah selayaknya kita kita melepaskan diri dari tradisi yang ada pada saat agama atau ayat-ayat dalam agama itu lahir atau diwahyukan. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang disebut manusia bisa melepaskan diri dari tradisi yang ada ketika yang bersangkutan hidup.
Demikian juga dengan nabi. Nabi adalah juga manusia yang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tradisi. Nah ketika wahyu atau apapun namanya itu “turun” yang akhirnya menjadi ayat-ayat dalam kitab suci, pastilah disuarakan atau dikatakan dengan bahasa lisan. Karena, ketika agama-agama yan ada lahir belum terlalu biasa budaya menulis. Nah ketika sang Nabi mengatakan kepada pengikutnya, itu juga akan diberikan dalam bahasa lisan.
Sebagai orang yang mengerti bahwa budaya itu senantiasa berubah atau berkembang, maka bahasa lisan yang dipakai sekian ratus tahun yang lalu pasti berbeda dengan yang berlaku sekarang. Ini lah pentingnya atau perlunya kita paham azas kontekstual. Artinya teks yang ada dalam kitab suci tidak bisa serta merta diartikan begitu saja tanpa kita belajar tentang tradisi atau budaya yang ada ketika teks itu lahir.
Dengan kesadaran akan hakekat kontekstual ini, maka akan ditemui bahwa teks-teks yang ada dalam kitab suci harus ditafsirkan lebih dulu sebelum kita mampu memahami secara utuh. Atau dalam bahasa lain apa yang ada dalam teks tersebut nilainya relatif. Memang tidak semua, pasti ada yang absolut. Misalnya Keesaan Tuhan, Kesempurnaan Tuhan.
Apalagi kalau bicara hukum, pasti akan relatif. Dengan sifatnya yang relatif ini, maka dalam penerapannya, suka tidak suka harus disesuaikan dengan jamannya. APalagi dalam artikel ini dikatakan bahwa banyak hukum yang digali oleh para ulama pada jamannya. Tentu seorang ulama akan menerapkan sesuai dengan pola pikir atau budaya pada saat ulama tersebut hidup. Tentu bukan berarti bahwa ketika ulama itu meninggal terus tafsirnya menjadi tidak berlaku. Tetapi dengan relatif ini, maka harus dipahami bahwa akan terbuka kemungkinan di kemudian hari ada penafsiran baru yang lebih sesuai dengan jamannya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah siapa yang punya otoritas untuk menentukan bahwa tafsir A atau tafsir B yang lebih cocok. Ini problem tersendiri dalam Islam.
Kalau dalam agama Katholik jelas ada, yaitu Dewan Uskup sedunia yang diketuai oleh Paus. Sebelum sebuah tafir baru diberlakukan, pada para uskup se dunia akan membahasnya dengan segala macam pandangan. Kalau belum ditemukan kata sepakat, maka aturan tersebut belum bisa diberlakukan. Maka ketika produk yang dalam tatacara katholik ada hukum kanonik atau apapun yang lair dari sebuah Konsili tersebut diberlakukan, maka tidak mudah untuk dibantah karena sudah melalui proses yang sangat panjang dan dilakukan oleh otoritas yang memang diakui oleh umat katholik se dunia.
Kalau tidak ada otoritas yang diakui oleh umat suatu agama, maka akan kesulitan untuk menyatukan sebuah persepsi. Yang akhirnya terjadi adalah masing-masing akan mempunyai tafsir sendiri dan mencoba untuk menyebarkan pengaruhnya pada umat. Akan ada pertarungan pengaruh, dan produk akhirnya adalah umat akan terpecah-pecah dalam beberapa kelompok pengaruh, dan yang mengkhawatirkan adalah ada perasaan bahwa dirinya yang lebih benar dari yang lain.

Posted by Putra Pertiwi  on  10/27  at  03:25 PM

@abdullatif
Salut buat pa Alatif, seandainya saja kita semua bisa berpikir jernih seperti itu, damai sejahtera akan lebih mudah dicapai oleh semua umat manusia.

Posted by Anissa bin Fajar  on  10/26  at  11:19 AM

Ajaran Islam itu sesungguhnya bukan bersumber dari Nabi Muahmmad saw, tapi semenjak nabi Ibrahiim. Menurut AL Quran atau ALLAH, yg dimaksud umat islam itu adalah semua umat yahudi, nasrani dan Mukmin..
Agama ALLAH,agama tauhid atau agam islam.

Selama ini kita disuntikan oleh ulama2 bahwa Bible,atau wahyu2 ALLAH dlm Bible itusudahpalsu dan haram di imani.Sedangkan rukun islam kita adalah beriman kpd kitab2Nya termasuk Bible.

Setelah Bible ,atau wahyu2 ALLAH di Haramkan, ulama2 menukar untuk beriman kpd =As Sunnah=.Dari mengimani sunnah Rasul, mulailah keluar hadits2 budaya Arab yang mengarabkan umat Islam sedunia.

Hadist2 budaya Arab ini, bukanlah Syariat Islam, tapi peraturan2 setempat.Misalnya;

---wanita2 haram keluar rumah tanpa mahram
---wanita2 haram menyopir.
---wanita2 haram bekerja di kantor sama laki2
---wanita2 haram bercelana.

---laki2 wajib berjengot berjabang adn berjubah
---laki2 wajib berpoligami
---laki2 boleh memukul istrinya..

---haram bernyanyi, alat2 musik, TV,Internet dll
karena Rasul tidak memakainya...Bid’ah.

fatwa2 ulama2 wahabi mengeleurakan Fatwa2 nya diatas itu berdasarkan dgn Hadits Palsu yg menyesatkan.misalnya;

===Siapa2 yang meniru kehidupan orang2 kafir, bukanlah umat ku====hadits muslim.

Akirnya umat islam kembali kepada zaman 1400 tahun yg lalu, zaman yang gelap…

Kalau umat Islam benar2 beriman kpd kitab2 ALLAH,maka sejokyanya umat Islam mempelajari Bible..dan wahyu2 yg bertentangan dgn al Quran adalah INVALID. Sedangkan wahyu2 ALLAH yg tdk bertentangan dgn al quran adalah VALID.Seperti

perintah bersunat tdk ada dlm al Quran, tapi ada di Taurat,Rasulullah mengambil rujukan perintah bersunat utk laki2 dari Taurat.

masih banyak lagi Rasulullah mengabil pelajaran Islam dari kitab2 sebelumnya, terutana pelajaran WISDOM dari kita nabi Dauud.

http://latifabdul.multiply.com/journal/item/311

Wassalam

Posted by alatif  on  10/26  at  03:43 AM

islam merupakan agama yang dikenal dengan istilah dasar sebagai agama hanafiyah samha, yang memeberikan maslachah dalam setiap aspek dan toleransi yang tinggi kepada selain islam. Tentunya ketika islam yang notabene sebagai agama rohmatan lilalamin, sudah mempersiapkan poin-poin yang diperlukan oleh umat, tidak tersekat oleh zaman, baik ketika dizaman rosulullah SAW dan sekarang tidak jauh berbeda dalam pengambilan hukumn.
ketika hukum yang muncul dari hukum dasar ( alqur`an da hadist ), tentunya akan memberikan penafsiran yang berbeda dikalangan ulama`. Dari sinilah memberikan langkah yang cerdas kepada ummat dalam pengambilan hukum untuk mengambil rujukan pada ulama tertentu.Meskipun hukum memberikan doktrin tentang suatu masalah, tapi final dari hukum itu dapat berubah melihat situasi dan kondisi yang terjadi saat ini “alhukmu yduru ma`a illatihi wujudan wa`adaman”.

Dengan demikian islam merupakan agama yang paling cerdas dalam menyikapi problem khalayak yang ada. koridor konserfati tergantung dari sisi mana kita menyikapinya.

wassalam

Posted by sais  on  10/25  at  09:55 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq