Menyoroti Fenomena Radikalisme Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
10/09/2003

Menyoroti Fenomena Radikalisme Agama

Oleh Happy Susanto

Geneaogi radikalisme agama muncul karena beberapa sebab. Dalam kasus Islam, misalnya, Hassan Hanafi (2001) menyebut --paling tidak-- ada dua sebab kemunculan aksi kekerasan dalam Islam kontemporer. Pertama, karena tekanan rezim politik yang berkuasa. Kelompok Islam terentu tidak mendapat hak kebebasan berpendapat. Kedua, kegagalan-kegagalan ideologi sekuler rezim yang berkuasa, ehingga kehadiran fundamentalisme atau radikalisme agama dianggap sebagai alternatif ideologis satu-satunya pilihan yang nyata bagi umat Islam.

Pengeboman
di Hotel Marriot dan juga pengeboman sebelumnya mengindikasikan bahwa gerakan
“radikalisme agama” menjadi sebuah kekuatan yang laten, muncul tiba-tiba dan
berbahaya. Kekerasan atas nama agama menyebabkan pada situasi di mana agama
kini sedang mengalami pengujian sejarah secara kritis. Bandul pendulum agama
tergantung pada persepsi dan perilaku penganutnya yang akan mengarahkan pada
dua sisi, yaitu “humanisasi” atau justru malah sebaliknya, “dehumanisasi”.

Fenomena
kekerasan sudah sangat lama terjadi. Kekerasan sering dijadikan alat ampuh
untuk memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok terhadap masalah yang
begitu kompleks. Dan ternyata kekerasan juga menghinggapi pada agama-agama.

Di
tengah memudarnya pesona modernitas, seperti yang pernah disampaikan Max Weber,
ternyata pesona agama juga sedikit agak memudar. Sejak lama, kajian dalam
pemikiran Islam bermuara pada perdebatan dalam menyoal hubungan antara tradisi
(agama) dan modernitas (perubahan).

Bagi
pihak yang cenderung menolak modernitas dan lebih mengukuhkan pada penancapan
fungsi peran formal agama akan cenderung pada sikap “fundamentalisme”. Demikian
hal sebaliknya. Jika pihak-pihak yang lebih menganggap modernitas sebagai
satu-satunya realitas yang tak dapat ditampik dengan jalan menggeser peran
agama, maka kecenderungan sikap yang muncul adalah “sekularisme”; memisahkan
agama dari kehidupan duniawi dan memisahkan agama dari politik dan negara.

Dari
ketegangan polarisasi kedua kubu di atas akan muncul sikap-sikap kekerasan. Dan
kekerasan yang sering banyak muncul adalah dari kelompok fundamentalisme agama.
Karena mereka sering disisihkan, dipinggirkan, dan ditindas oleh kekuatan sekuler
yang bertengger di atas singgasana kekuasaan, maka tiada cara yang ampuh untuk
digelar kecuali melawan dengan aksi kekerasan.

Genealogi Radikalisme

Terkadang kita sering menyamakan istilah “fundamentalisme”
dan “radikalisme”. Padahal, keduanya berbeda walaupun berasal dari akar yang
sama. Fundamentalisme (al-ushuliyah) lebih merupakan sebuah keyakinan
untuk kembali pada fundamen-fundamen agama. Maknanya bisa positif atau negatif.
Ekses negatif yang diakibatkan dari pandangan yang fundamentalis ini adalah sikap
kekerasan (radikalisme ekstrem).

Penyandingan kekerasan dengan radikalisme disebabkan karena
gejala dalam realitas sosial yang sering nampak. Kelompok radikal sering
menggunakan cara-cara kekerasan dalam memenuhi keinginan atau kepentingan
mereka. Tapi, kelompok radikal tidak identik dengan kekerasan. Dalam tulisan
ini, yang dimaksud dengan radikalisme agama adalah “sikap keagamaan yang kaku
dan juga sekaligus mengandung kekerasan dalam tindakan”. Penyebutan ini
dimaksudkan untuk mempermudah kategorisasi.

Geneaogi radikalisme agama muncul karena beberapa sebab.
Dalam kasus Islam, misalnya, Hassan Hanafi (2001) menyebut --paling tidak-- ada
dua sebab kemunculan aksi kekerasan dalam Islam kontemporer. Pertama,
karena tekanan rezim politik yang berkuasa. Kelompok Islam terentu tidak
mendapat hak kebebasan berpendapat. Kedua, kegagalan-kegagalan ideologi
sekuler rezim yang berkuasa, ehingga kehadiran fundamentalisme atau radikalisme
agama dianggap sebagai alternatif ideologis satu-satunya pilihan yang nyata
bagi umat Islam.

Kekerasan dalam agama muncul karena ketiadaan kemampuan
dalam menghadapi modernitas dan perubahan.  Perlu digarisbawahi,
fundamentalisme merupakan spirit gerakan dalam radikalisme agama.
Pembacaan atas fundamentalisme pernah digarap oleh Martin E. Marty dan R. Scott
Appleby dalam Fundamentalisms Observed (Chicago dan London,1991). Mereka menyatakan bahwa
fundamentalisme-fundamentalisme itu merupakan mekanisme pertahanan yang muncul
sebagai reaksi atas krisis yang mengancam. Yaitu krisis keadaan yang akan
menentukan eksistensi mereka. Karen Armstrong (2000) juga menyatakan bahwa
gerakan fundamentalisme yang berkembang pada masa kini mempunyai hubungan erat
dengan modernitas.

Karena gerakan radikalisme itu
muncul sebagai respon atas modernitas maka kita sebaiknya melihat hubungan
antara tradisi dan modernitas secara obyektif. Dalam tubuh modernitas juga
mengandung banyak ekses negatif. Kita tidak dapat memungkiri bahwa pengaruh
modernitas juga memberikan implikasi kerusakan bagi eksistensi kemanusiaan.
Modernitas perlu diantisipasi pula. Tapi, antisipasi yang dilakukan tidak
menyebabkan “totalitas” penolakan atas dasar agama. Modernitas adalah sebuah
fase sejarah yang mengelilingi kehidupan manusia, di mana terdapat sisi positif
dan juga negatif. 

Solusi atas Kekerasan

Kekerasan bukanlah merupakan sebuah
tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat
modernitas. Islam memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan
perdamaian di muka bumi. Hanya saja, eksplorasi atas makna-makna perdamaian
dalam Islam telah dicemari oleh beberapa perilaku kekerasan oleh gerakan
radikal. Tugas kaum agamawan adalah bagaimana menawarkan solusi atas kekerasan
ini agar ada pernyataan bahwa kekerasan bukanlah ajaran Islam.

Fakta beberapa oknum pelaku
pengeboman atau terorisme yang dilakukan oleh kelompok agama (Islam) memang
bisa saja dibenarkan bahwa itu dilakukan oleh beberapa kelompok Islam radikal.
Tapi, apakah penampilan Islam pasti seperti itu? Tidak. Apa yang dilakukan oleh
gerakan Islam radikal sudah mengandung kompleksitas kondisional. Artinya,
dengan tameng agama, apa yang mereka lakukan juga merupakan penyertaan pada
sisi politis, ideologis, dan kepentingan non-agama yang melingkupi aksi mereka.
Jadi, itu bukan an sich karena sisi penafsiran yang merupakan hasil
pemaknaan agama yang sempit saja.

Dengan meminjam analisis Michael
Faucoult, apa yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal sudah menggiring agama
dalam hubungannya antara pengetahuan dan kekuasaan (power and knowledge).
Pengetahuan yang ingin diwacanakan oleh kelompok Islam radikal adalah bahwa
hukum Tuhan (ahkamullah) harus diimplementasikan dalam kehidupan
manusia. Dalam lokus politik, biasanya wacana yang digelar yaitu bentuk
penyatuan ad-dien wad-daulah (agama dan negara). Tapi, wacana
(pengetahuan) agama itu diperkuat dengan perangkat kekuasaan. Sehingga, gerakan
yang mereka lakukan sudah sangat mengandung unsur ideologis. Ekses negatif
karena tindak kekerasan menyebabkan agama menjadi berwajah buruk. Untuk itulah
kaitan agama dan kekuasaan harus dipisahkan.

Karena kekerasan itu akibat dari
modernitas, maka Peter L. Berger (2003) menawarkan dua strategi untuk merespon
modernitas dan sekularisasi ini, yaitu “revolusi agama” (religious
revolution
) dan “subkultur agama” (religion subcultures). Yang
pertama adalah bagaimana kaum agamawan mampu merubah masyarakat secara
keseluruhan dan menghadirkan model agama yang modern. Dan yang kedua adalah
bagaimana upaya kita untuk mencegah pengaruh-pengaruh luar agar tidak mudah
masuk ke dalam agama.

Gerakan Islam radikal muncul karena
pemahaman agama yang cenderung tekstualis, sempit, dan hitam-putih. Pemahaman
seperti ini akan dengan mudah menggiring sang pembaca pada sikap keberagamaan
yang kaku. Pembacaan agama tidak bisa terlepas dari konteks historisnya.
Pemahaman agama sangat dimanis. Untuk itulah, pembacaan yang terbuka akan
menghindarkan kita dari sikap-sikap yang berbau kekerasan.

Solusi yang bisa ditawarkan dalam
menyikapi fenomena radikalisme agama antara lain: pertama, menampilkan
Islam sebagai ajaran universal yang memberikan arahan bagi terciptanya
perdamaian di muka bumi. Kedua, perlu ada upaya penggalangan aksi untuk
menolak sikap kekerasan dan terorisme. Aksi ini melibatkan seluruh
kelompok-kelompok dalam agama-agama yang tidak menghendaki hal demikian.
Terorisme dan kekerasan adalah bentuk pelecehan atas nama agama dan
kemanusiaan.

Ketiga, sudah saatnya kita menumbuhkan
karakter keberagamaan yang moderat. Memahami dinamika kehidupan ini secara
terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran “yang lain” (the other),
yang ada di luar kelompoknya. Keberagaman yang moderat akan melunturkan
polarisasi antara fundamentalisme dan sekularisme dalam menyikapi modernitas
dan perubahan. Islam yang di tengah-tengah (ummatan wasathan) akan
membentuk karakter Islam yang demokratis, terbuka, dan juga rasional.

Islam hadir juga untuk memenuhi
panggilan kemanusiaan dan perdamaian. Adalah tugas kita semua untuk memberikan
citra positif bagi Islam yang memang berwajah humanis dan anti-kekerasan ini.
Hanya sejarahlah yang akan membuktikan apakah agama mampu hadir seperti yang
dicita-citakannya. Wallahu A’lam bish-Shawab.

10/09/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Sebelumnya saya ingin menjelaskan secara singkat pandangan saya dalam bentuk ilmiah, tidak memihak agama apapun.
Saya melihat salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dalam munculnya isi-isi ayat yang radikal dalam sebuah kitab suci agama apapun sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi pada saat agama tersebut muncul.
Misalnya suatu agama yang muncul pada saat terjadi konflik atau karena tekanan penjajah pada masa lampau, maka akan cenderung menjurus ke arah radikal karena mereka memerlukan suatu tindakan yang radikal juga dalam mempertahankan keyakinan mereka. Selain itu faktor budaya juga sangat kental didalam pembentukan suatu agama, misalnya Agama Islam mengunakan kebudayaan Timur Tengah, Kristen menggunakan kebudayaan Eropa, Budha menggunakan kebudayaan Timur. Oleh karena itu kita jangan menyalahkan ataupun memaksakan suatu agama dengan cara-cara yang radikal karena kita sudah tidak hidup di Jaman radikalisme lagi.

Posted by Dewanto  on  06/01  at  05:41 PM

Bung Susanto, al-Qur’an itu harus diimani kebenarannya. Jika ada ayat tentang keselamatan diakhirat hanya dengan jalan Islam, jelas mutlak kebenaran ayat tersebut. Tidak ada kritik konstruktif --dengan alasan mengembangkan perspektif dan kedewasaan umat--terhadap al-Quran.

Jika al-Qur’an saja isinya tidak diimani, maka sama saja tidak mengimani sang khaliq Allah SWT. Artinya kita sudah tidak memiliki iman, ia lepas layaknya anda melepas baju dari tubuh anda. Maka jiak seseorang melakukan hal ini tidak ada lagi identitas kemusliman pada diri orang tsb.

Bukan kita ingin mengklaim dengan membabi buta bahwa satu-satunya ajaran agama yang selamat adalah Islam, melainkan kita telah diberitahu demikian lewat kalamullah melalui Nabi kita. Tugas kita mengimani dengan pembenaran lisan, pengikraran dalam hati dan pengamalan dalam perbuatan.

Semakin sering kita menggali dan menggali isi al-Qur’an dengan tujuan “menghina atau meremehkan isinya”, maka semakin sering pula iblis campur tangan dalam urusan kita untuk menyesatkan kita dengan kesesatan yang amat sangat jauh dan ingat bahwa kesesatan itu berupa “kecerdasan akal” untuk menghabisi al-Qur’an. Wallahu’alam bish shawab
-----

Posted by Abu Fatih  on  07/27  at  07:07 PM

Isi tentang manusia kerdil masih belum saya mengerti, karena tidak dijelaskan kaitan dengan jaman nabi,apakah memang pada zaman nabi ada manusia kerdil dan sejak kapan dan bagaimana bisa terbentuknya manusia kerdil itu.Padahal Allah SWT menciptakan nabi dalam keadaan yang sempurna dan sebaik-baiknya manusia tidak seperti manusia kerdil yang kurang mencerminkan para nabi.Dan apakah manusia kerdil itu merupakan keturunan nabi Adam a.s ?Tolong dijelaskan!

Posted by Andhika Bayu Muharam  on  07/27  at  05:07 AM

Membongkar Teks Ambigu Oleh: Susanto·

Tantangan teologis terbesar dalam kehidupan beragama saat ini ialah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Atau istilah teologi kontemporernya, bagaimana bisa berteologi dalam konteks agama-agama. Ada satu pertanyaan mendasar: kenapa pertemuan antaragama (tepatnya pihak elitenya) telah sering dilakukan, lembaga-lembaga interfaith juga menjamur di berbagai kota, tetapi masih sering terjadi benturan antarumat beragama? Adakah yang salah dalam “manajemen” dialog antaragama? Para “idealis” akan menjawab benturan itu bukan disebabkan ajaran atau teks keagamaan tapi umat beragama, manusianya bukan ajarannya. Karena “semua agama mengajarkan perdamaian bukan peperangan, rahmat bukan kekerasan, cinta kasih bukan kebencian, kesejukan bukan terorisme” dan rumusan serba ideal yang sejenis. Ini jawaban khas para apolog agama.

Teks keagamaan memang tak ada yang mengajarkan secara langsung kekerasan dan terorisme. Akan tetapi, teks keagamaan itu bisa memberi inspirasi bagi munculnya tindakan kekerasan. Kenapa? Sebab watak dasar teks itu adalah “ambigu”. Satu sisi, teks mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang serba ideal dan humanistik, tapi saat yang sama juga menuturkan dan melegalkan tindakan-tindakan yang eksklusif-primordialistik demi mempertahankan apa yang disebut “keyakinan”. Susahnya mengikis gerakan fundamentalisme agama di antaranya juga disebabkan kelompok ini memiliki justifikasi teologis melalui “Kitab Suci”. Sebelum teks-teks itu (yang selama ini dianggap “Kitab Suci”) didekonstruksi, transformasi teologis yang lebih egaliter dan manusiawi takkan pernah terwujud dalam kehidupan umat beragama.  Teks-Teks Yang Ambigu Salah satu contoh teks agama yang bisa menjadi inspirator bagi “petualang agama” melakukan tindakan kekerasan ialah: “Siapa yang mengutuk kamu (Israel), maka terkutuklah dia dan siapa yang memberkatimu maka berkatilah dia” (Kejadian27:29). Ayat inilah yang dipakai, antara lain, oleh Jarry Falwell, tokoh Gereja Konservatif Amerika, berkampanye pada Jemaat Kristen guna menggalang solidaritas Yahudi dan mengecam Palestina. Padahal, menurut pakar Bibel dari Graduate Theological Union, Norman Gottwald, dalam The Hebrew of Bible, konsep tentang “kekudusan” (maksudnya, Israel sebagai bangsa yang kudus/suci) dan “bangsa yang diberkati” seperti tertuang dalam Alkitab yang mengacu kepada komunitas Yahudi kuno adalah ibarat nyanyian orang yang sedang ketakutan saat melewati kuburan tua. Artinya, dulu para elite Yahudi menggunakan konsep itu karena tak berdaya menghadapi tekanan-tekanan politik yang dilakukan Mesir sebagai negara adikuasa saat itu. Konsep itu dipakai dalam rangka menggalang simpati publik guna melawan hegemoni bangsa Mesir. Semacam eskapisme, “pelarian teologis” dengan menggunakan legitimasi ketuhanan. Gottwald menyebut teks-teks Bibel adalah “akal-akalan” elit Yahudi sejak Daud guna meningkatkan supremasi rezim. Karena itu, ia menyebut Bibel sebagai “a trap of Jews”—perangkap Yahudi. Selain ayat yang mengandung semangat jihad di atas, juga terdapat beberapa teks lain dalam Alkitab yang juga bernuansa eksklusif-primordial seperti tertuang dalam Injil Yohanes 14/6, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang pada Bapa kalau tak melalui Aku.” Juga ayat, “Dan keselamatan tak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tak ada manusia yang kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4/12). Inilah yang memunculkan ungkapan yang sangat populer di kalangan Kristen, “No Other Name!” yang menjadi simbol tentang tak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus. Ayat ini juga yang memberi inspirasi teolog Hendrick Kraemer untuk menulis buku The Christian Message in a Non-Christian World —buku yang disebut-sebut menjadi basis penginjilan selama bertahun-tahun. Atas dasar mempertahankan kesucian ayat-ayat inilah, umat Kristiani marak membentuk Laskar Jesus untuk melawan orang Islam atau siapa saja yang dipandang mengganggu keagungan doktrin Kristiani. Dalam Islam juga terdapat seabrek ayat yang dalam perspektif “fundamentalis” sering dibaca secara literal dan dipakai untuk melakukan sejumlah tindakan konfrontasi dan terorisme terhadap non-Muslim, bahkan umat Islam sendiri yang kebetulan berbeda pandangan (ideologi) dengan dalil (yang sebetulnya dalih) “menegakkan Islam yang otentik.” Puritanisme dan otentisitas sebagai sebuah ideologi yang begitu marak di sejumlah negara Islam (termasuk Indonesia) terinspirasi dari teks-teks yang primordialistik ini. Beberapa ayat patut disebut di sini, antara lain, “Barang siapa yang memeluk selain agama Islam, maka tidak akan diterima agama itu, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi” (Q.s. 3/85). Kemudian ayat, “Sesungguhnya orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik akan berada di neraka Jahanam dan kekal didalamnya, mereka adalah seburuk-buruk makhluk” (Q.s. 98/7). Juga ayat Alquran yang begitu populer, “Orang-orang Yahudi dan Kristen takkan pernah rela sebelum kalian mengikuti agama mereka”. Ayat inilah yang memberi inspirasi kepada sebagian umat Islam untuk menjaga jarak dan antipati terhadap --istilah mereka-- kaum “salibis” dan “zionis”. Ayat-ayat ini juga yang dipakai sebagai dasar teologis rezim fundamentalis Islam di negara-negara berbasis Muslim untuk melakukan tindakan kekerasan seperti ethnic cleansing dan konfrontasi terhadap orang-orang Kristen dan Yahudi dan non-Muslim lain. Ini belum termasuk sejumlah teks skriptural lain yang mengajarkan (meski belum tentu menganjurkan) tindakan diskriminatif, dominasi kelompok dan perilaku subordinatif terhadap golongan “lain”. Maraknya praktik diskriminasi terhadap kaum perempuan dan sekte-sekte minoritas, antara lain, juga diilhami ayat-ayat ini.  Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain. Khalil Abdul Karim dalam buku Quraisy min al-Qabilah ila ad-Daulah al-Markaziyyahtelah menunjukkan dengan baik bagaimana bangsa Quraisy telah menegakkan hegemoni sejak Quraisy bin Kilab, sebagai pendiri klan, sampai puncaknya ketika Nabi Muhammad mendirikan negara Madinah. Hegemoni suku Quraisy atas Islam ini mirip seperti hegemoni Israel dalam tradisi Judaisme. Karena itu, tak salah jika Ulil Abshar sering “menganjurkan” agar umat mampu memilah-milah teks-teks Alquran: mana yang merupakan nilai universal Islam dan mana yang hanya merupakan pengaruh kebudayaan Arab.

Dekonstruksi untuk Transformasi

Teks-teks agama dalam tradisi Islam, Kristen dan Yahudi di atas harus didekonstruksi dengan menggunakan pendekatan sosio-historis. Pendekatan “sosio-historis” ini menuntut setiap umat untuk menanggalkan sejumlah asumsi yang selama ini mempengaruhi kognisi kolektif umat. Premis dasar yang dimaksud adalah keyakinan bahwa “Kitab Suci”-nya (Alkitab atau Alquran) sebagai “firman Tuhan” yang bersifat supra-historis, firman yang “mengatasi” sejarah. Jika keyakinan ini belum bisa dilepaskan, maka upaya membongkar dimensi historisitas Alkitab dan Alquran menjadi sia-sia. Dengan pendekatan kesejarahan ini pula kita akan tahu bahwa teks yang kini disucikan oleh umat itu sebetulnya bersifat profan tidak sakral, temporal bukan permanen. Ada proses historis yang begitu panjang dan rumit sehingga teks ini pada akhirnya menjadi semacam “scientia sacra” yang disucikan dan dimitoskan.

Dekonstruksi ini juga dilakukan dalam rangka membangun sebuah komunitas keberagamaan yang transformatif. Sebab gagasan mengenai “transformasi agama-agama” baru mungkin bisa dilakukan jika masing-masing umat bersedia untuk “melepaskan diri” dari kungkungan Teks (T besar) yang selama ini menghegemoni nalar kritis umat. Tanpa disadari Teks selama ini menyelinap dalam “alam bawah sadar” kita, mempengaruhi dan mengendalikan setiap langkah gerak umat beragama: harus begini, jangan begitu. Tanpa disadari hidup kita selama ini bagaikan robot yang gerak-geriknya dikendalikan oleh sebuah remote control. Dan remote control itu kini bernama Teks yang menjadi dasar/ruh sebuah agama. Selama langkah gerak kita positif dan “manusiawi” saya rasa tidak menjadi persoalan. Masalahnya adalah jika langkah dan gerak kita negatif dan “tak manusiawi”. Teks yang kita anggap suci selama ini selain mengandung “prinsip-gerak” positif (misalnya, teks tentang kebebasan/liberasi, persamaan hak, ajaran kasih, solidaritas sosial, emansipasi, persaudaraan universal, dll) juga berisi “prinsip gerak” negatif (misalnya, teks tentang perbudakan, keunggulan doktrin, dominasi gender, jihad, dll). “Prinsip-gerak” negatif dari Teks ini yang kemudian membentuk manusia-manusia kerdil yang mengeksploitasi pihak lain atas nama agama dan Tuhan. Dekonstruksi untuk melucuti watak hegemonik sebuah Teks bahwa Teks tertentu lebih unggul ketimbang teks lain (yang melahirkan pandangan bahwa agama tertentu lebih unggul ketimbang lainnya. Tidak ada satupun umat beragama yang bisa mengklaim bahwa halaman “Kitab Suci”-nya telah mampu menangkap pesan-pesan Tuhan. Tuhan jelas lebih agung ketimbang sebuah teks. Dia melampaui teks apa pun. Klaim atas supra-historisitas firman Tuhan justru akan mereduksi kebesaran Tuhan itu sendiri. Maka, dengan dekonstruksi, segala klaim otoritas baik agama maupun teks menjadi sirna, lumer, lalu melebur menjadi satu, sederajat (“sikap paralelisme”), tak ada dominasi teks atau agama tertentu atas teks dan agama lain. Inilah usaha-usaha mutakhir yang sedang dijalankan para pendukung dialog antaragama seperti yang dipaparkan Leonard Swidler dalam After the Absolute: The Dialogical Future of Religious Reflection. Mereka berusaha melepaskan diri dari berbagai kompleksitas hubungan antarumat beragama seperti penerapan “standar ganda”, klaim kebenaran atau janji penyelamatan yang dianggap sebagai tanda ketidakkritisan dari cara berpikir agama atau (religion’s way of knowing). Arthur J D’Adamo menyebut religion’s way of knowing ini sebagai akar dari konflik antarumat beragama yang berawal dari sebuah standar tentang agamanya sendiri dan “Kitab Suci”-nya yang merupakan sumber kebenaran yang diyakini sebagai (1) bersifat konsisten dan berisi kebenaran-keberanan yang tanpa kesalahan sama sekali; (2) bersifat lengkap dan final, dan karena itu tak diperlukan kebenaran agama lain; (3) kebenaran agamanya sendiri dianggap merupakan satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan maupun pembebasan; dan (4) seluruh kebenaran itu orisinal dari Tuhan, tak ada konstruksi manusia. Jalan pikiran demikian jelas picik, menyesatkan dan tak kondusif untuk membangun persaudaraan kemanusiaan universal. Para aktivis dialog agama harus mulai mendiskusikan wilayah “muharramat” ini dengan tanpa sungkan dan canggung.

Kita perlu pandangan-pandangan yang bersifat terbuka terhadap sistem keyakinan agama lain dan menutup rapat-rapat segala bentuk egoisme kita. Dengan melepas klaim-klaim kebenaran dan janji penyelamatan yang berlebihan, dengan menanggalkan “identitas primordial” yang juga berlebihan, mengoreksi diri tentang standar ganda yang sering kita pakai terhadap orang lain, dan selanjutnya memperluas pandangan inklusif teologi kita, agama-agama akan mempunyai peranan penting di masa depan dalam memberikan landasan spiritual bagi peradaban masyarakat kita. Seperti yang dengan indah dilukiskan Bhagavan Das, “Kita semua para penganut agama akan bertemu dalam the road of life yang sama. Yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan kehausan, semua membutuhkan roti dan air kehidupan yang hanya bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit”.[]

Posted by Susanto  on  04/19  at  10:04 PM

Saya setuju dengan pandangan saudara mengenai penyebab radikalisme agama. Tapi untuk konteks Indonesia, saya melihat faktor kemiskinan dan mob-culture sangat berperan besar terhadap radikalisasi ini. Tugas saudara untuk melakukan penelitian lebih lanjut, karena tulisan saya ini hanya sebuah komentar.

Sudah dimafhumi oleh banyak pihak bahwa keberagamaan kita sangat longgar, ada dan tidak adanya agama sebenarnya kurang berpengaruh bagi perilaku kehidupan masyarakat kita. Kata Cak Nun kita itu beragama secara tidak konsisten, sholat tapi juga main togel, berhaji tapi juga ke pelacuran. Artinya, peran agama sebenarnya sangat minim bagi perilaku kehidupan sebagian masyarakat kita. Kultur yang turun-temurun dari sejak jaman raja-raja dulu-lah yang sangat berperan. Artinya lagi, keberagamaan kita kecil sekali kontribusinya untuk membawa masyarakat radikal atau tidak radikal.

Masyarakat kita itu miskin, dan mentalitas kemiskinan menyebabkan miskin informasi, miskin pendidikan, dan miskin pengetahuan. Masyarakat miskin biasanya berpikiran pendek, dalam melakukan tindakan tidak dipikirpanjang, karena selalu beranggapan ‘nothing to lose’ from doing something. Sanksi sosial dan sanksi kelembagaan (kalaupun ada) tidak banyak membantu karena ‘nothing to lose’ itu. Seks bebas dan tindakan anarkis tidak secara langsung menyebabkan seorang individu kehilangan muka (sanksi sosial) karena status sosial mereka rendah, sehingga tdk ada trade-off (negative impact) sama sekali atas sebuah perbuatan buruk.

Di negara-negara maju, misalnya USA, Eropa dan Australia, walaupun keberagamaan mereka (Kristen) tidak begitu intens, tapi karena kemiskinan struktural (tdk hanya ekonomi) sangat minim dan institusi negara sangat berwibawa, maka keinginan untuk berlaku radikal hampir tidak ada karena tidak membawa benefit sedikitpun bagi kehidupan sosial ekonomi mereka. Sedangkan tatanan masyarakat yg radikal akan membawa dampak besar bagi tatanan kehidupan mereka. Di sisi lain, di negara terbelakang, apakah seseorang berlaku radikal atau tidak radikal keduanya tidak banyak membawa dampak negative bagi individu (nothing to lose), akibatnya perilaku ‘ignorance’ lah yang mengemuka.

Kesimpulan saya, saya setuju bahwa agama itu multi-interpretasi. Bagaimana kita menginterpretasikan agama sangat dipengaruhi oleh kehidupan nyata yang kita hadapi. Kalau kehidupan kita susah dan miskin, maka perilaku kecemburuan sosial akan mengkristal dan akan mencari pembenaran-pembenaran melalui interpretasi ayat-ayat dan hukum-hukum agama. Orang selalu mencari justifikasi dalam bertindak, begitu bukan?

Terima kasih

Posted by Fathur  on  09/24  at  12:10 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq