Merangkul Yang Lain - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
15/08/2008

Merangkul Yang Lain

Oleh Albertus Patty

Celakanya, di saat terjadi politik labelisasi atas dasar agama yang memilah dan cenderung melakukan pembedaan terhadap manusia, agama justru tampil sebagai pemberi legitimasi. Labelisasi tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Buku Clash of Civilization-nya Samuel Huntington mengingatkan bahwa politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara berkelindan menjadi biang pencipta kekerasan dan teror di seantero dunia. 

Dalam Portrait of the Anti-Semite, Jean-Paul Sartre bertutur, “Yahudi adalah seorang yang dipandang oleh orang lain sebagai Yahudi;…kaum anti-Semitlah yang membuat orang Yahudi.” Julukan yang dinisbahkan ini, menurut Amartya Sen, hanya menghasilkan dua distorsi, yaitu: penggambaran keliru tentang orang yang tergolong ke dalam kategori yang disasar, serta terbentuknya suatu kepastian bahwa ciri-ciri keliru yang digambarkan tadi merupakan satu-satunya ciri yang sesuai dengan identitas orang yang disasar. Sederhanyanya begini: orang cenderung melabel orang lain. Padahal pelabelan pasti meredusir identitas seseorang menjadi monoidentitas. Oleh karena itu, pelabelan itu menjerumuskan orang pada kekeliruan. Menurut Sen, dalam Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas, pada dasarnya manusia memiliki multi-identitas (H. XXII).

Anak sahabat kental saya memiliki teman yang baru datang dari negeri Cina. Merasa sebagai asli Indonesia, anaknya itu ingin menampilkan citra positif tentang Indonesia kepada temannya. Di tengah upaya kerasnya, ia sendiri justru diejek dan diberi label ‘Cina’ oleh teman-teman sekampungnya. Dia pun mengalami pergumulan identitas. Dia tidak penah membayangkan diri sebagai Cina. Ia cuma tahu satu hal bahwa ia adalah anak Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa ia memang keturunan Cina. Tetapi, apa yang salah sebagai seorang keturunan Cina. Semua orang pun keturunan dari salah satu suku. Apalagi keturunan dari salah satu suku bangsa, termasuk Cina, bukanlah satu-satunya identitas diri seseorang. Sekali lagi, seseorang memiliki multi-identitas: selain keturunan Cina atau keturunan Arab, seseorang bisa berbudaya Jawa atau Medan, tetapi orang Jakarta, beragama tertentu, pebasket, pemusik profesional, dermawan, dan sebagainya. Proses pelabelan bukan saja menyempitkan yang diberi label, tetapi juga menunjukkan betapa sempitnya wawasan si pemberi label.

Allah Suku

Sesungguhnya di dunia ini, terutama di Indonesia, sedang terjadi proses labelisasi terhadap sesamanya. Ada yang diberi label atas dasar suku tetapi ada juga yang diberi label atas dasar ideologi politik. Ada yang diberi label atas dasar agama, tetapi ada juga yang diberi label atas dasar prasangka terhadap yang dianutnya misalnya dengan melabel kelompok tertentu sebagai ‘sesat.’ Seseorang dilabel Kristen, Islam, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu atau Ahmadiyah. Politik pun dititiskan atas dasar pelabelan ini. Politisasi agama, yang konon didasarkan pada PNPS 1/1965, telah menciptakan label agama ‘diakui’ dan yang ‘tidak diakui.’ Politisasi agama itu juga yang menjadi dasar pelabelan agama ‘benar’ dan ‘sesat.’ Celakanya, di saat terjadi politik labelisasi atas dasar agama yang memilah dan cenderung melakukan pembedaan terhadap manusia, agama justru tampil sebagai pemberi legitimasi. Labelisasi tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Buku Clash of Civilization-nya Samuel Huntington mengingatkan bahwa politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara berkelindan menjadi biang pencipta kekerasan dan teror di seantero dunia. Ada banyak alasan mengapa Amerika Serikat menyerang Afghanistan atau Irak, tetapi salah satu alasan penting adalah karena labelisasi agama. Ada banyak alasan mengapa Israel menduduki Palestina, tetapi salah satu sebabnya adalah faktor agama. Ada banyak alasan mengapa terjadi ledakan konflik di Ambon, di Poso atau di berbagai tempat lain, tetapi salah satunya adalah labelisasi agama. Labelisasi meredusir manusia, tetapi juga menciptakan prasangka. Prasangka inilah, kata John Shelby Spong, menciptakan terror dan kekerasan.

Film the Mission, yang peran utama dimainkan dengan sangat bagus oleh Robert De Niro, menyuguhkan cerita menarik dimana para penginjil Spanyol menghajar dan membinasakan suku-suku Indian. Susan Wolf mengatakan bahwa Spanyol telah melakukan kejahatan genoside terhadap dua suku Indian yaitu Kathar dan Piquot. Alasan utamanya adalah karena labelisasi agama yang melahirkan virus: kami Vs mereka. Pelabelan bukan cuma meredusir identitas seseorang tetapi bahkan menciptakan sekat-sekat dan prasangka-prasangka di antara umat manusia. Dunia yang luas ini pun seolah dikapling dalam kotak-kotak yang sempit. Dan kapling itu bukan sesuatu yang nyata. Kapling itu hanyalah sebuah ilusi yang kita bentuk dalam otak kita masing-masing yang kemudian membentuk prasangka.

Akar-akar labelisasi muncul dari cara orang memahami Allah dan agama. John Shelby Spong dalam Yesus Bagi Orang Non Religius mengatakan bahwa prasangka yang terjadi di antara manusia yang berbeda itu memiliki akar kuat dari cara seseorang atau sekelompok memahami Allah yang disembahnya. Ketika Allah dipahami sebagai Allah suku (A tribal God) maka Allah selalu menjadi pemberi legitimasi terhadap prasangka dan bahkan konflik dengan mereka yang dianggap memiliki label berbeda. Allah pun dipersempit menjadi Allah penyelamat suku atau kelompok tertentu. Allah suku adalah Allah ciptaan manusia yang berpikiran sempit karena itu Allah pun didefinisikan secara sempit. Manusia dan dunia ini, kata Spong, tidak membutuhkan Allah yang ‘cupet’ seperti itu. Sebaliknya, manusia dan dunia ini membutuhkan Allah yang merangkul dan mencintai semua orang termasuk mereka yang berbeda. Allah seperti itu adalah yang siap merubuhkan tembok-tembok pembatas, membongkar kapling-kapling sempit yang ada dalam ilusi manusia.

Berbeda dengan Spong yang lebih menyorot segi teologis, Andre Dumas justru mencari akar labelisasi yang menciptakan prasangka ini dari sudut sosiologis. Menurut Dumas, labelisasi terjadi karena agama lebih dipahami sebagai pengikat (religare) daripada sebagai persekutuan (relegere). Sebagai pengikat, agama membentuk pengelompokan-pengelompokan (clusters) yang berpotensi membangun keamanan diri dan pada sisi lain membentuk prasangka bahwa yang lain adalah musuhnya. Sebaliknya, sebagai persekutuan, agama justru menjadi kekuatan yang merangkul sang liyan berdasarkan cinta dan keterbukaan.

Cinta & Keterbukaan

John Shelby Spong mengatakan bahwa kehadiran Allah dalam diri dan hidup seseorang atau sekelompok umat nyata dalam cinta dan keterbukaan. Seseorang yang dipenuhi cinta dan keterbukaan akan mampu menerima dan bahkan merangkul perbedaan karena perbedaan adalah bagian dari proses pertumbuhan dan pendewasaannya. Seorang yang mengalami kehadiran Allah tidak pernah takut oleh perbedaan, tidak akan berjuang untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Sebaliknya, ia selalu menjadi sesama bagi siapa pun, termasuk terhadap mereka yang berbeda. Para nabi, seperti Muhammad dan Yesus, adalah mereka yang berjuang untuk kepentingan semua. Mereka adalah tokoh yang berhasil melewati rintangan label dan batasan yang diciptakan oleh ilusi manusia. Mereka mampu bergaul dan berdialog dengan siapa pun. Mereka bahkan siap menjadi pembela bagi siapa pun. Hidup dan perjuangan mereka selalu dikuasai oleh cinta dan keterbukaan. Mereka diikuti, dicintai dan dihormati bukan karena kekerasan dan kebengisan tetapi oleh karena cinta dan keterbukaan. Mereka membangun interaksi dan dialog yang berdasarkan kerendahan hati juga karena hidup mereka didasarkan pada cinta dan keterbukaan.

Realitas plural umat manusia pada masa kini menantang kita dalam dua hal. Pertama, ia menantang kita menanggalkan ilusi sempit dan prasangka terhadap yang lain. Umat beragama harus belajar membuka diri seluas-luasnya dan belajar mencintai dan merangkul mereka yang berbeda. Umat harus mampu memasuki ruang interaksi untuk melakukan dialog yang memperkaya kehidupan dan cinta. Kedua, umat beragama harus bisa bekerjasama dalam membangun dan menumbuhkan kemanusiaan serta mampu mengeritisi proses dehumanisasi yang sering terjadi karena politisasi agama. Semoga!

* Pendeta GKI dan Ketua Crisis Center GKI

15/08/2008 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (14)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

as salamualaikum,

Kita tidak pernah memilih dilahirkan dengan labelisasi apapun baik ras, gender atau kekayaan. tidak ada yang membedakan kita kecuali ketakwaan kita kepada Allah yang telah menciptakan kita..kepada Allah yang menciptakan kita...kepada Allah yang MENCIPTAKAN kita

Posted by arema singa isam  on  05/03  at  10:47 AM

betul sekali, Islam tidak megajarkan yang demikian itu, meyakiti kafir dimmi adalah musuh Nabi SAW, kalau kafir harbi....tidak melawannya adalah bodong binti pengecut

Posted by arema  on  03/25  at  07:31 PM

Labelisasi=Instink Primitif?
Dhanz benar. Ketika ia menyampaikan bahwa labelisasi adalah instink primitif mereka—para kaum primitif—tidak pernah berpikir bahwa manu-
sia dilahirkan tanpa bisa memilih lebar sempaitnya mata, hitam-puthnya kulit tubuh, serta
panjang pendeknya-hidung. Karena itu beruntunglahlah kita yang telah memiliki Pancasila sebagai Dasar Negara—apabila kita benar-benar berminat untuk menghayati butir-butirnya dalam pengamalan kesehariannya. Tanpa merasa sok Pancasilais mari kita renungkan bersama terutama saudara-saudara kita yang masih berpikir primitif.
Syukur-syukur kita mau dan mampu berpikir sebagai seorang kosmopolit di era global ini.
<hasan_baraja52@yahoo.co.id>

Posted by hasan baraja  on  10/21  at  11:18 AM

Allah telah menciptakan kita dalam berbagai suku dan bangsa, agar kita saling mengenal dan kasih sayang. Namun yang mulia di sisi Allah hanya orang yang bertakwa kepadaNYA. Masalah labelisasi saya pikir itu perlu,sebagai indikator dalam menjalani kehidupan. Seperti ada label haram dan halal dalam makanan dan minuman. Manfaatnya agar kita dapat berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan tersebut. Demikian juga dengan label agama,itu sangat penting, agar kita mempunyai jati diri dan status keagamaan kita. Coba di bayangkan apa bila kita mempunyai hanya satu nama agama, dan ketika orang menanya apa agamamu. Lalu apa kita jawab?
Yang terpenting sebenarnya bukan labelisasinya,tapi Tuhannya yang tetap satu yaitu ALLAH SWT.

Posted by abifaqih  on  10/18  at  10:53 PM

Alloh, memang telah menciptakan umat manusia dalam perbedaan-perbedaan. Perbedaan yang pertama adalah: pria dan wanita. Bisakah label ini disatukan? Jawabnya bisa: bersatu dalam label : “manusia”. Tetapi tetap bisa dibedakan karena memang sudah dari sononya (dari Alloh) menciptakan keterbedaan itu, dengan peran sosial yang memang berbeda. Haruskah disatukan? Tentu saja tidak bisa.
Demikian dengan bangsa-bangsa yang ada: China, Arab, Amerika, Asia, etc, memang sudah tercipta dengan perbedaan-perbedaan. Label-nya pun sudah berbeda. Jadi tidak mungkin disatupadukan label tersebut dan dihilangkan label tersebut sebagaimana paham Labelisme oleh penulis. Itulah kuasa Alloh. Demikian juga dalam konteks beragama.
Pokok persoalannya adalah, bagaimana dengan berbagai perbedaan tersebut tetap muncul kesadaran bahwa “perbedaan itu sudah kodrati dari Sang Pencipta dan harus disikapi dengan saling menghormati BUKAN harus DISATUKAN”. Konteks ini yang paling penting. Seandainya masing-masing bisa SALING MENGHORMATI apa yang ada di masing-masing perbedaan (alias masing-masing label)tersebut, toh...pasti KEDAMAIAN, CINTA KASIH akan terwujud.
Jadi intinya BUKAN penghapusan LABEL-nya (paham ini tidak logik), dan penyatuan paham LABEL....tetapi bagaimana masing-masing LABEL tersebut bersikap terhadap LABEL lainnya.

Posted by Al Faqir  on  10/14  at  04:08 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq