Merebut (Makna) Pancasila - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

12/06/2009

Merebut (Makna) Pancasila Catatan dari Kaki Gunung Slamet

Oleh Trisno S. Sutanto

Satu-satunya jaminan keberadaan kelompok-kelompok ini adalah Pancasila—walau rezim Soeharto telah menodainya. Karena pada rumusan Pancasila yang menghormati kebhinekaan, tetapi sekaligus menjaga persatuan, setiap kelompok diterima dan dihargai, tenggang rasa dicari, dan sikap moderasi diunggulkan. Soalnya adalah mencari celah yang melalui mana tuntutan mendasar itu dapat timbul ke permukaan.

SETIAP kali kata “Pancasila” terdengar, bulu kuduk saya seakan berdiri. Kata itu dulu pernah menjadi mantra ampuh di tangan rezim otoriter Soeharto, sebagai senjata ideologis yang dapat membungkam siapa saja yang mau berpikir kritis, sekaligus membuat setiap obrolan tentang Pancasila jadi memuakkan.

Tetapi di Padepokan Wulan Tumanggal, di kaki Gunung Slamet, Pancasila menjadi cerita lain yang memesona. Bukan sekadar repetisi bebal para pejabat, tetapi suatu keyakinan yang berurat berakar, dan ditempa oleh pengalaman peminggiran yang pahit. Pancasila lalu menjadi semacam pertaruhan hidup mati, sekaligus perjuangan untuk merebut hak-hak sipil kelompok-kelompok penghayat kepercayaan yang selama ini dinafikan.

Akhir bulan lalu, saya diundang ke padepokan itu. Mereka mengajak saya untuk merayakan “hari Pancasila”—sebuah istilah yang, mulanya, membuat saya merinding, tapi sekaligus membangkitkan minat. Selama ini Pancasila sudah dinafikan, dianggap barang tua warisan rezim otoriter yang harus dimuseumkan. Tetapi pengalaman gejolak sosial pasca Mei 1998, membuat kata sakti yang dirumuskan Soekarno 64 tahun lalu itu kembali menemukan gregetnya. Dan kini, kata itu kembali bergema di kaki Gunung Slamet.

Tiga hal dengan segera mengejutkan saya. Pertama, soal istilah: “hari Pancasila”. Berulang kali mereka menegaskan, bahwa yang diperingati bukanlah “hari lahir Pancasila”, tetapi “hari Pancasila”. Sebab, seperti ditegaskan Esno Kurnodho, Ketua Umum Himpunan Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa (HPK), yang bagi masyarakat di sana lebih dikenal sebagai Rama Guru Bapak Tegal, jika memang ada hari lahir, maka kemungkinan ada juga hari kematiannya! Lagi pula, pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 lalu bukanlah peristiwa yang melahirkan Pancasila, tetapi “merumuskan” kelima sila yang, kata Soekarno sendiri, “digali dari khasanah bumi nusantara” dan diterima sebagai dasar negara merdeka yang akan dibentuk itu.

Kedua, perayaan “hari Pancasila” itu justru dilakukan oleh masyarakat sipil, tanpa sedikit pun campur tangan birokrasi negara. Padahal sekitar 700 orang dari berbagai daerah nusantara, dari mereka yang berusia lanjut sampai balita, menghadiri dan memeriahkannya. Ini sungguh fenomena menarik yang, saya yakin, akan punya dampak mendasar. Justru ketika birokrasi negara, para pejabat, politisi dan intelektual merasa enggan, atau malah risi, membicarakan lagi Pancasila, dan bahkan cenderung menafikan diskursus tersebut, kini masyarakat akar rumput mengambil inisiatif, merebut pemaknaan, dan mendaku-kembali Pancasila sebagai sesuatu yang fundamental bagi hidup mereka. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Kebingungan saya mendapat jawaban dari fenomena ketiga: perayaan “hari Pancasila” sesungguhnya merupakan deklarasi perjuangan kelompok-kelompok penghayat kepercayaan untuk menuntut hak-hak sipil mereka yang selama ini diabaikan. Di situ Pancasila bukan sekadar basa-basi pidato, tetapi menyentuh pertaruhan ultim yang menyangkut eksistensi mereka, Untuk memahami soal ini, kita harus mendedah agak jauh ke belakang—betapapun singkatnya.

Dalam kajiannya yang sudah klasik, Niels Mulder pernah memperlihatkan bahwa baru pada tahun 1961 Departemen Agama berhasil merumuskan definisi minimum tentang “agama” yang menjadi definisi resmi sampai sekarang, setelah upaya sebelumnya (1952) kandas di tengah jalan. Ada latar belakang politis yang kuat di balik perumusan tersebut yang harus ditelisik dengan teliti.

Mulder mengingatkan, kebijakan tersebut dilatari oleh suburnya kelompok-kelompok kebatinan pada masa itu. Depag, misalnya, pernah melaporkan bahwa pada tahun 1953 ada lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini ditengarai Mulder telah memainkan peran menentukan, sehingga pada Pemilu 1955 partai-partai Islam gagal memperoleh suara mayoritas, hanya mendapat 42 persen suara. Pada tahun yang sama BKKI (Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia) didirikan di bawah kepemimpinan Mr. Wongsonegoro. Lalu tahun 1957, BKKI mendesak Soekarno agar mengakui secara formal bahwa “kebatinan” setara dengan “agama”.

Tidak heran jika konstelasi politik ini mendorong Depag pada tahun 1961 mengajukan definisi “agama”. Suatu “agama”, menurut definisi itu, harus memuat unsur-unsur penting: kepercayaan pada Tuhan Yang Mahaesa, ada nabi, kitab suci, umat, dan suatu sistem hukum bagi penganutnya. Tentu saja, dengan definisi seperti itu, banyak kelompok kepercayaan, kebatinan, atau kelompok-kelompok masyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat dan praktik-praktik religi lokal, seperti animisme, dinamisme, dstnya tidak tercakup di dalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai orang yang “belum beragama”. Atau, seperti diperlihatkan Atkinson, istilah itu berarti juga “belum memeluk agama yang diakui negara”!

Boleh dibilang sejak saat itu kelompok-kelompok penghayat kepercayaan dipinggirkan, bahkan ditolak keberadaannya. Hak-hak sipil mereka dinafikan, mulai dari kartu identitas, pernikahan, sekolah, dan lainnya. Sementara apa yang disebut “kepercayaan”, bagi penguasa negara ini, hanya masuk dalam kategori Departemen Pariwisata dan Film—jadi semacam tontonan bagi para wisatawan asing. Dan sebagai kelompok yang “belum beragama” itu, sudah tentu, mereka sah-sah saja menjadi sasaran penyebaran agama resmi untuk mencari tambahan pengikut.

Satu-satunya jaminan keberadaan kelompok-kelompok ini adalah Pancasila—walau rezim Soeharto telah menodainya. Karena pada rumusan Pancasila yang menghormati kebhinekaan, tetapi sekaligus menjaga persatuan, setiap kelompok diterima dan dihargai, tenggang rasa dicari, dan sikap moderasi diunggulkan. Soalnya adalah mencari celah yang melalui mana tuntutan mendasar itu dapat timbul ke permukaan.

Reformasi 1998, dengan tuntutan “politik kesetaraan” yang menafasinya, memberi celah itu. Terobosan UU Administrasi Kependudukan No 23/2006 memberi kemungkinan bagi para penghayat kepercayaan untuk “mengosongkan kolom agama” baik di KTP, Kartu Keluarga, maupun Surat Keterangan Kependudukan. UU itu juga, perlu dicatat, merupakan dokumen resmi pemerintah pertama yang memakai istilah “mereka yang agamanya belum diakui”—sebuah istilah yang selama ini dihindari pemerintah.

Maka terobosan UU 23/2006 tersebut kini menjadi senjata yang ampuh. Kelompok-kelompok penghayat kepecayaan di berbagai daerah berbeda ramai-ramai meminta agar kolom agama di KTP mereka dikosongkan saja. Berulang kali, di kaki Gunung Slamet, saya mendengar kesaksian orang-orang yang dengan gigih memperjuangkan hak-hak mereka itu, walau harus menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tetapi saya sadar, celah terbuka itu menjadi kesempatan bagi para penghayat kepercayaan untuk meneguhkan identitas mereka, dan akan mengubah peta keberagamaan di negeri ini pada masa mendatang.

Ada cerita menarik soal itu. Seorang penghayat bercerita bagaimana dia meminta agar kolom agama di KTP-nya dikosongkan saja. Padahal, dulu, di kolom itu tercantum agama “Islam”. Petugas yang dihadapinya bingung. “Bapak pindah agama?” tanyanya.
“Bukan,” jawab dia. “Saya kembali kepada kepercayaan leluhur saya…”

Dengan kalimat itu, ia sedang menegaskan haknya untuk berdiri sama tinggi di negeri ini. Dan di kaki Gunung Slamet, diskursus Pancasila kembali hidup, sebagai pertaruhan ultim hak-hak anak bangsa.

12/06/2009 | | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

PANCASILA, lima pedoman yang luar biasa dimiliki bangsa kita, aku bangga dengan itu sebagai bangsa Indonesia yang memiliki pedoman itu, akan tetapi sayang sekali saat ini sila sila dari Pancasila itu sendiri semakin kabur dalam pelaksanaannya. bangsa yang sudah kenal kebhinekaan dalam seluruh aspek kehidupan sejak jaman dahulu saat ini semakin sering berita aliran sesat sebagai pemicu untuk alasan seseorang atau kelompok untuk memaksakan kehendak, tanpa menyadari kenapa semakin hari semakin banyak aliran - aliran berketuhanan di Indonesia, dan para aparatur yang seharusnya sebagai pengawal peraturan tampaknya semakin kebingungan untuk berdiri tegak sebagai pengawal peraturan malah mengikuti kelompok yang lebih besar untuk ikut membongkarnya. ayo kawan bangsa kita adalah bangsa besar renungkan dan temukan pedoman hidup yang telah dimiliki bangsa kita sungguh - sungguh kita akan dibimbing menjadi manusia yang mulia.

Posted by pratala  on  02/13  at  12:21 AM

pancasila dan khomsatul arkan adalah perpaduan yg unik bagi umat islam yg msh dlm kejahiliahan jilid II,dan bangsa yg mentah ini.
Pancasila adalah suatu sistem yg mengantarkan kita pada kebebasan dunia dan akhirat,coba anda lihat sila satu TUHAN YANG MAHA SATU merupakan syahadah tauhid dg symbol bintang yg jika di jelaskan adalah syahadah rosul.
SILA DUA KEADILAN = SHOLAT yg fungsinya adalah mencegah ketidak adilan,symbol mohon maaf seharusnya mizan/timbangan.
SILA TIGA persatuan yg terwujud krn ekonomi yg merata symbol /eknomi indonesia yg pas ya padi dan kapas lalu hasilnya di buat zakat.
SILA KE EMPAT TENTANG KEPEMIMPINAN /DEMOKRASI dan syaratnya hikmat kebijaksanaan =puasa spt kata orang bijak neh’’derita membuat kita berfikir,berfikir membuat kita bijak dan kebijakan membuat hdp lbh bermakna’’makanya tuh yg perutnya gede2 banyak2 puasa.
DAN KELIMA BEBAS,BEBAS..BEBEBAS finansial..etc.

Posted by ashabul mustadhafafien  on  07/12  at  11:11 AM

assalamu’alaikum.
wahai saudaraku semua yang merasa ummat Islam dan umat yang lainnya. Kita semua harus menyadari bahwa Allah lah Sang Maha Pencipta, Pemelihara sekaligus Sang Penghancur karena Allah lah Yang Maha Kuasa melakukan sesuatu.
Allah adalah Sang Penguasa ato Raja dari segala yang mengaku sebagai raja2 kecil spt presiden, ratu atau apapun namanya.Kita harus sadar bahwa tidak ada satu kekuatan dan kekuasaan di dunia ini yang mampu mengungguli kekuasaan Sang Maha Kuasa yaitu Allah.
Allah menciptakan alam ini tidaklah dengan sembrono atau asal2an tapi penuh dengan perhitungan dgn tingkat akurasi 100%. tidak ada satupun yang luput dari perhitungan Allah. Sedangkan perhitungan manuasia hanya sebatas sak wasangka atau persangkaan/perkiraan belaka artinya bisa salah, itu harus kita sadari.
Untuk menjaga kestabilan dan keseimbangan alam semesta maka Allah memberikan/menurunkan aturan sebagai bahan acuan manusia untuk mengelola alam ini agar tetap berada pada jalur yang benar dan tidak terjadi kerusakan2 akibat kebodohan manusia. Aturan tersebut ada yang kauniyah dan kauliyah. keduanya adalah aturan yang harus dijaga dan dita’ati oleh seluruh manusia, dan segala aturan yang ada yg dibuat oleh manusia semuanya harus mengacu pada kedua ayat tersebut.
Adapun Pancasila adalah aturan yang dibuat oleh manusia, artinya tiak luput dari kekurangan dan kesalahan dan jika ada yang mengatakan bhw Pancasila itu sakti itu hanya boong belaka. sejak dulu sampe sekarang pancasila itu tidak bisa berbuat apa2. tapi manusia yang sedang berkuasalah yang dengan segala kekurangannya menafsirkan pancasila dari sudut pandang keilmuannya yang terbatas shg akibatnya dapat kita rasakan sejak indonesia merdeka sampe sekarang rakyat indonesia tidak bisa memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia secara optimal.padahal Allah memberikan sumber daya alam itu kepada Indonesia agar bisa dinikmati dan dimanfaatkan sebesar-besarnya u/ kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk para penguasa, pengusaha dan pemilik modal lainnya saja.Itu semua terjadi karena rakyat Indonesia yang sebagian besar terdiri dari Ummat Islam menjadikan aturan atau Din Islam hanya sebagai alat ritual semata dan tidak memberlakukannya secara kaffah pada seluruh aktivitas kehidupan seperti bersosial, berbudaya, berteknologi, bernegara. Untuk aktivitas selain ibadah mahdoh orang lebih percaya dan lebih ta’at kepada aturan buatan manusia dari pada terhadap Din Islam sebagai produk yang Maha Sempurna dan Maha Pencipta yaitu Allah SWT.
Oleh karenanya sadarlah wahai seluruh umat manusia untuk kembali kepada aturan yang Maha Sempurna dan tiada ada keraguan akan isinya yaitu Al-Qur’an dan Assunah yang nyata.

Posted by galang persada  on  06/26  at  11:40 AM

Keterangan mengenai agama di KTP ada baiknya dihilangkan saja, saya termasuk orang yang merasa terganggu dengan pencantuman itu. Bagi orang-orang yang beragama mestinya perlu dipahami juga bahwa beragama atau tidaknya seseorang mestinya dinilai dari prilakunya. Karena segala doktrin dan ritual itu hanya jalan menuju keberagamaan.

Posted by Muhammad Affip  on  06/16  at  01:49 PM

Analisis yang melibatkan data memang pasti afdol. Seperti yang sudah dipaparkan data yang menjadi latar belakang penulisan tidak terbantahkan, seandainya pun ada itu masalah sudat pandang.

Konsep Pancasila sebenarnya juga tidak hebat-hebat amat, namun menampilkan konsep Pancasila di dalam kebhinekaan adalah ide yang hebat. Rumusan dalam Pancasila yang mengakui satu Tuhan dalam berbagai sudut pandang agama, tentang solidaritas, tentang pentingnya persatuan negara dan bangsa yang berdaulat, rumusan kerakyatan sebagai argumen untuk mencapai kemakmuran yang “sempurna”.

Konsep yang “biasa-biasa” ini akankah menjadi sebuah identitas Bangsa Indonesia seutuhnya. Saya katakan “biasa-biasa” saja karena memang semestinya bangsa ini menyadarinya. Bukanlah hal yang luar biasa untuk sila pertama bagi orang beragam, bukankan sudah seharusnya bagi orang yang mempercayai Tuhan untuk menghargai dan menyayangi sesama manusia dalam menciptakan keharmonisan bernegara dan berbangsa , untuk sila-sila selanjutnya.

Intinya rumusan Pancasila adalah manifestasi bahwa hubungan antar manusia bersifat universal bagi semua orang beragama yang ber-Tuhan satu.

Kalau disebut sebagai “hari kelahiran” Pancasila artinya hanya hari lahir sebuah kata “PANCASILA”, bisa saja dilahirkan dengan kata yang lain.
===
....jika memang ada hari lahir, maka kemungkinan ada juga hari kematiannya! Lagi pula, pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 lalu bukanlah peristiwa yang melahirkan Pancasila, tetapi “merumuskan” kelima sila yang, kata Soekarno sendiri, “digali dari khasanah bumi nusantara” dan diterima sebagai dasar negara merdeka yang akan dibentuk itu.
===

Kalau saya kutip “digali dari kahasanah bumi nusantara”, kata Soekarno, ini merupakan pernyataan politik sebagai penyatu “nusantara”, perkataan itu mempunyai nilai “magis” dalam semangat ingin merdeka dalam kesatuan dan persatuan “nusantara”. pernyataan politik inilah yang menurut saya hebat.

Sayangnya ide, hanyalah ide, menyoal realisasi ide banyak distorsi karena faktor kepentingan politik, katakan seperti jaman ORBA. Kita ingat di era 80-an atap-atap rumah ditulisi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), bahkan pada tiap tahun ajaran baru ada program yang bernama “Penataran P4”, untuk murid baru atau mahasiswa baru. Yang isinya seperti lagu “Nina Bobo”

Lalu sekarang ke mana “penataran-penataran” itu? Apakah sudah tidak efektif lagi sebagai “media dakwah” Pancasila? Atau sudah tidak perlu “ditatar” lagi, karena setiap yang lahir setelah rezim ORBA runtuh sudah otomatis panya “sertifikat penataran P4”?
Jadi seberapa pentingkah Pancasila sebagai idaentitas dan landasan bernegara bangsa?

Salam seratus kali lebih hangat dari sebelumnya.

Posted by Aloysius ST  on  06/16  at  09:18 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq