Muhammad: Nabi dan Politikus - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
04/05/2004

Muhammad: Nabi dan Politikus

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya hendak menyebut Muhammad sebagai nabi dan politikus sekaligus. ‘Politikus’ di sini saya maknai sebagai seseorang yang harus berjuang untuk ‘dealing with possibilities’, menghadapi kenyataan konkret yang serbasarat kemungkinan-kemungkinan. Dalam kariernya selama 23 tahun, Muhammad telah memperlihatkan bukan saja sebagai seorang yang melakukan reformasi moral melalui karier kenabian, tetapi juga reformasi sosial, bahkan politik, melalui pembentukan sistem masyarakat dan politik di Madinah.

Tulisan ini dimuat di harian Media Indonesia, Selasa, 04 Mei 2004 halaman 1. Tulisan ini disalin dari situs Media Indonesia:
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004050401161402

Oleh Ulil Abshar-Abdalla, Peneliti pada Freedom Institute, Jakarta

KEUNTUNGAN Islam sebagai sebuah agama terletak pada satu hal: tidak sebagaimana pada kasus Kristen, Islam menemukan ‘Konstantin’ dalam tubuhnya sendiri, bukan dari luar. Muhammad (saw) jelas bukan sekadar nabi, melainkan juga ‘tokoh duniawi’ yang berjuang keras agar ajaran-ajaran yang ia bawa, bukan sekadar ‘awan putih’ yang melayang-layang di angkasa, tidak berjejak di bumi.

Pada kasus Kristen, Yesus hanya punya waktu kurang lebih tiga tahun untuk menyampaikan ajaran-ajarannya. Setelah itu, Yesus harus berhadapan dengan ‘struktur politik’ Imperium Romawi yang begitu raksasa, sehingga akhirnya ia dibunuh dan disalibkan.

Agama Kristen, saat itu, persis seperti tetumbuhan yang baru bersemi dan langsung terpangkas. Banyak orang barandai-andai: taruhlah tidak muncul tokoh besar Raja Konstantin Agung pada abad ke-3 Masehi yang akhirnya memeluk Kristen dan menjadikannya sebagai agama negara, apakah yang terjadi pada agama dengan pemeluk terbesar di dunia ini. Tanpa kekuasaan ‘politik’, apakah agama ini bisa berkembang dengan cepat, menjadi agama universal? Kita tidak pernah tahu, karena toh ini hanyalah pengandaian sejarah.

Pada kasus Islam, dengan sedikit perbandingan yang agak ceroboh, Muhammad adalah Yesus dan Konstantin itu sendiri. Jika diperbolehkan membuat perbandingan antara sejarah Yesus dan Muhammad, maka tahun-tahun ketika Muhammad di Mekah (persisnya 610 M ketika Muhammad menerima wahyu pertama hingga 622 M saat dia hijrah ke Madinah) boleh kita katakan sebagai periode ‘khotbah di atas bukit’, periode ketika nabi mendakwahkan ajaran-ajarannya. Periode itu berlangsung kira-kira 13 tahun. Periode Madinah, yaitu sejak 622 M hingga 632 M, saat dia wafat, adalah periode pelembagaan politik dan sosial. Saya ingin menyebutnya pula sebagai ‘periode Konstantin’.

Salah satu fase penting yang secara simbolik sering disebut sebagai mencerminkan corak misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah saat dia ber-takhannuts atau melakukan meditasi di Hira, sebuah gua di luar kota Mekah. Setelah nabi mendapat wahyu pada 610 M, dia tidak terus tinggal di sana, menikmati meditasi yang soliter, menjauhkan diri dari masyarakat. Sebaliknya, ia balik ke kota, mendakwahkan ajaran-ajaran, dan melakukan apa yang dalam istilah sekarang disebut sebagai ‘transformasi sosial’.

Dalam Islam, biasa dibedakan antara seorang nabi dan rasul. Nabi adalah seseorang yang menerima wahyu, namun tidak diharuskan oleh Tuhan untuk mendakwahkannya kepada masyarakat. Rasul, sebaliknya, menerima wahyu dan diharuskan menyebarkannya. Muhammad adalah nabi dan sekaligus rasul.

Saya, di sini, menggunakan istilah yang mudah ditangkap oleh masyarakat. Saya hendak menyebut Muhammad sebagai nabi dan politikus sekaligus. ‘Politikus’ di sini saya maknai sebagai seseorang yang harus berjuang untuk ‘dealing with possibilities’, menghadapi kenyataan konkret yang serbasarat kemungkinan-kemungkinan. Secara meyakinkan, dalam kariernya selama 23 tahun, Muhammad telah memperlihatkan bukan saja sebagai seorang yang melakukan reformasi moral melalui karier kenabian, tetapi juga reformasi sosial, bahkan politik, melalui pembentukan sistem masyarakat dan politik di Madinah.

SALAH satu keuntungan yang dinikmati Nabi adalah: ia hidup di pinggiran ‘hemisphere’ atau dunia yang dikuasai oleh Imperium Roman dan Sasan di Persia.

Inilah keuntungan sejarah yang tidak dimiliki oleh Kristen. Kristen lahir tepat di jantung kekaisaran Romawi, dan di tengah-tengah ‘kekuasaan agama’ yang telah mapan, yaitu Yahudi. Islam, sebaliknya, lahir di tengah-tengah--katakan saja--’terra incognita’, daerah kosong yang belum ada kekuasaan apa pun di sana.

Mekah, saat Muhammad lahir dan memulai garis kerasulan, adalah sebuah kota yang terletak jauh di pinggiran kekaisaran Romawi dan Persia. Kalau kita boleh meminjam analisis Ben Anderson tentang konsep kekuasaan politik di Jawa, saya rasa apa yang dikemukakan oleh Anderson adalah tipikal kerajaan-kerajaan pramodern, yang kekuasaannya kian meredup di daerah-daerah pinggiran.

Begitulah kira-kira, keadaannya ketika itu. Pengaruh kekuasaan dua imperium besar tersebut kurang begitu terasa di Kota Mekah. Keadaan ini menguntungkan bagi agama dan komunitas baru yang sedang dikembangkan oleh Nabi. Saya akan berandai-andai: taruhlah Islam lahir dan muncul di Asia kecil, di kawasan Turki sekarang, mungkin perjalanan agama ini akan lain. Tentu kita tidak tahu apa yang akan terjadi, sebab ini hanya ‘historical if’.

Seorang ulama Mesir, Ali Abdul Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara. Meskipun saya setuju dengan tujuan dia menuliskan risalah ini, yaitu untuk menolak klaim umat Islam untuk mendirikan kembali negara Khilafah setelah dibubarkan oleh Kemal Attaturk, tetapi penggambaran dia tentang Muhammad jelas berat sebelah. Muhammad memang seorang rasul, tetapi lebih penting lagi dia adalah pemimpin suatu komunitas konkret yang menjadi ‘embrio’ sebuah negara di Madinah.

Karena itulah, tidak salah seandainya generasi intelektual muslim modern mencoba mencari dalam contoh Nabi di Madinah itu suatu ilham untuk mengelola masyarakat modern. Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai ‘kejeniusan Muhammad’ (‘Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu ‘kontrak politik’ antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai ‘Mitsaq al-Madinah’ atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah.

Penulis Mesir, Muhammad Husen Haikal, dalam Hayat Muhammad (Peri Hidup Muhammad), menyebut hal ini sebagai ‘watsiqah siyasiyyah’ atau dokumen politik yang menjamin kebebasan iman, kebebasan pendapat, perlindungan atas negara, hak hidup, hak milik, dan pelarangan kejahatan.

Saya sepakat bahwa Madinah adalah sebuah embrio negara atau bahkan negara itu sendiri. Nabi adalah pemimpin di sana. Sebagai seorang politikus yang memimpin negara, dia sukses mendirikan entitas politik pertama di kawasan Arab. Dalam entitas baru itu, masyarakat Arab, dari pelbagai suku dan klan, bisa dipersatukan: suatu prestasi besar yang belum pernah dicapai oleh pemimpin Arab sebelum Muhammad. Sebagaimana Konstantin sebelumnya, Nabi menjadikan Islam sebagai ‘semen peradaban’ yang mengikat masyarakat Arab (juga non-Arab pada tahap selanjutnya).

Yang tidak saya sepakati adalah jika seluruh kebijakan Nabi di Madinah saat itu harus ditiru 100% pada masa sekarang. Bagaimanapun, contoh Nabi di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu.

Model Madinah bisa menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini bagi umat Islam, tetapi model itu bukanlah ‘juklak’ yang harus ditiru setindak demi setindak. Umat Islam harus merumuskan sendiri ‘model’ baru yang sesuai dengan tantangan saat ini.

Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad.***

04/05/2004 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (6)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

assalaamu’alaikum wr. wb.

Salah satu anugerah Allah yang patut disyukuri oleh umat Islam adalah kehadiran para Nabi dan Rasul. Mereka adalah orang-orang terpilih yang datang membawa ajaran yang lurus, memberi teladan yang benar dan membaktikan seluruh hidupnya demi menyelamatkan umatnya.

Sungguh beruntung kita mengenal para manusia pilihan ini, karena kita bisa mengambil pelajaran terbaik dari mereka. Allah tidak mengutus malaikat sebagai Rasul. Untuk membimbing manusia, maka diutuslah manusia (yang tentunya telah melalui seleksi ketat).

Kalau para Rasul itu diutus dari golongan jin dan malaikat, pasti kita susah meneladaninya. Susah sekali melihat jin, dan kalau pun kita bisa, barangkali kita akan lari ketakutan. Bagaimana kita akan meneladaninya? Malaikat pun bukan teladan yang tepat. Mereka tidak punya nafsu atau keinginan untuk melanggar perintah Allah. Bagaimana mereka akan mengajari kita untuk bertaubat, sementara mereka tidak pernah berbuat salah?

Para Nabi dan Rasul itu memang benar-benar manusia! Mereka bukan setengah malaikat atau setengah jin atau tiga perempat manusia. Mereka 100% manusia! Mereka juga merasa lapar kalau seharian tidak makan, mengantuk kalau sudah masuk jam tidurnya, dan mereka pun sama-sama memiliki kebutuhan akan keluarga, dan karenanya, mereka pun menikah dan memiliki keturunan. Mereka menangis bila sedih, tersenyum jika senang, dan kadang-kadang juga merasa geram apabila amarah datang.

Nabi Adam as. adalah manusia tulen. Ia melakukan kesalahan yang amat fatal. Sedemikian fatalnya hingga ia ‘dilempar’ dari surga yang penuh dengan kenikmatan. Satu-satunya teman hidupnya, Hawa, juga mengalami nasib yang sama. Nabi Adam as. kemudian bersujud, memohon ampun dengan sebenar-benarnya taubat kepada Allah. Allah mengampuninya, dan dimulailah peradaban manusia di Bumi. Dari kisah hidup Nabi Adam as., kita belajar memahami betapa pentingnya memperhatikan rambu-rambu yang telah Allah buat, dan jika kita terlanjur melanggarnya, maka Allah Maha Menerima Taubat.

Nabi Nuh as. mendakwahi kaumnya agar kembali pada ajaran yang lurus. Hanya sedikit saja yang mau mendengar seruannya. Ketika ia dan para pengikutnya membangun kapal besar untuk menghadapi banjir besar yang akan datang, kaumnya mentertawakannya. Ketika banjir benar-benar datang, anak kandungnya bahkan menolak untuk diselamatkan. Dari Nabi Nuh as. kita belajar tentang kesabaran. Sebagaimana Nabi Nuh as. merasa kecewa karena gagal mendakwahi anaknya, kita juga belajar tentang kegagalan dan kesabaran dalam menghadapinya. Kita pun belajar bahwa keimanan tidak diperoleh dari keturunan, melainkan dari hidayah Allah.

Nabi Ibrahim as. memiliki pengalaman hidup yang amat lengkap. Ia memiliki seorang ayah penyembah berhala, dan gagal mendakwahinya. Ia diperintahkan meninggalkan istri dan anaknya, Nabi Ismail as., di padang pasir tak bertuan (yang kini menjadi kota Mekkah). Ia pun sempat menyaksikan nasib kaum Nabi Luth as. yang musnah diazab Allah. Di usia tuanya, Allah memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Ismail as. (yang kemudian diganti dengan seekor kambing, sehingga Nabi Ismail as. tetap sehat wal afiat). Allah memberi banyak perintah yang berat, namun beliau mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dari Nabi Ibrahim as., kita meneladani keteguhan hatinya dalam menjalankan tugas.

Nabi Yusuf as. dibenci oleh saudara-saudaranya sendiri. Mereka membuangnya ke dalam sumur dan membiarkannya agar mati di sana. Allah menyelamatkannya, dan taqdir membawanya ke Mesir. Di Mesir, ia menjadi budak belian. Meski hanya budak, ia disukai orang banyak. Hingga suatu hari, seorang wanita pembesar di Mesir memfitnahnya, dan ia pun dijebloskan di penjara. Pribadinya yang mengagumkan membuat pemimpin Mesir dengan segera ‘mencium’ keunggulannya. Ia pun dikeluarkan dari penjara. Karirnya melesat hingga menjadi Bendahara Negara Mesir. Taqdir membuatnya berkumpul kembali bersama saudara-saudara dan ayahnya, Nabi Ya’qub as. Sepanjang hidupnya, Nabi Yusuf as. disakiti dan difitnah orang lain. Apa dinyana, tidak sedikit pun dendam tersisa di hati beliau. Dari Nabi Yusuf as., kita belajar mengenai kedalaman empati dan hati yang bersih dari dendam.

Nabi Musa as. lahir di tengah keadaan bahaya. Fir’aun memburu setiap anak lelaki, namun Allah justru menghendakinya untuk dibesarkan di tengah-tengah istana Fir’aun sendiri. Nabi Musa as. tumbuh menjadi pribadi yang tidak tanggung-tanggung. Ia adalah pemimpin revolusi yang sukses melarikan kaumnya dari marabahaya di Mesir. Ujian terberat baginya barangkali adalah kelakuan umatnya, Bani Israil, yang suka membangkang pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Dari Nabi Musa as., kita mendapat contoh pribadi seorang pemimpin yang baik.

Nabi Muhammad saw. tampil sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Ia diutus untuk menyempurnakan ajaran. Ajaran yang dibawanya tidak berbeda dengan yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya.

Seperti para Nabi sebelumnya, hidupnya pun tidak lepas dari masalah. Mulai dari kesesatan umatnya, permusuhan dari anggota keluarganya sendiri, hingga peperangan yang dikobarkan oleh musuh-musuhnya.

Seperti para Nabi sebelumnya, Nabi Muhammad saw. pun adalah manusia tulen. Ia menangis ketika anaknya, Ibrahim, meninggal. Ia pun menangis ketika mengetahui ada sahabatnya yang telah menjemput syahid. Ia bahkan menangis ketakutan mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang bernada ancaman, karena ia khawatir ancaman tersebut akan menimpa sebagian dari kaumnya.

Nabi Muhammad saw. pun merasakan takut. Setelah menerima wahyu untuk yang pertama kalinya, ia pulang dalam keadaan menggigil ketakutan. Khadijah ra. menyelimutinya agar ia berhenti menggigil. Rasulullah saw. begitu khawatir akan nasib umatnya, sehingga ketika maut menjemput pun, ia berkata, “Umatku.. umatku...”

Nabi Muhammad saw. juga menyenangi keindahan dunia. Ia tidak pernah mencela makanan yang dihidangkan di hadapannya. Semua ia lahap, dan semuanya ia syukuri, betapa pun sederhananya hidangan tersebut. Ia suka pada kebersihan. Ia suka bersiwak (menggosok gigi) dan suka dengan wewangian. Wajahnya senantiasa ramah dan sering dihiasi dengan senyuman. Tubuhnya tegap, indah dilihat dan gagah. Begitulah yang tercantum dalam riwayat-riwayat yang mendeskripsikannya.

Seperti manusia lainnya (termasuk para Nabi juga), Nabi Muhammad saw. sangat akrab dengan kegagalan. Dakwahnya tidak serta-merta berhasil. Kemenangan sebenarnya tidak diperolehnya dalam satu-dua tahun. Kesuksesan pun baru diraih setelah mengorbankan banyak darah, keringat dan air mata. Tidak ada kemenangan instan dalam hidupnya.

Sungguh beruntung umat Islam, karena dikaruniai para Nabi dan Rasul. Mereka adalah pribadi-pribadi tangguh, dan semuanya memiliki poin penting yang bisa kita teladani. Yang perlu kita lakukan hanyalah membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an, lalu merenungi kisah hidup mereka.

Para Nabi diutus untuk diteladani,baik sebagai Pribadi, sebagaiKepala Rumah Tangga, bahkan sebagai PEMIMPIN NEGARA bukan hanya sekedar untuk mengumbar mukjizat. Jika kita tidak meneladaninya, lalu untuk apa mereka diutus?

wassalaamu’alaikum wr. wb.
-----

Posted by pemerhati JIL  on  03/29  at  05:03 AM

untuk artikel kali ini saya sepakat dengan mas ulil. bagi orang muslim yg alergi atau tdk sreg dgn sispol ala barat, masyarakat madinah di bawah bimbingan rasul banyak pelajaran dan semangat yg dpt dipetik darinya. tentu saja dgn menguasai sejarahnya dan mau menganalisanya scr objektif dan nalar sehat, tdk membuta dan membatu, krn masy madinah adl masy duniawi dan manusiawi, bukan masy sorga-malaikat model kepausan yg mengingkari kemanusiaan itu sendiri. sekian aja gak usah panjang-panjang.

Posted by aztec  on  08/12  at  04:08 PM

Ada banyak Muhammad di dunia ini. Saya sendiri sudah berpuluh-puluh kali berkenalan dengan orang memiliki nama Muhammad.

Muhammad sebagai sebuah nama, konon kabarnya sudah ada bahkan jauh sebelum sosok pemilik nama itu ada. Namun saat ini, saya ingin mengkritik Muhammad-Muhammad yang ada di berbagai belahan dunia.

Nama Muhammad, untuk sementara waktu ini identik dengan sosok Nabi-nya umat Islam. Di balik nama ini, ada banyak citra baik dan agung. Citra inilah yang harus diwaspadai. Citra Muhammad sebagai sebuah nama, diharapkan bisa dijaga oleh Muhammad-Muhammad yang lain.

Banyak Muhammad yang kini berprofesi sebagai tukang becak, intelektual, petani, penyanyi, pelukis, penjahat, pejabat, koruptor besar, dan bahkan calon presiden Indonesia.

Citra nama Muhammad-Muhammad baru saat ini, tidak satupun yang bisa menyamai nama Muhammad pertama.

Untuk itulah, apakah Nabi Besar Muhammad S.A.W apakah harus dibuatkan sebuah citra baru?? atau tetap dibiarkan citra beliau digerogoti oleh Muhammad yang menjadi koruptor besar???

Posted by Zarathustra  on  08/01  at  11:08 AM

Saya setuju dengan saudara Ulil,kita tak perlu seratus persen menjiplak Nabi. Keadaan zaman nabi dan segala persoalannya sudah jauh berbeda denagn yang sekarang kita hadapi. Tidak mungkin-lah kita menerapkan cara yang sama dengan Nabi, butuh pendekatan dan pemahaman yang berbeda untuk bisa menyelesaikan persoalan di zaman modern ini. Soal meniru Nabi seluruhnya karena itu perintah Allah, saya pikir anda terlalu berlebihan menafsirkan perintah tersebut. Allah memberi kita akal, dan kita juga harus sadar bahwasanya NAbi manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan, lalu seandainya nabi berbuat salah apa kita juga harus menirunya? Bukankan segala sesuatu termasuk teladan nabi juga harus kita pertimbangkan dengan akal yang dikaruniakan Tuhan kepada kita?! Kalau perintah Tuhan dipersepsi sempit seperti itu, berarti anda tidak memahami karunia akal yang diberikanNya. Sia-sia dong Tuhan memberi kita akal kalau tidak dipakai.

Posted by majnun  on  07/30  at  08:07 AM

Allah telah menunjuk Muhammad sebagai rasul pembawa agama yang sempurna dan paripurna, Allah juga telah menyuruh kita untuk mengambil uswah dari diri Muhammad tidak hanya pada beberapabagian tapi seluruhnya. Mungkinkah Allah salah??????? ataukah kita yang keterlaluan!!!!!!

Posted by yanti  on  06/26  at  06:06 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq