Muktamar NU, Fatwa dan Wacana - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
29/11/2004

Muktamar NU, Fatwa dan Wacana

Oleh Jamal Ma’mur Asmani

Proses modernisasi telah menantang khazanah klasik yang digandrungi para ulama secara tekstual untuk dirasionalisasi dan dikontekstualisasi dengan spirit modern agar tetap relevan. Sangat ironis, ketika orang luar melihat mereka sebagai kader NU masa depan, karena kapabilitas personalnya yang luar biasa, mampu melewati batas tradisionalisme, sedang orang dalam sendiri, masih melihatnya secara apriori dan terlalu fanatik dengan khazanah klasiknya secara ekstrem.

Warning sejumlah kiai sepuh Jawa Timur dengan tokohnya KH. Mas Subadar agar dalam forum Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donohudan nanti para eksponen JIL (Jaringan Islam Liberal), khususnya Ulil Abshar-Abdalla, tidak boleh masuk dalam struktur PBNU adalah kontrapoduktif terhadap era kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi yang sudah lama dirintis oleh Gus Dur sejak tahun 1980-an hingga saat ini. Sebagaimana kita tahu, bahwa sejak NU dipimpin oleh Gus Dur, wacana keislaman berjalan secara dinamis, progresif, analitis, produktif, dan kontekstual. Gus Dur mampu mengilhami anak-anak muda NU untuk berlatih berpikir filosofis, metodologis, dan antisipatif. Ulil Abshar-Abdalla yang saat ini posisinya sebagai Ketua Lakpesdam (lajnah Kajian dan Pengembangan SDM) PBNU Pusat Jakarta dan Koordinator JIL adalah salah satu representasi eksponen anak muda NU saat ini yang mampu melanjutkan mega proyek Gus Dur yang dirintis sejak tahun 1980-an. Dus, kemunculan Ulil cs adalah sebuah keniscayaan sejarah yang tidak bisa dihindari.

Proses modernisasi telah menantang khazanah klasik yang digandrungi para ulama secara tekstual untuk dirasionalisasi dan dikontekstualisasi dengan spirit modern agar tetap relevan. Kemunculan Ulil, Ahmad Baso, Zuhairi Misrawi, Moqsith Ghozali, dll adalah dalam rangka melakukan tugas besar sejarah tersebut. Justru mereka itulah yang sebaiknya diposisikan sebagai kader-kader muda NU yang handal dan siap memimpin NU ke depan. Ironis memang, ketika orang luar melihat mereka sebagai kader NU masa depan, karena kapabilitas personalnya yang luar biasa, mampu melewati batas tradisionalisme, sedang orang dalam sendiri, masih melihatnya secara apriori dan terlalu fanatik dengan khazanah klasiknya secara ekstrem.

Dalam bukunya NU Liberal (Mizan, 2002), Mujamil Qomar memaparkan realitas NU yang sebenarnya dari sisi mata rantai (geneologi) pemikiran liberal di NU. Disana, Mujamil Qomar memaparkan, bahwa sebenarnya, pemikiran liberal di NU sudah ada sejak zaman dulu, mulai KH. Ahmad Shiddiq, KH. Ali Yafie, KH. Muchid Muzadi, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Said Aqil Siraj, KH. Masdar Farid Mas’udi, Prof. Dr. Syaekhul Hadi Permana, KH. Sahal Mahfudz, dan KH. Tholhah Hasan. Mereka adalah kiai-kiai sepuh NU (sekarang masih banyak yang hidup dan menjadi elite NU) yang menjadi inspirator, dinamisator, dan motivator para anak muda NU untuk berpikir secara liberal, rasional, kontekstual, dan dinamis sejalan dengan arus modernisasi dan globalisasi. Melihat realitas yang ada, warning sejumlah kiai NU Jawa Timur yang melarang anak-anak muda NU liberal tampil sebagai pengurus dalam struktur NU di Muktamar nanti, adalah out of date. Sebab, justru para elite NU saat ini, paradigma berpikirnya sudah tidak tekstualis, fanatis, eksklusif, dan a-historis. Kalau mereka dilarang masuk dalam kepengurusan PBNU dalam Muktamar nanti, NU ke depan akan kehilangan aset berharganya ditengah tantangan dunia modern saat ini. NU akan mengalami kemacetan dan stagnasi kaderisasi yang membuatnya tidak mampu merespons fenomena kekinian secara cepat, tepat, dan akurat.

Perkembangan wacana keislaman yang berjalan secara massif saat ini adalah buah dari kebebasan dan demokratisasi yang dirintis para tokoh NU, termasuk Kiai Sahal dan Gus Dur. Kalau era kebebasan dan keterbukaan ini ditutup kembali, berarti seperti membendung banjir bandang, yang tidak bisa dicegah dengan kekuatan apapun. Ia adalah transformasi alamiah, yang terus bergulir seiring dengan irama kehidupan modern. Yang harus diperhatikan oleh para kiai sepuh NU adalah ada perbedaan antara fatwa dan wacana. Fatwa bersifat mengikat yang dikeluarkan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Fatwa akan kuat bila didukung oleh mayoritas pakar keilmuan yang datang dari disiplin ilmu secara konfrehensif, sehingga fatwa yang dikeluarkan sudah melalui pengujian lapangan dari berbagai dimensi dan memikirkan implikasinya secara matang.

Sedangkan wacana adalah olah pikir dan paradigma, sebagai pergulatan seorang pemikir dalam membaca, menganalisa, mengkomparasi, mengobservasi, mendalami dan memberi konklusi dari persoalan yang dikaji secara serius. Natijah (konklusi) pikiran yang kemudian dinamakan wacana tersebut adalah bebas nilai, bukan sebuah keyakinan dan ideologi yang harus dipakai dan diamalkan dalam kehidupan. Ia justru dikeluarkan dan dimunculkan untuk direspon balik. Terjadilah dialog sehat secara intens dan kompetitif. Masing-masing pihak dengan bebas mengeluarkan pedapat dan argumentasi masing-masing, tanpa ada pihak yang mengklaim sebagai pendapat yang paling benar dan valid otoritasnya. Semuanya serba mungkin, mungkin salah dan mungkin benar. Benar kata Imam Syafi’i, qouli shawab yahtamilu al-khoto’, wa qoulu ghoiri khoto’ yahtamilu al-showab, pendapatku benar, tapi mungkin salah, pendapat selainku salah, tapi mungkin benar. Sportivitas dan obyektifitas dijunjung tinggi oleh Syafi’i sebagai teladan bagi pengikutnya untuk meniru sikap obyektif semacam itu. Alangkah lebih baiknya, kalau para kiai sepuh tersebut, menjadikan JIL, khususnya Ulil Abshar-Abdalla, bukan sebagai musuh yang harus dicegah hak personalnya untuk berbicara, berdiskusi, dan berkarir, namun sebagai teman diskusi dan beradu argumentasi dengan kepala dingin, bukan dengan jiwa emosi dan nafsu.

Sebagaimana dalam kitab Ta’limul Muta’allim, bahwa berdiskusi satu jam lebih baik dari pada belajar satu bulan, maka manfaat yang diperoleh dari tukar menukar khazanah dan pemikiran tersebut, akan sangat luar biasa dampaknya bagi pribadi dan umat secara keseluruhan. Dialog atau musyawarah sebenarnya sudah menjadi trade mark umat Islam. Allah dalam Alquran dan Muhammad SAW dalam hadisnya selalu menekankan umatnya untuk mendialogkan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial. Menurut Dr. Athif Iraqi, ada 3 ciri utama umat Islam, yaitu keterbukaan (al-infitah), dialog (al-hiwar) dan kemajuan (al-taqaddum). Hanya memang, dialog tidak selalu menyenangkan, selain prasyarat budaya dan pengetahuan yang memadai, dialog membutuhkan kondisi psykologis yang prima. Artinya, diperlukan kesiapan mental untuk berbeda. Perbedaan itulah yang nanti menghasilkan dialog. Etika dialog sebagaimana dalam Alquran adalah bi al-hikmah (dengan penuh bijak), mau’idhoh hasanah (tutur sapa yang santun) dan bi allati hiya ahsan (dengan sikap dan argumen yang lebih baik), bukan dengan sikap menghujat, menghakimi, dan mencaci maki.

Kita berharap, dalam Muktamar NU ke-31 nanti akan ada sinkronisasi antara pemikiran tradisional, rasional, dan liberal secara sinergis. Karena hanya dengan sinergi diantara ketiganya, bangunan pemikiran NU akan menjadi bangunan pemikiran yang kokoh, tidak muda jatuh dalam lubang kehancuran dan tidak mudah terperdaya oleh godaan-godaan sesaat yang melenakan. Wallahu A’lam Bis Showab. []

Jamal Ma’mur Asmani, Kader Muda NU Pati, Peneliti ISFI, Institut Studi Fiqh Progresif, dan staf pengajar Matholi’ul Falah Kajen.

29/11/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

gus dur saya mau tahu tentang pendapat anda tentang jil yang sekarang ini sudah mempengaruhi pikiran ummat tentang alirannya thd umat NU khususnya karena sebagian umat NU masih banyak yang mudah terpengaruh oleh ajaran dari luar dan apa tindakan yang harus dilakukan oleh ulama para kiai untuk memberantas aliran tersebut.
-----

Posted by harun al rasyid  on  09/12  at  07:10 AM

Melihat kemelut yang semakin meruncing dalam tubuh kepengurusan NU saya semakin mempertanyakan apakah seorang gus dur masih dianggap sebagai demokrat, dimana beliau paling awal yang memperkenalkan proses demokrasi dalam tubuh NU tapi beliau sendiri yang memperondak porandakan tatanan demokrasi tersebut. Justru saya sendiri melihat gus dur adalah seorang feodalisme tulen yang dengan menggunakan dalih restu kyai sepuh, sekali lagi saya mohon maaaf dengan komentar yang miring ini, tapi proses pembelajaran demokrasi yang diajarkan gus dur harus terus jalan bukannya mandek karena gus dur sendiri. Saya secara pribadi mendukung Bapak Hasyim Muzadi untuk tetap bertahan dengan kepengurusan PBNU yang baru yang secara produk hukum adalah yang paling syah. Sekali lagi Selamat Berjuang untuk KH. Sahal - Hasyim

Posted by idham halil  on  12/14  at  10:12 PM

Bagaimana mungkin mengembangkan atmosfir liberal di dalam tradisi yang kental dengan feodalisme, taqlid & jumud ??. Saya kira banyak yang setuju kalau saya katakan Gus Dur sendiri sikapnya sangat feodal, dan di dukung pula oleh banyak pengikutnya, bahkan ada yang mengatakan kalau beliau adalah Waliyullah, apa yang dikatannya pasti benar, “ngerti sadurunge winarah”, dsb.. Dalam membenarkan sikapnya, Gus Dur selalu berlindung di balik restu dari “Kyai Sepuh, Kyai Langitan, Bani Hasyim As’ari, Kyai Jawa Timuran”, dsb.

Mungkin Gus Dur bermaksud menggunakan kharismanya, tradisi feodal, & restu Kyai Sepuh agar ide2 Liberalnya bisa diterima di kalangan NU & Islam Tradisional. Tetapi tanpa disadarinya beliau justru semakin menguatkan akar feodalisme di tubuh NU & Islam Tradisional, yang pasti membuat atmosfir yang semakin “tidak kondusif” bagi ide2 liberal yang diusungnya.

Jadi, kalau JIL, Gus Dur, & aktivis liberal NU ingin mensosialisasikan ide2 liberal di kalangan NU, maka menjadi suatu keharusan untuk menjadikan agenda “pencabutan akar feodalisme” di tubuh NU & kalangan Islam Tradisional, sebagai agenda utama. Mereka tidak boleh justru menggunakan tradisi feodalisme untuk “memudahkan” agendanya, karena jelas tradisi ini kontra “produktif” dengan ide liberal.

SELAMAT BERJUANG !!

Posted by Kustiyadi  on  12/11  at  03:12 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq