Mungkinkah Integrasi HAM ke dalam Pelajaran Agama? - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
06/03/2006

Mungkinkah Integrasi HAM ke dalam Pelajaran Agama?

Oleh Wilson Lalengke

Mungkinkah Pemerintah Indonesia berhasil memasukkan kurikulum berbasis HAM ke dalam pelajaran agama? Apa konsekuensi kebijakan itu bila diterapkan di sekolah-sekolah? Tidakkah lebih baik mengintegrasikan pengetahuan dan pemahaman HAM ke dalam mata pelajaran lain seperti Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan (PPKn) atau Budi Pekerti?

Mungkinkah Pemerintah Indonesia berhasil memasukkan kurikulum berbasis HAM ke dalam pelajaran agama? Apa konsekuensi kebijakan itu bila diterapkan di sekolah-sekolah? Tidakkah lebih baik mengintegrasikan pengetahuan dan pemahaman HAM ke dalam mata pelajaran lain seperti Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan (PPKn) atau Budi Pekerti?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul ketika saya menyaksikan berita televisi swasta tentang Kurikulum HAM di Sekolah. Intinya, lewat Departemen Pendidikan Nasional, Pemerintah mencanangkan sistem pendidikan berbasis HAM untuk semua jenjang pendidikan, mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Fasli Djalal, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan mengatakan, langkah itu diambil berdasarkan rekomendasi Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan (UNESCO) di Asia Pasifik. Mereka menilai sistem pendidikan Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta didik.

Rencana itu tentu angin segar bagi perbaikan pemahaman dan implementasi HAM di Indonesia di masa mendatang. Namun, Fasli Djalal mengindikasikan rancangan kurikulum yang memuat materi HAM itu rencananya akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Agama. Ini memunculkan beberapa pertanyaan dasar: dapatkah pemahaman HAM bersinergi dan saling mendukung dengan nilai-nilai agama? Adakah persamaan atau perbedaan keduanya? Bagaimana seharusnya HAM dikaji dan diterapkan seseorang dengan basis keagamaan tertentu?

Jack Donnelly, yang pendapatnya dijadikan referensi oleh para pemikir dan praktisi HAM international, termasuk PBB, mendefinisikan HAM sebagai: “The rights one has simply because one is human being. Consequently, they are held universally by all human beings” (Donnelly, 1999: 60). Artinya, HAM adalah hak-hak yang dimiliki seseorang disebabkan ia manusia. Karena itu, hak-hak tersebut melekat pada semua orang secara universal, tanpa kecuali. Hal ini menunjukkan hakekat HAM tidak mengenal perbedaan antar manusia sedikit jua. Hak-hak tiap orang sama, baik bentuk, rupa, maupun takarannya.

Dalam konteks sekarang, HAM memainkan peran penting dalam perkara tuntutan moral, hukum, dan politik. Para aktivis HAM selalu menolak penyiksaan atas seseorang, walau nyata-nyata dia berbuat amoral, asusila, melanggar hukum, melakukan tindak subversif—apalagi hanya dalam perkara politik biasa. Pelanggaran moral (termasuk agama dan tradisi masyarakat), hukum dan politik, tak dapat serta merta menghilangkan hak-hak dasar tiap orang karena dia mahluk manusia, bukan mahluk selain manusia. Dalam pengertian ini, penahanan Lia Aminuddin karena konsep “Kerajaan Tuhan"-nya yang berbeda dari banyak orang, sesungguhnya merupakan pelanggaran HAM.

******

Karena itu, rencana penerapan kurikulum bermateri HAM yang akan diintegrasikan ke dalam pelajaran agama, perlu ditelaah lebih jauh tanpa tendensi mengecilkan makna agama. Agama dan kepercayaan tertentu, dengan serangkaian nilai-nilai humanismenya, juga menetapkan manusia sebagai subjek dan obyek yang sama. Agama mengakui semua manusia oleh Tuhan diciptakan sama. Agama menganjurkan saling mengenal, kerjasama, mendukung, menghormati, dan menghargai sesama manusia. Manusia di Barat, Timur, Utara, dan Selatan, harus diperlakukan secara manusiawi.

Pada tingkat hubungan antar manusia, ajaran agama tak bermasalah dalam memahami dan menerapkan HAM. Namun, kontradiksi muncul ketika kandungan nilai-nilai kemanusiaan itu diinfiltrasi nilai-nilai ke-Tuhan-an (khususnya nilai hubungan manusia dengan Tuhan), yang merupakan bagian integral setiap agama. Semua kita tahu bahwa hampir semua agama mengajarkan dan menggiring penganutnya ke arah inklusivisme kelompok seiman. Fanatisme juga ditanamkan sesuai standar yang ditetapkan kitab suci masing-masing.

Pemahaman dan aplikasi nilai religi seperti ini akhirnya menciptakan primordialisme dan polarisasi antar manusia yang condong memandang orang luar kelompok seakan mahluk yang tak sama dengan anggota kelompoknya. Hal ini diperparah oleh konsep “kemuliaan” dan “dosa”. Tak dapat dipungkiri, setiap agama mengajarkan anggapan bahwa pengikutnya lebih mulia, lebih selamat, lebih diperkenan Tuhan, daripada orang luar kelompok agama tersebut. Selain pemeluk agama kita adalah berdosa dan tak akan mendapat ampun bila mereka tak ikut kita. Demikian khotbah, petuah, bahkan fatwa yang selalu mengingatkan setiap pemeluk agama.

Dalam perspektif ini, sesungguhnya agama-agama telah gagal melihat esensi HAM, hanya karena perbedaan nilai religi yang dianut masing-masing. Banyak pemikir HAM, terutama kalangan agamawan dan budayawan yang mengkritik konsep universalisme HAM yang diadopsi PBB. Namun semua harus tunduk pada pertanyaan: apakah agama dan tradisi Anda dapat menjamin persamaan semua umat manusia di luar agama dan tradisi yang Anda anut?

Ketentuan “perintah Tuhan” untuk menyebarkan agama pada orang lain, dan ancaman fisik dan non fisik bagi yang menolaknya, merupakan persoalan serius yang menghambat perkembangan pemahaman HAM baik di Indonesia maupun negara berkembang lainnya. Banyak contoh kongkret yang terjadi, seperti isu kristenisasi dengan iming-iming materi dan pekerjaan, pengrusakan masjid kelompok tertentu, terorisme berbendera jihad, penahanan berdalih penodaan agama, dan contoh lain. Semua mengekspresikan bahwa demi “kebesaran Tuhan”, HAM orang lain sah-sah saja tak diindahkan.

Dengan nilai-nilai agama seperti itu, kekhawatiran tak efektifnya pengajaran HAM di sekolah, jika dimasukan dalam mata pelajaran Agama, dapat dimengerti. Nilai-nilai HAM pada tingkat tertentu pasti mendapat tantangan dari nilai-nilai agama. Terlebih bila HAM juga mengakomodasi tiap orang untuk bebas tidak memilih agama atau kepercayaan tertentu, atau justru menganut beberapa agama dalam waktu yang sama.

Bagaimana mungkin pelajaran agama dapat mengajarakan HAM semacam itu? Indonesia mungkin hanya akan mengadopsi beberapa ketentuan yang sesuai dengan kebutuhan agama-agama yang ada di masyarakat.

Karena itu, jika Pemerintah tetap memaksakan integrasi kurikulum HAM dalam pelajaran agama, maka konsekuensi yang harus dilakukan juga adalah upaya revitalisasi, bahkan rekonstruksi pemahaman masing-masing agama terhadap banyak doktrin agama. Bolehkah seseorang tak ber-Tuhan; apa kata Tuhan kita tentang manusia lain yang tak seiman; apa kata Tuhan tentang pindah agama, menikah beda agama, dan lain-lain? Usaha pengkajian kembali doktrin-doktrin agama tentang hal-hal di atas akan memberi keuntungan bagi pemahaman hakikat keberadaan manusia di bumi ini.

Alternatif lain penerapan kurikulum HAM di sekolah yang mungkin lebih relevan adalah mengintegrasikannya ke dalam mata pelajaran Budi Pekerti atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Khusus mata pelajaran PPKn, pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa, juga harus disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai HAM. Satu catatan lain yang harus diingat juga, HAM sesungguhnya berbasis paham sekuler yang tak mungkin bisa bertemu dengan paham agama dan kepercayaan manapun. Tapi ia tetap penting sebagai nilai penyangga dunia modern. Karena itu, siapkah kita dengan konsekuensi-konsekuensinya? ***

** Mahasiswa S-2 tentang Global Ethics di The University of Birmingham, Inggris.

06/03/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Sebenarnya hal hal yang berkaitan dengan HAM itu kan sudah ada dalam kurikulum setiap tingkat sekolah. di tingkat SMP dan SMA masuk dalam mata pelajaran PPKn, sementara untuk tingkat SD diajarkan dalam mata pelajaran PKPS. ini bukan sekedar omongan sok tahu karena saya sendiri juga mengajarkan hal itu pada murid privat saya.  PKPS itu sendiri diajarkan sejak kelas 4 SD. materi tentang HAM ada dalam mapel tersebut dan termasuk dalam bab “Hak dan Kewajiban” untuk kelas 4 dimulai dari hak dan kewajiban warga negara tetapi HAM tetap disinggung sedikit meski hanya awalnya saja.

Jadi kenapa harus mencoba memasukkan materi itu ke mapel lain kalau sebenarnya sudah ada. apa tidak lebih baik kalau mematangkan materi dan pemberi materi kepada siswa saja? sepertinya orang Indonesia suka sekali mempersulit diri sendiri.
-----

Posted by sisilia novita susanti  on  03/25  at  12:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq