Naguib Mahfouz dan Dialog Peradaban - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
05/09/2006

Naguib Mahfouz dan Dialog Peradaban

Oleh M. Guntur Romli

Karya-karya Mahfouz adalah kisah tentang peradaban-peradaban itu sendiri. Peradaban yang senantiasa bergumul dan berdialog. Menurut pengakuan Mahfouz yang disampaikan dalam upacara penerimaan hadiah Nobel pada 1998, ia adalah anak yang lahir dari pernikahan yang sakinah antara dua peradaban: peradaban Firaun yang telah berusia 7.000 tahun dengan peradaban Islam yang berusia 1.400 tahun.

Sumber Koran Tempo, Minggu, 03 September 2006

Saat fajar menyingsing di Kota Kairo, 30 Agustus lalu, sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, mengembuskan napas yang terakhir. Naguib Mahfouz didaulat sebagai penghulu novel modern dunia Arab (râ’id al-riwâyah al-’arabiyyah al-hadîtsah). Hingga saat ini, Mahfouz adalah satu-satunya sastrawan Arab yang pernah mendapat Hadiah Nobel, pada 1988. Ia meninggal pada usia 95 tahun. Lahir di Gamaleyah, Kairo, pada 11 Desember 1911. Karyanya lebih dari 50 novel dan kumpulan ceritanya telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa di dunia. Salah satu karyanya yang terkenal, Awlâd Hârâtinâ (Anak-anak Kampung Kami), akhirnya terbit di Mesir pada awal 2006 ini setelah dilarang penerbitannya sejak 47 tahun lalu karena dituduh bertentangan dengan doktrin Islam.

Keunggulan karya-karya Mahfouz terletak pada kepiawaiannya menyerap ide-ide peradaban manusia dan menuangkannya kembali dalam kisah sastra. Mahfouz sangat beruntung lahir di Mesir sebagai tempat pertemuan peradaban-peradaban besar dunia. Sebuah negeri yang tercipta dari akumulasi serpihan peradaban (tarâkumât min raqâ’iq al-hadlârât). Dan Mahfouz telah mengisahkan kembali materi sejarah yang panjang itu dalam bentuk novel-novelnya sejak zaman Firaun hingga zaman modern.

Karya-karya Mahfouz adalah kisah tentang peradaban-peradaban itu sendiri. Peradaban yang senantiasa bergumul dan berdialog. Menurut pengakuan Mahfouz yang disampaikan dalam upacara penerimaan hadiah Nobel pada 1998, ia adalah anak yang lahir dari pernikahan yang sakinah antara dua peradaban: peradaban Firaun yang telah berusia 7.000 tahun dengan peradaban Islam yang berusia 1.400 tahun.

Tentu saja, hubungan peradaban-peradaban itu tidak selalu harmonis, ada konflik dan juga kekerasan. Mahfouz lahir dalam suasana Perang Dunia, yang membawa kolonialisme Barat terhadap negeri-negeri di Timur. Negerinya sendiri, Mesir, adalah jajahan Prancis, Turki, dan Inggris. Bagi Mahfouz, kemerdekaan dan kebebasan rakyat untuk memimpin negerinya sendiri adalah keniscayaan. Mahfouz menulis sebuah novel yang terinspirasi dari kisah Firaun Kifâh Thîbah (Pejuang dari Thebes), yang sebenarnya kisah perjuangan rakyat Mesir melawan kolonialisme Inggris di Mesir.

Namun, bukan berarti Mahfouz membenci peradaban Barat yang melahirkan watak kolonialisme itu. Khazanah filsafat dan sastra Eropa banyak mempengaruhi novel-novel Mahfouz, baik sisi genre maupun ide. Keyakinan Mahfouz terhadap ilmu pengetahuan, sosialisme, kebebasan, serta berakhirnya era agama dan mitos merupakan ide-ide yang dipetik Mahfouz dari peradaban modern Eropa. Ide-ide itu ditokohkan oleh Mahfouz dalam novel-novelnya. Demikian juga era realisme sastra di Eropa sebagai bentuk perlawanan terhadap romantisisme sastra ikut andil mempengaruhi Mahfouz menulis novel-novelnya dalam ranah realisme sastra, setelah menulis novel-novel historis yang romantis.

Hingga saat ini hubungan antara Barat dan Timur semakin memburuk. Peristiwa 11 September 2001 adalah peristiwa yang menyakitkan bagi hubungan antarperadaban. Tidak sedikit anggapan bahwa peristiwa itu merupakan bukti kebenaran tesis benturan antarperadaban. Sebuah maklumat tentang kematian dialog antarperadaban. Bagi Mahfouz sendiri, peristiwa 11 September tidak bisa menafikan hubungan erat antara dunia Barat dan Islam dalam lintas sejarah. Seperti halnya kolonialisme yang pernah menjadi babak yang sangat menyakitkan bagi hubungan Barat dan Timur, tapi bukan berarti kita harus berkubang dalam jurang kekerasan dan peperangan.

Dalam konteks ini, saya diingatkan kembali pada pidato pembukaan Naguib Mahfouz dalam Frankfurt Book Fair Oktober 2004 di Jerman. Kala itu dunia Arab mendapat kehormatan pertama kali menjadi tamu istimewa dalam pameran buku terbesar di dunia. Namun, peristiwa 11 September, invasi Amerika terhadap Afganistan dan Irak, membekukan hubungan antara dunia Barat dan Islam.

Mahfouz menyerukan dan menegaskan kembali pada urgensi dialog peradaban ini. Dalam pidatonya seolah-olah Mahfouz mendaulat dirinya sebagai wakil peradaban Timur yang sedang berbicara pada peradaban Barat. Ia sengaja menggunakan istilah nahnu (kami: masyarakat Islam-Arab) dan antum (kalian: masyarakat Barat) untuk menggambarkan terjadinya dialog antara Timur dan Barat. Mahfouz mengakui bahwa yang disebut sumber peradaban Arab modern tidak lepas dari tiga sumber. Pertama, peradaban-peradaban kuno yang pernah dikenal dalam wilayah Arab, mulai peradaban Firaun kuno di Mesir, peradaban Babilonia yang biasa disebut Peradaban Antara Dua Sungai di Irak, dan peradaban kuno di Yaman. Gutenberg dari Jerman menemukan mesin cetak pada abad ke-15, tapi kata Mahfouz, abjad-abjadnya sudah ditemukan oleh Peradaban Antara Dua Sungai di Irak ribuan tahun sebelum Masehi.

Sumber kedua, menurut Mahfouz, adalah peradaban Islam sebagai agama yang toleran dan menjadikan kebebasan sebagai identitas orang Islam. Mahfouz mengambil filosofi dari syahadat lâ ilâha illa Allâh (tiada Tuhan selain Allah) bahwa tidak ada pengabdian kecuali kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Islam juga menjamin kesetaraan umat manusia tanpa memandang ras. Dalam sejarah dinasti Islam di Andalusia, Spanyol, dikisahkan golongan terdidik dan masyarakat awam, baik Yahudi, Kristen, maupun Islam, hidup berdampingan secara damai.

Adapun sumber ketiga budaya Arab modern dalam susunan kalimat Mahfouz sendiri adalah, “Peradaban kalian, peradaban Barat, sangat berpengaruh terhadap peradaban kami, tidak hanya dalam ranah politik dan keilmuan, tapi juga dalam ranah sastra dan seni” (hadlâratukum al-gharbiyah ahammu mu’atstsirât fi hadhâratinâ laysa faqad fi al-siyâsah wa fi al-’ulûm, wa innamâ aydlan fi al-âdâb wa al-funûn).

Pidato itu bukanlah sekadar basa-basi, tapi sebaliknya, sebagai kesaksian dari seorang sastrawan besar, Naguib Mahfouz. Tiga sumber agung dari peradaban itu telah diwujudkan dalam karya-karyanya. Awalnya Mahfouz menulis novel yang berkisah tentang sejarah Mesir kuno. Novel-novel sejarahnya yang terkenal adalah Kifâh Thibah (Pejuang dari Thebes), Radûbîs (Rhadopis dari Nubia), dan ‘Abats al-Aqdâr (Permainan Takdir). Pembacaan yang optimistis dan progresif terhadap sejarah kuno Mesir yang memberi semangat dan impian bagi rakyat Mesir modern.

Adapun tema-tema kebebasan, kesenjangan sosial, kesetaraan, soal perempuan, dan fundamentalisme agama banyak mempengaruhi babak kedua karya-karya Mahfouz yang masuk dalam kategori realisme sastra. Seperti dalam karya trilogi: Cairo: Bayna al-Qashrayn (Jalan Dua Istana), Qashr al-Syauq (Istana Rindu), dan Al-Sukkariyah (Jalan Gula). Persoalan perempuan dikisahkan dalam Zuqâq al-Midaq--sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Lorong Midaq. Novel ini telah diangkat ke layar lebar dengan judul Midaq Alley pada 1994, dan artis jelita Salma Hayek memerankan tokoh utamanya.

Dalam karya lainnya yang berjudul Al-Qâhirah al-Jadîdah (Kairo Baru), Mahfouz mengisahkan pergumulan fundamentalisme agama, komunisme, liberalisme, dan nasionalisme dalam dialog tokoh-tokoh novel itu yang sangat apik. Sementara itu, Awlâd Hâratinâ bagi saya adalah puncak karya sastra Mahfouz yang sangat indah dan piawai melalui permainan simbol dan metafor. Novel itu mengisahkan kembali perjalanan umat manusia yang bergumul dengan agama dan diakhiri oleh kemenangan ilmu pengetahuan.

Walhasil, dialog peradaban adalah keniscayaan bagi Naguib Mahfouz. Pun karya-karyanya yang bermutu tinggi itu lahir dari dialog antarperadaban. Tanpa dialog, tidak akan pernah lahir peradaban manusia yang baru dan mumpuni.

05/09/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Dialog peradaban merupakan satu proses pencarian “ideologi” baru kehidupan. Tanpa proses tersebut suatu negara akan stagnan, tidak mengalami perubahan. Begitu juga Indonesia, yang kaya akan keberagaman, baik itu keberagaman budaya maupun agama. Indonesia tentunya berusaha melakukan perubahan di segala aspek kehidupan yaitu dengan mengadopsi berbagai hal dari luar (Barat) namun budaya sendiri pun tidaklah boleh dilupakan.
-----

Posted by Puspita  on  09/08  at  01:09 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq