”Negara Madinah” dan Sekularisme - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
11/12/2006

”Negara Madinah” dan Sekularisme

Oleh Hamid Basyaib

Fakta bahwa Madinah tidak pernah berstatus negara makin diperkuat oleh sejarah kemudian. Di masa Khalifah Ali, ia memindahkan pusat ”pemerintahan” ke Kufah; dan di masa modern, sampai hari ini, Madinah pun hanya merupakan salah satu kota dari Kerajaan Arab Saudi.

Baru-baru ini terjadi diskusi yang cukup hangat di mailing list Jaringan Islam Liberal, menyangkut sistem sosial-politik terbaik yang selayaknya diterapkan dalam sebuah negara. Sebagian peserta mengidealkan ”Negara Madinah”, seraya mengecam sekularisme, yang dianggap sudah seperti agama. Kedua anggapan tersebut meleset.

Apa yang disebut “Negara Madinah” itu tidak ada. Penyebutan itu adalah tafsir generasi belakangan, bukan merupakan pemahaman orang-orang yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad, apalagi dideklarasikan oleh Nabi sendiri.

Tidak mungkin Madinah disebut negara (dalam pengertian modern, yakni dalam pemahaman seperti yang dikemukakan oleh peserta diskusi tersebut). Madinah di masa Nabi kurang-lebih seperti “zona bebas”. Penduduknya pun hanya beberapa ribu orang. Dalam kelangkaan sebuah imperium Arab, dua “superpower” yang bersaing—Byzantium dan Sasaniah—rupanya tak kunjung mampu mengekspansi kekuasaan mereka ke jazirah Arab.

Lagi pula tampaknya tak ada gunanya bagi kedua kekuatan utama itu untuk menjamah Madinah, yang nyaris tak menghasilkan sumber daya alam yang berarti. Masyarakat Madinah waktu itu terdiri dari sejumlah komunitas, terdiri atas tiga kabilah Yahudi, sedikit warga Kristen, warga asli yang baru memeluk Islam (dengan dua suku utama: Aus dan Khajraj), ditambah beberapa puluh orang imigran Mekkah rombongan Nabi (ada yang menyebut jumlahnya hanya 70 orang, karena itu mereka dengan cukup mudah disebar dan ditumpangkan sementara ke rumah-rumah warga asli). Sementara kaum Badwy tinggal di luar perkampungan, nomaden di hamparan padang pasir, dan menempati strata terendah dalam sistem kasta Arab sehingga, misalnya, tak punya nama keluarga.

Komunitas Muslim waktu itu sedang dalam taraf mencari bentuk; mencoba membangun sebuah komunitas yang rapi dan beradab. Komunitas baru ini unggul dibanding kaum Badwy pagan (bukan terutama dibanding warga Kristen, dan ketiga komunitas Yahudi yang akhirnya diusir). Mereka memiliki ajaran agama, punya konsep tentang Tuhan yang komprehensif dan elaboratif.
Ini merupakan sesuatu yang sama sekali baru dalam konteks Arab.

Nabi yang sangat cerdas dan berwawasan strategis itu mulai memberi macam-macam tawaran dalam konteks tata krama bermasyarakat. Kadang dia mengoreksi dengan tegas kebiasaan-kebiasaan yang menurut dia tak cocok dengan ide masyarakat baru yang sedang dia coba bangun; kadang dia harus berkompromi ketika para mualaf itu bersikeras dengan cara-cara lama mereka sendiri.

Dalam usia beranjak tua, Nabi mengelola dinamika sosial Madinah dengan memeras otak sekeras-kerasnya dari hari ke hari, seperti misalnya direkam oleh Quran. Ia terus mengintip peluang perbaikan, sambil menangkis serangan teologis yang gencar terutama dari tokoh-tokoh Yahudi, yang merasa sebagai senior spiritual yang mengantungi ajaran luhur yang sudah sangat mapan dan jauh lebih tua.

Nabi pun dengan cerdik memanfaatkan adat-adat lokal yang positif guna mendukung desain sosial barunya. Bagaimanapun adat lokal Madinah harus ia pelajari dengan cepat, karena dalam beberapa hal berbeda dari adat Mekkah yang jauh lebih dikenalnya.

Jadi, jelas bahwa Nabi tidak bisa disebut sebagai kepala negara. Bukan hanya dia tidak punya jabatan itu secara resmi; beliau pun, karena itu, tidak punya para pembantu formal seperti menteri, gubernur, bupati, dan sebagainya. Fakta bahwa Madinah tidak pernah berstatus negara makin diperkuat oleh sejarah kemudian. Di masa Khalifah Ali, ia memindahkan pusat ”pemerintahan” ke Kufah; dan di masa modern, sampai hari ini, Madinah pun hanya merupakan salah satu kota dari Kerajaan Arab Saudi.

Kalau Nabi sesekali mengirim misi ke luar Madinah, ketika komunitas baru itu mulai menguat, itu sama sekali bukan seperti misi diplomatik seperti yang kita kenal sekarang (atau bahkan seperti utusan-utusan politik dan bisnis raja-raja Cina, Byzantium dan Persia kuno). Nabi mengutus beberapa anggota komunitas terutama untuk menyebarkan kabar gembira dari langit—sebutlah, dalam peristilahan sekarang, “dakwah”.

Dia mencoba membujuk dan meyakinkan komunitas-komunitas di sekitar Madinah bahwa ada ajaran-ajaran baru yang niscaya akan membuat hidup mereka lebih baik. Kadang utusan-utusan itu sukses, kadang gagal — biasa saja, seperti kita menawarkan ide-ide baru pada orang-orang yang biasanya bereaksi pertama
dengan menolak atau meragukannya.

Sekularisme

Sedangkan sekularisme adalah sebuah wawasan, pandangan atau pendekatan (approach) terhadap dunia; sebuah world-view atau Weltanschaung. Intinya: gagasan bahwa serba-serbi urusan di dunia yang fana ini (sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum, kesenian, ilmu, teknologi, dan sebagainya) sebaiknya ditangani oleh manusia sendiri. Urusan duniawi tidak boleh—karena memang tidak bisa, tidak perlu dan kontraproduktif—diurus dengan minta bantuan pada sesuatu yang berada di luar dunia ini (sebagian agama menyebutnya sebagai Tuhan — dengan variasi konsep masing-masing — sebagian lagi menamainya “Kekuatan Supranatural”, “Kesadaran Kosmis”, dan sebagainya).

Bentuk sekularisme pun bervariasi. Yang ekstrem misalnya adalah komunisme, yang membenci Tuhan secara kesumat (tentu maksudnya konsep tentang Tuhan; sebab
bagi mereka apa yang disebut Tuhan itu sendiri tidak ada). Mereka memburu setiap warganegara yang menyembah Tuhan, bahkan kalaupun penyembahan itu dilakukan
secara pribadi dan tak ada hubungannya dengan stabilitas politik dan ekonomi.

Uni Soviet dulu rajin melakukan razia-razia semacam itu terhadap agama-agama yang terus bertahan hidup di sana, termasuk Islam yang dianut oleh berpuluh-puluh juta warga. Rezim Republik Rakyat Cina, yang sistem ekonominya makin kapitalistis tapi sistem politiknya tetap komunis, sampai hari ini memburu para pemimpin dan pengikut Falun Gong, gerakan sosial-budaya yang dikualifikasi sebagai agama.

Yang lebih lunak dan lazim adalah sekularisme dalam arti pemisahan antara negara dan agama. Urusan negara tidak boleh dicampuri oleh agama, dan sebaliknya. Tapi setiap warganegara, bahkan secara berkelompok dan terbuka, dipersilakan seleluasa mungkin untuk beribadah dan mengamalkan apa yang mereka yakini (tentu di luar wilayah kenegaraan). Justeru dalam hal ini negara seratus persen diharamkan mencampuri otonomi penuh agama itu.

Dalam praktiknya, teori pemisahan agama dan negara tersebut biasanya tak sepenuhnya bisa dijalankan.
Selalu ada celah hukum di antara kedua wilayah itu, yang sering diperlebar pula oleh “kaum negara” maupun kaum agama, demi kepentingan masing-masing. []

11/12/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Ka
lau alasannya bahwa khalifah Ali memindahkan ibukota pemerintahannya dari Madinah ke Kufah kemudian Madinah tidak dapat disebut sebagai negara maka itu adalah alasan yang tidak diterima akal. Sebabnya adalah bahwa sejak Rasulullah saw dan sahabatnya berpindah ke Madinah maka di sana Rasulullah saw mulai membangun negara (pemerintahan) baru yang disebut negara Madinah (lihat Marshall G. S. Hodgson The Venture of Islam) bahkan Hodgson menyatakan bahwa Muhammad memimpin Madinah berdasarkan pandangan prinsip kenabiannya. Jadi jelaslah bahwa Madinah adalah negara kota/city state seperti halnya Mekkah yang memiliki kepala pemerintahannya masing-masing.

Posted by Nurhasan  on  09/06  at  11:56 AM

Pengertian negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut (Wikipedia). Persyaratan dasar sebuah negara meliputi adanya rakyat, wilayah, pemerintahan dan kedaulatan (Montividio Convention on the Right and Duties of States).Berdasarkan pengertian tersebut dan tinjauan kesejarahan Madinah maka dapat disimpulkan apakah Madinah pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin merupakan sebuah negara atau tidak. Pada masa Rasulullah SAW, persyaratan dasar negara sebenarnya telah dipenuhi, yaitu : (1) adanya rakyat, yang terdiri atas muhajirin, anshar dan minoritas Yahudi yang dipersatukan melalui Piagam Madinah, (2) adanya wilayah, yang semula hanya seluas kota Madinah, kemudian meluas ke sebagian besar jazirah Arab, (3) adanya pemerintahan, yang ditunjukan secara de facto oleh Rasulullah SAW sebagai Kepala Negara dan penunjukan gubernur pada wilayah-wilayah yang dikuasai, antara lain penunjukan Attab bin Usaid sebagai Gubernur di Mekkah pasca Futuh, (4) dari sisi kedaulatan, pada masa itu Rasulullah SAW dan umat Islam berdaulat penuh atas wilayah yang dikuasainya. Pada masa Khulafaur Rasyidin, sistem kenegaraan semakin dipertegas dengan pembentukan organisasi/badan kenegaraan meliputi Khalifah, Mu’awin Tafwidh, Mu’awin Tanfidz, Amirul Jihad, Wali, Qadi, Jihaz Idari hingga Majelis Ummat. Adalah suatu hal yang mustahil jika wilayah kekuasaan yang begitu luas (meliputi Timur Tengah yang sebelumnya merupakan bagian dari Imperium Romawi dan Persia) dikatakan tidak ada administrasi pemerintahan negara yang mengaturnya. Terkait dengan pemindahan ibukota dari Madinah ke Kufah, sebenarnya bukan merupakan hal yang istimewa, karena banyak negara melakukannya, seperti Konstantin memindahkan ibukota ke Konstantinople dan Kubilai Khan memindahkan ibukota ke Peking).

Posted by Yudho Mustiko  on  05/05  at  01:19 PM

hem, saya gak tau apakah tulisan ini muat atau tidak, saya mau menanggapi tentang salah kalimat di tulisan tersebut, disana ust mengatakan bahwa ali memindahkan pusat pemerintahan ke kuffah, maaf kalau saya tafsir, disini ust. mengatakan memindahkan pemerintahan kalau saya tafsirkan berarti mau menyebutkan bahwa pusat pemerintahan di pindahkan dari madinah ke kuffah, dan ini dijadikan sebagai satu argument untuk mengatakan bahwa madinah bukan negara, saya bingung ust. apakah pusat pemerintahan bukan satu istrument negara seperti halnya jakarta merupakan pusat pemerintahan negara indonesia? yah mungkin kita berbeda definisi apa itu negara? tapi semoga setiap tulisan di Islib ini bukanlah untuk mencari pembenaran tapi kebenaran. terima kasih
-----

Posted by irfan maulana  on  12/17  at  11:12 AM

Menurut saya ini hanya masalah definisi negara/pemerintahan saja....setiap pemikir/tokoh/filsuf pun mendefinisikan negara sesuai pemahaman, pola-pola umum & generalisasi saja. Jika ada yg beranggapan Madinah itu sebagai sebuah bentuk negara, menurut saya itu bisa diterima, karena ada semacam perjanjian baik antara Muhammad maupun pemimpin kabilah yg ada saat itu untuk mengatur rakyat, bukankah pengaturan itu masuk dalam memerintah/pemerintahan, bukankah pemerintahan itu salah satu unsur terbentuknya negara? Terima Kasih (ini pandangan awam saja)

Posted by Mahmud Budi  on  12/15  at  02:12 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq