NU Pasca Gus Dur - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
08/01/2010

NU Pasca Gus Dur

Oleh Luthfi Assyaukanie

Sumbangan terbesar yang dilakukan Gus Dur selama dia menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah adalah kegigihannya dalam membangun ruang-ruang kebebasan dalam tubuh NU. Gus Dur lah yang menyemai kebebasan berpikir dalam NU. Gus Dur lah yang menjadi pelindung anak-anak muda NU yang berpikiran bebas dan berusaha melakukan pembaruan pemahaman keagamaan dalam Islam. 

tulisan ini telah dimuat sebelumnya di koran Jurnal Nasional

Muktamar NU yang akan digelar pada Maret depan bakal diwarnai suasana syahdu karena masih cukup dekat dengan memori meninggalnya tokoh besar mereka: KH Abdurrahman Wahid. Forum pertemuan terbesar kaum Nahdliyin itu ditunggu banyak orang, khususnya karena muktamar itu bakal memilih Ketua PBNU, yang akan memimpin organisasi ini selama lima tahun ke depan. Di tengah keterpurukannya, NU sekarang memerlukan seorang pemimpin baru, yang visioner, punya karakter kuat, serta mampu memainkan peran seperti Gus Dur memainkan perannya pada era 1980an.

Kepemimpinan dalam tubuh NU adalah faktor penting yang dapat menentukan hitam-putihnya organisasi yang didirikan pada 1926 ini. Reputasi NU di tingkat nasional dan internasional sangat bergantung kepada siapa yang menakodai organisasi ini. Pada zaman Soekarno dulu, NU dikenal sangat dekat dengan kekuasaan karena para tokohnya, khususnya Idham Chalid dan KH Saifuddin Zuhri, dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan Bung Karno.

Begitu juga, pada masa-masa Soeharto, NU mengambil langkah berseberangan dengan rezim Orde Baru itu, karena para pemimpinnya memilih sikap demikian. Sikap antagonis terhadap pemerintah ini baru berubah ketika kepemimpinan NU mengalami perubahan, salah satunya setelah pergantian kepengurusan dalam Muktamar Situbondo pada 1984.

Muktamar Situbondo dicatat dengan tinta emas dalam sejarah NU, bukan hanya karena sejak saat itu NU memutuskan untuk “Kembali ke Khittah,” tapi karena Situbondo berhasil memilih seorang pemimpin yang kemudian mengubah sejarah NU yang tak pernah lagi sama dari era-era sebelumnya. Muktamar Situbondo begitu fenomenal karena forum itu berhasil memilih Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah.

Era Keemasan

Pada pertengahan tahun 1980an, Gus Dur adalah ikon intelektualisme Indonesia. Dia tak hanya dikenal sebagai seorang tokoh NU, tapi juga sebagai aktivis HAM, pembela demokrasi, dan pejuang kebebasan. Tulisan-tulisannya tersebar di koran-koran dan majalah utama negeri ini. Pandangan-pandangannya bergulir dari satu forum ilmiah ke forum ilmiah lain. Dengan latar belakang itulah terpilihnya Gus Dur menjadi Ketua PBNU menawarkan banyak harapan.

Dan benar saja. Gus Dur membayar lunas semua harapan itu. Selama kepemimpinannya, Gus Dur mengubah citra dan perjalanan NU dari sebuah organisasi Islam yang “kolot” dan “terbelakang” menjadi sebuah organisasi Islam yang sangat dinamis. Gus Dur lah yang memperkenalkan NU ke dunia internasional. Gus Dur lah yang mendorong para sarjana dan peneliti asing menulis tentang organisasi yang kerap disalahpahami orang ini. Selama rentang kepemimpinannya, sudah ratusan artikel dan lusinan buku ditulis para sarjana Barat tentang NU. Imbasnya, NU menjadi organisasi yang dikenal di dunia internasional.

Gus Dur melakukan banyak sekali perubahan di dalam tubuh NU. Dia tak hanya mengundang para peneliti dan sarjana asing untuk mengenal lebih dekat lagi NU. Dia juga menjadi pi-ar (public relation) yang sangat piawai untuk dunia pesantren. Dalam salah satu tulisannya di majalah Prisma, Gus Dur mengatakan bahwa pesantren adalah subkultur dari Islam Indonesia. Gus Dur memperkenalkan pesantren dan dunia tradisional ke masyarakat kota dengan gaya ilmiah dan meyakinkan.

Namun, sumbangan terbesar yang dilakukan Gus Dur selama dia menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah adalah kegigihannya dalam membangun ruang-ruang kebebasan dalam tubuh NU. Gus Dur lah yang menyemai kebebasan berpikir dalam NU. Gus Dur lah yang menjadi pelindung anak-anak muda NU yang berpikiran bebas dan berusaha melakukan pembaruan pemahaman keagamaan dalam Islam. Pada era Gus Dur lah generasi muda NU secara leluasa belajar tentang demokrasi, HAM, dan arti toleransi.

Kemunduran

Amat disayangkan bahwa apa yang sudah dirintis Gus Dur dalam NU tidak memiliki kelanjutan, terutama dalam bidang intelektual dan pemikiran keagamaan. Pengganti Gus Dur, Hasyim Muzadi, tampaknya lebih senang bermain politik ketimbang memikirkan pengembangan pemikiran dan pemberdayaan intelektualitas NU di dalam.

Bisa dipahami bahwa ranah politik menyimpan sumber daya finansial yang besar. Lewat politik, para pemimpin NU bisa dengan mudah mengumpulkan kekayaan pribadi. Inilah yang agaknya terjadi pada era kepemimpinan Hasyim.

Dua kali Hasyim mencoba keberuntungannya dalam dunia politik, dan dua kali pula ia gagal. Pada Pemilu 2004, dia mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden, mendampingi Megawati Soekarno Putri. Dia kalah melawan pasangan SBY-JK yang lebih kuat. Pada Pemilu 2009, Hasyim mencoba keberuntungannya lagi dengan membawa gerbong NU mendukung Jusuf Kalla menjadi presiden. Lagi-lagi dia kalah dan secara langsung maupun tidak langsung mempermalukan NU.

Namun, yang paling destruktif yang dilakukan Hasyim adalah kampanye negatifnya terhadap kebebasan berpikir yang tumbuh di kalangan anak-anak muda NU. Dalam berbagai ceramahnya, Hasyim mengecam anak-anak muda didikan Gus Dur yang mengembangkan pemikiran keagamaan secara bebas. Perseteruannya dengan Gus Dur tampaknya menjadi alasan mengapa dia begitu memusuhi anak-anak muda NU pengusung Islam Liberal, Islam yang diperkenalkan Gus Dur sejak tahun 1980an.

Kembalikan Kejayaan

Dengan perbandingan semacam itu, banyak orang berharap akan ada perubahan dalam NU. Muktamar di Makassar Maret depan bakal menjadi penentu apakah NU akan mengubah dirinya dari keterpurukan menjadi organisasi yang penuh dinamika seperti ketika dipimpin Gus Dur dulu? Atau warga Nahdliyin pada dasarnya lebih suka dipimpin oleh para politisi ketimbang intelektual seperti Gus Dur?

Tidak ada alternatif lain bagi warga NU kecuali memilih seorang pemimpin yang visioner, punya karakter, dan mencintai kebebasan. Jika ingin mengulangi kejayaannya, tidak ada pilihan bagi warga NU kecuali memilih pemimpin yang setara dengan Gus Dur, atau paling tidak mewarisi karakter, visi, dan determinasi yang pernah dimiliki Gus Dur.

NU kini berada pada suatu zaman yang memerlukan penyikapan matang dan bijaksana. Seperti warga dunia lainnya, warga NU kini hidup pada zaman yang berubah dengan cepat. Mereka berada pada era internet, TV kabel, ponsel, dan batas-batas negara yang semakin kabur. Yang diperlukan warga NU adalah pemimpin yang mengerti bahasa mereka dan sekaligus menguasai bahasa zaman yang berubah dengan cepat itu.

Pemimpin yang diperlukan NU sekarang adalah seorang yang menguasai ilmu-ilmu agama, menguasai ilmu-ilmu sosial, pandai berbahasa Inggris, punya wawasan luas, dan mampu bergaul dengan berbagai kalangan di tingkat nasional maupun internasional. Hasyim Muzadi telah gagal memainkan peranan ini. Dan kegagalan ini tidak semestinya diulang lagi.

Jika warga NU benar-benar merindukan Gus Dur dan menginginkan kembalinya kejayaan NU, mereka harus mampu mencari seorang tokoh yang dekat dengan pemikiran Gus Dur, mampu mengikuti perkembangan zaman, bisa bergaul dengan beragam orang, dan tulus dalam membawa gerbong NU ke kancah peradaban. Saya yakin, mereka punya calon itu.

08/01/2010 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

NU secara kelembagaan harus mampu mengkader kader-kader muda di kampus, misal PMII agar giat memperharui pola pikir, pola gerakan dan pola interaksi.

Posted by zin_top  on  03/09  at  11:54 AM

Setelah saya tau Gus Dur memeang luar biasa, ingin sekali saya menjiplak yang ada padanya, pemikiran dan keteguhan dalam memperjuangkan yang diyakini benar,NU harus dapati tojoh sepertinya, saya tidak tau siapa, yang jelas kita semua butuh Gus Dur2 lain yang dapat membawa NU dan negara kita kearah yang lebih baik, insyaAllha.

Posted by Sulaeman  on  02/24  at  09:27 AM

gus dur yang kulihat,dia memiliki perasaan yang lembut seperti soekarno.dan dengan kelembutannya dia berani mengatakan dan membela kebenaran.dia mengasihi semua mahluk,dan itu yang dibutuhkan NU saat ini.semoga Nu mendapatkan pemimpin yg terbiasa dengan rakyat kebanyakan

Posted by rohem  on  02/13  at  01:31 PM

Gusdur yang saya kenal semasa mondok di Denanyar 1971-1973; kalau sedang berdiskusi dengan beberapa santri senior, sungguh serius. begitu mendengar beduk asar, dan mbah Yai ke masjid, beliaupun segera berwudlu’, dengan sarung dan kaos oblong, salat sunnah qobliah, dan salat asar berjama’ah.Semoga Allah melapangkan alam kuburnya, dan barakah Allah, asror-Nya, anwar-nya kepadanya selama masa hidupnya, dikembalikan kepada kita semua, amin. al fatihah.

Posted by azim amin  on  02/11  at  04:09 PM

Saya melihat ada beberapa tokoh muda NU yang mempunyai pemikiran cemerlang yang bisa meneruskan dan mengimplementasikan gagasan pembaharuan Gus Dur.

Dari antara mereka adalah yang sering menulis artikel untuk situs JIL ini. Tapi yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, apakah mereka mempunyai fighting spirit yang tinggi seperti Gus Dur? Untuk menjadi pemimpin itu perlu keberanian dan ketegasan. Kadang-kadang perlu membuat break-through.

Kalo dari segi intelektualitas sih, saya percaya mereka yang masih muda-muda itu memenuhi syarat. Juga, apakah syarat yang diperlukan untuk menjadi pengganti Gus Dur itu harus merupakan sosok dengan “darah biru” seperti Gus Dur?

Posted by Anton Isdarianto  on  01/28  at  04:10 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq