Orientalis Terbalik - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
04/08/2002

Orientalis Terbalik

Oleh Luthfi Assyaukanie

Para orientalis beneran yang secara membabi buta menyerang Islam tak punya dasar yang cukup kuat dari sisi historis dan sosiologis. Demikian pula para orientalis terbalik. Mereka pasti menolak argumen sosiologis dan historis. Sebab, menurut mereka, hal ini bertentangan dengan autentisitas Islam. Tapi, tentu saja kelemahan dari penolakan itu adalah meletakkan Islam dalam ruang hampa. Mengandaikan Islam selalu orisinal, antik, dan autentik sama artinya dengan membuang sebagian besar sejarah Islam.

Dari Majalah Tempo, No. 22/XXXI/29 Juli - 4 Agustus 2002

SEORANG aktivis Islam pernah mengatakan bahwa pluralisme bertentangan dengan semangat ajaran Islam. Di mata aktivis yang berafiliasi pada sebuah lembaga dakwah di Tanah Air ini, Islam jelas-jelas ber-sikap tegas dan keras terhadap kaum non-muslim. Kata dia, gagasan pluralisme hanya akan membuat Islam semakin lemah.

Seorang pemimpin Islam lainnya, yang mengetuai sebuah gerakan Islam yang belakangan sering disorot media, juga menegaskan: demokrasi tak sesuai dengan Islam. Sebab, sistem ini ciptaan manusia dan karenanya bertentangan dengan ajaran Islam, yang sepenuhnya berasal dari Allah. Ada juga tokoh Islam lainnya yang mengatakan bahwa sekularisasi bertentangan dengan Islam.

Mereka semua bisa disebut berpandangan orientalisme terbalik (al-istisyraq al-ma’kus, orientalism in reverse). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Sadik Jalal al-Azm, intelektual Suriah. Al-Azm memakainya untuk mengkritik Edward Said dan bukunya, Orientalism, yang menurut dia-sama seperti kaum orientalis-berangkat dari prasangka budaya dan penjelasan reduksionis. Oleh beberapa intelektual Arab lainnya seperti Dr. Mona Abaza, istilah “orientalisme terbalik” lalu dipakai untuk melihat gejala serupa pada para tokoh Islam yang anti-pembaruan.

Seperti para orientalis, mereka menganggap Islam tak sejalan dengan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan sekularisasi. Islam agama unik yang berbeda dengan agama-agama dunia lainnya. Islam tak bisa disamakan dengan agama lain, khususnya Kristen, yang bisa menerima konsep-konsep modernitas.

Saya kira fenomena orientalis terbalik tak hanya terjadi di dunia Arab. Di Indonesia, para orientalis terbalik juga semakin mewabah. Mereka memang bukan orientalis dalam pengertian sesungguhnya, yakni ahli dari Barat yang mengkaji masalah-masalah ketimuran dan keislaman. Tapi, seperti orientalis, mereka ahli masalah keislaman dan membela secara membabi-buta autentisitas Islam.

Bagi para orientalis Barat, Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang arkaik, Islam yang punya aura arkeologis, yang eksotis, yang lampau. Sedangkan Islam yang baru adalah bukan Islam, seperti diungkapkan Lord Cromer, komisionaris Inggris di Mesir, “Islam reformed is Islam no longer.” Pun bagi sebagian pemimpin Islam, Islam yang benar hanya satu, yakni Islam yang autentik, Islam yang orisinal, Islam masa silam. Islam modern adalah Islam palsu, Islam yang jauh dari autentisitas.

Lalu, apa bedanya para aktivis dan tokoh Islam itu dengan Donald Eugene Smith, ahli India dan Islam? Mereka juga menyebut sekularisasi dan sekularisme sebagai konsep yang bertentangan dengan Islam dan karenanya “tidak relevan berbicara sekularisme dalam Islam” (Smith, India as a Secular State, 1963). Apa bedanya para tokoh Islam itu dengan Samuel Huntington, pengamat politik asal Harvard? Dia pernah bilang, Islam adalah sebuah anomali dari demokrasi Barat (Huntington, The Clash of Civilizations, 1993).

Para orientalis beneran yang secara membabi buta menyerang Islam tak punya dasar yang cukup kuat dari sisi historis dan sosiologis. Demikian pula para orientalis terbalik. Mereka pasti menolak argumen sosiologis dan historis. Sebab, menurut mereka, hal ini bertentangan dengan autentisitas Islam. Tapi, tentu saja kelemahan dari penolakan itu adalah meletakkan Islam dalam ruang hampa. Mengandaikan Islam selalu orisinal, antik, dan autentik sama artinya dengan membuang sebagian besar sejarah Islam.

Mereka tak bisa menjelaskan bagaimana unsur-unsur sekuler berkelindan dalam peradaban Islam pada rentang sejarah yang panjang. Bagaimana menjelaskan realitas sosiologis umat Islam modern yang berusaha menerapkan konsep-konsep baru yang di dalam “Islam autentik” tak pernah disebutkan?

Saya cenderung meyakini realitas sosiologis dan historis sebagai upaya umat Islam menafsirkan ajaran-ajaran Islam yang progresif dan dinamis. Realitas sosiologis dan historis merupakan tafsir hidup terhadap Islam autentik yang ada dalam imajinasi setiap kaum muslim.

Tak ada yang salah dari realitas sosiologis. Ketika sebuah negara muslim berusaha menerapkan demokrasi, menjunjung tinggi pluralisme, dan mengakui deklarasi hak asasi manusia, ini tidak serta-merta negara tersebut sedang menjauh dari autentisitas (al-ashalah). Upaya ini merupakan sebuah tafsir terhadap “Islam autentik” dan sebuah upaya untuk selalu menjaga-apa yang disebut oleh Muhammad Iqbal, filsuf asal Pakistan-prinsip dinamika Islam.

Para orientalis terbalik menganggap bahwa sejarah merupakan mata rantai deviasi terhadap autentisitas dan terhadap Islam klasik. Ia tak akan pernah menjadi model ideal bagi umat Islam. Sejarah adalah kumpulan penyimpangan terhadap apa yang sudah digariskan oleh al-sabiquna al-awwalun (orang-orang pertama dulu) dan al-salaf al-shalih (orang-orang salih).

Saya kerap merasa, orientalis sungguhan dan orientalis terbalik sama-sama berbahaya bagi keberlangsungan modernisme Islam.[]

04/08/2002 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq