Paradoks “Islam Hadhari”
Oleh Luthfi Assyaukanie
Dua peristiwa itu merefleksikan sebuah paradoks tentang konsep “Islam Hadhari” yang dicetuskan Pak Lah, panggilan Abdullah Badawi. Paradoks karena gagasan yang beranjak dari ide pencerahan dan kebebasan itu, kini justru dikuasai oleh kaum konservatif dan ortodoks di Malaysia.
Sementara Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, dianugerahi gelar Doktor Horis Causa (Dr HC) oleh Universitas Negeri Islam (UIN), Jakarta Senin lalu (24/7), di Kuala Lumpur, sekitar 10.000 umat Islam yang menamakan diri kelompok anti-pemurtadan, melakukan pawai meminta pemerintah mencanangkan undang-undang apostasi. Ini adalah pemandangan yang kontras, karena penganugerahan gelar Doktor Badawi adalah menyangkut gagasan “Islam Hadhari” dan dalam bidang “Pemikiran Islam.”
Dua peristiwa itu merefleksikan sebuah paradoks tentang konsep “Islam Hadhari” yang dicetuskan Pak Lah, panggilan Abdullah Badawi. Paradoks karena gagasan yang beranjak dari ide pencerahan dan kebebasan itu, kini justru dikuasai oleh kaum konservatif dan ortodoks di Malaysia.
Dalam pidato penerimaannya sebagai Dr HC, Pak Lah mendefinisikan Islam Hadhari sebagai Islam yang mengusung gagasan kemajuan dan peradaban. Berbeda dari “Islam radikal” atau “Islam puritan,” Islam Hadhari mencita-citakan masa depan Islam yang beradab, toleran, maju, dan kreatif. Model Islam Hadhari bukanlah Barat, bukan juga negara-negara Islam yang terobsesi dengan Ideologisasi agama seperti Iran dan Taliban, tapi masa lalu Islam ketika agama ini mencapai kejayaannya pada masa-masa abad ke7 hingga abad ke-13 M.
Abdullah Badawi menyebutkan masa-masa kegemilangan peradaban Islam di Baghdad dan Cordova di masa silam, ketika para filsuf, saintis, dan sarjana raksasa Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Khawarizmi, Abu Bakar al-Razi, Ibn Haitham, dan Ibn Rushd, muncul. Inilah model Islam Hadhari yang sesungguhnya.
Islam Hadhari adalah Islam yang ingin menghidupkan kembali kegemilangan Baghdad, Cordova, Khurasan, dan Cairo di masa silam. Kota-kota Islam ini, pada masa silam, adalah mercusuar ilmu pengetahuan dan ikon kebebasan bagi dunia intelektual, filsafat, dan seni. Inilah yang sesungguhnya diinginkan oleh Pak Lah.
Di Malaysia, Islam Peradaban itu sendiri sebetulnya bukanlah ide baru. Sebelum Badawi menjadi PM, Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohammad juga pernah mengemukakan gagasan serupa, hanya istilah saja yang berbeda. Mahathir kerap menggunakan istilah “Tamadun Islam,” sementara Anwar menggunakan istilah “Islam Madani.” Inti dari kedua istilah ini sama, yakni menginginkan kembalinya kejayaan Islam.
Dalam tingkat tertentu, Mahathir dan Anwar bahkan jauh lebih maju, karena kedua tokoh ini membangun lembaga intelektual untuk mengusung gagasan besar itu. Mahathir membangun Institute Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), sementara Anwar membangun International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Pada tahun-tahun awal berjalan, kedua lembaga ini cukup menjanjikan. Saya menjadi saksi atas kedua megaproyek intelektual ini. Saya adalah alumnus pertama ISTAC yang benar-benar meraskan aura Baghdad dan Cordova di lembaga itu. Kebebasan akademik dan keseriusan terhadap ilmu pengetahuan benar-benar diperlihatkan. Hal yang sama juga terjadai dengan IKIM, yang memiliki program riset dan diskusi yang sangat cemerlang.
Tapi, sejak ada pertikaian antara Mahathir dan Anwar, megaproyek “Islam Peradaban” mengalami ancaman serius. Lembaga-lembaga pemikiran (think tank) yang dulu dijadikan sebagai tulang punggung bagi proyek itu terbengkelai dan diambil alih oleh kaum puritan berpikiran sempit. Sejak tahun 1998, ISTAC terus digerogoti oleh kaum konservatif dan kini didominasi oleh para sarjana yang menghamba pada Wahabisme dan Talibanisme.
Saya mendengar tidak ada lagi aura Baghdad dan Cordova di sana, kecuali arsitektur dan ornamen bangunannya. Para pengajar dan mahasiswa ISTAC sekarang ini adalah sekumpulan medioker yang menghamba pada ideologi dan kepentingan politik yang sempit. Tidak ada lagi pemikir-pemikir bereputasi internasional, seperti ketika lembaga itu masih dipimpin Syed Naquib Alattas.
Yang lebih mengkhawatirkan, proyek Islam Hadhari Pak Lah, kini bukan hanya kehilangan pendukung intelektual (IKIM dan ISTAC), tapi malah didominasi oleh ulama ortodoks yang selalu curiga dengan pemikiran dan kebebasan. Pawai anti apostasi yang digelar besar-besaran di Kuala Lumpur itu menunjukkan bahwa kaum Muslim di Malaysia tidak menginginkan Islam Hadhari model Baghdad atau Cordova di masa silam, tapi lebih mirip pada model Teheran di bawah Khomeini atau Kabul di bawah pemerintahan Taliban.
Tentu saja, kedua model itu adalah model yang berlawanan, paradoks. Peradaban Islam tidak bisa dibangun di atas landasan kecurigaan dan pemberengusan terhadap ide-ide. Peradaban tidak bisa dibangun di atas ketakutan dan kungkungan. Tapi, peradaban Islam harus dibangun berdasarkan kebebasan dengan makna yang seluas-luasnya. Hanya dengan kebebasanlah lahir para tokoh besar Muslim: Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Razi, Ibn al-Rawindi, Ibn Haitham, Al-Khawarizmi, dan Ibn Rushd.
Jika Abdullah Badawi benar-benar menginginkan Islam Hadhari terlaksana di Malaysia dan di dunia Islam pada umumnya, maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa konsep ini dibangun berlandaskan kebebasan, dan bukan berlandaskan aturan-aturan dan fatwa para ulama konservatif.
Sejarah Islam membuktikan, masa-masa kegemilangan peradaban Islam dicatat ketika pemerintahan dinakodai oleh para filsuf dan pemikir besar, dan mengalami keruntuhan ketika para ulama konservatif campur tangan dan mulai menangkapi dan mengeksekusi para pemikir bebas.
Dengan gelar Dr HC dalam bidang pemikiran Islam dengan tema Islam Peradaban, saya kira, tanggung jawab Pak Lah, kini semakin besar. Tugas pertama yang harus dijalaninya adalah menghilangkan paradoks pada istilah ini, yakni bahwa “Islam Hadhari” adalah Islam peradaban sains dan ilmu pengetahuan, bukannya peradaban para ulama jumud dan konsevatif yang terus-menerus menggelorakan perang terhadap kebebasan berpikir.
** Luthfi Assyaukanie, Direktur RePro (Religious Reform Project), Jakarta.
Komentar
Artikel yang menarik dari Mas Lutfi. Namun saya menyoal mengenai kenyataannya yang mengatakan sejak 1998 ISTAC sudah dikuasai oleh kuasa konservatif. Saya merupakan pelajar ISTAC yang merupakan batch terakhir dibawah Prof. al-Attas. Setahu saya ISTAC itu diambil alih pada 2002 bukan 1998. Ulamak konservatif mula masuk ke ISTAC pada Desember 2002. Memang amat malang sekali di Malaysia, ISTAC itu akhirnya jatuh juga kekuasa konservatif menjadi mangsa politik antara Anwar dan Mahathir. Memang wujud paradoks antara slogan Islam Hadhari dan pelaksanaan tersebut. Pak Lah malangnya tidak mempunyai pemikiran yang mungkin se ideal idea Islam Hadhari tersebut. Perlaksanaannya dipelopori oleh ulamak-ulamak konservatid Jakim dan Yadim yang sememangnya tiada keterbukaan seperti yang diimpikan di Baitul hikmah atau Cordova.
-----
Islam hadhari memang wajah islam yang di dambakan untuk era modern ini. Memang seharusnya islam menampakkan wajah hangatnya pada dunia,bukan lagi wajah yang seram dan garang. Tapi melihat artikel diatas ada satu yang mengganjal dalam hati saya, pak luthfi mengatakan bahwa peradaban islam harus berdasarkan kebebasan, yang menjadi satu pertanyaan adalah kebebasan seperti apa?
Semoga saja pak luthfi bisa lebih objektif dalam menilai,karena saya lihat permusuhan terhadap “perbedaan pendapat” masih mewarnai tulisan pak luthfi.padahal pada waktu islam berjaya dulu begitu banyak perbedaan, baik dikalangan filosof, ilmuwan atau ulama, maka jika sekarang ini terdapat perbedaan pendapat seharusny tidak melahirkan hujatan atau hal negatif yg lain tapi seharusnya kebijaksanaan itu yg terlahir, jika memang JIL mengharapkan “peradaban” itu muncul.
Malaysia adalah negara islam, dan menerapkan syariat, tapi iklim HAM dan kebebasan dinegara itu lebih maju dari negara kita. Islam yang diusung perdana mentri Malaysia, Ahmad Badawi, sangat perlu dicontoh oleh bangsa Indonesia, yang katanya adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini penting untuk ditumbuhkembangkan, agar tidak ada lagi golongan orang-orang radikal dan fanatik yang hanya bisa menyebut orang lain kafir dan haram!!
Komentar Masuk (3)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)