Parpol Islam dan “Khittah” Reformasi
Oleh Nadirsyah Hosen
Setelah gagalnya perjuangan parpol Islam memasukkan tujuh kata dalam proses reformasi konstitusi, timbul pertanyaan: apa agenda parpol Islam selanjutnya? Parpol Islam perlu menyadari bahwa semua agenda reformasi yang diteriakkan gerakan mahasiswa pada Mei 1998 -seperti pemberantasam korupsi, penegakan HAM, dan peningkatan kesejahteraan rakyat- tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa mereka harus kembali ke “khittah” reformasi tersebut.
Reformasi telah membuka peluang hadirnya partai politik (parpol) Islam untuk terlibat dalam berbagai persoalan bangsa. Paling tidak, ada dua arti penting kehadiran parpol Islam tersebut. Pertama, simpatisan parpol Islam dapat menyalurkan aspirasi melalui jalur konstitusional. Pengalaman masa Orde Baru menunjukkan bahwa pembatasan gerak-gerik aktivis Islam hanya akan menyuburkan fundamentalisme dan fanatisme berlebihan. Ketika kini aspirasi mereka dapat disalurkan sesuai aturan main yang ada, tindakan inkonstitusional atau ekstra-parlementer justru akan menjadi bumerang buat mereka. Dengan kata lain, mekanisme konstitusional (seperti pemilu) yang akan menentukan nasib parpol Islam, bukan kekuatan senjata atau dekrit presiden.
Kedua, diangkatnya kembali isu syariat dalam proses amandemen konstitusi menunjukkan bahwa kini tidak lagi tabu membicarakan syariah vis-à-vis negara. Meskipun usulan memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam Pasal 29 UUD 1945 telah gagal, namun semua perdebatan dilakukan secara dewasa, konstitusional dan penuh tanggung jawab. Sekali lagi, ini mengindikasikan bahwa parpol Islam dapat menyalurkan aspirasi mereka sesuai mekanisme konstitusional.
Setelah gagalnya perjuangan parpol Islam memasukkan tujuh kata dalam proses reformasi konstitusi, timbul pertanyaan: apa agenda parpol Islam selanjutnya? Kecuali mereka dapat memenangkan Pemilu 2004 dengan suara yang signifikan, akan dibutuhkan waktu sekitar 20 sampai 30 tahun lagi untuk membuka kembali perdebatan tujuh kata tersebut. Momentum perubahan konstitusi itu telah lewat, dan sulit bagi parpol Islam untuk meraih minimal 75 persen suara guna mendapatkan dukungan 2/3 suara untuk mengubah konstitusi. Kalau demikian halnya, apa yang sebaiknya menjadi agenda perjuangan parpol Islam?
Kembali ke “khittah” reformasi
Parpol Islam perlu menyadari bahwa semua agenda reformasi yang diteriakkan gerakan mahasiswa pada Mei 1998 -seperti pemberantasam korupsi, penegakan HAM, dan peningkatan kesejahteraan rakyat- tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, memperjuangkan agenda reformasi haruslah merupakan agenda pokok parpol Islam. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa mereka harus kembali ke “khittah” reformasi tersebut.
Hal ini penting untuk disuarakan karena arah perjalanan reformasi semakin tidak jelas. Sulit untuk melihat ada parpol yang sungguh-sungguh memperjuangkan agenda reformasi. Yang banyak terlihat adalah praktik politik busuk yang dibalut dengan retorika politik. Dalam bahasa agama, agenda reformasi telah tercemari bukan saja oleh perilaku berbau syubhat (tidak jelas mana yang halal dan mana yang haram), tapi juga sudah masuk wilayah rijsun min ‘amalis syaithan (bagian dari napak tilas setan).
Parpol Islam seharusnya berdiri di barisan terdepan mendukung gerakan anti-politisi busuk. Tidak layak parpol Islam mengajukan calon legislatif atau calon presiden yang tidak mendukung good governance. Dalam bahasa agama: mereka yang berdusta ketika berbicara, mereka yang ingkar ketika berjanji dan mereka yang khianat ketika diberi amanah, adalah mereka yang bermuka dua (Musnad Ahmad, Hadis Nomor: 6583). Politisi yang bermuka dua (dzul wajhayn) dipertanyakan kelayakannya dalam membangun Indonesia yang demokratis.
Sinyalemen KH. Hasyim Muzadi bahwa negara ini dikuasai koruptor dan penjudi merupakan hal yang patut menjadi tema kampanye semua parpol Islam dalam pemilu nanti. Korupsi di tanah air sudah sistemik dan sistematis. Gerakan anti-korupsi tidak lagi bisa hanya mengandalkan karisma tokoh atau kerasnya ancaman hukuman. Parpol Islam bukan saja berkewajiban untuk membersihkan diri mereka terlebih dahulu, tapi juga secara serius memikirkan solusi yang juga sistematis dan sistemik untuk melawan penyakit bangsa ini.
Sebagai bagian dari ajaran Islam, parpol Islam juga harus mendukung kebebasan pers. Gerakan anti-pornografi tidak boleh diartikan sebagai jalan untuk mengebiri pers. Kebebasan pers dan pornografi adalah dua hal yang berbeda. Parpol Islam juga harus terus meletakkan HAM sebagai agenda reformasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Di manapun dan kapan pun terjadi pelanggaran HAM, parpol Islam harus menjalankan prinsip amar makruf nahi mungkar.
Dari pasif menjadi aktif
Dalam menentukan agenda parpol Islam pasca amandemen UUD 1945, parpol Islam tidak cukup hanya mengedepankan prinsip “asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam”. Prinsip tersebut kerapkali hanya menjadikan parpol Islam dalam kondisi pasif, miskin inisiatif, dan langka kreatifitas. Parpol Islam harus mengambil posisi aktif sebagai -meminjam istilah Max Weber- “the children of democracy”. Ini artinya, ajaran Islam membutuhkan demokrasi untuk berkembang. Dengan kata lain, dalam iklim demokrasi, nilai-nilai ajaran Islam bisa tumbuh subur.
Agenda parpol Islam selanjutnya ialah melakukan ijtihad politik untuk membumikan substansi Islam. Dalam skala praktis, parpol Islam tak lagi hanya bisa berperilaku sebagai “penjaga gawang” Islam di parlemen dengan cara memantau mana Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bertentangan dengan ajaran Islam dan mana yang tidak. Lebih dari itu, parpol Islam harus mampu membuat draft RUU sendiri yang sesuai dengan agenda reformasi, mensosialisasikannya di masyarakat dan mendiskusikannya di parlemen. Dengan demikian, parpol Islam akan berwawasan plural dan inklusif.
Dalam hal ini, National Democratic Institute (2000) mengingatkan bahwa perilaku parpol merupakan “model demokrasi” yang mereka ingin kembangkan ketika mereka berkuasa nantinya. Ada parpol Islam yang hanya bersifat menunggu dan mengikuti arus politik yang ada. Ada pula parpol Islam yang gagal menghadirkan solusi alternatif dari ruwetnya persoalan bangsa. Banyak pula parpol yang sibuk mengurusi perpecahan di parpol akibat tidak mampu mengelola perbedaan pendapat, atau munculnya keseragaman opini akibat ketakutan pengurus parpol untuk berbeda pendapat. Perilaku semacam itu adalah “kampanye” parpol Islam yang sesungguhnya, yang dipertontonkan kepada rakyat dalam 4 tahun terakhir ini.
Elaine Johnson, dalam disertasinya di University of Virginia (2002), menyimpulkan bahwa pemimpin parpol di Indonesia seringkali mengeksploitasi sentimen massa dan lebih menonjolkan karisma tokoh ketimbang mengedepankan agenda perjuangan (h.732-733). Parpol Islam yang lolos mengikuti Pemilu 2004 harus berusaha merubah image tersebut. Dengan berusaha aktif memperjuangkan “khittah” reformasi, parpol Islam akan keluar dari kondisi syubhat, dzul wajhayn dan rijsun min ‘amalis syaithan. Barulah kemudian arti penting kehadiran parpol Islam dalam era reformasi ini dirasakan manfaatnya oleh rakyat, tanpa harus menunggu 20 atau 30 tahun lagi []
Nadirsyah Hosen, Asisten Direktur Program Pascasarjana Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Tulisan ini merupakan kerjasama dengan Sindikasi Media Islam dan Hak-hak Politik.
Komentar
Menarik sekali membaca artikel ini, saya ingin menambahkan bahwa sebenarnya Agenda Reformasi bagi partai Islam itu sudahlah cukup. Jika kita mencita-citakan syari’at Islam maka sebenarnya syariat Islam sudah masuk kedalam seluruh sendi-sendi hukum NKRI. Islam secara historis telah mencontohkan bagaimana mereformasi suatu masyarakat. Bagi kita yang terpenting bukanlah simbol tapi substansi. Secara substansial syariat Islam sudah masuk dalam tatanan hukum negara kita, karena itu tidaklah terlalu penting kita menonjolkan simbol. Toh, Pancasila sudah cukup Islami.
-----
Komentar Masuk (1)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)