Partisipasi Politik Perempuan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
14/06/2004

Partisipasi Politik Perempuan

Oleh KH. Husein Muhammad

Dalam wacana klasik, mengangkat pemimpin (nashb al Imam) adalah wajib dalam kategori fardh kifayah. Ada dua hal yang selalu menjadi perbincangan utama. Siapa yang harus dipilih menjadi kepala negara (al Imam) dan siapa yang berhak memilihnya. Ulama menyebut yang kedua sebagai ahl al halli wa al aqdi atau ahl al ikhtiar. Untuk kedua pertanyaan itu, wacana politik Islam klasik menyebutkan sejumlah persyaratan idealistik dan beragam.

Isu keharaman presiden perempuan kembali memicu kontroversi setelah sekelompok ulama khos NU memfatwakannya di kediaman rumah K.H Mas Subadar, Pasuruan. Sulit menepis nuansa politis yang menyusup dalam fatwa tersebut. Apalagi, sebelum fatwa tersebut diluncurkan, Solahuddin Wahid yang nota bene adalah cawapres Wiranto dari kubu Golkar-PKB “beramah-tamah” dengan beberapa ulama di tempat yang sama. Tulisan ini tidak spesifik membahas halal-haramnya presiden perempuan, namun akan ditarik lebih luas pada persoalan partisipasi politik perempuan dalam perspektif Islam.

Dalam Islam, politik (al siyasah) dirumuskan sebagai cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat. Jadi politik adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tapi penyebutan politik dalam pikiran banyak orang telah menyempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang panjang.

Dalam wacana klasik, mengangkat pemimpin (nashb al Imam) adalah wajib dalam kategori fardh kifayah (kewajiban kolektif) atas dasar argumen agama dan pikiran rasional. Al-Ghazali dalam Al I’tiqad fi al Iqtishad menyebut tugas ini sebagai “dharuri” (keniscayaan) dalam rangka berjalannya ajaran-ajaran Tuhan. Menurut al-Mawardi, eksistensi pemerintahan diperlukan untuk melindungi agama dan pengaturan dunia (Al Ahkam al Sulthaniyah, 3).  Sebagai keniscayaan kolektif, maka partisipasi politik dalam soal ini tidak menjadi keharusan setiap warga. Tapi makin banyak warga yang berpartisipasi di dalamnya, legitimasi kekuasaan menjadi semakin kuat dan relatif lebih menjamin stabilitas.

Ada dua hal yang selalu menjadi perbincangan utama. Siapa yang harus dipilih menjadi kepala negara (al Imam) dan siapa yang berhak memilihnya. Ulama menyebut yang kedua sebagai ahl al halli wa al aqdi atau ahl al ikhtiar. Untuk kedua pertanyaan itu, wacana politik Islam klasik menyebutkan sejumlah persyaratan idealistik dan beragam.

***

Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Partisipasi perempuan juga muncul dalam sejumlah “baiat” (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manejer pasar di Madinah.

Sayangnya sekarang partisipasi politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan ini tak hanya terbaca dalam buku-buku pelajaran, tetapi juga muncul dalam realitas sosial. Sejarah politik Islam sejak Nabi SAW wafat dan masa khulafa al-rasyidun sampai awal abad 20 tak banyak menampilkan tokoh perempuan untuk peran-peran publik.

Secara umum alasan yang digunakan adalah bahwa perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang dan kehadiran mereka di tempat umum dipandang sebagai sumber godaan (“fitnah”) dan menstimulasi konflik sosial. Persepsi tendensius ini merujuk pada sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur-an dan hadits) yang dibaca secara harfiah dan konservatif. Untuk kurun yang panjang pandangan interpretatif yang diskriminatif ini diterima secara luas bahkan oleh sebagian kaum muslimin hari ini. Universitas Al-Azhar, pernah mengeluarkan fatwa haram atas dasar syari’ah Islam bagi perempuan untuk memangku jabatan-jabatan publik (al wilayah al ‘ammah al mulzimah). Said al Afghani mengatakan “al siyasah ‘ala al mar’ah haram shiyanah li al mujtama’ min al takhabbuth wa su-u al munqalab” (politik bagi perempuan adalah haram guna melindungi masyarakat dari kekacauan). Al-Maududi dari Pakistan dan Musthafa al-Siba’i dari Siria dan sejumlah sarjana lain menyetujui pandangan ini. Al-Siba’i mengatakan bahwa “peran politik perempuan dalam pandangan Islam sangat dijauhi bahkan saya katakan diharamkan. Ini bukan karena ia tidak memiliki keahlian melainkan karena kerugian-kerugian sosialnya lebih besar, melanggar etika Islam dan merugikan kepentingan keluarga.”

Argumen mereka yang lain adalah bahwa tugas politik sangat berat dan perempuan takkan mampu menanggungnya karena akal dan tenaganya dari “sono” nya lemah. Tak aneh jika kita merasa kesulitan mendapatkan pandangan Islam klasik yang memberikan pada perempuan hak-hak politiknya, baik untuk jabatan anggota legislatif (parlemen) maupun eksekutif (khalifah, presiden, perdana menteri dan menteri). Untuk jabatan yudikatif, mayoritas ulama fiqh memberikan fatwa terlarang dipegang perempuan dan sebagian lagi membolehkannya pada wilayah hukum perdata. Kesulitan yang sama juga berlaku bagi keabsahan perempuan memegang peran penentu dalam wilayah domestik. Hampir tidak ditemukan sebuah pandangan keagamaan klasik dan kebudayaan lama yang memberikan appresiasi terhadap kepemimpinan perempuan. Partisipasi perempuan dalam ruang ini juga dibatasi oleh kebaikan laki-laki. Ini adalah pandangan kebudayaan yang dibungkus agama.

***

Pandangan keagamaan klasik di atas kini berhadapan dengan modernitas. Kaum perempuan kini tengah bergerak merengkuh masa depannya dan mengubur masa lalu yang suram dan penuh nestapa. Sejak awal abad 20, sejumlah negara Islam menggeliat menggugat otoritas patriarkhis. Peminggiran perempuan dari ruang publik/politik disadari telah merugikan semua orang. Status perempuan dalam hukum pada akhirnya harus mengalami perubahan. Di mulai dari Kesultanan Turki Usmaniah (1917), Mesir (1920, 1927, 1979 dan 1985), Turki modern (1924), Irak (1959, 1963 dan 1986), Iran (1967, 1975 dan 1979), Yordania (1951 dan 1976), Sudan (1915, 1927, 1932, 1933, 1935, 1960 dan 1969), Tunisia (1956, 1957, 1964, 1966, 1981) dan Suriah (1953 dan 1975). Melalui amandemen dan revisi demi revisi atas UU di negara-negara tersebut, hak-hak perempuan mengalami kemajuan demi kemajuan. Meski masih belum cukup proporsional (adil) tetapi cita-cita perempuan untuk membangun masa depannya semakin terbuka lebar.

Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD 1945. Terlepas masih adanya diskriminasi atas perempuan, sejumlah kemajuan atas status perempuan telah dicapai. Adanya responsi dan akseptabilitas terhadap partisipasi politik perempuan diharapkan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat demi menarik dukungan kaum perempuan dalam perebutan kekuasaan bernama pemilu []

**Penulis adalah pengasuh pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon dan kontributor Jaringan Pendidikan pemilih untuk Rakyat (JPPR)

14/06/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

perempuan berkiprah di dunia politik sah-sah saja....perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang sama. kalau perempuannya memang punya kapabilitas memimpin kenpa tidak,selama ini perspektif masyarakat indonesia masih dominan yang menganggap perempuan hany untuk rana domestik bukan untuk publik....selagi tak menimbulkn fitnah dan memberi mnfaat bagi orang banyak kenapa tidak. hidup rasanya sia2 banget kalau hanya numpang dan tak pernah berarti untuk orang lain…

Posted by asma  on  07/31  at  01:14 PM

Bagi kami masyarakat Aceh, perempuan berpolitik sudah lama dijalankan sejak beratus-ratus tahun yang lalu, dibuktikan dengan adanya para sulthanah dan panglima perang perempuan Malahayati, juga ada 17 orang perempuan dalam parlemen dimasa kejayaan kerajaan Aceh dahulu, kemampuan berpolitik perempuan Aceh pun sudah diakui lawan maupun kawan dari berbagai penjuru dunia dalam melakukan negosiasi maupun lobi-lobi politik. tetapi kegemilangan itu lama-lama menjadi mundur diakibatkan konflik yang terjadi antara Aceh dengan Jakarta yang kemudian menjadikan pemikiran perempuan Aceh terbelakang akibat beban ganda yang harus ditanggung selama konflik, bila ayah, suami atau anak laki-lakinya harus pergi dari rumah karena takut di tangkap, ditembak atau dihilangkan tanpa kabar sama sekali, mungkin kala itu politik perempuan Aceh adalah bagaimana mensiasati dan mencari strategi untuk menyelamatkan jiwa mereka dan itu adalah politik hidup yang harus selalu dijalankan untuk selamat.begitu juga dengan para aktivis perempuan yang bekerja dalam menciptakan perdamaian, melakukan demo, lobi negosiasi bahkan juga ditangkap dan sesungguhnya itu juga bagian dalam politik praktis.
Ketika damai datang,partisipasi politik perempuan Aceh semakin nyata dengan adanya partai lokal yang dapat mengakomodir aspirasi politik perempuan, perempuan banyak yang mencalonkan diri menjadi caleg, bukan karena ikut-ikutan tapi adalah kesadaran diri supaya persoalan-persoalan perempuan dapat diselesaikan bersama antara laki-laki sebagai mitra kerja, walaupun ternyata dari 300 an perempuan yang menjadi caleg hanya 4 orang yang duduk sebagai anggota dewan sedangkan lainnya tetap beraktifitas sebagai pekerja sosial dengan tujuan membangun partisispasi dan kualitas hidup perempuan Aceh menjadi lebih baik.

Posted by Eva Susanti Haffan  on  10/30  at  09:53 AM

Selamat untuk perempuan masa kini! Beruntung kita hidup dalam era IT yang canggih, dimana komunikasi bisa dilakukan dengan cepat dan menyebar. Sudah saatnya kita lakukan jihad bil hal, dan tidak hanya saling tuding. Merujuk artikel diatas jelas sudah perempuan isalm berpolitik bukan barang baru, meski para isteri Rasulullah saw (Aisyah & Khadijah) tidak berperan sebagai aktor utama dalam berpolitik namun kontribusi mereka tidak dpt dinafikan. Dengan landasan Qur’an, hadist dan Sunnah Rasul perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam memanage umat dari generasi ke genarasi.
-----

Posted by ifa SN  on  06/28  at  08:06 PM

Assalamualaikum, saya sependapat dengan artikel diatas yang menyatakan bahwa partisipasi politik perempuan mengalami degradasi. dan sudah saatnya perempuan juga terjun didalam kancah politik global. saya rasa perempuan berpolitik dalam islam memang diperbolehkan, dan tidak pernah menjadi masalah.namun mungkin posisinya yang harus kita perhatikan disini. kalau kita lihat beberapa contoh wanita berpolitik diatas , seperti aisyah, khadijah, dan lain sebagainya, mereka bukanlah aktor utama dalam politik. melainkan aktor pembantu yang tidak kalah penting bahkan sangat berpengaruh sekali dalam menunjang kesuksesan Rasulullah dalam memimpin umat saat itu. saya pernah mendengar hadist Rasululloh yang menyatakan bahwa akan hancur suatu kaum jika dipimpin oleh wanita. berdasarkan hadist tersebut diatas kiranya sudah jelas dasar hukumnya. jadi apakah kita harus berijtihad lagi? bukankah dalam hidup kita harus berpegang pada Al-Qur’an, Al-Hadist, dan jika TIDAK ADA baru berijtihad? Wallahu’alam.

Posted by jamilatul mukaromah  on  10/07  at  08:10 AM

Ketika RA. Kartini memperjuangkan emansipasi (baca: kesetaraan derajat) kaum wanita, beliau tentu sadar bahwa buah perjuangannya tidak akan langsung dapat dipetik seketika saat itu juga. Pun beliau pasti sadar bahwa perjuangannya tidak akan berjalan mulus tanpa mendapatkan hambatan dan rintangan, terutama dari lawan jenisnya. Tetapi satu hal yang pasti, beliau tentu berharap sungguh bahwa perjuangannya --yang pada masa itu tentu dipandang amat sangat kontroversial-- akan mendapatkan dukungan sekurang-kurangnya dari kaumnya, sehingga pada suatu masa, entah kapan, buah perjuangannya itu dinikmati oleh kaum perempuan pada generasi sesudahnya. Sungguh ironis, di jaman kini, ketika sebagian besar cita-cita Kartini itu menunjukkan tanda-tanda berhasil, hambatan dan rintangan yang bermunculan ternyata banyak pula dari kaum sesama jenis yang justru diperjuangkan harkat dan martabatnya itu. Ya!, penentangan itu justru banyak pula dilontarkan oleh kaum perempuan. Barangkali, sekiranya Kartini berkesempatan menyaksikan kaum perempuan jaman kini beliau akan membatin: “sungguh malang kaumku! agaknya mereka lebih merasa nyaman berada di bawah kendali, daripada berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan kaum laki-laki. Untunglah dulu aku belum sampai mengkritisi pembagian hak waris yang sama atas anak perempuan dengan anak laki-laki. Kalau saja itu aku lakukan, barangkali mereka akan menuduhku sebagai perempuan tidak beriman yang serakah”. Dan sekiranya pula aku berdiri didekat beliau, aku akan menghibur: “jangan terlalu dirisaukan bu, sungguh mereka itu bukan sedang menentang cita-cita ibu, hanya, barangkali karena kebetulan saja presiden perempuan itu bukan bude, bibi, anak, sepupu, atau kemenakan mereka. Suatu saat kelak, mereka tentu akan berubah pendirian. Bersabarlah ibu”. Kepada kaum perempuan saya menghimbau, sikapilah kepemimpinan perempuan itu secara cerdas, karena siapa tahu, kelak di kemudian hari akan tampil perempuan pemimpin dari golongan yang anda sukai.

Posted by Sutrisno Herca  on  07/02  at  06:08 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq