Paus dan Politik - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
08/04/2005

Paus dan Politik

Oleh Hamid Basyaib

Setelah komunisme rontok, model gereja yang dikembangkannya adalah yang berkondisi terkepung itu—kali ini oleh sekularisme, para pengkritik gereja, konsumerisme ataupun relativisme. Dan ia menanggapinya dengan mental terkepung tadi, di mana gereja sedang berperang dalam masalah-masalah itu. Dan perang tentu menunda demokrasi.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di rubrik Opini, Media Indonesia, Jum’at, 8 Maret 2005

GEREJA Katolik terlalu besar untuk tak terlibat dalam politik. Di masa lalu di Eropa, keduanya bahkan menyatu: kekuasaan agama yang disandangnya sekaligus adalah kekuasaan politik. Setelah gelombang semangat ‘pemisahan gereja dari politik’ tak lagi terbendung, gereja surut dari panggung kekuasaan, tapi terus melibatkan diri - kini dengan kerangka moral.

Tapi antara ‘moral politik’ dan politik itu sendiri tak selalu mudah dipisahkan. Pemihakan atas dasar moral dalam hubungan dengan kekuasaan sering berarti keterlibatan langsung pada politik, bahkan dalam bentuknya yang paling ‘praktis’.

Paus Yohanes Paulus II bukan hanya tak terkecuali dari fenomena ini. Ia bahkan dapat dikatakan salah satu paus yang paling politis dalam sejarah kepausan modern.

Ia lahir dan tumbuh di Polandia, negeri yang dua kali dihimpit totaliterisme, Naziisme di tahun 40-an dan komunisme di periode sesudahnya. Karier kepasturannya pun berjalan seiring dengan kedua bentuk totaliterisme itu, terutama yang terakhir.

Bukan rahasia bahwa sejak masih menjadi kardinal Polandia ia mendukung gerakan Solidaritas yang dimotori Lech Walesa. Setelah menjadi Paus, ia makin jelas mendukung gerakan buruh yang ingin mengganti kekuasaan tersebut. Ia mengunjungi tanah airnya itu, beramah-tamah dengan Presiden Jenderal Jaruzelski, sambil terus menjadi patron spiritual bagi Walesa dan kawan-kawan.

Paus Paulus II kemudian dipandang sebagai orang yang berperan besar dalam menjatuhkan rezim komunis Polandia - suatu keberhasilan yang mengilhami gerakan-gerakan perlawanan serupa yang sukses di seluruh Eropa Timur. Ia seolah bermitra sekaligus menekan Mikhail Gorbachev, satu-satunya (mantan) pemimpin Uni Soviet yang berkunjung ke Vatikan dan reformis yang mempercepat proses bertumbangannya rezim-rezim komunis satelit Soviet itu.

Dengan bersikap sangat kritis terhadap komunisme, ia tak berniat menjadi pendukung blok Barat. Dalam ungkapan Robert Moynihan, pemimpin redaksi majalah Inside the Vatican, apa yang dilakukan Paus Paulus II merupakan ikhtiar menemukan ‘jalan tengah Kristen’ di antara isme-isme abad ke-20. Ia mengkritik Barat sama sering dan sama pedasnya dengan kritik-kritik yang pernah dilontarkannya terhadap komunisme yang ateistis.

Ia, misalnya, mengecam keras kecenderungan untuk menghalalkan aborsi, bahkan euthanasia, di masyarakat-masyarakat Barat. Baginya, mereka semua sedang merayakan ‘budaya kematian’, padahal yang harus diperjuangkan adalah ‘budaya kehidupan’. Inilah sebabnya ia pada 1994 mengerahkan pengaruhnya untuk membendung usulan AS tentang pengendalian penduduk dalam konferensi tentang kependudukan dan pembangunan yang disponsori PBB di Kairo. Usul AS itu kalah.

Ia menjelaskan latar belakang sikap-sikapnya ini dalam buku larisnya, Crossing the Threshold of Hope (1994): “Kita tidak dapat membiarkan bentuk-bentuk permissiveness yang akan mengarah langsung pada pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan juga pada penghancuran total nilai-nilai yang fundamental bukan hanya bagi kehidupan individu dan keluarga-keluarga, tapi juga bagi masyarakat itu sendiri”. Penekanannya pada dimensi masyarakat inilah yang membuatnya dijuluki ‘reformer sosial’.

Ia juga mengecam jual-beli senjata yang disebutnya “skandal”. Dan seluruh dunia menyimak kutukan-kutukannya yang amat keras terhadap penyerbuan AS atas Irak. Sebagai orang yang pernah hidup persis di tengah ajang pertarungan blok Timur dan Barat di Polandia, ia sangat mengerti apa arti dan harga pertarungan dua ideologi itu bagi nasib beratus juta manusia. Dan ia paham bahwa setelah salah satu dari keduanya tumbang, pihak lainnya, Amerika Serikat, secara ‘alamiah’ menjadi kekuatan tunggal dan menjadikan dunia berstruktur unipolar.

Ia bukan penguasa material. Paus adalah pemimpin spiritual. Rakyat spiritualnya berjumlah lebih dari satu miliar manusia di seluruh penjuru bumi, termasuk para pemimpin politik yang berpengaruh. Separuh jumlah itu tergolong orang-orang paling makmur di dunia, dengan kekuatan teknologi dan persenjataan yang sangat tinggi. Semua ini lebih dari cukup untuk diterjemahkan menjadi modal moral guna memengaruhi perjalanan politik dunia - setidaknya untuk sebisa-bisanya mengimbangi sang penguasa unipolar yang terlalu perkasa itu.

Paus Paulus II adalah satu-satunya pemimpin Katolik yang mengunjungi 117 negara (dalam 27 tahun masa kepausannya). Energinya yang besar membuatnya selalu hadir (omnipresent), bukan hanya secara fisik, tapi terutama secara sosial-politik. Peliputan televisi atas kegiatan-kegiatannya makin menegaskan kehadirannya. Dalam hal ini ia merevolusi kepausan.

Dan di situ pula letak masalahnya, seperti dikritik sebagian orang yang risau menyaksikan tingkat aktivitasnya yang amat tinggi. Seorang sumber John Christensen, yang menulis di situs CNN (John Paul II: Conscience of the World), mengeluh bahwa kekuatan Paus merupakan bagian dari problemnya. Kehidupan masa lalunya di bawah Naziisme dan komunisme membuatnya merasa gereja selalu berada dalam kondisi diserang. Dan ia mengembangkan mentalitas terkepung. Ia tak pernah benar-benar hidup di masyarakat pluralis dan demokratis.

Setelah komunisme rontok, model gereja yang dikembangkannya adalah yang berkondisi terkepung itu—kali ini oleh sekularisme, para pengkritik gereja, konsumerisme ataupun relativisme. Dan ia menanggapinya dengan mental terkepung tadi, di mana gereja sedang berperang dalam masalah-masalah itu. Dan perang tentu menunda demokrasi.

Bahkan karismanya dipandang sebagai masalah, setidaknya oleh Margaret Steinfels, pemimpin redaksi jurnal Commonweal. Bagi Steinfels, karisma Paus justru perlu diatasi oleh Gereja. “Umat Katolik seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan bukan hanya menumpahkan ketaatan dan kepasrahan pada Paus”, katanya, seperti dikutip Christensen.

Sebagian orang juga mengkritik Paus untuk dukungannya pada kaum awam Katolik yang membentuk gerakan-gerakan konservatif seperti Opus Dei dan Legiun Kristus, sejenis gerakan kaum fundamentalis kanan Protestan sebagaimana yang berkembang subur di Amerika Serikat.

Namun tampaknya jauh lebih banyak yang tak sepakat dengan kritik-kritik semacam itu. Kebanyakan orang di seluruh dunia, termasuk para tokoh dan pemimpin non-Katolik, mengakuinya sebagai tokoh besar abad ini. Penggantinya, yang sebentar lagi akan dipilih di antara tujuh kardinal, dapat belajar dari sejarah lengkap Paus Yohanes Paulus II, yang kepergiannya membuat seluruh dunia berduka.[]

08/04/2005 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq