Pemilu untuk Komunitas “Minoritas”? - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
29/03/2004

Pemilu untuk Komunitas “Minoritas”?

Oleh Ahmad Baso

Suara komunitas adat suku-suku di tanah air dalam menyikapi Pemilu ternyata berwarna-warni. Ada yang golput hingga juga yang bersuara lantang menggugat sistem pemilu. Dalam situasi sistem pemilu kita belum kondusif bagi artikulasi kepentingan mereka, minimal yang bisa dilakukan komunitas-komunitas yang dipinggirkan modernisasi adalah bernegosiasi dengan situasi yang ada, sambil mencari peluang yang lebih baik dan menguntungkan

Di tengah hiruk-pikuk pemilu, komunitas adat Kanekes, Lebak, Banten, menyatakan takkan ikut dalam pemilu 2004 nanti. Menurut komunitas yang sering disebut dengan nada miring “suku Baduy” ini, aturan adat mengharuskan untuk menjaga agama, bangsa dan negara. Ikut pemilu sama dengan melanggar peraturan adat. Mereka menyatakan tidak ikut dalam meramaikan perpolitikan bangsa ini karena mereka adalah komunitas pertapaan. Pada pemilu 1999 lalu, mereka juga tidak ikut alias golput, karena bertepatan dengan upacara adat kawalu.

Sementara itu, sejumlah warga dari komunitas Mentawai di Sumatera Barat ikut aktif dalam kegiatan pendidikan pemilih (voters education) yang diselenggarakan aliansi LSM dari Padang bulan lalu. Mereka belajar bagaimana mencoblos gambar dan nama yang terpajang dalam kertas suara. Meski dalam simulasi pemilu itu masih terdapat sejumlah kekeliruan, namun toh mereka tetap antusias untuk ikut pada hari pencoblosan April nanti. Yang penting mereka masih bisa belajar. Saking semangatnya, sempat seorang di antara mereka mengusulkan agar lembaga yudikatif juga dipilih langsung, seperti halnya lembaga legislatif dan eksekutif.

Apakah suara komunitas adat ini, dari yang golput hingga yang bersuara lantang menggugat sistem pemilu, signifikan dalam mempengaruhi jalannya proses-proses politik nasional di Indonesia? Kata “nasional” di sini tentu perlu ditekankan. Ketika arus penunggalan identitas bangsa makin deras, maka makin keras pula suara-suara yang menghendaki pengakuan identitas satuan-satuan yang sifatnya lokal. Kasus Aceh dan Papua, misalnya.

Tapi ada juga kasus di mana suara lokal, termasuk suara komunitas adat, tidak bisa diabaikan begitu saja. Dulu masa Orde Baru, kepala adat dimobilisasi untuk mendukung salah satu kontestan agar tetap dominan dalam setiap pemilu. Komunitas Kanekes juga pernah mengalami hal itu. Di Bali, ada yang dipaksa bersumpah dalam pura untuk memilih partai tertentu. Ada pula yang diminta, ikhlas atau tidak, untuk memberi gelar adat pada pejabat atau tokoh partai dari Jakarta. Investasi politik berupa pemberian gelar adat dan gelar kehormatan lainnya kini bermunculan menjelang Pemilu 2004. Terakhir ialah heboh pemberian gelar adat Minang kepada Taufik Kiemas.

Simbol gelar adat semacam ini akan menjadi modal utama untuk masuk ke komunitas dalam rangka kampanye pemilu. Bentuk-bentuk kultural, nilai-nilai, serta praktik-praktik lokal dari kelompok etnik menjadi resources politik bagi para elit dalam bersaing merebut suara dan kursi dalam pemilu. Pada Pemilu 1999 lalu, kelompok pendukung Habibie dan Golkar memainkan konsep “siri”-nya (malu dan harga diri) orang-orang Bugis dan Makassar. Dan Golkar pun menang besar.

Selain itu, sistem pemilu dicurigai hanya menguntungkan partai-partai besar. Sejumlah UU yang berkaitan dengan pemilu juga mencerminkan aspirasi Jakarta-sentris, didominasi kepentingan elit kekuasaan, belum mengakomodasi/ mengoptimalkan suara-suara lokal atau partisipasi komunitas adat. Tak heran kalau ada caleg, tinggal di Jakarta, tapi leluasa memilih daerah pemilihan di luar Jawa. Bahkan sempat ingin belajar menjadi “orang sana” dengan menggunakan simbol-simbol adat.

Lagi pula, demokrasi serta proses dan produknya seperti di parlemen dan pemilu dipahami dalam konteks negara-bangsa (bahasa politiknya NKRI) yang selalu curiga dan khawatir dengan apa yang dibahasaideologiskan sebagai “ancaman disintegrasi bangsa”.

Meski ada otonomi daerah tapi segenap keputusan politik yang strategis, seperti suara lokalitas yang disebut bersifat “kedaerahan”, semuanya dikembalikan kepada otoritas pusat. Otonomi daerah diakui tapi kedaerahan dikesankan negatif. Seperti partai lokal dinafikan atau DPD dilemahkan posisinya berhadapan dengan DPR. UU no 31 tahun 2002 tentang Partai Politik, menentukan bahwa partai harus berskala nasional dengan kepemimpinan pusat ada di Jakarta. Ini menunjukkan terputusnya hubungan partai politik dengan konstituennya.

Politik enumeratif (enumerative politics) yang mengkomodifikasi simbol-simbol komunitas seperti agama dan etnis, lebih menggalang dukungan suara daripada sebuah partisipasi, apalagi pencerapan aspirasi. Partai politik yang sentralistik tidak memungkinkan tumbuhnya partai lokal karena alasan ancaman disintegrasi NKRI. Juga karena ketakutan partai besar dalam perolehan suara di wilayah yang selama ini banyak memberikan suara kepada partai-partai besar. Padahal partai lokal bisa menjadi wadah aspirasi komunitas adat yang mencoba menjawab kebutuhan politik lokal tanpa menjadi partai politik berskala nasional. Kalau pun ada kekhawatiran disintegrasi, bukankah hal itu bisa ditepis melalui kesepakatan bersama.

Akibatnya, platform partai politik tak menunjukkan secara maksimal kepeduliannya atas isu-isu lokal dan aspirasi daerah. Ujungnya, hubungan partai dengan aspirasi konstituennya menjadi terputus. Pemilu hanya sekadar ritual belaka seperti merayakan 17 Agustusan dan belum menunjukkan kualitas partisipasi warga dalam proses politik yang menentukan hajat hidup mereka. Dari sudut sekilas itu, wajar kalau komunitas adat Kanekes menarik diri dari proses-proses politik yang terjadi di pusat. Untuk sementara kepentingan mereka agar tetap eksis sebagai komunitas pertapaan, tidaklah terganggu. Minimal tidak dipolitisasi atau dimobilisasi oleh kalangan luar seperti dulu.

Sementara kasus komunitas Mentawai, kita lihat, kesadaran partisipatif warga negara yang sadar akan hak-hak dan tanggung jawabnya. Yang digalakkan adalah upaya membangun daya tawar politik yang lebih kuat terhadap proses-proses politik dalam pemilu, hingga menjangkau ke satu bentuk ikatan politik (kontrak sosial baru) antara wakil/utusan di legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif, dengan komunitas yang memilihnya agar suara mereka tidak terbuang percuma. Usulan pemilu langsung untuk yudikatif membersitkan harapan untuk menggapai keadilan yang lebih baik. Minimal untuk konteks lingkungan hidup mereka di pulau Mentawai.

Jadi, kita kembalikan ke aspirasi komunitas itu sendiri, apapun bentuk pilihan mereka, terlibat atau menarik diri. Kita tidak usah risau, misalnya mencari-cari “siapa yang menunggangi mereka”, seperti dilontarkan salah seorang anggota KPUD Lebak menanggapi golput-nya komunitas Kanekes. Dalam situasi sistem pemilu kita belum kondusif bagi artikulasi kepentingan mereka, minimal yang bisa dilakukan komunitas-komunitas yang dipinggirkan modernisasi adalah bernegosiasi dengan situasi yang ada, sambil mencari peluang yang lebih baik dan menguntungkan. Pilihan kontrak politik dengan orang yang akan dipilihnya merupakan yang terbaik kini. Partai partai kita minta untuk belajar tidak sekadar “meng-drop” caleg dari pusat yang kemudian mengatasnamakan komunitas adat tertentu, dan lalu berpakaian seperti layaknya menjadi orang adat.***

Ahmad Baso, Penulis adalah aktivis masyarakat adat dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Tulisan ini merupakan kerja sana dengan Sindikasi Media Islam dan Hak-hak Politik.

29/03/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Kepada Ahmad Baso yang terhormat

Tulisan ini adalah tanggapan saya untuk melengkapai tulisan Bapak Ahmad Baso. Ummat Islam adalah penduduk mayoritas di tanah air; sehingga ummat Islam merupakan pembayar pajak terbesar sejak tahun 1945. Semua pembangunan yang telah selesai dilaksanakan oleh Pemerintah RI dibiayai oleh masyarakat yang membayar pajak terutama ummat Islam; termasuk pembangunan semua Gereja, Vihara, Candi dan Pura yang telah selesai dibangun oleh Pemerintah RI melalui Departemen Agama RI; dibiayai oleh ummat Islam. Pengangguran yang bertamabah banyak dan kenaikan harga2 dengan cepat setiap tahun memperparah murtad, kejahatan dan pelacuran yang dilaksanakan oleh muslim dan muslimah di tanah air; walaupun ummat Islam merupakan pembayar pajak terbesar sejak tahun 1945. Ummat Islam di tanah air berkewajiban menggunakan Partai2 Politik Islam untuk memperbaiki nasib bangsa dan negara. Pajak yang dibayar oleh ummat Islam harus dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

President Soeharto sengaja memperbanyak pegawai negri atau memperbanyak Departemen; karena semua pegawai negri wajib memilih Golkar. Begitu juga Golkar wajib memilih kembali Soeharto setelah Golkar memenangkan PEMILU sehingga Soeharto dapat berkuasa selama 32 tahun. Makin banyak pegawai negri makin banyak KKN dan Monopoly disamping itu makin banyak pajak yang harus dibayar oleh masyarakat untuk Pemerintah RI. Birokrasi yang besar adalah pemborosan dana yang dimiliki oleh Pemerintah RI dan birokrasi yang besar menghambat pertumbuhan Ekonomi. Setiap tahun Pemerintah RI melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menaikan harga2 kebutuhan pokok masyarakat seperti listrik, BBm, Telephone dan lain lain; karena Pemerintah RI membutuhkan dana lebih untuk membayar kenaikan gaji pegawai negri. President Abdurrahman Wahid membubarkan dua Departement untuk penghematan dana yang dimiliki oleh Pemerintah RI. President Megawati dengan dukungan PDIP menghidupkan kembali Departemen Penerangan dan Departement Sosial yang telah dibubarkan oleh President Abdurrahman Wahid.

Untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji minimum di perusahaan swasta dibutuhkan gelar sarjana penuh (S1) dari Universitas yang diakui oleh Pemerintah RI. Indonesia hanya memiliki 6%-8% sarjana dari jumlah penduduk RI. Malaysia memiliki 20%-25% sarjana (S1) dari jumlah penduduk Malaysia. Pada tahun 1960 -1980 Malaysia masih mendatangkan tenaga guru2 dari Indonesia. Masih banyak murid yang berhenti dari Sekolah Dasar karena tidak mampu membayar uang sekolah; mengingat masih mahalnya biaya pendidikan. Penyakit mematikan masih menyabar dengan cepat seperti TBC, Malaria dan Demam Berdarah selain itu masih tinggi jumlah kematian ibu melahirkan karena masih mahal biaya pengobatan di tanah air. Negara yang maju memiliki SDM yang baik dengan jumlah besar seperti Jepang, Amerika Serikat, Canada. Negara terbelakan memiliki SDM yang baik dengan jumlah kecil seperti Indonesia, Vietnam, Bangladesh.

Ummat Islam berkewajiban mengunakan Partai Politik Islam untuk memperbaiki nasib bangsa dan negara terutama ummat Islam yang masih jauh tertinggal dibangdingkan dengan ummat Kristen, ummat Hindu dan ummat Budha. Ini terbukti dengan masih banyaknya murtad, kejahatan dan pelacuran yang dilaksanakan oleh ummat Islam. Semua penjara di tanah air dipenuhi oleh ummat Islam sampai dengan 96%. Ummat Islam harus memakasa Pemerintah RI membubarkan banyak Departement atau mengurangi banyak pegawi negri; sehingga Departemen Pendidikan dan Departemen Kesahatan mendapatkan dana yang sangat besar dari Pemerintah RI. Ummat Islam harus memperjuangkan pendidikan gratis dan pengobatan gratis untuk semua WNI dan WNA yang tidak mampu. Pemerintah RI harus menghemat dana yang didapatkannya dari masyarakat yang membayar pajak terutama ummat Islam; sehingga pendidikan dan kesehatan semua WNI dapat dijamin gratis oleh Pemerintah RI. Pajak yang dibayar oleh ummat Islam harus dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran semua WNI. Pajak yang dibayar oleh masyarakat terutama yang dibayar oleh ummat Islam bukan untuk Birokrasi yang besar; sehigga mengakibatkan bermacam macam krisis ekonomi yang berkepanjangan di tanah air. Ummat Islam berkewajiban mengikuti PEMILU untuk memperbaiki nasib bangsa dan negara.

ALQURAN: “Allah tidak akan memperbaiki nasib suatu bangsa sebelum bangsa tersebut berusaha dengan keras meperbaiki nasibnya sendiri.”
-----

Posted by MUHAMMAD ABDULLAH  on  04/04  at  08:04 AM

fenomena yang terjadi di komunitas adat Kanekes, Lebak, Banten adalah sedikit dari banyaknya kasus yang sama. memang hal ini patut kita sayangkan, dimana mereka mempunyai hak untuk menentukan nasib bangsa, namun justru apatis yang ditunjukkan. tidak benar jika kita menyalahkan sikap mereka pada pemilu 2004 ini. karena saya yakin apa yang mereka lakukan mempunyai landasan yang kuat.  kasus diatas secara umum disebabkan dua hal, pertama, mereka belum tercerahkan secara afektif, khususnya political education, sehingga secara kognitif mereka tidak menunjukkan kedewasaan sikap dalam menghadapi politik. kedua, mereka kecewa dengan perpolitikan bangsa yang semakin kacau dan para pemimpin bangsa yang sering menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. sehingga mereka cenderung berpikir untuk abstain dalam pemilu ini. secara sekilas fenomena ini memang kecil, karena terjadi pada kalangan minoritas yang efeknya tidak mengancam kelangsungan pemilu 2004, tetapi secara mendasar justru dari hal kecil itulah akan berdampak pada hal yang lebih besar. kita tidak bisa memungkiri banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari kesatuan Republik Indonesia, juga tidak lain karena kecewa dengan kepemimpinan dan moralitas pemimpin bangsa ini. sehingga mereka lebih senang memilih untuk memisahkan diri agar kekayaan alam lokal tidak dieksploitasi yang buntutnya dikorupsi dan manajemen daerah yang independen tanpa intervensi dari atasan. memang apa yang mereka usung begitu beralasan dan kita akui kebenarannya, namun yang perlu kita lakukan sekarang adalah membangun kepercayaan mereka kembali dengan memperbaiki kondisi bangsa, baik dari struktur maupun kultur. jangan sampai kekecewaan mereka berimbas nasional yang mengancam keutuhan negara kesatuan republik indonesia.

Eko Priyono Pengamat Sosial dan Politik UMM

Posted by eko priyono  on  04/03  at  07:05 AM

fenomena yang terjadi di komunitas adat Kanekes, Lebak, Banten adalah sedikit dari banyaknya kasus yang sama. memang hal ini patut kita sayangkan, dimana mereka mempunyai hak untuk menentukan nasib bangsa, namun justru apatis yang ditunjukkan. tidak benar jika kita menyalahkan sikap mereka pada pemilu 2004 ini. karena saya yakin apa yang mereka lakukan mempunyai landasan yang kuat.  kasus diatas secara umum disebabkan dua hal, pertama, mereka belum tercerahkan secara afektif, khususnya political education, sehingga secara kognitif mereka tidak menunjukkan kedewasaan sikap dalam menghadapi politik. kedua, mereka kecewa dengan perpolitikan bangsa yang semakin kacau dan para pemimpin bangsa yang sering menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. sehingga mereka cenderung berpikir untuk abstain dalam pemilu ini. secara sekilas fenomena ini memang kecil, karena terjadi pada kalangan minoritas yang efeknya tidak mengancam kelangsungan pemilu 2004, tetapi secara mendasar justru dari hal kecil itulah akan berdampak pada hal yang lebih besar. kita tidak bisa memungkiri banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari kesatuan Republik Indonesia, juga tidak lain karena kecewa dengan kepemimpinan dan moralitas pemimpin bangsa ini. sehingga mereka lebih senang memilih untuk memisahkan diri agar kekayaan alam lokal tidak dieksploitasi yang buntutnya dikorupsi dan manajemen daerah yang independen tanpa intervensi dari atasan. memang apa yang mereka usung begitu beralasan dan kita akui kebenarannya, namun yang perlu kita lakukan sekarang adalah membangun kepercayaan mereka kembali dengan memperbaiki kondisi bangsa, baik dari struktur maupun kultur. jangan sampai kekecewaan mereka berimbas nasional yang mengancam keutuhan negara kesatuan republik indonesia.

Eko Priyono Pengamat Sosial dan Politik UMM

Posted by eko priyono  on  04/03  at  07:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq