Perihal Pendirian Rumah Ibadat - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
21/12/2005

Perihal Pendirian Rumah Ibadat

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Pertanyaannya, terkait dengan pasal ini: siapa yang merumuskan bahwa pendirian sebuah rumah ibadat didasari oleh keperluan nyata dan sungguh-sungguh? Fakta yang terjadi, mayoritaslah yang banyak mengambil peran tentang perlu dan tidaknya mendirikan sebuah rumah ibadat bagi umat agama minoritas. Lihatlah, betapa sulitnya gereja didirikan di tengah mayoritas umat Islam.

Dimuat di Koran Tempo, 2 Desember 2005


Mendirikan rumah ibadat bagi umat beragama, terutama umat non-Islam, tampaknya kian tidak mudah. Pemerintah hendak mengatur secara lebih ketat pendirian rumah-rumah ibadat di Indonesia melalui penajaman demi penajaman terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya.

Diberitakan bahwa Departemen Agama melalui Badan Penelitian Pengembangan Agama dan Pendidikan-Pelatihan Keagamaan telah mengadakan kajian dan penelitian terhadap SKB tersebut, yang salah satu kesimpulannya adalah SKB itu masih relevan untuk diterapkan, kecuali beberapa bagian yang perlu dipertajam dan disempurnakan. Pada 7 September 2005, telah dilakukan rapat bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta sejumlah pejabat terkait untuk membahas penyempurnaan SKB tersebut. Pertemuan lanjutan sudah dilakukan berkali-kali untuk tujuan itu.

Kini draf terakhir dari penyempurnaan tertanggal 3 Oktober 2005 tentang “pembinaan kerukunan umat beragama, pembentukan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat di daerah” itu sudah beredar di sebagian kalangan. Dan pada 16 November 2005, Indonesian Conference of Religion for Peace (ICRP) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelenggarakan kajian khusus, bertempat di Kantor Komnas HAM, terhadap hasil penyempurnaan terakhir itu. Dalam forum tersebut kita mendengar sejumlah kritik yang sangat keras dari para tokoh agama atas diterapkannya kembali SKB dua menteri yang memang sangat rapuh pada fondasi dasar dan pangkal paradigmanya itu.

Sekurangnya ada beberapa kelemahan paradigmatis dari upaya menghidupkan kembali jasad SKB dua menteri tersebut, sehingga layak untuk dihapuskan. Pertama, Negara Indonesia sesungguhnya tidak memerlukan pengaturan pendirian rumah ibadat seperti itu. Kalaulah itu harus diatur, mestinya negara segera menerbitkan semacam undang-undang yang mengatur dan menjamin kebebasan beragama dan bukan sebaliknya membelenggu aktivitas keberagamaan umat beragama. Sebab, fakta sejarah telah menunjukkan bahwa SKB dua menteri itu telah terbukti sebagai bagian strategi rezim Orde Baru untuk mengontrol dan mengawasi umat beragama.

Di beberapa daerah, SKB tersebut telah dipakai pemerintah daerah untuk menutup rumah-rumah ibadat, terutama gereja. Dengan ini jelas bahwa SKB yang kini berubah menjadi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut bukan hanya bertentangan dengan hak asasi manusia, melainkan juga telah menabrak konstitusi negara, UUD 1945.

Menjadi hak setiap umat beragama untuk menjalankan aktivitas keagamaannya, termasuk membangun rumah ibadatnya. Negara atau pemerintah tidak boleh mengintervensi terlalu jauh hingga mengatur pendirian rumah-rumah ibadat. Negara boleh saja mengintervensi sekiranya pendirian rumah ibadah tersebut melanggar UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Tata Ruang. Dalam pasal 24 ayat 1 dan 2 undang-undang itu disebutkan: (1) negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah, (2) pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang serta mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang. Kepada undang-undang inilah semestinya pemerintah mengacu perihal pembangunan rumah ibadat.

Dalam kaitan dengan pendirian rumah ibadat itu, secara lebih spesifik, Chandra Setiawan, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pernah mengatakan bahwa pendirian rumah ibadat tidak usah dibedakan dengan pendirian sekolah. Sebagaimana mendirikan sekolah, mendirikan rumah ibadat cukup dengan adanya lokasi atau tanah yang dimiliki secara sah serta tidak melanggar konsep tata ruang yang disepakati. Mendirikan rumah ibadat sama belaka dengan mendirikan sekolah. Tambahan pula, pada hemat saya, sekiranya semua agama memang benar mengajarkan doktrin cinta kasih, damai, dan antikekerasan, bejibun dan banyaknya rumah ibadat bukanlah ancaman, melainkan justru amat baik, karena perdamaian akan kian tersebar di bumi. Kecuali kalau agama memang hendak diposisikan sebagai penebar kekerasan, sehingga perlu ada pengetatan terhadap gerak langkah umat beragama.

Kedua, pasal demi pasal dalam rancangan terakhir itu mengandung bahaya hegemoni dan monopoli mayoritas atas minoritas. Coba perhatikan pasal 13, yang berbunyi, “Pendirian rumah ibadat didasari oleh keperluan nyata dan sungguh-sungguh bagi pelayanan umat di wilayah Kelurahan/Desa di mana rumah ibadat didirikan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, memenuhi ketentuan perundang-undangan, serta menjaga keamanan dan ketertiban umat.”

Pertanyaannya, terkait dengan pasal ini: siapa yang merumuskan bahwa pendirian sebuah rumah ibadat didasari oleh keperluan nyata dan sungguh-sungguh? Fakta yang terjadi, mayoritaslah yang banyak mengambil peran tentang perlu dan tidaknya mendirikan sebuah rumah ibadat bagi umat agama minoritas. Lihatlah, betapa sulitnya gereja didirikan di tengah mayoritas umat Islam.

Lihat juga pasal 10 ayat 1, yang menyatakan, “Jumlah dan komposisi FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) ditetapkan secara proporsional menurut perbandingan jumlah pemeluk agama.” Penggunaan asas proporsionalitas untuk menentukan komposisi FKUB juga mengandung bahaya, yaitu dominasi mayoritas pada minoritas. Politik proporsionalitas ini kiranya merupakan cara kelompok mayoritas dalam mengendalikan kelompok minoritas agama yang diakui oleh pemerintah.

Belum lagi kalau kita berbicara tentang nasib agama yang hingga sekarang banyak yang tidak mendapatkan pengakuan legal formal dari negara, seperti Sikh dan Baha’i. Ketiadaan legal formal terhadap agama-agama kecil ini menyebabkan mereka tidak mendapatkan haknya, termasuk hak untuk duduk dalam struktur FKUB dan hak untuk mendirikan rumah ibadat. Maka pasal-pasal yang hegemonik dan diskriminatif seperti ini harus dihapuskan demi logika kemanusiaan dan agama itu sendiri. Reformasi yang membawa angin perubahan tampaknya belum betul-betul berhasil menyapu bersih sejumlah perundangan dan peraturan produk rezim Orde Baru yang diskriminatif seperti SKB dua menteri ini.[]

21/12/2005 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Jangan jdikan indonesia negara seperti aceh...Ini bsa menimbulkan konflik berkepanjangan.Konflik antr suku masih bisa diredam tapi kalau meluas sampai pada konflik agama maka akan terjadi kiamat..Camkan bk2,

Posted by Frank  on  05/04  at  08:30 AM

kenapa sih umat mayoritas muslim, selalu mau menang sendiri, bukankah Tuhan dalam setiap agama mengajarkan kasih,dan tidak memaksa untuk jadi pengikutNya, Tuhan juga memberi matahari bulan bintang, semuanya, untuk semua manusia, berilah kepada orang lain kebebasan menjalankan agamanya, dan mendirikan rumah ibadahnya, jangan buat skb menjadi penghalang, amin.

Posted by tina  on  01/29  at  08:10 PM

Pembangunan tempat ibadah yang bisa jadi contoh adalah di kota Palangka Raya di mana masjid didirikan berdampingan dengan gereja contoh di daerah Jalan Kinibalu, disana ada 2 masjid yang berdekatan 50 meter dan salah satunya berdampingan dengan gereja. dua di perumahan jalan bintang2 juga ada yang berdampingan. Kenapa ini bisa terjadi, sebab umat kristen berpikiran positif, jernih dan sportif, pelaksanaan pembangunannya tidak pernah diganggu dan perijinannya tidak dipermasalahkan meskipun IMB dan surat perijinan dari walikota tidak ada, bahkan bantuan untuk pendiriannya dibantu semua penduduk yang mayoritas kristen. Biarlah kasus itu bisa menjadi contoh umat islam bisa sportif untuk pendirian tempat ibadah agama lainnya. Trims
-----

Posted by Jhonson  on  01/20  at  08:01 PM

Pemerintah seharusnya tidak ikut campur dalam urusan agama! Toh macam mereka benar aja. Korupsi aja jalan terus, eh malah ngatur2 keyakinan (kepercayaan org). Kalau dipersulit bangun rumah ibadah, ya ibadah dimana saja kan bisa, asal gak menggangu orang lain.

Posted by stefan  on  06/11  at  06:06 AM

kita harus intropeksi diri, apakah pendirian rumah ibadah merupakan kebutuhan umat, atau hanya ambisi kekuasaan pemimpin umat.

Posted by fidelis riyanto  on  04/29  at  11:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq