Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
19/03/2004

Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim

Oleh Luthfi Assyaukanie

KHILAFAH adalah salah satu produk pemikiran politik Islam klasik yang semakin tidak populer. Sebab utama ketidakpopuleran konsep ini bahwa ia tidak lagi visibel untuk diterapkan dalam kehidupan modern di mana konsep negara-bangsa (nation-state) telah menjadi satu konsensus semua orang modern. Khilafah yang mengandaikan adanya satu payung kekuasaan politik di mana seorang khalifah (pemimpin negara) berkuasa penuh terhadap negara-negara muslim di dunia, adalah gagasan utopis yang absurd. Bahkan di masa silam ketika peradaban Islam mencapai kejayaannya, gagasan khilafah, sesungguhnya tak pernah berjalan secara sempurna.

Artikel ini juga dimuat di Harian Media Indonesia, Jumat, 19 Maret 2004
-------------------------------
KHILAFAH adalah salah satu produk pemikiran politik Islam klasik yang semakin tidak populer. Sebab utama ketidakpopuleran konsep ini bahwa ia tidak lagi visibel untuk diterapkan dalam kehidupan modern di mana konsep negara-bangsa (nation-state) telah menjadi satu konsensus semua orang modern. Khilafah yang mengandaikan adanya satu payung kekuasaan politik di mana seorang khalifah (pemimpin negara) berkuasa penuh terhadap negara-negara muslim di dunia, adalah gagasan utopis yang absurd. Bahkan di masa silam ketika peradaban Islam mencapai kejayaannya, gagasan khilafah, sesungguhnya tak pernah berjalan secara sempurna.

Karakter khilafah yang totaliter hanya mungkin terlaksana pada wilayah geografis yang tidak terlalu luas dan masyarakat politik yang relatif homogen. Karena itu, dalam sejarah Islam, konsep khilafah dalam pengertian yang sesungguhnya, hanya pernah terjadi selama empat dasawarsa pertama, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan pada masa Ali, institusi khilafah mulai mengalami ancaman serius yang berpuncak pada terbunuhnya sang khalifah dan naiknya Muawiyah dari klan Bani Umayyah menggantikan Ali.

Di tangan Bani Umayyah, lembaga khilafah menjadi sistem kerajaan yang otoriter. Para khalifah Bani Umayyah berusaha mengatasai gejolak-gejolak politik secara dingin. Pada tingkat tertentu mereka berhasil. Tapi, dengan semakin meluasnya wilayah Islam, Dinasti Umayyah tak lagi mampu mengontrol kekuasaannya.

Maka, pada pertengahan abad ketiga Hijriah, dimulai dari konflik-konflik berdarah yang panjang, institusi khilafah, untuk pertama kali dalam sejarah Islam, terbelah menjadi dua: satu di bawah kekuasaan Abbasiyyah yang berkuasa di Baghdad dan lainnya berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah yang berkuasa di Andalusia. Sejak saat itu, konsep khilafah yang mengandaikan adanya satu kepemimpinan politik Islam hanyalah sebatas konsep teoretis yang tak punya rujukan di dunia nyata.

‘Khilafah’ dan totalitarianisme

Adalah mengherankan kalau pada masa modern, sebagian kaum muslim berusaha menghidupkan konsep khilafah yang sudah mati ratusan tahun silam. Mengherankan karena sistem ini telah terbukti gagal dan tak berjalan dengan sempurna. Bahkan pada masa-masa awal Islam, yakni masa khalifah yang empat (khulafa al-rasyidun), yang kerap dianggap sebagai contoh ideal, sistem khilafah tidak berjalan mulus. Berbagai konflik, ketegangan politik, dan peperangan, mewarnai masa-masa ini.

Cukuplah bagi kita menyebutkan bahwa tiga khalifah terakhir dari khulafa al-rasyidun, semuanya mati terbunuh secara mengenaskan. Jika sistem itu memang benar-benar berjalan dengan baik dan ideal, mestinya ada sebuah mekanisme politik yang dapat menjamin keamanan pengelola negara dan ketenteraman masyarakatnya.

Para pendukung gagasan khilafah kerap memiliki gambaran yang ideal tentang sistem politik Islam ini. Mereka membayangkan bahwa di bawah satu komando Islam, kaum muslim bakal mudah diarahkan menjalankan aktivitas kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Secara politik, lembaga khilafah juga bisa dimanfaatkan untuk memobilisasi kaum muslim sesuai dengan keinginan sang penguasa atau khalifah. Akibatnya, sistem khilafah model ini sangat mirip dengan komunisme atau fasisme, di mana semua masyarakat harus tunduk pada satu rezim totaliter.

Hampir semua sistem totaliter dibangun lewat cara-cara pemaksaan dan kekerasan. Komunisme adalah contoh paling jelas dalam sejarah totalitarianisme. Namun, karena pemaksaan dan kekerasan bertentangan dengan fitrah manusia, sistem ini gagal dan berakhir dengan kebangkrutan.

Para pendukung gagasan khilafah tentu saja akan menolak jika gagasan mereka dibandingkan dengan komunisme atau sistem totaliter lainnya. Tapi, penolakan itu sesungguhnya merefleksikan ketidakmantapan dan ketidakpercayaan diri dalam menyikapi konsep khilafah.

Dari ‘Khilafah’ ke negara Islam

Para intelektual muslim modern seperti Rasyid Ridha dan Abul A’la al-Maududi, mencoba bersikap jujur dan mengakui bahwa khilafah adalah sebuah gagasan utopis yang sulit untuk diterapkan. Berpijak dari kegagalan Jamaluddin al-Afghani dengan gagasan pan-Islamismenya, para intelektual muslim itu mencoba bersikap realistis dengan mengesampingkan ide khilafah dan menggantinya dengan konsep ‘negara Islam’. Di dunia modern di mana paradigma komunitas politik didominasi oleh gagasan negara-bangsa, hanya gagasan ‘negara Islam’ yang mungkin untuk diterapkan.

Maka, sejak paruh pertama abad ke-20, banyak dari pemimpin muslim berlomba-lomba menyuguhkan konsep negara Islam sebagai alternatif dari sistem khilafah yang tak bisa lagi diterima oleh sebagian besar kaum muslim. Pada tahun 1902, Arab Saudi memulainya dengan mendeklarasikan diri sebagai ‘kerajaan Islam’. Langkah ini kemudian disusul oleh Pakistan, Sudan, dan Iran yang mengumumkan diri sebagai ‘republik Islam’.

Di Indonesia, gagasan ‘negara Islam’ pernah sangat kuat didukung oleh partai-partai Islam, dan hampir terealisasi pada pertengahan tahun 1950-an, kalau saja partai-partai itu berhasil memenangkan pemilu. Tetapi, lambat-laun, orang pun semakin sadar bahwa konsep ‘negara Islam’ pun tidak realistis dan tak bisa bekerja dengan baik. Tidak mengherankan kalau sejak tahun 1970-an, para tokoh muslim sendiri mulai mengkritisi dan bahkan menolaknya.

Berbagai pilihan

Salah satu sebab mengapa gagasan khilafah atau negara Islam tidak lagi relevan dan karenanya ditolak oleh sebagian besar kaum muslim adalah karena ia menyalahi logika politik yang berlaku pada masa kini. Seperti saya katakan di atas, gagasan khilafah hanya mungkin diterapkan pada wilayah geografis yang terbatas dan komunitas politik yang relatif homogen. Sekarang ini adalah mustahil menyatukan kaum muslim yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik. Langkah maksimal yang bisa dilakukan adalah mewujudkan organisasi internasional seperti OKI (Organisasi Konferensi Islam) dengan tetap memberikan kebebasan pada masing-masing negara anggota untuk menentukan dan mengatur urusan politiknya.

Keterbatasan lain dari konsep khilafah (dan juga negara Islam) adalah pada karakternya yang eksklusif. Di tengah komunitas politik yang beragam di mana manusia tidak lagi dilihat berdasarkan afiliasi agamanya, tapi karena statusnya sebagai warga negara, konsep politik yang mengedepankan afiliasi keagamaan tak lagi bisa bekerja.

Dengan keterbatasan seperti itu, para pembaru muslim sejak awal abad ke-20 telah berusaha melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi pemikiran klasik. Mereka berpendapat bahwa konsep-konsep politik masa silam harus dilihat dan diletakkan pada semangat zamannya. Dari sini, para ulama modernis menganggap bahwa konsep khilafah sudah tak lagi relevan. Soal platform dan model politik sepenuhnya dikembalikan kepada ijtihad kaum muslim apakah mereka akan mengambil bentuk republik, parlementer, atau kerajaan. Yang ditekankan adalah bagaimana sebuah model politik dapat berjalan dan memberikan maslahat kepada orang banyak dan bukan hanya kepada sekelompok penganut agama tertentu.***

Luthfi Assyaukanie, Kandidat PhD di The University of Melbourne, Australia dan Kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Tulisan ini merupakan kerja sana dengan Sindikasi Media Islam dan Hak-hak Politik.

19/03/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (6)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Dalam sistem NKRI sekarang:
1. Kepala negara yang sedang berkuasa pernah diturunkan/dipecat oleh parlemen/MPR
2. Ada Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Kepercayaan, dsb. yang hidup berdampingan
3. Ada pembagian kekuasaan.

Saudara Izzat Akbar, bukankah ini hampir sama dengan sistem khilafah...? Memang betul terjadi penyimpangan, tetapi itu karena faktor manusianya (memakai argumen anda). Kalau dikatakan dalam sistem nation state menimbulkan peperangan, lalu apakah di abad ke-14 lalu tidak ada peperangan? Jadi, di mana letak perbedaannya? paling bedanya dalam hal penerapan secara formal hukum Islam kan? Kalau misalnya suatu waktu acara hukum pidana di Indonesia memasukkan hukum semacam ini di dalam KUHP, di manakah alasan perlunya sistem khilafah?

Posted by hakeem  on  02/16  at  05:18 PM

Persoalan negara bangsa dan khilafah adalah persoalan ijtihad. Tentu saja urusan itu berada pada wilayah yang debatable. Mana yang lebih baik antara keduanya? Hanya perjalanan sejarah yang akan mengujinya. Meskipun saya secara pribadi lebih setuju dengan ide nation state namun saya memberi apresiasi terhadap saudara-saudara kita yang mempunyai point of view berbeda. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa ijtihad itu perlu dan harus namun menggunakan kecerdasan akal, pikiran dan tulisan yang santun bukan saja perlu dan harus namun juga wajib. Memberikan rasa hormat kepada saudara kita yang memiliki pandangan berbeda harus kita tempatkan di atas perdebatan antara nation state dan khilafah. Selamat berijtihad saudara-saudaraku!

Posted by Muhammad Qorib  on  05/28  at  06:58 PM

“… sistem Khilafah sangat berbeda dengan otoriterianisme, karena yang pertama, sistem Khilafah didirikan atas 3 pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara. Artinya negara bukanlah pemain utama satu-satunya dalam sistem Khilafah. .... kedua, dalam sistem Khilafah, kepala negara (Khalifah) dapat diturunkan sewaktu-waktu jika melakukan penyimpangan yang akut terhadap syariat Islam, .... Lalu, ... Ketika Spanyol ada dalam kekuasaan Islam, di sana hidup berdampingan 3 agama besar, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Kenapa? Karena keadilan Islam! Saya Setuju! setiap manusia, tidak peduli dari ras keturunan apa, dari kelompok suku-bangsa mana, apapun warna kulitnya, dan agama atau keyakinan apa pun yang dianutnya, senantiasa mendambakan seorang Khilafah yang memiliki kemampuan menjalankan kekuasaan pemerintahan secara adil! Dan saya termasuk salah satu di antara setiap manusia di atas. Hanya saja karena saya pun termasuk di antara mereka yang merasa belum mampu, maka sebelum saya menyatakan setuju atau tidak terhadap penerapan konsep sistem khilafah, terlebih dahulu saya ingin mendapatkan penjelasan yang lebih konkret dari Bung Izzat Akbar. Pertama, salah satu pilar dari sistem Khilafah adalah “ketakwaan individu”. Saya paham apa yang dimaksud dengan ketakwaan individu. Yang saya belum paham adalah, bagaimana cara menciptakan individu-idividu yang takwa dimaksud, khususnya terhadap individu-individu yang hidup di jaman kita sekarang ini?. Sebab, bahkan Rasulullah saw. pun ternyata gagal “men-takwa-kan” individu pada jamannya. Dan itu terbukti antara lain dengan cara wafat ketiga khalifah terakhir dari khulafa al-rasyidun, yang --meminjam istilah Bung Luthfi Assyaukanie-- terbunuh secara mengenaskan, justru ketika beliau-beliau itu tidak sedang berperang. Kedua, dalam sistem Khilafah, kepala negara (Khalifah) dapat diturunkan sewaktu-waktu. Saya kurang begitu jelas, diturunkan oleh siapa, dan bagaimana mekanismenya?. Maksud saya, bagaimana dan siapa yang harus membuktikan bahwa Khilafah telah sungguh-sungguh “melakukan penyimpangan yang akut terhadap syariat Islam”, dan bagaimana pula memilih seseorang untuk menggantikannya?. Apakah juga akan ditempuh cara “memba’iat” sebagaimana yang biasa dilakukan di jaman Rasulullah saw. dan ketiga khilafah setelah beliau?. Bagaimana cara menilai dan menetapkan --di jaman kita sekarang ini-- bahwa si Fulan layak dipercaya menjadi khilafah?. Tegasnya, jika sekiranya sistem ini dilaksanakan, menurut Bung Izzat, berapa “bulan” sekali akan terjadi penurunan dan pengangkatan khilafah?. Lalu, ... andaikata benar di Spanyol --ketika dalam kekuasaan Islam-- 3 agama besar dapat hidup berdampingan secara damai dan tercipta kehidupan masyarakat yang adil, lantas mengapa suasana yang demikian itu tidak dapat dipertahankan hingga kini?. Bukankah sebagaimana dikemukakan di atas, setiap manusia pada dasarnya mendambakan kehidupan yang damai dan sejahtera dengan berlandaskan keadilan?. Jadi, ketika suasana yang didambakan itu telah dapat diciptakan, apa sesungguhnya yang mendorong rakyat Spanyol untuk “melepaskan diri” dari sistem khilafah yang “bagus” itu?.
-----

Posted by Sutrisno Herca  on  06/09  at  07:06 AM

Sangat mengherankan jika ada yang masih meragukan konsep Khilafah. Khilafah adalah sebuah konsep negara yang baku dalam Islam karena hanya dengan Khilafahlah hukum-hukum dan aturan-aturan Islam bisa dterapkan oleh masyarakat. Dengan diterapkannya hukum-hukam Islam di tengah-tengah masyarakat maka akan terciptalah keadilan. dan ini benar-benar terealisasi di tengah-tengah dunia Islam selama 14 abad!! Memang benar ada berbagai penyimpangan dalam pejalanan Khilafah itu sendiri. tapi, itu tidak lain merupakan kesalahan manusia sebagai makhluk yang tidak lepas dari kesalahan.Tidak lain!! dan bukan berarti sistem Khilafah ditinggalkan. Sama halnya ketika dalam sistem demokrasi terjadi banyak penyimpangan, seperti money politics,dsb,apakah ketika itu sistem demokrasi telah ditinggalkan? Tidak kan?!!Karena itu tidak lain adalah faktor manusia sendiri yang tidak mungkin sempurna.

Kemudian, sistem Khilafah sangat berbeda dengan otoriterianisme, karena yang pertama, sistem Khilafah didirikan atas 3 pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara. Artinya negara bukanlah pemain utama satu-satunya dalam sistem Khilafah. Ini akan menghindarkan munculnya diktatorisme seperti yang dikhawatirkan saudara Luthfi. Yang kedua, dalam sistem Khilafah, kepala negara (Khalifah) dapat diturunkan sewaktu-waktu jika melakukan penyimpangan yang akut terhadap syariat Islam, artinya sistem controling benar2 berjalan dalam sistem Khilafah. Lalu, benarkah sistem khilafah hanya cocok utk teritori yang kecil serta penduduk yang homogen? Fakta berbicara sebaliknya! Ketika Spanyol ada dalam kekuasaan Islam, Di sana hidup berdampingan 3 agama besar, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi.Kenapa? Karena keadilan Islam!Dan waktu itu, wilayah Islam mencakup 2/3 wilayah bumi yang dihuni manusia beradab! Jika memang nation-statelah yang dianggap bentuk negara paling sempurna, fakta justru berbicara bahwa sistem tsb justru gagal! Sistem nation-state justru hanya membuat perpecahan umat manusia dengan banyaknya peperangan. Hal ini berbeda 180 derajat dengan sistem Khilafah yang mempersatukan umat manusia yang berbeda suku, bangsa, warna kulit, bahkan agama di dalam satu institusi yang adil!

Apakah orang-orang sekarang menolak gagasan Khilafah ini? Salah!! Justru rakyat sedang menanti diterapkannya kembali syariat Islam sebagai solusi bagi permasalahan bangsa yang kompleks. Setelah terbukti kegagalan komunisme dan kebobrokan sistem kapitalisme, rakyat telah menyadari bahwa solusi satu-satunya hanya sistem Islam.Sistem Khilafah!! Hanya segelintir orang yang menolak gagasan ini.Mereka takut akan kembalinya kejayaan Islam, seperti takutnya orang-orang kafir Quraisy akan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.Mungkin saudara Luthfi termasuk di antara mereka.Dan jika Anda atau siapapun tidak setuju dengan pengutaraan saya ini, Anda boleh membantahnya.Saya aktivis Hizbut Tahrir dan saya pendukung gagasan Khilafah ini. Silakan kirim bantahan Anda ke alamat e-mail di atas jika Anda merasa mampu!

Posted by Izzat Akbar  on  05/13  at  10:06 AM

Wacana khilafah selalu menjadi isi-isu politik oleh komunitas muslim Hizbut tahrir indonesia.Konon mereka ingin memperjuangkan sisitem yang sudah usang tersebut melaluhi jalur luar sistem.Selama ini kalangan HTI memang menolak ikut dalam pemilu karena anggapan mereka bahwa pemilu hanyalah produkdari sistem kapitalis sekuler.Menurutku hal tersebut merupakan persepsi yang sangat bodoh.Apabila mereka menginginkan perubahan ,misalkan menghendaki revolusi sistem di Indonesia maka harus melaluhi jalur konstitusi yang benar yaitu mengikuti pemilu. Tapi tak apalah mereka tidak ikut dalam semaraknya pesta demokrasi ditanah air.Sebab apabila mereka ikut serta sebagai salah satu kontestan pemilu pasti tidak lagi diminati oleh masa pemilih.Hal ini memang terbukti bahwa parpol-parpol yang hanya menebarkan isu-isu syariat Islam atau memolitisasi Islam tidak memperoleh dukungan yang signifikan.Lihatlah Partai Keadilan Sejahtera meskipun berazas Islam namun mereka lebih memiliki isu-isu konkrit seperti anti KKN,pemerintah bersih,moralis,menjunjung tinggi kejujuran lebih duterima oleh masyarakat.Jadi wacana-wacana tentang syariat Islam apalagi isu tentang khilafah mustahil untuk direalisasikan.Biarkan saja hal tersebut menjadi angan-angan orang HTI saja.Tapi ingat hai saudaraku kaum HTI jangan terlalu mudah anda mengkafirkan sesama Muslim yang memang kebetulan tidak seide dengan anda.

Posted by heri nurdianto  on  04/14  at  01:05 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq