Perselingkuhan Agama dan Terorisme
Oleh Rumadi
Penjelasan telah diberikan, bahwa Islam bukan agama teroris. Namun penjelasan itu seolah tidak mampu menghilangkan kesan bahwa Islam sarang teroris. Argumentasi etis-normatif sekilas ada benarnya, meskipun di belakangnya menyembunyikan sekian banyak fakta, bukan saja yang terkait dengan perilaku umat beragama, melainkan juga yang terkait dengan doktrin agama itu sendiri. Harus diakui ada sejumlah doktrin agama yang bisa dijadikan legitimasi dan pembenar untuk melakukan terorisme, terlepas apakah legitimasi itu dapat dibenarkan atau tidak.
Banyak orang mengatakan, beragama itu mudah. Jalan ke surga lebih gampang daripada jalan ke neraka. Namun, kenyataan yang kita saksikan berbeda. Beragama menjadi sangat susah. Jalan menuju surga bukan ditempuh dengan keheningan ibadah, keberpihakan kepada yang lemah, tapi harus ditempuh dengan cara meledakkan bom dan membunuh manusia yang lain. Berbeda dengan para sufi yang berupaya merengkuh Tuhan dan surga dengan mujâhadah, belakangan kita disuguhi fakta, Tuhan dan surga harus ditebus dengan darah dan nyawa. Dengan akal sehat, sulit rasanya menyebut yang terakhir ini sebagai jalan menuju Tuhan.
Meski ditolak, itulah realitas mutakhir keberagamaan kita. Agama yang seharusnya menjadi tempat suci, kini dituduh sebagai dalang terorisme. Itulah yang dialami umat Islam belakangan ini. Tragedi 11 September, tragedi 12 Oktober di Bali hingga pengeboman di JW Marriott Hotel Jakarta telah menyeret umat Islam dalam posisi sulit. Dan kini, banyak orang yang oleh media disebut sebagai “aktivis Islam” ditangkap kepolisian karena dicurigai terkait dengan terorisme.
Penjelasan telah diberikan, bahwa Islam bukan agama teroris. Namun penjelasan itu seolah tidak mampu menghilangkan kesan bahwa Islam sarang teroris. Argumentasi etis-normatif sekilas ada benarnya, meskipun di belakangnya menyembunyikan sekian banyak fakta, bukan saja yang terkait dengan perilaku umat beragama, melainkan juga yang terkait dengan doktrin agama itu sendiri. Harus diakui ada sejumlah doktrin agama yang bisa dijadikan legitimasi dan pembenar untuk melakukan terorisme, terlepas apakah legitimasi itu dapat dibenarkan atau tidak.
***
Jika demikian, terlibat tidaknya agama dalam aksi terorisme merupakan problem interpretasi atas sebuah fakta. Penjelasan yang memisahkan antara agama dan pemeluknya merupakan ketidakberdayaan dalam melihat realitas kehidupan umat beragama yang jauh dari ajaran etis-normatifnya. Pertanyaannya, kapan perilaku pemeluk agama harus dikaitkan atau dipisahkan dengan pemeluknya? Jika perilaku baiknya diterima sebagai bagian dari agama, mengapa perilaku jahatnya ditolak?
Dalam studi ilmu sosial, keterkaitan antara doktrin dan perilaku pengikutnya pernah menjadi topik penting. Taufik Abdullah (1987) mungkin tidak pernah membayangkan kalau terorisme akan menjadi tema penting di lingkungan Islam, sehingga dengan enteng dia mengatakan: “…bukanlah sesuatu yang harus dianggap sebagai paradoks jika Islam, sebagai agama wahyu yang universal dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin, menampakkan dirinya dalam keragaman, yang diwarnai oleh perjalanan sejarah dan situasi sosial kultural dari masyarakat pemeluknya. Ketegangan antara doktrin, yang abadi, dengan manifestasi dalam kehidupan pribadi dan sosial merupakan faktor utama dalam dinamika Islam.”
Pernyataan tersebut mungkin benar jika dikaitkan dengan dunia pemikiran. Se-radikal apapun sebuah pemikiran tidak akan disebut sebagai terorisme kalau tidak diikuti dengan kekerasan fisik dan seterusnya. Namun kalau yang terjadi adalah penghancuran atas nilai dan martabat kemanusiaan, tentu saja sulit dipandang sebagai “dinamika Islam” atau bukan sebagai paradoks. Bagaimana tidak paradoks jika manifestasi keagamaan justru bertentangan dengan doktrin suci agama yang harus dibela.
Ada sebuah adagium, sebuah interpretasi tekstual yang bertolak dari pandangan filosofis tertentu, seharusnya menghasilkan suatu “struktur sosial” dan pola perilaku yang kurang lebih merupakan salinan murni dari “doktrin Islam”. Namun, di kalangan ilmuwan Islam juga seringkali muncul apologi dengan memperlakukan antara doktrin dan pemeluk agama sebagai dua hal yang berbeda. Keduanya terpisah bukan karena keharusan metodologis, tetapi karena desakan etis guna melindungi “kesucian” agama. Singkatnya, doktrin tak pernah salah, yang salah adalah manusia yang meyakini doktrin itu.
Cara berpikir seperti ini, sekilas memang seolah “melindungi kesucian doktrin agama”, namun di sisi lain cara berpikir demikian sebenarnya sedang mendemonstrasikan betapa kesucian doktrin agama tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap pemeluknya. Jika demikian, untuk apa beragama? Di sinilah sebenarnya titik kelemahan asumsi dari tradisi studi teks sebagai satu-satunya cara untuk melihat fenomena masyarakat Islam. Karena itulah, semakin penting disadari pentingnya studi Islam yang berangkat dari realitas.
Bagaimanapun, agama adalah realitas sosial meskipun ia bersumber dari doktrin ilahi. Dalam tradisi akademik, meletakkan Islam sebagai obyek studi ilmiah sebenarnya belum cukup lama, karena selama ini ada rasa “sungkan”, sehingga Islam lebih didekati sebagai “agama wahyu” semata. Padahal kajian ilmiah harus lebih meletakkan Islam sebagai “agama historis”, daripada sebagai agama wahyu, karenanya, “agama” harus rela untuk dikritik.
***
Dari paparan tersebut, pertanyaannya adalah benarkah terorisme tidak ada kaitan dengan agama? Sulit untuk mengatakan dengan pasti. Dikatakan “ya” seolah menarik agama dalam dunia kotor yang bertentangan dengan makna agama itu sendiri. Namun dikatakan “tidak” juga seolah menutup kenyataan bahwa para pelakunya seringkali menggunakan simbol dan spirit agama. Realitas bahwa agama seringkali terlibat (atau dilibatkan) dalam tindakan terorisme, tidak perlu ditutupi. Ini memang kenyataan pahit yang harus diterima. Keberanian untuk mengakui, tidak selalu berarti menjadikan agama “berwajah hitam” karena di luar itu ada komunitas lain yang memaknai doktrin agamanya secara berbeda. Jika demikian, masalahnya tidak melulu terletak pada doktrin agama, tapi lebih pada interpretasi atas doktrin itu.
Ada beberapa penjelasan yang barangkali bisa digunakan untuk memotret keterkaitan antara agama dan terorisme. Pertama, pada tingkat doktrin, agama mempunyai potensi untuk memunculkan kelompok “fundamentalis”. Realitas menunjukkan, gerakan-gerakan ekstrim hampir senantiasa terdapat dalam semua agama. Dalam kaitan ini, pengakuan Amrozi, salah seorang terdakwa kasus bom Bali, menarik untuk diangkat. Menurutnya, peledakan bom Bali adalah untuk menjaga kehidupan beragama. “Kalau saya tidak meledakkan bom, mau jadi apa Bali 15 tahun lagi. Sekarang orang mengeluh karena kehilangan materi, tapi sebenarnya agama dan moral itu lebih penting”, kata Amrozi (Koran Tempo, 13 Juni 2003).
Kedua, Agama dalam era pasca modernisme antara lain ditandai dengan munculnya “kekerasan spiritual” yang kemudian diekspresikan dalam “kekerasan sosial”. Hal itu muncul karena kegagalan janji modernisme seperti janji kebebasan dan pluralisme yang justru memunculkan kabut kekaburan dan ambiguitas. Karena kegagapan rasionalisme yang dilumpuhkan oleh semangat pasca modernisme, maka jalan keluar yang sering diambil adalah lari dari kebebasan untuk memasuki dunia “pasti” yang menentramkan hati. Jalan yang diambil adalah dengan penyerahan diri kepada sebuah “otoritas transedental” yang menjanjikan kesenangan eskatologis.
Ketiga, respon atas hegemoni dan sekularisme Barat yang dianggap mengancam umat Islam. Pemikiran-pemikiran sekuler Barat yang telah merasuki dunia Islam dianggap sebagai ancaman serius dari “orang kafir” yang harus dilawan. Hegemoni ini semakin mencengkeram kuat dengan ideologi kapitalisme yang mengurung sendi-sendi perekonomian umat Islam. Dunia Islam menjadi terpuruk dengan keterganungan yang tinggi terhadap Barat.
Di luar tiga hal tersebut, tidak sedikit orang yang mengamini teori konspirasi. Asumsi dasar teori konspirasi, bahwa carut marut terorisme yang dituduhkan kepada Islam merupakan konspirasi kekuatan AS dan sekutunya, yang merasa terancam dengan Islam. Penganut teori konspirasi yakin bahwa AS turut bertanggung jawab munculnya jaringan terorisme di berbagai kawasan. Teori ini biasanya dihubungkan dengan sinyalemen clash of civilization-nya Samuel P Huntington. Bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang dimenangkan AS dan sekutunya, maka yang sangat potensial menjadi ancaman adalah kekuatan-kekuatan Timur, termasuk Islam.
Atas dasar ilustrasi di atas, terorisme bukanlah fenomena “tunggal” yang muncul secara tiba-tiba. Meskipun demikian, penulis berpendapat, adalah sebuah kemulflase jika agama seolah “cuci tangan” dan merasa tidak ikut bertanggung jawab atas tragedi terorisme. Adalah mustahil memisahkan secara diametral antara ajaran normatif agama dengan ekspresi pemeluknya. Pengakuan demikian mengharuskan kita sebagai umat beragama untuk melakukan peninjauan secara kritis atas doktrin-doktrin agama yang dimaknai secara semena-mena.
Karena itulah, saya menyebut keterkaitan antara agama dan terorisme sebagai “perselingkuhan”. Agama memang bisa berselingkuh. Ibarat gadis cantik, banyak orang yang suka menggodanya dengan iming-iming dan kesenangan. Agama juga bisa digoda untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan fitrahnya. Seseorang yang menjadikan agama sebagai amunisi untuk melakukan terorisme pada dasarnya telah mendorong terjadinya perselingkuhan antara agama dengan pasangan yang “tidak halal”, terorisme.***
Rumadi, Mahasiswa S3 UIN Jakarta, Kontributor Jaringan Islam Liberal
Komentar
Saya sangat sepakat dengan tulisan diatas karena itu memang realitasnya, tapi kayaknya ada ketidak adilan dalam penilaian seperti kenapa yang dijadikan contoh kambing hitam terorisme selalu umat Islam, padahal terorisme tidak hanya dilakukan oleh umat Islam. Lihat bagaimana Israel menghabisi palestina, lihat pula amerika dan sekutunya membombardir irak dsb …… apa itu bukan terorisme, kenapa itu jarang diangkat. Lalu apa penulis tidak sempat berfikir atau sedikit khusnudzon bahwa sekalipun pengeboman yang dilakukan oknum umat islam sekalipun jelas-jelas keliru itu adalah sekedar ungkapan emosional yang ditumpahkan karena perlakuan tidak adil terhadap kaum muslimin selama ini. Penumpahan emosional yang terkesan brutal itu karena mereka tidak mempunyai cara atau wadah yang jelas untuk melampiasknya. Oleh karenanya tidak bisa kita secara mutlak menyalahkan pelakunya, tapi sedikit banyak kita juga harus dipersalahkan kenapa kita tidak memberikan wadah yang tepat kepada mereka. Dan pemberian label teroris dan menganggap mereka berselingkuh dengan agama dalam menjalankan misinya, justru akan menambah perih luka mereka. Apa tidak sebaiknya pendekatan kepada mereka ditempuh dengan acara arif dan bijaksana bukan dengan pemberian label yang negative.
-----
biarkan saya berpendapat, bahwa saya sudah mengalami depresi stadium berat untuk mencoba mengerti tentang jargon populis “demokrasi” dan “pluralisme”, sebagai amunisi intelektual yang dimiliki teman2 JIL untuk “memborbardir” golongan lain yang berseberangan dengannya. saya merasa bahwa kaum muslimin saat ini berada diposisi--nuwun sewu--the looser. tetapi saya merasa lebih yakin solusi2 yang diberikan teman2 JIL, akan menjadikan kita “terjun bebas” menuju kubangan the real-real looser. mengapa? karena sandaran demokrasi & pluralisme--mau tidak mau--harus kita akui bersumber dari nilai2 absurd westernisme, yang banyak dicatat dalam lembaran hitam sepanjang sejarah kemanusiaan sebagai dosa2 yang memalukan. contoh nyata yaitu standar ganda, yang saat ini masih menjadi “dalil” terbenar untuk menghakimi lawan2 ideologi mereka. saya takut, kita yang terlalu asyik bermain dalam euforia demokrasi dan pluralisme, juga akan mewarisi kemunafikan ini. gejalanya sudah ada, misalnya JIL menuntut kebebasan ekspresi keber-agama-an bagi dirinya, tetapi hal itu tidak diberlakukan bagi orang2 yang berseberangan dengannya. tetapi sedikit ada yang mencerahkan ruang pandang keawaman saya. statemen intelektual AS, Paul Treanor, yang dengan jantan mengatakan bahwa sampai saat ini kaum demokrat belum punya nyali kuat mengakui kebenaran konsep diluar dirinya, termasuk kebenaran yang kemungkinan besar juga dimiliki orang2 fundamentalis. malah sampai2 dia berani mengatakan bahwa, “demokrasi adalah...prekk...!!”
Pak Rumadi...bagus sekali artikel yang Anda tulis. Jarang sekali ada artikel yang seperti ini kritis dan berani menceritakan sisi negatif hasil dari hubungan antara agama dan penganutnya. Selama ini orang hanya menyalahkan penganutnya, agamanya sudah bagus.
Saya salut dengan keberanian Anda di tengah masyarakat yang hampir sebagian besar berpendapat berbeda dengan Anda. Indonesia butuh banyak orang seperti Anda. Indonesia memang lagi sakit parah. Mungkin Anda banyak ditentang di Indonesia tapi anda punya banyak pendukung di seluruh dunia.
Salam
salam…
akhir-akhir ini banyak sekali perdebatan agama dengan terorisme, sehingga membarikan kesan ada permasalahan serius di tubuh umat beragama, padahal kalau kita mau sedikit saja mau berfikir negatif bahwa tidak benar-benar ada hubungan yang signifikan antara terorisme dan agama. terlebih asumsi mengenai bahwa agama dijadikan sebuah alat dimana terorisme dapat dengan leluasa menjalankan misinya.pikiran kotor mengenai terorisme dengan agama bahwa agama adalah suatu alat yang dijadikan perlindungan bagi terorisme, atau bahkan sebaliknya. itu sebenarnya sudah tidak layak lagi dibicarakan karena memang umat beragama tidak seharusnya terjebak dalam pikiran-pikiran sempit seperti itu. sebauh pertanyaan yang sering kali menghantui perasaan saya ketika dialog-dialog mengenai agama dan terorisme atau kekerasan mengatas namakan agama, jangan-jangan ada sebuah misi serius di balik terbentuknya sebuah agama. ada asumsi bahwa dari segi simbol agama menyimbolkan kekerasan, dengan gaya kepemimpinan yang di contohkan para pengusung agamanya masing-masing. makanya kemudian bahwa kita sudah seharusnya menanggalkan pemahaman bahwa agama dan terorisme ada sebuah keteerkaitan, untuk kemudian kita dapt membenahi pemahaman agama masing-masing di tataran yang lebih memasyarakat bukan kearah hegemoni barat atau sejenisnya.
Dlm banyak point, saya setuju dg artikel Bung Rumadi yg bagus ini. Berikut ini sekedar catatan tambahkan dari saya.
Islam sebagai agama memang tidak bisa sekedar dipahami dan dinilai secara doktrinal, yg walaupun di sana-sini juga masih tersisa ruang untuk mengkritiknya secara intelektual, tentu selalu menampilkan sisi ideal dan positif dari agama tersebut. Tapi juga ia harus ditelaah dan diuji manifestasinya dlm bentangan sejarahnya yg panjang.
Argumen dasarnya, mengutip pandangan F. Schuon dlm Understanding Islam, Islam adalah “perjumpaan Tuhan sebagaimana adanya dengan manusia” sebagaimana adanya. Nah, dlm perjumpaan itu sudah tentu terdapat dialog dan ketegangan-ketegangan yg tidak selamanya harus didamaikan once for all. Islam menjadi masuk akal sebagai agama hanya apabila ia memiliki potensi utk dipahami (dan disalahpahami) dan diamalkan (dan diabaikan) oleh pemeluknya. Potensi utk disalahpahami dan diabaikan ini merupakan kenyataan yg tdk bisa dihindari. Sebab, justru dg potensi itu, keberagamaan menjadi lebih bermakna.
Coba bayangkan, seandainya hanya ada satu saja tafsir murni dan komprehensif atas teks-teks agama, mau dikemanakan potensi intelektual para sarjana2 Muslim yg harus menemukan objek penelaahan dlm teks2 tersebut utk mengeksplorasi dan mengotimalkan potensi intelektualitas mereka. Dan upaya2 ekplorasi intelektual seperti ini (betapa pun naifnya upaya itu, dan betapa pun paradox dan aneh2nya hasil/bentuk eksplorasi intelektual itu: misalnya fundamentalisme, radikalisme, terorisme dll.) malah yg mendapatkan nilai tinggi dlm agama ketimbang menerima begitu saja doktrin2 agama tanpa pemikiran kritis.
Walaupun, harus segera ditambahkan bhw prinsip luhur dlm setiap upaya pemikiran thd teks2 agama adalah relativisme dan ekslusivisme, dlm arti, selalu menyadari bhw sebuah hasil pemikiran bagaimana pun otoritatifnya selalu memiliki potensi utk salah, dan karena itu, perlu didialogkan dg dan terbuka utk mempertimbangkan hasil2 pemikiran pihak lain. Misalnya, kalau kebetulan hasil akhir dari pemahaman intelektual kita mengenai Al-Quran adalah bhw intisari pesan kitab adalah mencegah kemungkaran dg kekuatan fisik, bila perlu dg pengorbanan nyawa beberapa demi tegaknya kebenaran, maka kita tetap harus sadar bhw kesimpulan spt kita itu masih relatif (tdk absolut benar); dan krn itu, tafsiran lain yg kemungkinannya total berbeda dr milik kita hrs juga kita pertimbangkan.
Kenyataannya, dlm sejarah Islam, selalu saja ada bentuk2 dan kecenderungan2 arus pemikiran yg mengarah kepada wujud mutakhir pemikiran keislaman yg bisa disaksikan di dunia kontemporer: skripturalisme (dulu diwakili oleh Khawarij), liberalisme (dulu Muktazilah), modernisme, fundamentalisme, radikalisme, dst. Soal Islam yg dipahami secara tekstual dan inklusive, sudah sejak awal sejarah Islam sudah terlihat manifestasinya dlm bentuk terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib oleh salah seorang (suruhan) kaum Khawarij. Bahkan sebelum itu, kasus mirip terorisme sudah dipraktekkan oleh org2 yg membunuh Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan yg semuanya (mengaku) Muslim.
So, apa hikmah di balik semua ini. Anda tidak bisa menjadikan semua orang Muslim memiliki pemahaman dan akhlak yg sepenuhnya sesuai dg cita ideal doktrin Islam. Selalu saja ada orang2 yg salah paham dan membangkan dan tetap tdk bisa dipandang bukan Muslim. Tetapi selalu juga terdapat orang2 Muslim yg saleh, patuh, toleran, berakhlak mulia, dst. yg (menurut mata kasar kita) mendekati pesan2 doktrin Islam yg sejati. Menurut saya, tanpa bermaksud berpaham deterministik, semua itu tdk lepas dari skenario Ilahiah bhw hidup dan kehidupan beragama hanya menjadi lebih bermakna jika selalu terdapat ketegangan antara doktrin dan sejarah, antara yg baik dan buruk, antara kaum scripturalist/literalis dan liberalis, antara kaum modernis dan fundamentalis, dst. Lagipula, bukankah iblis secara tdk langsung mendapatkan perkenan Allah agar ia bisa ‘menggoda’ manusia berpaling dari jalan kebenaran sehingga menjadi (makin) jelas siapa yg benar2 kuat imannya???
Jadi, menurut saya, di satu sisi kita tdk perlu sedih dan berputus asa luar biasa jika dlm penggalan sejarah tertentu kaum Muslim terdapat orang2 Muslim yg begitu mudah memuncratkan darah sesama Muslim, bahkan sesama manusia, sambil merasa sedang mengemban misi suci Islam yg sejati. Di sisi lain, kita juga tentu tidak bisa berpangku tangan sambil berharap pada takdir Tuhan agar orang2 seperti ini dibinasakan oleh Allah atau oleh sejarah. Kita harus, dg niat baik dan tulus dan dengan cara2 yg bijaksana, berusaha mengajak mereka utk memahami Islam seperti kita atau minimal mempertimbangan kembali pemahaman mereka dan meninggalkan cara2 radikal dan brutal dlm mendakwahkan Islam.
Menurut saya, dlm Islam, kebijaksanaan tidak terletak pada kepelikan kata2 juga tidak terefleksikan pd ketajaman pedang, tapi pada keluhuran maksud. (Innamal a’malu binniyat, wa innama likulli imri’in ma nawa), dan kata Emha Ainun Najib, kebijaksanaan bisa menyelesaikan semua masalah. Masalahnya adalah, bagaimana memperoleh kebijaksaan dan menjadi bijaksana??
Walhasil, wa ilallahi turja’ul umur, wallahu a’lam bish-shawab
Rizwan
Komentar Masuk (6)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)