Politik Tujuh Kata
Oleh Saiful Mujani
Sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah beberapa hari yang lalu membuat kesepakatan amat penting tentang masalah hubungan antara agama dan negara. Persisnya, permohonan agar MPR tidak memasukan Tujuh Kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 45. Sebagaimana diketahui umum, tujuh kata itu adalah “Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.”
Dari Koran Tempo, Rabu, 31 Juli 2002
Sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah beberapa hari yang lalu membuat kesepakatan amat penting tentang masalah hubungan antara agama dan negara. Persisnya, permohonan agar MPR tidak memasukan Tujuh Kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 45. Sebagaimana diketahui umum, tujuh kata itu adalah “Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.”
Sebenarnya aspirasi dari tokoh-tokoh Ormas Islam besar seperti itu tidak baru. Tokoh-tokoh ormas itu, seperti Kiai Hasyim Muzadi, Syafi’I Maarif, dan Nurcholish Madjid, dan banyak tokoh agama lainnya, sudah lama menunjukan sikap seperti itu. Tapi, ngumpul bersama, dan membuat pernyataan bersama untuk masalah yang penting dalam sejarah politik umat Islam ini, adalah kejadian yang jarang. Mereka menegaskan sikap mereka tersebut sebagai bentuk partisipasi politik agar pasal 29 UUD 45 substansinya tidak berubah. Partsipasi dari mereka ini penting karena mereka kekuatan sosial-keagamaan strategis untuk memberikan kekuatan MPR agar tidak ragu bersikap dalam masalah hubungan agama dan politik ini. Di samping itu, partisipasi tersebut penting mengingat masih ada kekuatan di MPR yang menghendaki Tujuh Kata itu dimasukkan, dan kehendak yang terakhir ini ternyata telah dijadikan salah satu dalih kelompok yang menolak Amandemen UUD 45 yang berkaitan dengan pasal-pasal lain yang telah dihasilkan selama ini. Karena itu aspirasi untuk memasukan Tujuh Kata
itu ke dalam pasal 29 bisa menjadi pengganjal keseluruhan proses amandemen Konstitusi kita yang sangat mendesak itu.
Kekuatan di MPR yang sampai hari ini tetap memperjuangkan dimasukannya Tujuah Kata tersebut ke dalam pasa 29 UUD 45 adalah Fraksi Pesatuan Pembangunan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan fraksi Bulan Bintang dari Partai Bulan Bintang (PBB). Musyawarah lintas fraksi apakah itu secara resmi melalui FAH I maupun secara tidak resmi melaui berbagai lobi untuk mencapai kata sepakat mengenai masalah tersebut terus diupayakan. Kita berharap mereka sukses. Kalau
tidak sukses, voting kemungkinan besar akan menjadi pilihan. Kalau voting dilakukan, kemungkinan aspirasi seperti yang dikehendaki tokoh-tokoh agama di atas akan berhasil mengingat lebih dari dua pertiga suara di MPR kemungkinan besar menghendaki hal yang sama, atau mempertahankan isi pasal 29 UUD 45 tersebut.
Proporsi kekuatan politik di parlemen ini merupakan perkembangan penting dalam politik nasional kita. Tahun 50-an proporsi antara yang pro dan kontra atas dijadikannya Islam sebagai dasar negara cukup seimbang sehingga berakhir dengan deadlock dalam Konsituante. Dalam konteks politik kita jangka panjang, sikap PPP dan PBB tersebut sebenarnya suatu hal yang wajar, sebab perubahan sikap elite politik untuk hal-hal yang fundamental dalam bernegara membutuhkan waktu panjang. Sementara itu, penolakan PKB dan PAN terhadap pemasukan Tujuh Kata pada UUD 45 itu adalah suatu kemajuan kalau dilihat dari konteks konstitusi modern. Demikian juga sikap yang sama dari Golkar sebab mayoritas elite Golkar dan pendukungnya diperkirakan berasal dari kalangan santri yang pada tahun 50-an dulu mendukung Masyumi dan Partai NU yang merupakan tulang punggung aspirasi asas Islam dalam politik tahun 50-an.
Dalam banyak hal sikap PKB, PAN, dan Golkar itu mencerminkan basis sosial masyarakat politik kita, yakni Jama’ah Nahdliyin (NU), Muhammadiyah, dan kelompok-kelompok Islam lain yang punya sikap politik yang sama. Kalau perhatian difokuskan ke Golkar di mana alumni HMI merupakan komponen besar di dalamnya, maka sikap Golkar dalam masalah Tujuh Kata itu juga mencerminkan dinamika dan perubahan kultur politik yang telah berlangsung di kalangan alumni HMI ini. Kalau kepemimpinan intelektual dipandang penting untuk penyemaian kultur politik baru yang lebih inklusif ini, sebagaimana dipercayai banyak ilmuwan sosial, maka tokoh-tokoh seperti Gus Dur (NU), Syafi’i Maarif (Muhammadiyah), dan Cak Nur (HMI) telah memberikan sumbangan penting bagi perubahan politik kita sekarang. Mereka, lewat elaborasi-elaborasi keislaman yang dilakukan selama ini, telah membantu para elite dan massa politik umat untuk tidak merasa “berdosa” untuk
membangun politik modern, yang membedakan wilayah politik dari wilayah agama. Mereka dan para pembentuk kultur politik modern lainnya di tanah air telah menanam dan menyebarkan kekuatan psikologis di antara umat sehingga penolakan terhadap Tujuh Kata itu untuk dimasukan ke dalam Konstitusi kita setidaknya dirasakan tidak bertentangan dengan Islam, atau malah sebaliknya, suatu keharusan Islami kalau menggunakan perspektif dari tokoh-tokoh umat seperti Cak Nur.
Kekuatan politik Pro Tujuh Kata itu sekarang bukan hanya harus berhadapan dengan partai nasionalis seperti PDI-P dan partai-partai yang berbasis agama non-Islam, tapi juga dengan partai-partai yang secara sosiologis berbasis Islam santri. Sebelum bertarung di luar, mereka harus bertarung di dalam rumah sendiri, umat Islam Santri. Repotnya, saudaranya yang serumah ini, mendapat dukungan dari kekuatan sosial umat yang memiliki pabrik-pabrik besar, seperti NU dan Muhammadiyah, yang cukup produktif memproduksi simbol-simbol keislaman sehingga mereka punya legitimasi kuat dalam pertarungan memperebutkan makna keagamaan dalam konteks politik nasional kita. Kekuatan sosial-politik dari dalam umat seperti ini tidak ada pada tahun 50-an.
Namun demikian, perjuangan PPP dan PBB untuk memasukan Tujuah Kata itu ke dalam Konstitusi kita, bukanlah politik yang tidak masuk akal. Mereka percaya bahwa sentimen massa umat terhadap Syariat Islam masih kuat walapun makna “syariat Islam” itu sendiri sesungguhnya tidak jelas dalam hubungannya dengan sistem politik modern. Karena itu, mereka melihat sentimen itu sebagai sumber daya politik untuk diolah sedemikian rupa dalam mendulang suara pemilih nanti.
Di samping itu, bagi PPP dan PBB, meninggalkan isu Tujuh Kata itu secara politik bukan langkah yang gampang, sebab konstituen mereka selama ini sudah mengenal partai mereka sebagai partai Islam, sebagai partai yang punya agenda agar syariat Islam ditegakan oleh negara. Tujuh Kata tersebut, karena itu, sudah menjadi semacam bagian dari identitas partai. Sebagaimana diketahui membangun identitas partai bukanlah perkara gampang. Bagi PPP yang sudah punya pendukung cukup besar (sekitar 12%) mempertahankan identitas ini menjadi lebih penting.
Ceriteranya agak berbeda untuk PBB. Ia partai kecil, dengan jumlah pemilih sekitar 2%. Mempertahankan identitas diri sebagai partai Islam, dan menjadikan Tujuh Kata agar masuk ke dalam Konstitusi kita, kemungkinan akan membuat partai ini tetap sebesar itu. Namun demikian, 2% adalah angka yang cukup lumayan dibanding puluhan, kalau bukan ratusan, partai lain yang tak punya suara di DPR/MPR. Karena itu, mempertahankan 2%, dengan tetap memertegas identitasnya sebagai pendukung Tujuah Kata itu, mungkin dirasa lebih aman bagi elite partai ini. Melakukan lompatan besar, misalnya dengan melupakan masalah Tujuh Kata tersebut, bisa memunculkan ketidakpastian lebih besar untuk hasil pemilu 2004 nanti. PBB bisa ditinggalkan pendukungnya selama ini. Tapi ia bisa juga mendapat dukungan dari pemilih yang dulu tidak memilihnya akibat dari perubahan sikapnya terhadap Tujuh Kata tersebut. Dihadapkan dengan ketidakpastian politik semacam ini, politisi biasanya bersikap konservatif, yakni mempertahankan pola rekrutmen yang sudah dikenalnya. Dalam kasus PBB, dan apalagi PPP, mobilisasi pemilih dengan isu keagamaan seperti masalah Tujuh Kata itu sudah akrab dengan mereka, dan juga sesungguhnya lebih mudah karena menyangkut sentimen umat. Karena menyangkut sentimen, kejernihan bagaimana sebuah isu akan diperjuangkan partai tidak banyak diperlukan. Lebih dari itu, saya kira politis PBB, dan juga PPP, percaya bahwa isu Islam, termasuk Tujuh Kata itu, dengan strategi kampanye yang lebih baik, akan mendongkrak perolehan suara mereka.
Tapi, manipulasi atas agama pasti tidak akan menjadi monopoli PPP dan PBB, sebab partai-partai lain yang berbasis santri juga akan dipaksa melakukan hal yang sama, setidaknya untuk menetralisir sentimen massa dari pengaruh PPP dan PBB. Akibatnya, pertarungan untuk sebuah makna syariat Islam dalam konteks politik Indonesia diperkirakan akan tetap mewarnai kampanye pemilihan umum 2004 nanti.[]
Komentar Masuk (0)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)