Potret Praktik Pemilu di Negara Muslim
Oleh Muhammad Qodari
Praktik pemilu di negara demokratis menghadapi berbagai tantangan, penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan yang tidak demokratis. Di sisi lain, keberhasilan penyelenggaraan pemilu yang demokratis belum tentu menghasilkan sistem pemerintahan yang sepenuhnya demoktratis. Bagaimana gambaran praktik pemilu di negara-negara Muslim ini?
Negara-negara Muslim – per definisi, negara berpenduduk mayoritas Muslim – yang mengadopsi sistem demokrasi, menghadapi berbagai masalah dalam pemilu seperti halnya negara demokrasi non-Muslim lainnya. Secara umum, masalah itu masuk dalam dua kategori utama: penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan yang tidak demokratis. Negara yang tidak demokrastis, mengalami intervensi elit sipil dan/atau militer. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu yang demokratis, di sisi lain, belum tentu menghasilkan sistem pemerintahan yang sepenuhnya demoktratis. Artikel ini adalah gambaran singkat dari praktik pemilu di beberapa negara Muslim yang dijadikan contoh kategori di atas.
Indonesia pada masa rezim pemerintahan Suharto adalah contoh terdekat dari pemilu negara Muslim yang tidak demokratis. Pemilu pada masa-masa itu, masih segar dalam ingatan kita, hanya boleh diikuti oleh tiga partai politik yang diijinkan pemerintah Orde Baru. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis karena banyaknya ketidakadilan, baik yang melekat pada sistem dan aturan penyelenggaraan maupun pada praktik di lapangan. Yang masuk kategori pertama, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berisi para birokrat yang mengabdi rezim berkuasa. Yang masuk kategori kedua, antara lain, manipulasi penghitungan suara mulai dari TPS sampai ke KPU.
Contoh dekat lainnya adalah negara tetangga Indonesia, Malaysia. Jumlah partai politik tidak pernah dibatasi seperti halnya Indonesia masa Orde Baru, namun pemilu untuk memilih para anggota Dewan Rakyat semenjak tahun 1974 sangat didominasi oleh Barisan Nasional (BN). BN sebenarnya adalah front bersama dari 12 partai politik yang kebanyakan berbasis etnis atau ras. Di antara semua anggota BN, UMNO (United Malays National Union) adalah yang terbesar. Kritik terhadap pemilu Malaysia terutama berkaitan dengan kurang transparannya dana yang digunakan BN untuk kepentingan pemilu dan penguasaan BN dan pemerintahan yang dikuasainya atas berbagai media massa utama di Malaysia.
UMNO menguasai akses-akses pada sumber keuangan, jauh meninggalkan partai-partai oposisi seperti Democratic Action Party (DAP) dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS). Dalam pemilu, kampanye terbuka, apalagi pawai, dilarang. Metode kampanye yang dapat dilakukan adalah kampanye dari rumah ke rumah. Kampanye semacam ini jelas membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan BN, dengan dana yang dimilikinya, mampu mengupah tenaga kerja untuk melaksanakan kampanye. Sebaliknya para oposisi, karena kesulitan dana, mengandalkan pada tenaga kerja sukarelawan. Lantaran jumlah poster dan kendaraan yang dipakai dalam kampanye tidak dibatasi, semakin besar keunggulan yang dinikmati BN.
Dari pemilu ke pemilu BN dan komponennya juga diuntungkan secara langsung atau tidak langsung dengan penguasaan berbagai media massa swasta seperti TV3 dan koran-koran berbahasa Inggris, Cina dan Tamil. Sebagai partainya penguasa, BN juga mengontrol media massa yang dimiliki pemerintah seperti TV1, TV2, dan jaringan radio. Koran berpengaruh Malaysia, Utusan Malaysia, misalnya, diterbitkan perusahaan Utusan Melayu Bhd yang mayoritas sahamnya dkuasai oleh UMNO. Akibat struktur penguasaan media yang demikian, tidak mengherankan kalangan oposisi sering mengeluh. Bukan hanya program partai mereka tidak sampai ke pemilih, liputan tentang partai mereka pun seringkali diletakkan diluar konteks atau bahkan difalsifikasi (Gomez, 1998).
Jika pemilu di Malaysia mengalami intervensi dari politikus sipil, menarik membandingkannya dengan pemilu pertama di Aljazair pada tahun 1991. Sebelumnya, selama 30 tahun, Aljazair adalah negara otoritarian dengan hanya satu partai politik, Front Pembebasan Nasional (FLN). Aljazair mengalami krisis ekonomi yang serius pada pertengahan 1980-an akibat dampak krisis ekonomi dunia yang diperburuk oleh jatuhnya harga minyak di pasar internasional. Padahal 90 persen lebih ekspor Aljazair berupa minyak dan produk terkait lainnya. Kegagalan ekonomi yang dijalankan pemerintah, utang nasional yang membesar, angka inflasi dan pengangguran yang tinggi, memberi dampak yang buruk bagi industrialisasi, pertanian, serta pelayanan publik dan sosial.
Pada Oktober 1991, Aljzair dilanda protes jalanan besar-besaran serta kerusuhan pangan. Gelombang demonstrasi rakyat berlangsung di seluruh negeri. Dimulai di Aljir, ibukota negara di Afrika Utara ini, demonstrasi itu dengan cepat menyebar ke banyak kota besar yang lain, termasuk Oran dan Constantine. Pemerintahan Presiden Benjedid kemudian menjanjikan kebebasan politik yang lebih besar dan demokrasi untuk menanggapi ketidakpuasan rakyat. Reformasi politik yang dilakukan Benjedid mencakup revisi konstitusi dan pada than 1989, revisi yang menghapus tradisi sosialis Aljazair. Langkah ini mengakhiri monopoli FLN atas negara dan mengubah Aljazair menjadi negara satu partai menjadi sistem politik multipartai yang kompetitif.
Pada 26 Desember 1991, Aljazair menyelenggarakan pemilu parlemen multipartai yang pertama sepanjang 33 tahun usianya. Pemerintah dan FLN maju ke pemilu dengan banyak keuntungan melalui pembagian distrik-distrik pemilihan yang menguntungkan FLN, mengontrol lembaga-lembaga negara, dan penahanan dua orang pemimpin Front Penyelamat Islam (FIS) yakni Al Madnai dan Belhadj serta 5000 pendukung mereka. Namun toh, dengan tingkat partisipasi pemilu sebanyak 51 persen, FIS berhasil memenangkan 47,5 persen suara atau 188 dari 231 kursi dalam putaran pertama pemilu. Rival terdekatnya, Front Kekuatan Sosialis, hanya mampu meraih 26 kursi. FLN terpuruk habis dengan 16 kursi saja. Sisa kursi yang seluruhnya 430 akan ditentukan dalam pemilu putaran kedua pada Januari 1992.
Dengan dalih mempertahankan keamanan dan stabilitas negara, pada tanggal 12 Januri 1992, hanya beberapa hari sebelum pemungutan suara, militer Aljazair melakukan intervensi, yang sebenarnya kudeta, untuk mencegah FIS meraih kekuasaan yang mereka peroleh dengan jalan demokratis. Militer memaksa Presiden Benjedid, yang dikhawatirkan telah menerima kemenangan FIS dalam pemilu dan ingin mengadakan perjanjian permbagian kekuasaan dengan FIS, untuk meletakkan jabatan. Militer kemudian menunjuk sebuah boneka Dewan Negara atau Dewan Keamanan Tertinggi untuk memerintah. Pemilu sebagai praktik demokrasi telah dilibas dan proses penindasan besar-besaran terhadap FIS dimulai.
Militer memang kerap menjadi penghalang sistem demokrasi di negara Muslim. Di Pakistan, misalnya, kelompok militer tidak membatalkan proses dan hasil pemilu yang sedang berlangsung seperti di Aljazair. Pemenang pemilu dibiarkan tampil berkuasa selama jangka waktu tertentu, namun bila dianggap tidak mampu memerintah, kelompok militer akan mengambil alih pemerintahan dengan kudeta. Semenjak tahun 1947, paling tidak sudah empat kali kelompok militer mengambil alih kekuasaan “demi keamanan nasional yang terancam oleh kepemimpinan sipil yang korup dan inkompeten. Kudeta pertama, tahun 1958 oleh Jenderal Muhammad Ayub Khan, disusul yang kedua oleh Jenderal Agha Yahya Khan tahun 1969, tahun 1977 oleh Jenderal Zia Ul Haq, dan tahun 1999 oleh Jenderal Pervez Musharraf.
Meskipun bukan negara junta militer, selama 30 tahun Indonesia diperintah oleh seorang jenderal yang banyak mengandalkan dukungan dari militer untuk melanggengkan kekuasaannya. Ketika sang jenderal akhirnya dijatuhkan oleh demonstrasi rakyat, terbukalah kesempatan di negara Muslim terbesar di dunia ini untuk melaksanakan pemilu multipartai yang relatif demokrastis pada tahun 1999. Demikian juga dalam Pemilu 2004 kali ini. Hal ini membuktikan bahwa pemilu demokratis – dalam pengertian minim sabotase oleh penguasa dan dilaksanakan oleh badan yang relatif independen - adalah mungkin di negara-negara Muslim sejauh elit sipil dan militer tidak melakukan intervensi terhadap persiapan, pelaksanaan dan hasilnya. Ini jugalah yang bisa disaksikan dalam pemilu di Turki pada bulan November 2002 yang lalu.
Yang menjadi tantangan bagi negara Muslim yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu demokratis seperti Indonesia dan Turki adalah bagaimana pemilu yang demokratis tersebut dapat menghasilkan pemerintahan yang berhasil dalam menjalankan tiga misi utama: meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menjamin keamanan dan memberantas korupsi. Kegagalan menjalankan misi ini hanya menimbulkan skeptisisme yang datang dari dua arah: kelompok elit berupa intervensi militer seperti di Aljazir dan Pakistan serta kerinduan masyarakat pada umumnya pada sistem otoriter yang sekalipun tidak demokratis dan korup, namun dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dan jaminan keamanan.
Dalam situasi seperti ini, stereotip bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi akan menguat, padahal kegagalan demokrasi tersebut sebenarnya merupakan kesalahan kelompok elit sipil produk pemilu yang gagal memerintah dengan baik dan kelompok elit militer yang tidak mau kehilangan berbagai privilese yang mereka nikmati dalam sistem politik non-demokratis.
**Penulis adalah Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI), Jakarta dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Komentar Masuk (0)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)