Radikalisasi Agama: - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
12/07/2002

Radikalisasi Agama: Soal Katak dalam Tempurung

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

Secara tak sengaja, peristiwa tragis itu membuka peluang bagi lebih banyak lagi rakyat AS untuk mengenal Islam dan kaum muslim. Mereka dipaksa untuk keluar dari tempurung mereka, dan menemukan dunia yang lebih besar dari sekadar AS.

Dari Koran Tempo, 12 Juli 2002

Saya berada di Athens, sebuah kota kecil di negara bagian Ohio, Amerika Serikat (AS), ketika peristiwa 11 September terjadi. Kelas-kelas di universitas kami tiba-tiba terliburkan, dan semua perhatian tertuju pada laporan media mengenai apa yang terjadi pagi hari itu. Hari-hari sesudahnya masih ditandai oleh peristiwa itu, sekalipun belakangan dengan sendirinya makin berkurang intensitasnya.

Di antara beberapa kesimpulan yang dapat saya tarik di hari-hari itu, satu yang saya pandang penting adalah minimnya pengetahuan rakyat AS mengenai dunia luar. Juga tentang dunia Islam dan kaum muslim.

Ada banyak faktor yang menyebabkan kedangkalan pengetahuan ini. Salah satunya saya duga adalah persepsi diri yang kuat bahwa AS adalah sebuah negeri dan bangsa yang besar--yang pemerintahnya telah banyak berbuat baik kepada dunia. Karena kuatnya persepsi diri itu, perhatian pada dunia luar menjadi kurang besar, dan sebagian rakyat AS jadi amat inward looking. Ini juga berimplikasi pada hal-hal kecil, seperti menentukan di mana berlibur. Karena AS adalah sebuah negeri yang wilayahnya luas, sebagian besar rakyat AS cukup berlibur di dalam negeri. Saya juga mendengar bahwa karena kurang diminati, acara-acara televisi mengenai luar negeri dikurangi jam tayangnya.

Karena faktor-faktor itu, stereotip yang umum mengenai Islam dan kaum muslim menguat bahwa Islam identik dengan Arab, bahwa jihad artinya perang bersenjata dan dengan kekerasan seperti didefinisikan Usamah dan kawan-kawannya, dan seterusnya. Banyak tetangga atau teman AS saya yang tertegun waktu saya katakan bahwa kaum muslim Melayu kini lebih besar jumlahnya dari kaum muslim Arab. Juga ketika kita membahas beberapa kebijakan AS di Timur Tengah yang sulit diterima, yang banyak mengundang kemarahan kaum muslim.

Jika ada cerita mengenai perusakan masjid atau musala di AS pascaperistiwa di atas, atau pelecehan kepada orang atau harta benda milik kaum muslim, aksi-aksi ini didorong oleh stereotip mengenai Islam dan kaum muslim itu. Pelakunya kemungkinan besar adalah rakyat AS yang cupet, cetek wawasan internasionalnya, yang marah besar karena bangsa dan negaranya yang besar dihajar di kampungnya sendiri.

Di kota tempat saya tinggal, aksi-aksi seperti ini dapat dikatakan tak terjadi. Tentu situasinya tak lagi senormal biasanya. Misalnya, bendera AS dikibarkan di depan rumah atau di mobil, yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan membuat kita ngeri, dan kaum muslimah yang berjilbab (seperti istri saya) ditatapi dengan pandangan aneh.

Tapi, alhamdulillah, dilihat dari sudut perjumpaan Islam-Barat, tragedi di atas ada juga hikmahnya. Misalnya, ekspos mengenai Islam meningkat. Kuliah umum mengenai Islam dan kaum muslim makin banyak diberikan, termasuk di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Islamic Center di kota kami beberapa kali didatangi sekelompok kalangan nonmuslim yang ingin tahu lebih banyak mengenai Islam dari tangan pertama. Ketika berkunjung ke universitas kami akhir Februari lalu, Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Nasional (UIN), hampir tak punya waktu untuk beristirahat karena harus memenuhi undangan ceramah mengenai Islam dari satu ke lain tempat.

Secara tak sengaja, peristiwa tragis itu membuka peluang bagi lebih banyak lagi rakyat AS untuk mengenal Islam dan kaum muslim. Mereka dipaksa untuk keluar dari tempurung mereka, dan menemukan dunia yang lebih besar dari sekadar AS.

Saya teringat lagi kesimpulan di atas ketika baru-baru ini membaca tulisan Michael Vatikiotis di Far Eastern Economic Review (27 Juni 2002) mengenai pesantren Ihyaus Sunnah, yang didirikan di Yogyakarta pada 1994 oleh Ja`far Umar Thalib, pemimpin Laskar Jihad. Sudah sering dikatakan bahwa moderasi adalah salah satu ciri Islam di ranah Melayu. Tapi, di pesantren ini, tradisi itu bisa dengan gampang dipatahkan.

Sekalipun lokasinya memungkinkan ekspos para santri ke dunia luar, sumber dana, sifat pengajaran, dan paham keislaman yang dikembangkan di pesantren itu membuat para santrinya berada dalam katak dalam tempurung--seperti sebagian rakyat AS yang saya ceritakan di atas. Hanya Ja`far dan kolega dekatnya yang tahu dari mana dana pesantren itu diperoleh, dan bagaimana dana itu dikelola, dan para santri didorong untuk tidak berintegrasi dengan dunia luar, yang dianggap sudah sangat tercemar. Terhadap semua ini, tak ada imbangan paham lain yang dapat memperluas wawasan para santri. Dari sini yang akan terlahir adalah para santri yang hanya tahu apa yang dicekokkan pada mereka tiap saat.

Ini kontras dengan yang ditemukan Vatikiotis di Nakhon Si Thammarat, sebelah selatan Thailand. Di situ ada sekolah Islam yang diberi nama Pondok Bantan, dengan santri sekitar 1.200 orang. Seperti rekan-rekan mereka di Yogya, mereka menghabiskan pagi hari dengan salat subuh berjemaah dan belajar agama. Tapi, di siang harinya mereka diberi pelajaran berdasarkan kurikulum sekolah Thailand biasa. Di pondok yang dipimpin Surit Pitsuwan, bekas Menteri Luar Negeri Thailand, ini tidak ada paham keislaman tertentu yang ditekankan, apalagi diwajibkan. Surin, salah satu juru bicara civil society di Thailand, lahir dan dibesarkan di pesantren ini, di mana ibunya, kini sekitar 80 tahun, masih mengajar mengaji Al-Quran.

Pendanaan yang sehat menjadi kunci keluasan wawasan pesantren ini dan percaya dirinya. Sebuah masjid baru didirikan atas bantuan dokter kaya berkebangsaan India, yang juga membiayai pembangunan beberapa kelas. Lebih dari itu, pendanaan juga datang dari negara-negara Barat. Peralatan audiovisual, misalnya, diberikan kedutaan Jerman di Bangkok. Surin percaya, negara-negara Barat perlu melibatkan diri dalam langkah mendidik generasi muslim di masa datang. “Jika fundamentalisme, ekstremisme, dan radikalisme Islam ingin dihindarkan, kesadaran global mengenai kebutuhan akan sejenis reformasi pendidikan di dunia Islam amat diperlukan,” kata Surin.

Pernyataan Surin terakhir itu mengingatkan saya akan hubungan baik yang dulu pernah dibangun antara AS dan kalangan aktivis Islam, seperti Pelajar Islam Indonesia (PII). Tokoh-tokoh Islam moderat di Indonesia banyak yang dulunya aktivis PII yang sempat menempuh program pertukaran pelajar di AS lewat American Friendship Scholarship (AFS), seperti M. Dawam Rahardjo, almarhum Tawang Alun, dan Taufik Ismail. Belakangan, program itu juga melibatkan tokoh-tokoh kita, seperti Bahtiar Effendy, selagi ia masih santri di pesantren Pabelan. Perlu penelaahan lebih lanjut mengapa program PII dan AS itu terhenti, dan belakangan PII tampil sebagai organisasi Islam yang militan dan radikal.

Kita mendengar rumor bahwa Laskar Jihad dibantu pendanaannya oleh kalangan militer tertentu yang terancam oleh reformasi negeri ini. Entah benar entah tidak, isolasi mereka jelas menjadikan mereka ladang bagi tumbuhnya radikalisme Islam. Seperti rakyat AS yang cupet dalam cerita di atas, mereka membangun kantong budaya yang hanya makin mengucilkan mereka. Itu tak berguna bagi siapa pun, juga bagi klaim Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, kecuali bagi yang memanipulasi kedangkalan mereka.[]

12/07/2002 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq