Refleksi Gugatan FPI atas Dewa - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
01/05/2005

Memaknai Simbol Agama: Refleksi Gugatan FPI atas Dewa

Oleh Agus Iswanto

kelompok band papan atas Indonesia, Dewa, mendapat gugatan dari Front Pembela Islam (FPI) yang diketuai oleh Habib Riziq. Gugatan itu soal “pelecehan terhadap Islam”. Pasalnya, dalam album terbarunya, Dewa menggunakan logo dengan simbol yang mirip kaligrafi Islam yang bertulisan nama “Allah”. Habib Riziq keberatan karena lambang itu pernah dijadikan alas panggung yang diinjak-injak saat Dewa tampil dalam suatu konsernya.

Salah satu stasiun televisi swasta negeri ini, 22 April 2005 lalu mengabarkan bahwa salah satu kelompok band papan atas Indonesia, Dewa, mendapat gugatan dari Front Pembela Islam (FPI) yang diketuai oleh Habib Riziq. Gugatan itu soal “pelecehan terhadap Islam”. Pasalnya, dalam album terbarunya, Dewa menggunakan logo dengan simbol yang mirip kaligrafi Islam yang bertulisan nama “Allah”. Habib Riziq keberatan karena lambang itu pernah dijadikan alas panggung yang diinjak-injak saat Dewa tampil dalam suatu konsernya. Lebih dari itu, logo itu juga menghiasi foto-foto para personel Dewa yang bertato.

Jika tuduhan itu benar, yakni melecehkan dan menghina Islam sebagai agama yang saya anut, saya bisa saja naik pitam. Bukan hanya umat Islam, umat agama apapun akan marah jika agama yang menjadi kepercayaan dan mereka sucikan diinjak-injak. Untungnya, emosi saya tidak sempat membabi buta tanpa proses tabayyun lebih dulu. Sebab, sikap seperti itu jelas-jelas bertentangan dengan Islam yang sangat melarang perbuatan fitnah. Kejelasan akhirnya justru saya peroleh dari tayangan yang saat itu memperlihatkan logo yang dianggap melecehkan Islam itu.

Saya lalu berpikir, logo bintang delapan yang dipakai itu, bagi saya tidak pernah bermakna apa-apa jika kita tidak mengait-kaitkan dengan Islam. Bahkan saya tidak melihat adanya kaligrafi bertuliskan nama Allah dalam logo itu. Dari sini saya menjadi jelas, tuduhan dan gugatan itu hanya kesalahpahaman belaka. Tapi bagaimanapun juga, dari kasus tersebut kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran. Dan, setidaknya ada dua pelajaran dan hikmah penting yang dapat diambil dari kasus ini.

Pertama, sebagaimana telah saya terangkan, fitnah sangat bertentangan dengan Islam. Karena itu, agar tidak terjebak fitnah, kita perlu bertabayyun dalam kasus apapun. Tabayyun atau klarifikasi dan dialog adalah penting dalam kaitannya dengan soal kerukunan umat beragama. Sebab, konflik yang bermuara pada aksi kekerasan dan anarkis, tak jarang bermula dari kesalahpahaman. Untuk mencapai kerukunan agama, sikap terbuka dan klaim kebenaran sepihak yangegois, harus jauh-jauh disingkirkan. Sikap itu perlu diganti dengan sikap terbuka, mau menerima orang dan kepercayaan lain tanpa harus memvonis benar dan salah.

Kedua, keberagamaan seharusnya juga tidak perlu terjebak dalam simbol, yang bukan substansi atau ruh agama itu sendiri. Allah telah berfirman dalam surah al-Hajj ayat 37: “Daging-daging unta dan darahnya itu, sekali-kali tidak dapat mencapai keridaan Allah; tapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” Dari ayat di atas, sudah jelas bahwa bukan materi-materi yang dijadikan penilaian kualitas ketakwaan dan kesalehan seorang. Yang menjadi pokok penilaian adalah takwa yang merupakan ruhnya. Bahwa takwa perlu dibuktikan dengan perbuatan ibadah, baik mahdhah maupun ghairu mahdhah memang benar. Tapi yang harus diingat juga, bentuk-bentuk materi fisik yang berwujud simbol itu janganlah mengalahkan pentingnya substansi dan ruh beragama. Sekumpulan simbol-simbol agama dan Alqur’an sendiri yang dapat dikatakan serangkaian tanda-tanda bahasa yang mengandung makna, tidak juga perlu membuat kita terjebak dalam jaring-jaring semiotika (tanda) itu. Simbol-simbol itu sebaiknya digunakan untuk memikirkan dan mencerna apa maksud dan makna di baliknya. Ini menegaskan bahwa selalu ada ruh di dalam daging agama.

Dalam era multireligius yang menuntut kerukunan beragama, lebih memperhatikan substansi sikap keberagamaan adalah kebutuhan yang mendesak. Kasus di atas, saya rasa hanya permasalahan simbol belaka. Dalam kasus di atas, yang digunakan kebetulan bintang delapan mirip lafaz Allah yang memang banyak digunakan dalam kaligrafi Islam. Jadi tidak salah jika itu dikatakan sebagian kecil dari simbol Islam. Tapi perlu ditegaskan kembali, pemaknaan logo itu kembali lagi berpulang pada individu yang memaknainya. Pemaknaan simbol itu sendiri adalah sebuah penafsiran. Kegiatan penafsiran sangat terkait dengan subyektivitas sang penafsir, atau sekelompok penafsir, dan lingkungan di sekitarnya. Dari sini, soal konteks sangat mempengaruhi produk penafsiran atas simbol-simbol. Dan karena tafsir adalah wilayah subyektif, maka perbedaan penafsiran adalah sebuah keniscayaan. Perbedaan penafsiran selalu ada dalam semua aspek Islam, baik di bidang fikih, akidah, sikap terhadap sains dan problem sosial.

Dalam Islam juga terdapat ajaran yang bersifat substansial dan ajaran yang sifatnya nonsubstansial. Ajaran-ajaran substansial adalah nilai-nilai universal yang menjiwai hal-hal nonsubstansial. Keduanya bersifat komplementer, tidak linear, atau bahkan bertentangan. Tidak dikatakan manusia, jika yang tersisa hanya ruh tanpa jasad, dan begitu juga sebaliknya. Namun keistimewaan simbol adalah posisinya yang arbitrer dan sangat bergantung bagaimana kita melihatnya. Karena itu, kita tidak perlu menyalahkan penilaian seseorang akan simbol-simbol tersebut. Simbol tetap saja simbol yang bisa saja diganti dengan simbol lain. Inilah dua hikmah sekaligus solusi dari kasus di atas.

Karena itu, kita tidak segan untuk saling tabayyun, sehingga dapat memahami apa yang dikehendaki seseorang terkait dengan penilaian simbol (agama) yang ia gunakan. Dua hal ini sebaiknya kita gunakan untuk mewujudkan kerukunan umat beragama di era yang plural, multietnis, dan multireligius ini. Sikap terbuka, suka berdialog, dan mau menerima kehadiran kelompok lain adalah solusi dan jalan perdamaian di tengah semaraknya konflik agama dan antar golongan. Kasus gugatan di atas, tanpa menyudutkan FPI, hanya sekadar soal salah paham dan soal beda penafsiran atas simbol-simbol yang tidak substantif. Keistimewaan agama pada hakikatnya bukan pada bentuk formal dan simbol-simbol, tapi pada nilai universal yang akan selalu beradaptasi sepanjang masa dan tempat.

Agus Iswanto, alumni Pondok Pesantren Buntet Cirebon, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 

01/05/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (20)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Allah itu gak hanya tulisan tapi di taroh di hati..., tulisan sih no problem ketimbang munafik dan fanatik kyak fpi

Posted by anou  on  07/28  at  01:26 PM

FPI itu Sok Arab dan Sok Wahabi, Padahal Negara negara Arab itu keok terus sama Israel. FPI itu takut sama Israel, tapi Pandai menghujat sesama Islam. Jangan jadi Pengecut, Kalau berani berangkatlah ke Tepi Barat, nggak usah bikin ulah di Indonesia, Ini Indonesia Bung, Pancasila yang memberi Kebebasan Beragama dan Berekspresi. Kalau FPI Jago bener, datanglah ke Tapal Kuda,.....

Posted by sakerah  on  12/19  at  08:53 AM

Jangan bawa2 nama Islam di masalah ini. TITIK! Jangan bawa2 agama, jangan bawa2 lambang TUHAN, pokoknye FPI, jangan ikut campur! Lambang yg Dhani n co pakai untuk album and seterusnya adalah hak Dhani n co. APA LOGO TERSEBUT DI COPYRIGHT???  Kita hidup di jaman apa, man? Jaman nabi? Pikir donk pake otak, modern lah! Pikirkan solusi untuk hal2 yg lebih penting dari pada masalah lambang, seperti masalah ekonomi, masalah buruh dan lain2. Emangnya kita ini hidup di jaman Islam-Komunis, yg segalanya harus mengikuti aturan agama? DEWA is DEWA! MUI saja tidak suruh cabut lambang tersebut. Mundurlah FPI, jangan malu2in, tau!
-----

Posted by CAKRA KUNTORO  on  05/20  at  09:06 AM

Seorang pujangga arab mengatakan al-ism yadullu ‘ala musamma, sebuah nama menunjukkan kepribadian dari nama tsb. Sebagaimana yg kita ketahui bahwa Rasulallah s.a.w mempunyai simbol/lambang yg beliau sukai baik itu disegi warna, jenis jubbah, cincin, dsbg. Tentunya tdklah rasulallah s.a.w memilih hal tsb kecuali disitu ada makna yg tersembunyi yang harus direnungkan dan diamati. Oleh karna itu kita jgn menganggap remeh lambang/simbol. Di dlm hadist rasul s.a.w pernah bersabda: tdk lah lafd Allah tergeletak diatas bumi kecuali Allah akan mengutus seorang walinya yg akan menyelamatkan lafdz tsb (HR Abi Daud).

Posted by boim  on  05/14  at  12:05 AM

Benar sekali, Asma Allah bukan sekadar lambang. dari namanya saja Allah sudah memiliki arti yang SANGAT SUPER EXTRA Luas sehingga masih banyak rahasia yang terpendam. Namun kita sebagai muslim-muslimah yang beriman wajib yakin disetiap kita menyebut nama-Nya, pasti Allah Mendengarkan Hamba-Nya yang memanggil-Nya dan Allah Maha Mengetahui Segala seuatu yang kita kerjakan. Tak ada daun yang gugur yang tidak diketahui oleh Allah SWT.

Allahhuakbar…

Posted by Dzulgunar  on  03/25  at  07:03 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq