Sebuah Kearifan Untuk Paham Pluralisme - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
29/08/2005

Sebuah Kearifan Untuk Paham Pluralisme

Oleh Fajar Kurnianto

Persoalan pluralisme memang ‘layak’ diperdebatkan, baik pluralisme dalam tataran konseptual teoritis maupun pluralisme dalam tataran praksis atau kenyataan hidup umat beragama. Sebelum fatwa MUI keluar soal ini, wacana pluralisme sebetulnya sudah tumbuh seiring dengan merebaknya pemikiran liberalisme di Indonesia tahun 70-an. Nurcholish Madjid waktu itu yang menjadi ikon intelektualnya.

Perdebatan soal paham pluralisme masih terus menghangat, setidaknya, selama beberapa hari ke belakang, banyak media menyajikan tema soal pluralisme di rubrik Opini-nya. Perdebatan yang dipicu oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan haramnya paham pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme itu, memang berpotensi terus menghangat sebagai diskursus publik. Silang pendapat para pemikir keagamaan dalam tataran teoritis konseptual di satu sisi, dan dalam tataran praksis, publik juga merespon dengan nada yang berbeda, di sisi yang lain.

Persoalan pluralisme memang ‘layak’ diperdebatkan, baik pluralisme dalam tataran konseptual teoritis maupun pluralisme dalam tataran praksis atau kenyataan hidup umat beragama. Sebelum fatwa MUI keluar soal ini, wacana pluralisme sebetulnya sudah tumbuh seiring dengan merebaknya pemikiran liberalisme di Indonesia tahun 70-an. Nurcholish Madjid waktu itu yang menjadi ikon intelektualnya.

Wacana ini menjadi begitu penting dan krusial, karena terkait dengan hal penting dan sensitif, yaitu masalah teologis. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan bahwa ternyata ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agama tersebut yang paling benar. Meskipun, dalam beberapa hal, dalam kitab suci masing-masing agama ada yang menyatakan secara tersirat adanya ‘jalan lain’ di luar agamanya, yang bisa jadi juga merupakan jalan yang absah untuk dilalui dalam prosesi menuju Tuhan.

Dari sisi teologispun sebetulnya masih banyak kontroversi dan silang pendapat. Dalam Islam, misalnya, ada beberapa ayat Alquran yang secara tekstual menyatakan bahwa pluralisme merupakan sesuatu yang sah, seperti, “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, Yahudi, Nashrani, dan Shabiun, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan beramal baik, maka pahalanya ada pada sisi Allah. Tidak ada ketakutan dan tidak ada kesedihan pada diri mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 62).

Di sisi yang lain, ayat Alquranpun menyatakan secara tegas bahwa pluralisme tertolak dengan sendirinya. Kebenaran hanya ada pada agama Islam. Sementara itu, tidak ada kebenaran di luar Islam, “Sesungguhnya agama yang paling diridhai di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (Qs. Alu Imran [3]: 19). Selain itu, ada juga ayat, “Siapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya, maka agama itu tidak akan diterima oleh Allah. Di akhirat, ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.” (Qs. Alu Imran [3]: 85). Kedua model ayat di atas menurut masing-masing pihak yang pro maupun kontra soal pluralisme, menjadi justifikasi teologis. Dengan kata lain, ada landasan konkret dalam kitab suci firman Tuhan sendiri. Konsekuensinya, kedudukan paham pluralisme adalah sama absahnya dengan kedudukan pahan anti-pluralisme. Dengan demikian, paham pluralisme sendiri sebetulnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dilarang. Pluralisme, salah satunya, adalah juga hasil dari pembacaan terhadap teks-teks suci.

Selain itu, pemahaman akan Tuhan itu sendiri juga masih berpotensi memunculkan diskursus yang panjang. Ibnu Arabi, misalnya, ketika mencoba memahami Tuhan, ia menemukan tiga hal penting. Pertama, Tuhan yang mutlak dalam ‘kesendirian.’ Tuhan dalam tingkatan ini tidak ada seorangpun yang dapat menjangkaunya. Hanya Dia sendiri yang tahu akan diri-Nya sendiri.

Kedua, Tuhan yang sudah tersifati. Misalnya ada sifat al-rahman, al-rahim, dan sebagainya. Teologi Asy’ariyah dalam tradisi pemikiran Islam, misalnya, mengatakan adanya 20 sifat yang ‘wajib’ bagi Tuhan dan 20 sifat yang ‘mustahil’ bagi-Nya. Ada pula yang menetapkan adanya 99 nama atau sifat (al-asma al-husna) bagi Tuhan. Dalam Kristen, paham trinitas dalam banyak hal juga terkait dengan sifat Tuhan yang mereka yakini. Dalam Hindu, banyaknya para ‘dewa’ juga merupakan representasi dari adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang mereka yakini.

Dan, ketiga, Tuhan yang telah ‘bersemayam’ dalam akal pikiran manusia. Dalam tataran ini, masing-masing manusia akan berbicara tentang Tuhan sesuai dengan apa yang ia baca dalam akalnya. Ini berpotensi besar melahirkan aneka ragam bentuk dan pola penafsiran. Tuhan yang dipahami oleh kalangan filsuf bisa jadi sangat berbeda dengan Tuhan yang dipahami oleh kalangan sufi ataupun ahli fikih. Itu semua merupakan hasil yang lahir dari sebab pergulatan pemikirannya ketika membaca teks-teks suci. Wacana pluralisme adalah salah satunya.

Pada hakikatnya, tidak ada satu manusiapun yang mampu memahami Tuhan dalam ‘realitas-Nya’ yang konkret dan hakiki secara utuh. Manusia hanya dapat mendekati Tuhan, akan tetapi tidak akan mampu menjangkau-Nya secara utuh. Al-Ghazali mengistilahkannya dengan satu ungkapan yang sangat menarik, “Semakin aku mencoba mendekat untuk memahami Tuhan, semakin aku sadar kalau aku tidak mampu memahami-Nya.” Konsekuensi logisnya, setiap manusia sejatinya sedang menuju Tuhan. Tidak ada yang dapat memastikan jalan kebenaran yang pasti dan mutlak untuk menuju-Nya.

***

Masalah kebenaran agama adalah masalah keyakinan. Kalau sudah masuk dalam tataran ini, maka sebetulnya tidak ada seorangpun yang dapat memaksakan satu bentuk keyakinan tertentu terhadap keyakinan orang lain. Walaupun para penganut agamanya mencoba merasionalisasikan agamanya, namun pada akhirnya akan pada satu kesimpulan bahwa agama adalah masalah keyakinan. Adanya agama-agama yang berbeda di penjuru muka bumi ini merupakan kata lain bahwa keyakinan manusia sejatinya memang berbeda-beda.

Pada hemat penulis, wacana pluralisme yang kembali menghangat saat sekarang ini sudah selayaknya disikapi dengan arif dan bijaksana oleh siapapun. Karena, sama halnya dengan wacana-wacana yang lainnya, pluralisme juga berpotensi akan ‘tergantikan’ dengan wacana-wacana lain yang lebih ‘aktual.’ Sudah cukup, agama dijadikan sebagai keyakinan diri terdalam setiap individu yang meyakini keberadaan Tuhan yang takan bisa terjangkau secara utuh. Anggapan tentang adanya kebenaran yang juga ada pada agama-agama yang lain, oleh karena itu, tidak saja layak dihormati, namun juga mesti diapresiasi dalam bentuk kerja sama yang konkret dan bernilai positif bagi umat manusia secara menyeluruh.

Sisi positif paham pluralisme jangan sampai terlupakan. Paham pluralisme, hingga saat sekarang ini, cenderung dilihat dari sisi teoritis konseptual semata. Maka, wacana yang berkembang kurang melihat realitas yang berimbas dari paham pluralisme itu sendiri. Pluralisme, dari segi positifnya, jelas menawarkan adanya toleransi yang tinggi pada setiap umat beragama. Masing-masing mereka akan menghormati agama lain.

Pluralisme agama juga memberikan nilai-nilai positifnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pluralisme jelas mengakomodir pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, hak dan kebebasan beragama, diberikan tempat yang sangat luas. Maka, dalam konteks ini, paham pluralisme agama hendaknya tidak disikapi dengan model berpikir yang arogan dan otoriter. Arif dan bijaksana adalah kata akhir untuk paham apapun, termasuk paham pluralisme itu sendiri.

Fajar Kurnianto, Peneliti di The Higher Institute of Hadith Sciences, Jakarta

29/08/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Meluruskan penafsiran bapak Fajar (penulis artikel) dan bapak Sarwanto (comment #2) saat menggunakan ayat dari Qs. Al-Baqarah [2]: 62.

Menurut tafsir Ibn Katsir, bahwa ayat Al-Baqarah 62 tersebut sebetulnya menunjukkan bahwa Waraqah bin Naufal (Saudara Khadijah R.A.) yang didatangi Rasulullaah SAW ketika beliau menerima wahyu pertama, adalah golongan orang Nasrani yang
beriman kepada Allah dan Nabi-Nya (bukan mengimani Isa A.S. sebagai anak Tuhan) adalah SALAH SATU orang yang dimaksud dalam ayat tersebut.

Oleh sebab itu, ayat tsb mengatakan bahwa Pahala di sisi Allah akan didapatkan oleh ke-4 golongan ummat (Beriman, Nasrani, Yahudi, dan shobi’in) jika mereka BERIMAN kepada ALLAH dan HARI AKHIR, serta BERAMAL SHOLEH.

Nah beriman kepada ALLAH jelas adalah ALLAH sebagai TUHAN YANG SATU, tidak ditafsirkan selain itu. Sebab keseluruhan Al-Qur’an juga menjelaskan tentang ke-ESA-an TUHAN yaitu hanyalah ALLAH SWT yang AHAD (Qs.Al-Ikhlas).

Kaidah mafhum mukholafah (kaidah sebaliknya) pun berlaku, yaitu ke-4 golongan tsb tidak akan mendapatkan ganjaran/pahala di sisi Allah SWT jika tidak BERIMAN kpd ALLAH SWT.

Dan kita tau bahwa golongan Nasrani dan Yahudi saat ini bukanlah golongan ummat yang beriman kpd Allah sebagai Satu-satunya TUHAN.

Jadi ayat tsb tidak memperkuat paham pluralisme.
---

Posted by G. Prawira  on  01/10  at  05:41 AM

Assalamualaikum Wr wb Saya juga sangat setuju dengan pendapat bapak Fajar Kurnianto dan bapak Imam Rozi, saya baru saja menghadiri pertemuan dengan orang orang Malaysia dan mereka juga mengedepankan pluralisme. Mereka yakin sekali bahwa negaranya akan maju bila pluralisme bisa diterima dinegaranya.  Kalau negara Indonesia tidak bisa menerima pluralisme, siapa yang mau datang ke Indonesia untuk inves ataupun sebagai turis.

Semoga muslim di Indonesia bisa memisahkan dirinya antara beragama dan bernegara, negara negara tetangga sudah mulai menuju kemajuan setelah krisis ekonomi, akan tetapi negara kita entah maju atau mundur??? Kalau dilihat dari cara berpikir para pemimpin agamanya (yang katanya akan dijadikan panutan itu) keliahatannya bukan kemajuan yang akan dicapai, tapi kemunduranlah kelihatannya yang akan dicapai.

Semoga JIL bisa bertahan terus untuk kemajuan negara dan bangsa Indonesia walaupun harus dibayar sangat mahal. Percayalah bahwa tekad dan kerja kerasnya JIL selama ini pasti sudah membuahkan sesuatu yang terbaik bagi negara tercinta ini.
-----

Posted by Munir Sjaf  on  09/17  at  05:09 AM

Semoga kita bisa menerima perbedaan yang ada di indonesia. Bravo Alaik....

Posted by imam rozi  on  09/16  at  12:10 PM

Pluralisme, ajaran agama yang harus terus diperjuangkan. Tuhan berfirman “...siapa yang beriman kepada Tuhan dan akhirat serta beramal baik maka pahalanya disisi Tuhan...” Atas dasar ayat ini, siapapun orangnya, apapun agamanya selama beramal baik maka Tuhan akan menerimanya. Disini, Tuhan menegaskan bahwa Dia adalah milik segala agama dan milik semua manusia yang memperjuangkan kebaikan dan kebenaran.

Wahyu Tuhan bukanlah bentuk agamanya, melainkan nilai ajarannya. Nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, perdamaian dan lain sebagainya adalah inspirasi (wahyu) Tuhan yang tidak bisa dibantah.

“Islam” merupakan penerjemahan kreatif Muhammad sesuai potensi dan bahan baku yang tersedia pada diri dan masyarakatnya. Begitu pula dengan “agama-agama” yang lain, tak pernah lepas dari kreativitas para nabi masing-masing. Dengan begitu, agama bersifat sangat-sangat historis. Selanjutnya, tentu agama memiliki “konsep kebenaran” sendiri-sendiri yang terbingkai dalam nilai-nilai dasar itu.

Tak diragukan lagi, pluralitas kebenaran agama-agama, sesungguhnya “ide kreatif” Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, MUI yang mengharamkan pluralisme tentu bertentangan dengan “fatwa” Tuhan diatas.

Justru, pluralisme agama (semua agama benar) adalah konsep cerdas yang akan mampu “menjembatani” dialog lintas agama bahkan kekaryaan agama yang lebih luas dan bebas, akhirnya kemajuan bersama akan terwujud. Jadi, hapuskanlah kesombongan beragama, jangan-jangan agama yang kita anggap sesat ternyata lebih baik dari agama yang kita yakini. PLURALISME...itulah PRINSIP dan Cita-cita KITA-BERSAMA…

Posted by Sarwanto  on  09/04  at  08:10 PM

Mengenai ayat Al-Qur’an yang terkesan kontradiktif, sebenarnya apabila diambil substansinya, saling mendukung satu dengan yang lainnya.

Sebagai contoh, ada ayat yang menyatakan bahwa barangsiapa yang memilih agama selain Islam akan merugi. Disini saya setuju dengan pendapat Ulil bahwa Islam adalah “nilai generis” yang bisa terkandung dalam berbagai Agama seperti Nasrani, Yahudi, Budhisme, dsb. Bahkan bisa jadi kebenaran Islam terdapat dalam filsafat Marxisme. Dan nilai-nilai Islam tersebut, secara substantif, antara lain adalah keadilan, perlindungan terhadap hak milik, dll. Jadi menurut saya yang dimaksud ayat tsb dengan kalimat “mengambil agama selain Islam” adalah dengan mengambil nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai substantif Islam seperti berbuat kezaliman, berbuat kerusakan, mengambil yg bukan haknya dsb.

Sedangkan ayat lain yang mengatakan bahwa kaum Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in yang beriman pada Allah dan beramal baik maka pahalanya disisi Allah, dan tak ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka. Menurut saya yg dimaksud disini adalah mereka yang secara substansial menjalankan nilai-nilai Islam, walau secara penampakan (nama ajaran, baju, forma dan ritual) mereka sangat berbeda.

Karena itu apabila agama Islam ditafsirkan secara literal, kaku dan non-kritis hanyalah akan menimbulkan permusuhan antaragama, bahkan antar pemeluk agama yg sama namun beda penafsiran. Apabila kaum fundamentalis mengatakan sesuatu mengenai ajaran Islam, sebenarnya yang mereka sebut ajaran Islam itu hanyalah penafsiran mereka akan ajaran Islam, namun mereka mengklaim penafsiran tersebut sebagai firman Tuhan yang sesungguhnya. Bukankah tak ada yang mengetahui Tuhan selain Tuhan sendiri???

Posted by Haryo S. Pinandito  on  08/31  at  08:10 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq