Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
31/03/2010

Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini

Oleh Ulil Abshar Abdalla

Secara harafiah, khalaf berarti era kontemporer, atau periode belakangan yang datang setelah periode terdahulu, periode “salaf”. Khalafisme adalah cara pandang keagamaan yang menghendaki agar pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Kata kunci pokok dalam khalafisme bukanlah “kembali kepada Quran dan sunnah”, tetapi memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus berubah. Khalafisme tidak menolak Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual.

Berkebalikan dari diagnosis sejumlah sarjana modern selama ini, daya tahan agama dalam masyarakat modern ternyata jauh lebih kuat dan kenyal ketimbang yang disangkakan sejauh ini. Tesis sekularisasi yang selama ini kita kenal, yakni, bahwa makin modernisasi berkembang jauh dalam suatu masyarakat, agama akan makin tersingkir jauh dari lanskap kehidupan sosial, pelan-pelan dibuktikan salah oleh perkembangan sosial akhir-akhir ini. Alih-alih agama tersingkir dari gelanggang kehidupan umum, ia justru bangkit kembali dan menampakkan vitalitas yang jauh lebih kuat akhir-akhir ini. Di hampir seluruh sudut dunia saat ini, kita menyaksikan kembalinya agama, entah dalam bentuknya yang tradisional sebagai sebuah spiritualitas yang terlembaga, atau dalam bentuknya yang baru sama sekali, yakni spiritualitas yang tak terlembaga. Entah dalam bentuknya yang bersifat khusus, yaitu agama sebagai sebuah tindakan “belonging” (yakni, menjadi anggota dalam komunitas tertentu), atau yang bersifat umum, yaitu agama sebagai sebagai tindakan “believing” (yakni, iman yang tanpa disertai dengan keanggotaan dalam komunitas tertentu), agama telah mununjukkan daya hidupnya kembali dan hadir secara persisten dalam masyarakat yang sudah mengalami proses modernisasi begitu jauh.

Saat ini, kembalinya agama dalam gelanggang sosial-politik modern sudah merupakan fakta yang tak bisa ditolak lagi. Ketimbang mengumandangkan kembali “nostalgia pencerahan” lama dan berharap agama bisa dipaksa kembali masuk ke dalam ruang privat dan tidak mengganggu kehidupan umum, lebih baik kita menghadapi fenomena ini dengan sikap positif tetapi sekaligus juga kritis. Positif, dalam pengertian bahwa kita menerimanya sebagai fakta sosial yang tak mungkin lagi ditolak lagi, seraya mengusahakan agar kembalinya agama itu tetap sinkron, dan tidak antagonistik, dengan format kelembagaan sosial-politik yang sudah menjadi hasil konsensus sosial bersama. Kritis, dalam pengertian bahwa kita harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya agama itu.  Sebagaimana kita lihat selama ini, fenomena kebangkitan agama bukanlah peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif. Di sana, ada ekses-ekses negatif yang menyertainya. Hal semacam ini disadari bukan saja oleh mereka yang skeptik pada agama, tetapi mereka yang justru bertanggung-jawab atas kebangkitan itu. Seorang ulama yang selama ini dianggap sebagai “ideolog” dan pemikir penting di kalangan generasi baru Muslim yang lahir dari fenomena kebangkitan agama ini, yakni Dr. Yusuf Qardlawi, bahkan sejak dini sudah mengingatkan adanya ekses-ekses negatif dari fenomena kebangkitan agama ini.

Dengan sikap positif dan sekaligus kritis ini, saya mengajak anda sekalian untuk melakukan refleksi atas sejumlah gejala kebangkitan agama di masyarakat kita saat ini, apa dampak positif yang bisa muncul dari sana, apa ekses negatif yang harus dihindari, dan apa sumbangan yang bisa kita harapakan dari fenomena itu untuk memperkuat proses konsolidasi demokrasi yang sekarang sudah berlangsung di tanah air ini. Saya juga ingin mengajak anda sekalian untuk menelaah dengan cermat sejumlah variasi-variasi dalam gejala kebangkitan agama ini. Apa yang saya sebut sebagai fenomena kebangkitan agama ini bukan semata-mata kebangkitan agama tradisional dalam bentuk menguatnya lembaga-lembaga keagamaan yang dulu ada, lalu sempat memudar sejenak karena proses-proses modernisasi di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya kembali muncul ke permukaan.  Apa yang saya sebut dengan kebangkitan agama ini mengambil bentuk yang bermacam-macam, dan sebagai fenomena sosial, ia jelas sangat rumit.  Salah bentuk kebangkitan itu bukan saja munculnya kesadaran “primordial” untuk mengikatkan diri kembali kepada lembaga-lembaga keagamaan yang sudah ada, tetapi juga usaha untuk menafsirkan kembali agama dalam semangat yang lebih sesuai dengan perkembangan yang ada. Dengan kata lain, kebangkitan agama bukan saja mengambil bentuk-bentuk yang selama ini sudah kita kenal, yaitu bentuk tradisionalisasi (yakni, kebangkitan dalam bentuk kembali kepada lembaga-lembaga keagamaan tradisional yang ada – misalnya, kembalinya praktek-praktek ritual lama ke tengah-tengah masyarakat kota, seperti tahlil, pembacaan barzanji, ratib, atau salawat), dan revivalisme (kembalinya agama dalam bentuk ideologisasi agama sebagai landasan untuk perjuangan politik). Sekali lagi, kebangkitan itu tidak saja mengambil dua bentuk di atas, tetapi juga bentuk-bentuk lain yang lebih rumit, yakni munculnya praktek-praktek spiritualitas baru yang berbasis pada spritual yang sudah ada, atau bentuk lain yang selama ini menjadi bahan kontroversi di tengah-tengah masyarakat Islam, yaitu gerakan “reformasi dari dalam” (reform from within). Munculnya pemikir dan teolog Muslim kritis yang mencoba melakukan pembacaan ulang atas tradisi Islam lama di dalam kontek perubahan yang ada, menurut saya, adalah bagian dari kompleksitas fenomena kebangkitan Islam itu. Dengan kata lain, munculnya corak-corak pemikiran baru seperti Islam liberal dan Islam progresif dengan selurh varian pendekatannya yang beragam adalah bagian dari fenomena kebangkitan tersebut. Upaya sebagian sarjana, pemikir dan aktivis Muslim untuk menghadapkan tradisi Islam dengan perkembangan modern di bidang teori-teori filsafat dan ilmu sosial mutakhir adalah bagian dari bentuk kebangkitan itu.

Saya ingin melihat kebangkitan di sini dalam dua arahnya sekaligus. Pertama, kebangkitan yang mengambil bentuk “kembali” kepada apa yang sering dianggap sebagai masa lampau yang “pristin”, suci dan asli, atau kepada suatu Tradisi dengan “T” besar yang dianggap mewakili suatu bentuk model keagamaan yang relatif ideal dan sempurna. Kedua, kebangkitan yang mengambil bentuk reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Baik salafisme yang menoleh ke belakang, atau “khalafisme” atau kontekstualisme yang melihat saat ini dan ke depan adalah dua bentuk kebangkitan Islam yang sah. Kesalahan fatal, entah di antara pengamat Islam atau aktivis Muslim sendiri selama ini adalah meninjau kebangkitan Islam semata-mata dari aspek “kembali ke masa lampau”. Seolah-olah yang pantas disebut sebagai kebangkitan Islam adalah gerak kembali kepada Quran dan sunnah, kepada generasi salaf atau kuno yang diandaikan terbebas dari segala bentuk korupsi ajaran.  Sementara itu gerak yang mengarah ke masa kini, meninjau kembali ajaran-ajaran agama dalam terang zaman ini, tidak dianggap sebagai bagian dari kebangkitan agama, bahkan dianggap sebagai bentuk “penyimpangan”. Anggapan semacam ini jelas sama sekali kurang tepat.

Saya melihat bahwa baik salafisme dan khalafisme, baik gerak menoleh ke masa lampau atau melihat masa sekarang, harus berjalan bersama-sama secara simultan. Di sinilah, saya ingin mengemukakan sejumlah kekurangan yang mendasar dalam salafisme. Sebelum saya bergerak lebih jauh, saya ingin mendefinisikan salafisme bukan semata-mata sebagai gerakan yang kembali kepada Quran dan sunnah yang cenderung menjauhi tradisi mazhab. Salafisme saya mengerti secara lebih luas sebagai gerakan untuk kembali ke “teks lampau”, baik dalam bentuk Quran, sunnah, tradisi para sahabat atau sesudahnya, atau pun teks-teks para pendiri mazhab yang sudah kita kenal selama ini – Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Baik gerakan yang semboyannya adalah kembali kepada Quran dan sunnah, seperti gerakan Wahabisme, atau salafisme moderat ala Muhammad Abduh, atau gerakan kembali kepada tradisi mazhab seperti tercermian dalam kelompok-kelompok Islam seperti Nahdlatul Ulama, secara umum ingin saya golongkan kedalam arus besar salafisme. Saya tahu, penggolongan semacam ini boleh jadi akan ditentang oleh kelompok tertentu yang melihat itu sebagai generalisasi yang bermasalah.

Tanpa mengingkari sejumlah sumbangan positif yang dibawa oleh gerakan salafisme selama ini, antara lain semangat untuk kembali secara konsisten kepada Quran dan sunnah (ide yang tidak seluruhnya salah, sebetulnya, bahkan merupakan imperatif yang tak bisa ditolak oleh semua umat Islam), ada sejumlah kelemahan mendasar dalam gerakan ini. Kelemahan pertama adalah adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran dari masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat saat ini. Gerakan ini sama sekali tidak atau kurang menyadari adanya kaitan yang tak terelakkan antara teks dan konteks yang membentuknya; suatu teks selalu lahir karena menjawab konteks tertentu. Saat konteks itu berubah, maka dengan sendirinya teks itu juga harus dipahami ulang. Para juris atau ahli hukum Islam dengan baik merumuskan hal ini sebagai “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminat wa al-amkan,” perubahan hukum karena perubahan konteks spatio-temporal. Prinsip hukum yang sangat baik ini, sayangnya, tidak diterapkan secara konsisten dan komprehensif oleh para sarjana Islam sendiri.

Memang yang menjadi pertanyaan banyak kalangan adalah: apakah teks “suci”, yaitu Quran dan sunnah, juga harus dipahami ulang jika keadaan berubah? Bukankah dua teks itu merupakan fondasi pokok keberagamaan seorang Muslim? Bukankah kita harus tunduk kepada keduanya tanpa sikap “reserve” apapun sebagaimana menjadi tuntutan dalam sebuah ayat yang terkenal dalam Surah al-Ahzab (QS 33:36)? Tentu saja, pemahaman atas teks suci itu harus terus berubah sesuai dengan perkembangan kedewasaan masyarakat yang juga terus berubah. Yang menjadi masalah adalah adanya kecenderungan yang makin kuat di tengah-tengah masyarakat kita di mana teks Quran dan sunnah diapandang sebagai “penyetop perbincangan”, conversation stopper. Ini adalah gejala yang jelas berhubungan dengan mind-set yang berkembang kuat di kalangan salafisme, yakni, bahwa Quran dan sunnah menjadi “palu” terakhir yang menentukan kata putus dalam segala masalah. Begitu Quran dan sunnah mengatakan A, maka dengan sendirinya seluruh perdebatan dan perbincangan akan selesai. Oleh karena itu, kita sering melihat suatu pemandangan yang sangat umum di kalangan umat Islam di mana semua pihak berlomba-lomba memeragakan kutipan dari Quran dan sunnah, seolah-olah kutipan itu akan menyelesaikan diskusi yang sedang berlangsung. Kecenderungan menjadikan Quran dan sunnah sebagai “penghenti perbincangan” ini sama sekali bukanlah perkembangan yang sehat.

Bahwa Quran dan sunnah menjadi fondasi keberagamaan seorang Muslim, jelas tidak bisa kita sanggah. Kita semua, sebagai anggota dari komunitas beriman yang disebut dengan “ummah”, tunduk pada Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif. Masalahnya bukan di sana, tentunya. Sumber otoritatif itu bisa dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Orang-orang dengan mind-set salafisme kurang menyadari bahwa teks suci mengandung banyak kemungkinan penafsiran. Ataupun kalau mereka menyadari kemungkinan banyak tafsir, mereka berusaha untuk meredam multisiplitas teks suci dengan cara menyederhanakan keragaman tafsirnya agak sederhana dan seragam. Mentalitas penyeragaman inilah yang mendasari cara berpikir kaum salafis di mana-mana. Dari sanalah kita bisa memahami kenapa timbul usaha-usaha untuk menegakkan semacam tafsir tunggal yang dianggap paling absah yang dipertahankan kerapkali “at all cost”. Tafsir-tafsir yang menyimpang dari tafsir-tunggal-absah itu dianggap sebagai sesat dan harus disingkirkan sebisa mungkin.

Kelemahan kedua dalam salafisme adalah anggapan bahwa sebuah teks adalah terang-benderang. Inilah prinsip hermeneutis yang dikenal sebagai “perspicuitas”. Prinsip ini menganggap bahwa kurang lebih seluruh teks Kitab Suci bersifat terang-benderang, tidak mengandung ambiguitas apapun yang membutuhkan kegiatan penafsiran yang rumit. Teks suci bisa berbicara tentang dirinya sendiri tanpa bantuan seorang penafsir. Tentu saja, kalangan salafis tidak menolak kegiatan penafsiran, tetapi mereka agak curiga padanya. Kegiatan penafsiran, terutama aspek penafsiran yang dalam tradisi Islam klasik disebut dengan ta’wil (penafsiran yang tidak harafiah, penafsiran yang alegoris), cenderung dipandang oleh kalangan salafis dengan mata kecurigaan. Ini yang menjelaskan penolakan yang begitu gigih di kalangan sebagian kalangan Islam terhadap penerapan teori penafsiran yang datang dari tradisi filsafat hermeneutika. Salah satu argumentasi mereka adalah bahwa teori itu berasal dari tradisi penafsiran non-Quranik. Dengan kata lain, teor hermeneutika bukanlah teori “pribumi” yang berasal dari tradisi penafsiran Islam sendiri, dan karena itu harus ditolak. Argumentasi lain adalah bahwa teori itu berasal dari tradisi penafsiran Alkitab dalam lingkungan Yahudi dan Kristen. Argumen-argumen itu, walau tak seluruhnya salah, mengabaikan sama sekali fakta bahwa perkembangan teori penafsiran “pribumi” dalam tradisi Quran bukan sepenuhnya berasal dari tradisi Islam sendiri, sebaliknya ada pengaruh dari luar juga. Kekayaan khazanah Islam, termasuk di dalamnya adalah khazanah penafsiran Quran, diperkaya oleh pelbagai sumber-sumber dari luar.

Kelemahan ketiga dalam salafisme adalah adanya kecenderungan ke arah “absolutisme penafsiran”. Kalau boleh, perkenankan saya memakai istilah “otoritarianisme hermeneutik”, artinya kecenderungan untuk menganggap bahwa hanya ada satu jenis penafsiran yang dianggap absah, absolut dan paling otoritatif. Kecenderungan ini membawa akibat samping yang negatif dalam kehidupan sosial. Sekarang ini, muncul gejala di tengah-tengah masyarakat di mana gampang sekali suatu golongan, mazhab, atau sekte disesatkan hanya gara-gara berbeda dengan pandangan ortodoks yang dianggap paling benar. Ada sebuah buku yang terbit dan beredar di tengah-tengah masyarakat, berisi daftar aliran-aliran dan golongan sesat yang berkembang di Indonesia. Situasi ini menciptakan keadaan di mana masyarakat dibuat takut untuk berhadapan dengan gagasa-gagasan baru dalam bidang sosial-keagamaan. Ada kekhawatiran jangan-jangan gagasan baru itu menyimpang dari ajaran yang benar dan karena itu “sesat”. Meskipun tidak ada “inkwisisi agama” di negeri kita saat ini, tetapi situasi yang muncul saat ini jelas mengarah kepada situasi serupa yang tercipta karena adanya inkwisisi, yaitu ketakutan akan sebuah gagasan baru dalam bidang keagamaan.

Dengan tiga kelemahan di atas, salafisme, menurut saya bukanlah pilihan yang ideal, meskipun saya menghormati sepenuhnya mereka yang menganut cara pandang seperti itu. Dalam pandangan saya, kebangkitan agama tidak semata-semata bisa diterjemahkan melalui bentuk salafisme. Ada bentuk lain yang ingin saya sebut sebagai “khalafisme”, dari kata “khalaf” yang merupakan kebalikan dari “salaf”. Secara harafiah, khalaf berarti era kontemporer, atau periode belakangan yang datang setelah periode terdahulu, periode “salaf”. Khalafisme adalah cara pandang keagamaan yang menghendaki agar pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Kata kunci pokok dalam khalafisme bukanlah “kembali kepada Quran dan sunnah”, tetapi memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus berubah. Khalafisme tidak menolak Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual. Munculnya para pemikir Muslim yang menyebut diri mereka sebagai liberal dan progresif, menurut saya, masuk dalam kecenderungan yang kedua ini. Mereka bukanlah kelompok yang hendak membatalkan sama sekali otoritas teks suci atau meninggalkan sama sekali tradisi. Mereka adalah orang-orang yang seraya loyal pada tradisi, tetapi terus berusaha untuk memahami tradisi itu dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Sarana untuk melakukan hal itu sudah tersedia dalam khazanah tradisi kita sendiri, yaitu “ijtihad”, yakni penalaran rasional atas diktum-diktum dalam teks suci untuk menjawab persoalan kontemporer yang tak pernah muncul dalam generasi lampau.

Kaum “khalafis”, jika kita boleh mekakai istilah itu, menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar sebagai berikut: bagaimanakah kita, sebagai seorang Muslim, bisa tetap taat pada tradisi kita, pada teks-teks suci yang ada, pada sumber-sumber otoritatif yang dianggap ilahiah, seraya tidak kehilangan relevansi dengan keadaan yang terus berubah? Apakah firman Tuhan harus dianggap seperti “es batu” yang dipaksa terus membeku, tidak boleh mencair karena “cuaca” yang sudah berubah? Bagaimana seorang Muslim bisa mengabaikan perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan masyarakat modern dalam memahami ajaran-ajaran agamanya? Bagaimana kita bisa menerapkan hukum syariat, misalnya, dalam konteks politik, sosial, dan budaya yang sudah berubah tanpa melakukan penafsiran ulang atas hukum itu? Apakah kita bisa menerapkan apa yang selama ini dianggap sebagai hukum Tuhan seraya mengabaikan konvensi-konvensi internasional yang disepakati oleh bangsa-bangsa, misalnya konvensi tentang kebebasan sipil? Apakah kita masih tetap bertahan dengan diktum dalam Quran bahwa seorang suami boleh memukul isteri (QS 4:34), sementara kita sekarang memiliki hukum yang melarang kekerasan dalam rumah tangga? Apakah kita masih tetap bertahan pada hukum lama bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan menjadi seorang pemimpin (berdasarkan sebuah hadis la yuflihu qaumun wallau imra’atan – bangsa yang menyerahkan kepemimpinan kepada seorang perempuan, mereka tak akan sukses), sementara keadaan sudah berubah secara drastis, di mana kesempatan pendidikan terbuka luas bagi perempuan, di mana perempuan mencapai prestasi yang tak jauh berbeda dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang? Apakah kita masih harus mempertahankan diktum lama bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk menjabat tangan seorang perempuan non-muhrim hanya karena ada sebuah hadis yang melarang tindakan semacam itu? Kenapa hukum semacam itu masih harus dipertahankan? Apa “rationale-“nya? Apakah alasan yang mendasarinya? Apakah alasan itu masih relevan hingga sekarang? Intinya: apakah hukum-hukum agama yang memperlakukan perempuan secara disksriminatif masih tetap harus kita pertahankan, semata-mata karena hukum itu berasal dari Tuhan?

Apakah orang-orang yang berbeda dari kita dari segi agama, mazhab, pemikiran harus kita anggap kafir, syirik, sesat, dan sebagainya? Apakah sebutan-sebutan semacam itu masih relevan saat ini? Apakah sikap-sikap kecurigaan atas agama lain yang dijustifikasi berdasarkan ayat-ayat tertentu dalam Quran (misalnya QS 2:120) masih relevan kita pertahankan sekarang? Kenapa kita tidak meng-highlight contoh-contoh tindakan Nabi yang memperlihatkan dengan jelas etos toleransi dan pluralisme, seperti misalnya Piagam Madinah? Kenapa pernikahan beda agama dilarang? Apa alasan yang mendasari larangan itu? Apakah alasan tersebut masih relevan sekarang ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas tidaklah terhindarkan bagi seorang Muslim modern. Para pemikir Muslim liberal dan progresif yang bergerak dalam tradisi khalafisme sebetulnya ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh berdasarkan sumber-sumber tekstual, tradisi, dan konteks yang terus berubah. Jika hukum-hukum agama dipandang sebagai ketentuan yang telah selesai dan tidak boleh diutak-utik, maka kita akan dihadapkan pada jalan buntu, pada dead-end. Opsi yang ditawarkan oleh kaum salafis memang tampak menarik: Tuhan adalah Maha Tahu, dan Ia lebih tahu hukum-hukum apa yang tepat untuk mengatur kehidupan manusia. Tugas manusia sebagai hamba bukanlah mengutak-atik hukum itu, tetapi melaksanakannya dengan “sendiko dhawuh”, tanpa mempersoalkannya sama sekali. Bukanlah fondasi agama, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Kierkegaard adalah “loncatan iman”, leap of faith? Berhadapan dengan hukum-hukum Tuhan itu, manusia tak ada pilihan lain kecuali patuh saja. “Dan tidak ada pilihan lain bagi seorang Muslim laki-laki dan perempuan manakalah Allah dan RasulNya telah memutuskan sesuatu (kecuali menaatinya),” demikian penegasan sebuah ayat dalam Quran (QS 33:36).

Opsi kaum salafis itu, di permukaan, memang tampak masuk akal. Tetapi, jika kita telaah lebih jauh, maka cara-pandang semacam itu jelas mengandung banyak kelamahan mendasar. Pertanyaan yang harus diajukan kepada kaum salafis itu adalah: apakah Tuhan menegasikan sama sekali kedudukan manusia sebagai subyek yang otonom, subyek yang berpikir dan memiliki kehendak serta pikiran? Dalam Islam kita kenal konsep tentang “taklif” atau “moral responsibility”, tanggung-jawab moral. Subyek hukum dalam Islam adalah orang-orang yang memiliki suatu kemampuan tertentu untuk melaksanakan tugas-tugas moral. Hanya orang-orang yang disebut sebagai “mukallaf”-lah yang bisa menyangga beban hukum. Oleh karena itu, orang-orang yang secara mental tidak sehat atau waras, tidak dianggap sebagai subyek hukum. Orang yang sedang tidur, misalnya, bukanlah dianggap sebagai subyek hukum yang layak dibebani tugas moral tertentu. Fondasi utama konsep taklif adalah “common sense”, yakni akal-sehat. Orang-orang yang memiliki akal sehatlah yang bisa menanggung suatu tugas moral. Dengan kata lain, manusia bukanlah dipandang semata-mata sebagai hamba yang pasif, tetapi subyek yang memiliki akal sehat, kehendak, dan pikiran. Salah satu “teriakan moral” (moral cry) yang dikumandangkan oleh Nabi Muhammad adalah kritikan yang keras terhadap tindakan “ikut-ikutan”, taklidisme, membebek tradisi yang ada, tanpa dipikirkan dengan akal sehat secara masak-masak. Kita bisa membaca hal itu dalam banyak ayat di Quran (QS 2:170, 31:21). Kalau kita telaah semangat utama yang dikemukakan Nabi pada masa-masa awal karirnya sebagai seorang guru moral adalah undangan untuk memakai akal sehat, dan menghindarkan diri dari sikap konformisme, ikut kepada tradisi yang ada tanpa sikap kritis. Di sini, jelas, kedudukan manusia sebagai subyek yang berpikir dan berkehendak sangatlah penting sekali.

Sikap kaum salafis yang meminta kita semua untuk menjadi subyek pasif di hadapan hukum Tuhan, seraya mengatakan bahwa Tuhan lebih tahu segala hal yang terbaik bagi manusia, jelas permintaan yang, menurut saya, sangat kelewatan dan sama sekali “counter intuitive”, bertentangan dengan akal sehat kita. Gagasan yang hendak dibawa oleh kalangan Muslim khalafis, bukan salafis, adalah bahwa kita bisa tunduk pada hukum Tuhan seraya tetap mempertahankan diri kita sebagai subyek yang berpikir, berkehendak, dan mampu untuk mencari dasar-dasar “ratio legis” bagi hukum-hukum itu. Ketataan manusia pada hukum atau sunnah Tuhan sama sekali berbeda dengan ketaatan entitas-entitas lain yang nir-kehendak, seperti tetumbuhan atau mineral. Air jelas akan mengikuti hukum Tuhan (dhi. hukum alam) secara pasif, seperti dalam hukum Archimedes misalnya. Air bukanlah subyek yang berkehendak, dan karena itu ia mengikuti “nature” atau hukum alamiahnya secara sempurna tanpa penyelewengan sedikitpun. Tetapi manusia bukanlah benda alam yang nir-kehendak, bukan entitas yang pasif yang mengikuti “nature”-nya tanpa ba-bi-bu. “Nature” atau watak alamiah manusia justru pada kemampuannya untuk melakukan tawar-menawar dengan hukum-hukum alam yang tersedia di sekitar dirinya. Manusia, melalui kehendaknya, tidak sekedar tunduk pada “nature”, tetapi juga mampu melakukan negosiasi dengannya. Manusia mampu melakukan manipulasi atas “nature” dan memakainya untuk tujuan dirinya, entah tujuan yang baik atau jahat. Kaum salafis, tampaknya, dengan gagasan mereka tentang manusia sebagai hamba-pasif yang menerima saja hukum Tuhan tanpa melakukan “pertimbangan hermeneutis” atasnya, hendak menurunkan derajat manusia dari subyek-berkehendak menjadi entitas tak-berkehendak, menjadi seperti tetumbuhan atau mineral pada umumnya. Ini jelas suatu tindakan de-humanisasi, pemerosotan martabat manusia; jelas tindakan yang berlawanan dengan semangat dasar yang dikumandangkan oleh Quran sendiri tentang “kemuliaan martabat manusia” (QS 17:70).

Perkenankan saya menyinggung sedikit soal “kemuliaan martabat manusia”. Saya kira, benar apa yang dikemukakan oleh banyak ahli dan sarjana tentang sumber-sumber tradisional dari gagasan modern tentang “human dignity” atau kemuliaan manusia. Gagasan modern itu bukanlah gagasan yang sepenuhnya sekular dan tak ada kait-mengaitnya dengan sejarah pemikiran agama-agama. Selain sumber-sumber sekular dalam tradisi pencerahan sendiri, gagasan tentang kemuliaan manusia juga bersumber dari agama. Dalam Kristen dikenal konsep tentang “imago Dei”, manusia sebagai citraan Tuhan. Dalam Islam, kita kenal konsep tentang “takrim” atau pemuliaan manusia, bersumber dari penegasan dalam sebuah ayat dalam Quran: wa laqad karramna bani Adam (QS 17:70), dan Aku muliakan anak-anak Adam.

Mari kita telaah sejenak kata “karramna” itu. Kata itu berasal dari akar k-r-m yang berarti mulia. Dari kata itu, muncullah sejumlah istilah-istilah lain, seperti “karim” yang berarti “yang mulia”. Dalam Lisan al-‘Arab, leksikon Arab klasik, kata “karim” dimaknai sebagai “al-jami’ li anwa’ al-khair wa al-sharaf wa al-fadha’il,” yakni orang yang memiliki seluruh kualitas kebaikan, kemuliaan dan keluhuran. Quran sendiri tidak pernah disebut sebagai Kitab Suci (al-kitab al-muqaddas) dalam tradisi Islam, tetapi sebaliknya sebagai Kitab yang Mulia (kitab karim, QS 56:77). Nabi dan Jibril, malaikat pembawa wahyu, juga digambarkan oleh Quran sebagai “utusan yang mulia” (rasul karim, QS 69:40). Tuhan sendiri juga menggambarkan dirinya sebagai Tuhan Yang Mulia dan Maha Dermawan (rabbuk al-karim, QS 82:6). Manusia, dengan demikian, digambarkan sebagai subyek yang mulia; Tuhan menjadikannya sebagai subyek yang “karim”, yang mulia, sesuai dengan penegasan dalam ayat di atas: karramna. Kemuliaan manusia sebagai subyek tentu bukan semata-mata karena bentuk fisiknya yang sempurna (ahsan taqwim, QS 95:4), tetapi juga karena ia memiliki kehendak bebas, memiliki pikiran (QS 91:8).

Oleh karena itu, ketaatan manusia pada hukum Tuhan tidak bisa dipisahkan dari aspek yang sangat penting di atas, yakni kehendak bebas manusia. Kelemahan mendasar dalam teori hukum Islam klasik adalah tidak dimasukkannya unsur pengalaman manusia sebagai subyek yang otonom, subyek yang karim itu, dalam kontruksi diskursus hukum, dalam perumusan diktum-diktum legal. Pengalaman manusia sama sekali diabaikan sebagai “sub-text” yang kurang penting. Yang menarik, pengalaman manusia ini tidaklah bisa diusir sepenuhnya dari proses penafsiran teks-teks suci, meskipun secara “remsi” tidak pernah diakui. Pengalaman manusia tetap “menyelundup” diam-diam dalam perumusan hukum Islam, tanpa disadari oleh para “Muslim jurists” sendiri. Contoh terbaik adalah hukum-hukum Islam yang sejuah ini banyak mengandung elemen-elemen “misoginis”, sama sekali tak ramah pada kaum perempuan. Pengalaman perempuan sebagai subyek yang “karim”, yang mulia dan otonom jarang atah sama sekali tak diperhitungkan.

Saya akan mengambil suatu kasus kongkrit sebagai sebuah ilustrasi. Sekarang ini, kita sedang mengikuti perdebatan ramai sekali mengenai soal poligami dan nikah siri, yakni nikah-bawah-tangan yang tak tercatat. Sungguh menarik sekali bahwa sebagian besar kaum laki-laki dari kalangan elit agama (anda bisa menyebutnya ulama, kiai, atau ustaz) cenderung setuju pada praktek poligami dan nikah siri. Alasan “formal” yang kerap dikemukakan adalah bahwa keduanya secara eksplisit diperbolehkan oleh hukum agama. Pencatatan nikah bukanlah ketentuan yang diharuskan oleh agama. Karena itu, pencatatan nikah tidak menjadi syarat validnya sebuah pernikahan. Pertanyaan kita adalah: apakah hukum semacam itu harus kita terima sekarang ini? Apakah pengalaman perempuan tidak diperhitungkan dalam perumusan hukum ini? Kenapa hukum agama harus dimenangkan “at all cost”, seraya mengabaikan pengalaman manusia sebagai subyek yang “karim”, yang mulia dan berkehendak?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini jelas layak dikemukakan. Seorang Muslim yang beragama dengan sungguh-sungguh dan tidak bersiakp “burung onta”, jelas tidak bisa menolak “pertanyaan-pertanyaan kritis” yang meronta-ronta di atas. Salah satu keberatan kaum salafis terhadap cara pandang kaum khalafis adalah: jika pengalaman subyektif manusia diperhitungkan dalam konstruksi hukum, maka kita memperoleh hukum yang subyektif, hukum yang terus berubah, hukum yang tidak memberikan kepastian. Bukankah agama adalah “guidance” atau petunjuk yang mestinya harus memberikan kepastian? Hukum manusia memang boleh berubah, tetapi hukum Tuhan tidak sama sekali, demikian pandangan kaum salafis.

Apakah pandangan semacam itu dapat kita terima? Gagasan bahwa hukum Tuhan tidak berubah sama sekali jelas tidak benar. Dalam Quran sendiri ditegaskan bahwa masing-masing bangsa memiliki “hukum Tuhan” yang berbeda-beda (QS 5:48). Masing-masing epok sejarah dan generasi memiliki hukum yang pas untuk “zeit-geist”, semangat zamannya. Jika hukum Tuhan berlaku universal, tentu tak akan ada rangkaian wahyu-wahyu yang susul-menyusul dari waktu ke waktu dan membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan zamannya. Gagasan tentang “historisitas” sudah tertancap dalam konstruksi wahyu itu sendiri. Ketika berhadapan dengan manusia, Tuhan bekerja tidak lain dengan prinsip historisitas itu. Sebab, “Yang Tak Terbatas” tak bisa dikandung oleh “Yang Terbatas”, karena itu terjadilah proses “kemenyejarahan”, yakni Tuhan Yang Tak Terbatas menyejarah melalui wahyu, firman dan hukum-Nya seturut dengan batasan-batasan historis yang ada pada manusia yang serba terbatas. Bahwa masing-masing utusan Tuhan datang dengan instrumen kebahasaan yang dapat dipahami oleh lingkungan sosialnya (QS 14:4) menandakan bahwa kehendak, wahyu dan firman Tuhan memang tak bisa lain kecuali harus mengalami proses “penubuhan” dalam sejarah. Tak heran jika firman Tuhan yang sudah menubuh dalam sejarah manusia itu juga akan membawa sifat-sifat yang serba relatif, artinya terkait dengan konteks tertentu. Saat mengalami proses penubuhan itu, wahyu dan firman Tuhan juga harus mempertimbangkan pengalaman manusia yang terus berubah. Hukum Tuhan, bukan hanya hukum manusia, juga berubah. Tentu saja harus segera diberikan “caveat” di sini: bahwa tidak semua hukum Tuhan berubah; ada sejumlah hukum Tuhan yang bersifat universal, tetapi banyak diantaranya bersifat relatif dan kondisional.

Kaum salafis biasanya juga mengatakan bahwa hukum Islam mewakili Kehendak dan Firman Tuhan terakhir yang berlaku abadi, dan tidak bisa diubah-ubah lagi. Hukum Islam adalah The Last Law. Sementara Nabi Muhammad adalah The Last Prophet yang membawa kebenaran terbesar terakhir dalam sejarah manusia. Quran sendiri juga dianggap sebagai The Last Revelation, Wahyu dan Penyingkapan Terakhir yang menjadi kata-pamungkas untuk seluruh kebenaran. Kalau kita telaah gagasan ini, tampak sekali bahwa asumsi yang mendasarinya adalah semacam cara berpikir “yang nomor paling akhir adalah yang terbaik”. Apakah benar, yang paling akhir adalah yang terbaik? Bukankah dalam bidang yang lain, umat Islam justru percaya bahwa yang akhir justru menandai kemerosotan? Bukankah Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi awal yang dekat dengan periode kenabian? Bukankah ada anggapan pula pada umat Islam bahwa makin jauh dari generasi Nabi, kemungkinan terjadi korupsi makin besar? Dengan kata lain, dalam hal ini, logika yang bekerna justru “yang nomor pertama yang tarbaik”. Kenapa ada dua logika yang bekerja secara kontradiktoris di sana? Yang satu menganggap bahwa yang nomor bontot yang paling baik, sementara yang satunya justru menganggap nomor pertama paling baik. Bagaimana mendamaikan dua logika semacam ini?

Sebagai Muslim, saya tentu tak mengingkari dogma yang ada dalam Islam bahwa Quran dan Muhammad adalah wahyu dan nabi terakhir. Tetapi, dogma semacam ini sama sekali tidak menegasikan aspek historisitas dalam wahyu dan hukum Tuhan. Setelah Quran, dalam kepercayaan umat Islam, memang tidak ada wahyu lagi. Tetapi, ada hal lain yang sangat penting, yaitu manusia sebagai subyek yang karim, yang mampu mendialogkan wahyu dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi. Wahyu memang berhenti, tetapi akal manusia terus bekerja untuk melanjutkan tugas yang dulu pernah diemban oleh wahyu dan kenabian Muhammad. Tugas intelektual Muslim mendatang adalah bagaimana mempertimbangkan aspek pengalaman manusia sebagai subyek yang karim itu dalam perumusan hukum agama, dalam memahami ketentuan-ketentuan yang dianggap berasal dari Tuhan. Manusia sebagai subyek sejarah dengan seluruh kerumitan pengalamannya tidak bisa diabaikan dalam pemahaman agama. Konteks sosial yang terus berubah juga merupakan aspek lain yang tak bisa diabaikan. Hingga sekarang ini, sebagian besar umat Islam masih beredar di sekitar orbit salafisme, yaitu memahami agama dengan memberikan tekanan yang tinggi pada firman Tuhan dan teks suci, sementara mengabaikan konteks sejarah dan pengalaman manusia. Menurut saya, harus ada “paradigm shift”, perubahan cara pandang yang memang tidak mudah, dari pemahaman yang text-minded kepada pemahaman yang mempertimbangkan pengalaman manusia sebagai subyek yang memiliki akal sehat.

Inti pemahaman keagamaan yang diajukan oleh kaum khalafis, oleh para pemikir Muslim liberal dan progresif di mana-mana, sebetulnya, adalah sederhana: yaitu pemahaman keagamaan yang masuk akal. Akal sehat adalah modal utama bagi semua orang –bagi kalangan spesialis atau awam—untuk menilai sesuatu. Sabda Nabi Muhammad yang terkenal adalah “istafti qalbaka”, mintalah “fatwa” pada hati nuranimu, pada akal sehatmu. Sebelum ditunjang oleh ayat, hadis, dan argumen yang bertakik-takik dan njlimet, kita bisa menilai apakah sebuah “fatwa” atau pandangan keagamaan tertentu masuk akal atau tidak.

Marilah kita ambil contoh yang sederhana. Di sebuah provinsi Indonesia saat ini, ada sebuah qanun atau UU yang membolehkan seorang perempuan dihentikan di tengah jalan karena berpakaian yang tidak sesuai dengan aturan dan hukum agama. Dalam hukum Islam yang standar, memang aturan pakaian perempuan adalah menutup seluruh tubuh selain muka dan dua telapak tangan. Tanpa mengurangi rasa hormat pada hukum semacam ini, kita patut bertanya dengan akal sehat kita: kenapa perempuan diharuskan berpakaian semacam itu? Alasan yang kerap dikemukakan adalah untuk menjaga agar tak terjadi “fitnah” atau “sexual arousal”, pembangkitan syahwat. Wanita dipandang sebagai subyek pasif yang menimbulkan keguncangan pada kaum laki-laki. Perempuan adalah subyek volkanik yang bisa menimbulkan ledakan fitnah yang mengganggu kaum laki-laki. Pandangan semacam ini, secara umum mungkin bisa diterima akal. Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa perempuan yang harus menanggung “harga” dari gangguan ini. Kenapa laki-laki dibiarkan sebagai subyek yang sama sekali tak disentuh. Hukum tentang pakaian bagi perempuan dalam Islam selama ini kurang memperhitungkan pengalaman perempuan sebagai subyek otonom. Memandang bahwa perempuan adalah “sumber syahwat” yang volkanik jelas pandangan khas laki-laki yang sama sekali mengabaikan aspek-aspek yang kompleks dalam konstruksi subyek perempuan. Orang-orang yang menganggap bahwa aturan pakaian perempuan dalam Islam yang kita warisi dari era klasik dulu masih berlaku sekarang dan harus ditegakkan melalui Perda atau Qanun jelas mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial yang terjadi, selain mengabaikan pengalaman perempuan sebagai subyek yang karim pula. Hukum semacam ini, tanpa melalui argumentasi yang rumit, dapat kita nilai tak masuk akal.

Dengan mengatakan hal ini, bukan berarti bahwa saya menganjurkan agar perempuan memakai pakaian apa saja sesukanya tanpa mengindahkan rasa kepantasan umum. Apa yang disebut sebagai “akal sehat” memiliki suatu “hukum imanen” tersendiri yang dapat menengarai batas-batas yang pantas dan tidak. Karena itu, hukum pakaian dalam Islam, menurut saya, bukanlah jenis pakaian tertentu yang menutup bagian-bagian badan tertentu. Kaidah pokok berpakaian dalam Islam, menurut saya, adalah kepantasan (public decency). Masing-masing masyarakat dan lingkungan budaya memiliki kaidah kepantasan masing-masing yang sesuai dengan budaya setempat.

Baru-baru ini, suatu golongan dalam Islam dimusuhi karena membawa ajaran yang berbeda mengenai kenabian, yaitu Ahmadiyah. Kelompok ini dipaksa keluar dari Islam dan mendirikan agama terpisah, selain juga dianggap sesat dan telah keluar dari agama Islam. Anggota kelompok ini diganggu, diserang, dan tempat ibadah mereka dibakar atau dirusak. Kejadian-kejadian ini jelas mencederai akal sehat kita, selain berlawanan dengan ajaran Islam yang paling mendasar. Prinsip dalam Islam yang jelas sangat masuk akal adalah tiadanya paksaan dalam agama (QS 2:256). Kepercayaan dan kepemelukan agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, sebab fondasi agama adalah ketundukan yang sukarela yang diwakili oleh konsep “ikhlas” dalam Islam. Jiwa ajaran Islam pernah dikumandangkan dengan sangat baik oleh seorang teolog Kristen dari Amerika Serikat asal Inggris, yaitu Roger William, yang pernah melontarkan kata-katanya yang terkenal, “the forced worship stinks in the God’s nostril” – ibadah yang dipaksakan akan menjadi sangat busuk baunya di hidung Tuhan.

Konsep tiadanya pemaksaan mestinya berlaku secara penuh, baik secara eksternal dan internal, sehingga prinsip itu menjadi konsisten dan masuk akal. Secara eksternal dalam pengertian, tak ada paksaan untuk masuk dari luar ke dalam Islam, tak boleh ada “konversi” yang dipaksakan. Secara internal, berarti tak ada paksaan untuk masuk ke dalam golongan, mazhab, atau sekte tertentu dalam Islam setelah yang berangkutan masuk Islam. Memaksa seseorang masuk ke dalam mazhab, sekte atau paham tertentu dalam Islam sama saja menyalahi prinsip dasar tiadanya paksaan tersebut. Memaksa golongan Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran yang dianggap “benar”, atau memaksa mereka keluar dari Islam dan mendirikan agama sendiri, jelas berlawanan dengan prinsip tiadanya paksaan dalam agama itu.

Salah satu argumen yang kerap dikemukakan oleh kaum salafis adalah bahwa kemunculan kelompok-kelompok yang membawa paham yang berbeda itu bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan memprovokasi mereka untuk berbuat tindakan kekerasan. Argumen semacam ini jelas tak masuk akal sama sekali. Semua pandangan baru, dalam sejarah manusia, selalu membawa keresahan dalam masyarakat. Jika seseorang dilarang membawa atau menyebarkan ajaran baru karena alasan menimbulkan provokasi, maka jelas peradaban manusia tak akan berkembang. Gagagasan Galileo tentang heliosentrisme jelas menimbulkan kemarahan gereja dan memprovokasi kalangan Kristen untuk mempersekusi ilmuwan itu. Jika sebuah gagasan, mazhab, atau paham baru tidak diperbolehkan muncul ke permukaan dengan alasan akan menimbulkan kemarahan masyarakat, maka kita mungkin masih hidup dalam alam Ptolemaisme dan ilmu modern sama sekali tak berkembang. Saya ingat kalimat terkenal dari Syekh Amin al-Khuli dari Mesir, “tu’addu al-fikratu hinan ma kafiratan tuharramu wa tuharab, tsumma tushbihu ma’a al-zaman mazhaban ba ‘aqidatan wa ishlahan takhthu bihi al-hayatu khathwatan ila al-amam,” suatu pemikiran pada suatu masa dianggap kafir, dilarang, dan dimusuhi; pelan-pelan, dengan berlalunya waktu, pemikiran itu berubah menjadi mazhab, bahkan dogma dominan, menjadi gagasan perbaikan dan pembaharuan yang membuat kehidupan lebih maju lagi ke depan.

Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi dengan kaum kulit hitam di Amerika Serikat dulu jika mereka dilarang untuk membawa gagasan tentang kesetaraan manusia, melawan praktek diskriminasi, dengan alasan, gagasan itu akan meresahkan kaum kulit putih. Jika alasan keresahan kaum kulit putih itu dibenarkan, maka orang-orang Afro-Amerika sekarang ini tak akan pernah bisa menikmati kesetaraan. Gagasan baru, seperti dikatakan oleh Amin al-Khuli di atas, memang sering meresahkan dan dimusuhi, tetapi gagasan baru itulah yang membuat “frontier” peradaban manusia terus maju.

Yang menyedihkan adalah bahwa argumen tentang kemungkinan resahnya masyarakat karena gagasan baru itu, dijadikan argumen oleh kalangan yang pro-status quo ajaran untuk menakut-nakuti masyarakat. Mereka biasa berujar, jika sekte atau paham tertentu dibiarkan maka masyarakat akan resah, marah dan melakukan kekacauan. Argumen ini ingin saya sebut sebagai “the politics of blackmailing”, politik pemerasan. Lebih tidak pantas lagi jika argumen semacam ini dikemukakan oleh pihak pemerintah yang mestinya menjadi wasit yang adil di tengah-tengah keragaman dalam masyarakat. Jika kita ikuti ajaran dasar dalam Islam sendiri, prinsip tiadanya paksaan dalam agama dan kepercayaan adalah prinsip premium yang tak bisa dianulir oleh prinsip-prinsip yang lain, apalagi oleh alasan keresahan masyarakat atau ketertiban politik.

Keadaan yang saya anggap sebagai suatu kecenderungan yang menyedihkan adalah para elit agama kita tidak berusaha mendewasakan umat dengan mendorong agar mereka bisa menghormati perbedaan penafsiran dan paham yang berkembang dalam masyarakat, tetapi justru membuat mereka resah dengan cara menakut-nakuti bahwa paham-paham baru itu akan menimbulkan rasa was-was dan instabilitas dalam nasyarakat. Ini jelas seperti menyiramkan bahan bakar kepada rumput yang sudah kering. Tugas elit-elit agama seharusnya membawa masyarakat kepada tingkat kedewasaan yang cukup, sehingga mereka bisa menerima perbedaan secara lapang dada. Sementara itu tugas pemerintah bukanlah menekankan kembali “mindset” lama, yaitu menjada ketertiban umum dengan cara menekan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap membawa paham baru yang meresahkan. Tindakan pemerintah semacam ini selain berlawanan dengan kontitusi kita yang melindungi prinsip kebebasan beragama dan kepercayaan, juga tidak paralel dengan prinsip dasar dalam Islam sendiri yang menampik adanya paksaan dalam agama.

Dengan cara berpikir semacam inilah, kaum Muslim khalafis, para pemikir liberal dan progresif, mencoba mendamaikan antara imperatif keimanan dan imperatif perubahan karena perkembangan sosial dan sejarah. Jika ada kaum Muslim yang layak disebut moderat, mereka itulah yang pantas menyandang gelar itu, sebab mereka lah yang menjaga keseimbangan antara “tradisi” dan “perubahan”, antara “ashalah” dan “hadathah”, antara otentisitas dan modernitas.

31/03/2010 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (20)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Adalah fakta bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang “RELIGIUS” ciri-ciri masyarakat religius diantaranya kental dengan aliran pemikiran yang bersifat “mistik”.Wujud dari sikap religius ini kemudian dituangkan dalam Pancasila sila yang pertama yakni Ketuhanan yang maha esa.

Ada satu pertanyaan besar yang selalu menjadi pemikiran saya yakni, apakah masyarakat yang religius ini merupakan “ASET”/kekyaan SDM untuk mempercepat laju pembangunan Indonesia yang maju, modern, adil, sejahtera, aman dan damai ataukah masyarakat yang religius ini justru merupakan BEBAN sejarah yang senantiasa membuat bangsa dan negara Indonesia susah mencapai kemajuan?

Pendekatan personal, mungkin saja seseorang nyang sangat religius berdampak langsung pada dirinya yakni melahirkan sikap hidup yang penuh kejujuran dan kedamaian, tetapi jika kita melihat secara “makro” persoalan religiusitas masyarakat Indonesia adalah fakta juga bahwa masyarakat yang religius ternyata paralel dengan masyarakat yang munafik, korup dan terbelakang. Terserah anda, suka atau tidak suka dengan fakta ini.

Saya akan coba uraikan berdasarkan “opini pribadi” mengapa keadaan tersebut bisa terjadi. Pada dasarnya agama adalah produk kebudayaan manusia yang lahir karena situasi dan kondisi alam dimana dia berpijak. Situasi dan kondisi tersebut berhubungan sangat erat dengan faktor-faktor geografis, politis, ekonomi dan sosial.

Semakin “ekstrem” keadaan alamnya dimana pilihan hidupnya hanya “hidup atau mati” maka kultur masyarakat setempat akan melahirkan orang-orang yang produktif, inovatif, pantang menyerah, pekerja keras yang berbasis pada kekuatan nalar/logika, sebab jika tidak demikian mereka akan mati oleh kejamnya alam. Kebudayaan mereka cenderung melahirkan sikap hidup yang lebih pragmatis dan realistik. Sekadar contoh mungkin negara-negara eropa ketika musim beku/dingin akan membunuh rakyatnya jika mereka tidak kreatif. Negara yang gersang tandus juga merangsang masyarakatnya untuk bekerja lebih keras, sebab tanpa kerja keras mereka akan mati. Di negara yang “ekstrem” kondisi alamnya, hanya sedikit waktu yang tersisa untuk memikirkan hal-hal yang bersifat MISTIK.

Namun, di negara-negara yang kondisi alamnya subur dimana diibaratkan “kail dan jala cukup menghidupimu” bisa bertani sepanjang musim maka waktu untuk berkhayal tentang hal-hal yang mistik menjadi sangat banyak. Itulah mengapa bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang sangat religius.

Bagaimana dengan kondisi di Timur tengah yang gersang itu? mengapa di sana tumbuh aliran pemikiran yang kental dengan misitik yang akhirnya melahirkan agama? bukankah seharusnya di sana tumbuh subur aliran pemikiran yang pragmatis-realistis supaya mereka tetap eksis berdampingan dengan kondisi alamnya yang ekstrem?

Coba perhatikan dengan seksama, apa bedanya agama/mistisisme yang lahir ditanah gersang dengan mistisisme yang lahir di tanah subur? PASTI ADA BEDANYA, perbedan itu terletak pada fungsi dari mistik atau agama itu sendiri. Fungsi agama di tanah gersang, lebih cenderung berbau “politis” artinya di sana terdapat hukum-hukum yang sangat radikal, sangat keras. Mengapa? sebab di tanah yang keras yang pasti juga melahirkan budaya yang keras, maka tidak bisa lain hukumnya juga harus keras.

Islam identik dengan kekerasan jika dilihat dari keseluruhan ayat-ayatnya setelah Muhammad memenangkan pertempuran atau lebih tepatnya perampokan di Badar. Periode kejayaan Islam sebenarnya dimulai tahun pertama setelah Hijriah, atau pasca kemenangan di Badar yang kemudian menyulut perang-perang atau kekerasan-kekerasan yang tak pernah berhenti hingga detik ini.Perang atas nama ideologi Islam terus berlanjut.

Jadi bagaimana kita seharusnya memahami dan mengimani agama? Ya harus belajar politik dan filsafat, sebab tak ada satu agama pun yang lahir tanpa motif politik. Apa yang dimaksud politik itu? politik berasal dari kata polis yang berarti kota. Intinya, politik adalah seni untuk mendapatkan kekuasaan dengan berbagai jalan dan hanya dengan kekuasaan itulah sebuah peradaban bisa diatur sesuai dengan visi dan misi yang digendong oleh para politikus itu. Visi dan misi ini bisa saja mulia tetapi bisa juga jahat.

Agama-agama yang lahir ditanah subur biasanya bercirikan “manunggaling pribadi dengan alam” artinya agama digunakan sebagai sarana untuk kontemplasi memperbaiki prilaku dirinya sendiri dengan alam, dengan sesama manuisa dan dengan sang supranatural/tuhan.

Pengamalan agama Syeh Siti Jenar menurut “perabaan/dugaan” saya bukanlah semata-mata mengadopsi agama yang lahir ditanah kering, melainkan Syeh Siti Jenar telah mengawinkan ruh agama tanah kering dengan ruh kemistikan tanah jawa yang subur.

Hidup ini semua serba “politis” maka waspadalah jangan mudah terjebak dengan NAMA. Sebab, nama itu bukan substansi.Nama Islam itu sesungguhnya sangat bagus sebab Islam berarti damai, tetapi apa yang terjadi dibalik nama Islam?Adakah kedamaian dalam Islam?

Posted by suprayitno  on  05/22  at  07:49 AM

Persoalannya adalah subyek manusia di dalam hukum Islam tradisional hanyalah dianggap obyek hukum. Filsafat menganggap manusia subyek sedangkan hukum(fiqh) hanya memandang manusia sebagai obyek yang dikenai taklif. Sebagai subyek manusia adalah karim (mulia), bebas, namun dikenai tanggungjawab. Sedangkan dalam hukum, manusia adalah obyek yang dikenai kewajiban dan sanksi. Kini kita perlu meliberalkan pandangan kita tentang manusia dalam Al-Qur’an sebagai khalifah fil ardh yang memiliki kebebasan dan tanggungjawab sekaligus. Manusia mempunyai “raison d-etre” atas kehadirannnya di muka bumi. Bukan makhluk yang melayang di ruang hampa. Al-Qur’an bahkan menantang manusia untuk mempertanyakan makna hidupnya. Sayangnya banyak muslim yang tidak lagi “membaca” Al-Qur’an namun sekedar mengeja huruf. Proses “iqra” yang tidak sempurna diakibatkan ketakutan manusia untuk menjalankan otonomi di atas manusia. Pemahaman manusia sebagai obyek yang takluk kepada Tuhan harus ditransformasi menjadi subyek karim yang mengupayakan keselamatan bagi dirinya, seluruh manusia, dan seluruh alam raya.

Posted by Hanvitra  on  04/30  at  08:39 PM

kang ulil.. menurut saya tantangan jenengan cuma satu yaitu KAPAN JENENGAN MENULIS BUKU/TAFSIR yang runtut atau tematik seperti ulama-ulama besar Syech Nawawi al-bantani, al suyuti, fakhruddin al rozi, al ghozali, al syatiby, wahbah zuhaily dan lain-lain.. sehingga kami dapat membaca karya jenengan yang orisinal.. bukan hanya menganalisis keistimewaan dan kelemahan “teori” karya orang lain..
tapi karena jenengan pemula yach saya maklumi.. tapi bukan kumpulan artikel lho ya..
aku tunggu.. berapa jilid jenengan nulis pasti aku beli dan baca bahkan akan aku ajarkan pada santriku.. doaku menyertaimu..

Posted by HISYAM ZAMRONI  on  04/28  at  03:13 PM

sehebat-hebatnya Nabi muhammad SAW ...yg dititipi peran menyempurnakan dinul islam… maka tidak pernah dilupakan apalagi pengabaian eksistensi Nabi-nabi sebelumnya ...mulai Nabi Adam hingga nabi Isa a.s....Seperti demikianlah harusnya memaknai dikotomi salaf dan khalaf.... maka tak peduli jd kaum khalafiah… jika dia seorang penerus salafiah..... artinya dia gemgam kuat2 dan erat2 kaidah2 salaf… sampai terus menempuh inovasi baru yang menyempurnakan efisiensi penerapan kaidah salaf.... Singkatnya ....yang ‘baru’ tidakalah diperoleh dengan menghilangkan yang ‘lama’.Yang khalaf bukanlah semata-mata muncul karena menghilangkan yang salaf.... Hingga khalafiah adalah kontinum dari salafiah dan bukannya “the other existence” yang tiba2 muncul entah dari antah berantah…
Namun Nampak jelas sekali bahwa yang Ulil inginkan ....khalafiah adalah “the other” dari salafiah.... Hingga cak ulil adalah “the emerging existence” berkat isme khalafiah non kontinum salafiah-nya seraya hapuslah existence ulama salaf hingga runtuh pula nasabnya kepada Rasululloh SAW dan seterusnya hapus pula existence nabi2 sebelumnya...The emerging khalafiah inilah yang sebenarnya akan menghapus salafiah dan islam itu sendiri… hingga muncullah “islam” liberal.... Islam ahlus sunnah wal jamaah van jawa… dan versi2 islam lainnya.... yang serta merta menghapus secara perlahan keutuhan dinul islam melalui “the emerging force"nya yang bebas namun tetap “keukeuh” dimuculkan atas nama islam....

Posted by kabayanist  on  04/28  at  12:14 PM

Paham salafi memang banyak membawa masalah pada generasi Islam saat ini. Salah satu yang paling mengkhawatirkan, menurut saya, adalah paham atau doktrin yang menyatakan bahwa orang kafir harus dibunuh. Ayah dan ibu saya adalah jamaah pengajian salafi di jakarta. Mereka, terutama ayah saya, sangat meyakini kalau orang kafir itu tidak memiliki hak untuk hidup. Ia mengatakan dengan bangganya mengenai hal itu ke semua saudara-saudara saya yang datang ke rumah. Namun sayangnya, keyakinan itu hanya sebatas keyakinan saja. Tidak terimplementasikan dalam kehidupan nyata. Buktinya sampai sekarang belum satupun orang kafir yang ia bunuh. Saya merasakan adanya sebuah kemunafikan disini. Dimana perkataan tidak sejalan dengan perbuatan.

Dalam lingkup yang lebih luas lagi, saya juga merasakan hal yang sama. Saya bergabung dengan salah sati milis salafi di yahoogroups. Saya pernah mengajukan pertanyaan dalam milis tersebut, “apakah orang kafir haris dibunuh?” begitu bunyi pertanyaannya. Sudah berkali-kali saya mem-posting pertanyaan tersebut tapi hingga kini belum satupun di approve oleh moderator atau pengelola milis itu. Tidak ada email balasan ataupun penjelasan kenapa postingan saya itu tak kunjung dimuat. Tapi menurut saya, mereka takut menayangkan pertanyaan saya itu. Sebab, pasti jawabannya, “dalam islam orang kafir memang harus dibunuh, berdasarkan surat sekian ayat sekian,” Tapi mereka sepertinya tidak berani menanggapi ayat tersebut, karena apabila ditanggapi dan di-publish di depan “khalayak”, maka itu akan menampilkan wajah mereka yang sesungguhnya.

Sepertinya mereka masih berupaya kompromi dengan realita. Mereka menyadari kalau masih ada hukum lain yang lebih kuat diatas hukum yang mereka yakini, yakni hukum positif yang berlaku di negara ini. Ini jelas suatu bentuk kemunafikan mereka dalam meyakini doktrin alirannya. Meski dalam hati mereka yakin betul kalau orang kafir harus dibunuh, tapi dalam tataran praksis, tidak ada satupun dari mereka yang berani membunuh orang kafir.

Saya jamin itu!

Posted by Rio Rizalino  on  04/26  at  02:48 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq