Sekularisme Sukarela - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
26/02/2007

Sekularisme Sukarela

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Yang mengherankan, di tengah bangkitnya kesadaran beragama kalangan Islam saat ini, “sekularisme sukarela” justru makin luas berkembang. Adalah suatu paradoks yang mencengangkan kalau di satu pihak umat Islam “gembar-gembor” bahwa Islam agama yang memberi solusi atas semua hal, lengkap (syamil, kamil, mutakamil), tapi di pihak lain justru mengabaikan soal-soal publik yang sangat mendesak seperti soal penanganan kota.

Dalam kenyataan, kita seringkali melihat kesenjangan antara apa yang diucapkan umat Islam dengan apa yang mereka lakukan. Ini bukan informasi baru sama sekali. Yang baru adalah contoh yang akan saya berikan.

Selama ini, umat Islam mencurigai konsep sekularisme yang dimengerti sebagai pemisahan agama dari politik, atau lebih luas lagi, antara agama dan kehidupan publik. Tapi jika kita melihat tindakan umat Islam sendiri, mereka justru mempraktekkan sekularisme itu tanpa mereka sadari. Tindakan ini dilakukan bukan saja oleh kalangan awam, tetapi kalangan elit Islam, lewat retorikanya dalam membenci sekularisme.

Marilah kita tengok contoh berikut. Karena masih hangat dalam ingatan publik, saya akan mengambil contoh yang berkaitan dengan soal banjir. Penanganan banjir jelas mengandaikan adanya pelbagai faktor yang saling berkaitan, mulai soal tata kota, kebijakan kependudukan, rancangan pemukiman, peruntukan lahan, hingga aspek-aspek yang menyangkut dimensi mental dan kebudayaan.

Sikap-sikap mental masyarakat dalam menghadapi soal ruang, misalnya, tak kalah menentukan dalam penanganan banjir. Legislasi saja tak memadai. Sebab kota adalah pemukiman berbudaya, bukan sekadar tempat tinggal untuk mencari nafkah. Kota bukan sekadar “sapi perah”, tetapi “al-madinah” atau polis yang beradab.

Yang menarik adalah sikap tokoh-tokoh Islam terhadap masalah kota ini. Selama ini, jika perdebatan menyangkut soal jilbab atau perjudian, mereka begitu semangat menanggapinya, sebab dua hal itu memang jelas-jelas masuk wilayah “Islam”, dalam pengertian adanya aturan tekstual kitab suci mengenai masalah tersebut.

Tapi begitu menyangkut masalah yang sama sekali tak disinggung Kitab Suci (Quran atau Hadis), misalnya soal rancang bangun kota yang baik dan “nggenah” sehingga anti-banjir, kita tak mendengar suara tokoh-tokoh Islam. Secara tak langsung, mereka mengatakan bahwa ada wilayah yang jelas berkenaan dengan agama (baca: Islam), dan ada wilayah yang sama sekali di luar pembicaraan Islam.

Soal jilbab adalah soal Islam sebab ada aturan yang jelas (menurut mereka) dalam Kitab Suci, sementara penanganan banjir adalah di luar wilayah agama, sebab tak ada ketegasan mengenai hal itu dalam Kitab Suci. Jika pun ada hal yang berkenaan dengan soal itu di dalam Kitab Suci, maka sifatnya tak langsung, hanya tersurat.

Sikap semacam ini adalah sekularisme itu sendiri, dalam bentuknya yang lain. Saya menyebutnya sebagai “sekularisme sukarela” (untuk mengartikan “self-secularizing"). Sikap tokoh-tokoh Islam yang kurang menunjukkan keprihatinan mendalam terhadap soal tata-kota dengan anggapan kurang langsung berkenaan dengan Islam, jelas mengandaikan adanya wilayah agama dan non-agama. Dengan kata lain, ada wilayah di mana agama punya wewenang, dan wilayah lain di mana agama sama sekali tak punya wewenang yang bersifat langsung.

Dualisme wilayah semacam ini terjadi pada banyak kasus, dan kesadaran mengenai hal ini bukan tak ada di kalangan intelektual Muslim. Contoh yang kerapkali didiskusikan adalah dualisme antara ilmu-ilmu agama dan ilmu sekuler. Menyadari bahwa dualisme itu sama sekali tak ideal, banyak intelektual Muslim yang mengusahakan integrasi antara kedua wilayah itu. Saya sendiri punya kritik mendasar atas “proyek integrasi” itu, tetapi hal itu di luar pokok pembicaraan ini.

Yang ingin saya tunjukkan adalah kemenduaan sikap umat Islam dalam menghadapi sebuah konsep. Suatu konsep kadangkala disangkal pada level retorika, tapi diterima tanpa suatu keberatan dalam praktek.

Yang mengherankan, di tengah bangkitnya kesadaran beragama kalangan Islam saat ini, “sekularisme sukarela” itu justru makin luas berkembang. Adalah suatu paradoks yang mencengangkan kalau di satu pihak umat Islam “gembar-gembor” bahwa Islam agama yang memberi solusi atas semua hal, lengkap (syamil, kamil, mutakamil), tapi di pihak lain justru mengabaikan soal-soal publik yang sangat mendesak seperti soal penanganan kota.

Sumber utama masalah, saya kira, karena lemahnya dimensi kemanusiaan dalam pemahaman Islam yang berkembang saat ini. Hilangnya dimensi kemanusiaan itu menimbulkan sikap yang amat mengherankan, yakni bahwa ajaran agama ditaati semata-mata kerena ia adalah perintah Tuhan. Jika suatu masalah tak punya ketentuan jelas dari Tuhan, meski menyangkut kepentingan kemanusiaan yang luas, maka umat Islam diam saja. Jika pun ikut bicara, tapi tidak dengan derajat semangat yang sama seperti dalam kasus-kasus yang jelas-jelas bersifat “Islam”.

Untuk mengatasi sikap mendua ini, sejumlah langkah penting harus dilakukan. Pertama, umat Islam harus berani melakukan “lompatan paradigmatik” dengan memandang seluruh ajaran agama yang berkaitan dengan wilayah sosial adalah terkait dengan pertimbangan kemanusiaan. Ajaran-ajaran itu menjadi penting bukan semata-mata karena Tuhan mengatakan demikian, tapi karena secara kemanusiaan ajaran itu relevan.

Jika karena suatu perkembangan sejarah, pertimbangan kemanusiaan berubah, maka ajaran itu juga harus diubah. Hanya Tuhan sendiri yang tak berubah. Ajaran-ajaran Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri, sehingga tak kebal terhadap hukum perubahan. Dalam perubahan itu, yang menjadi pokok pertimbangan adalah kepentingan kemanusiaan. Karena kepentingan kemanusiaan terus berubah, dengan sendirinya ajaran juga harus berubah.

Kedua, sudah tentu perubahan bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Suatu perubahan mengarah kepada cita-cita sosial tertentu. Yang tetap dalam suatu agama adalah cita-cita yang menjadi semacam pemandu arah perubahan dalam masyarakat itu. Hukum atau ketentuan legal-formal harus ditundukkan kepada cita-cita itu, bukan sebaliknya. Cita-cita utama Islam, dalam pandangan saya, ada dua: terciptanya keadilan pada level masyarakat dan terlindunginya aspek kebebasan pada level individu.

Kecenderungan agama dalam masyarakat yang kian berorientasi pada hukum dan fikih sekarang ini jelas membahayakan masa depan Islam sendiri. Yang mengherankan, “fikihisme” atau kecenderungan legalistik dalam beragama yang dahulu berkembang luas di kalangan yang disebut “Islam tradisional” itu, dulu pernah menjadi sasaran kritik tajam kaum pembaharu Muslim awal abad ke-20. Fikihisme itu sekarang justru berkembang lagi di kalangan Muslim perkotaan, termasuk kalangan yang selama ini disebut “modernis”. Ini jelas kemunduran dilihat dari segi cita-cita kaum reformis Islam dahulu.

Ketiga, jika pada level masyarakat kita perlu menganjurkan pendekatan keagamaan yang makin mengaitkan antara ajaran agama dengan konteks kemanusiaan, maka pada level individual, penghayatan agama yang mendalam dan “genuine” juga perlu dikembangkan. Sebagaimana dikatakan oleh banyak sarjana Muslim, masyarakat Muslim adalah masyarakat etis (al-mujtama’ al-akhlaqi/al-qimi) dalam pengertian kesadaran nilai-nilai moral yang diajarkan Islam tertanam dengan mendalam di sanubari mereka.

Masyarakat etis mengahayati agama bukan karena “paksaan hukum”, tapi karena keinsafan mendalam dan bersifat sukarela. Saya dulu pernah melontarkan gagasan pentingnya “hukum nurani”, bukan hukum legal-formal dalam beragama. Hukum legal-formal yang bersifat positif berlaku pada wilayah publik. Dalam wilayah agama, yang berlaku adalah “hukum nurani” yang mengandaikan adanya kedewasaan nurani dan akal sehat.

Jika titik tumpu keberagamaan dalam Islam terus-menerus diletakkan pada level hukum (fikih), maka yang timbul adalah “infantilisme moral” atau sikap etis kekanak-kekanakan. Umat Islam harus didorong menuju “kedewasaan moral” melalui penghayatan agama yang mendalam, penuh integritas, mandiri, dan bertanggungjawab.

Dalam agama, hukum pada akhirnya harus diletakkan pada nurani, bukan ditanyakan kepada otoritas eksternal seperti ulama atau ustad. Itulah agama yang “genuine”. Sekian, semoga bermanfaat.

26/02/2007 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (23)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

banyak juga yang ikut menolong dari orang Islam kalau ada musibah banjir, baik dana, tenaga bahkan mungkin juga pikirannya. Dana-dana sebanyak itu dari mana kalau bukan dari umat Islam yang dari segi jumlah sangat banyak. perkara institusi Islam harus teriak menangani banjir, kan tidak perlu harus dari MUI misalnya, bukankah dikatakan, janganlah kalian berbicara sesuatu yang kalian dari segi ilmunya tidak tahu ? pastilah, yang menangani banjir itu orang Islam. apa sampean kira umat Islam itu sudah tidak lagi ada artinya ???

Posted by ramdani  on  10/17  at  11:24 AM

apa kami tidak dianggap kafir karena kami menganut pesugihan

Posted by thya  on  05/07  at  09:18 AM

apakah dalam islam juga mengakui hak kami sebagai orang penganut pesugihan yang tidak menganut satu agamapun

Posted by thya  on  05/07  at  09:14 AM

Kalo ngeliat Islam tuh jangan dari perilaku pengikutnya(Belum tentu semuanya mengamalkan ajaran islam dengan baik dan benar) tapi dari ajarannya yang baku seperti dari Al Quran dan Hadist…
Didalamnya ada koQ ajaran yang mengharuskan orang lain dalam membantu sesama apalagi menolong yang sedang tertimpa musibah....

Posted by Otto Ali Iskandar  on  02/03  at  02:33 PM

assalam…
Banyak koq orang-orang islam yang bantu menangani banjir .koe thok sing gak eroh (kamu saja yang tidak tahu ).makanya melek.

Posted by luqmanul hakim  on  12/09  at  05:28 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq