Soekarno, Pelopor Islam Liberal - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

25/06/2009

Soekarno, Pelopor Islam Liberal Reportase Diskusi “Islam Liberal dalam Ajaran Soekarno”

Oleh Saidiman

Sayang, ungkap Soekarno, keberpihakan Kristen dan Islam kepada perempuan tidak lagi tampak dalam realitas kehidupan umat Kristen dan Islam. Ada jarak antara yang ideal dan faktual dalam pelbagai kehidupan dan pemikiran umat Islam. Dengan latar pemikran semacam itulah acapkali Soekarno menyebut Islam saat ini sebagai “Islam Sontoloyo” atau “Masyarakat Onta.”

Ada banyak kalangan yang memandang bahwa rumusan Dasar Negara yang disusun oleh Soekarno bukan hanya renungan mengenai Indonesia, melainkan juga refleksi atas perkembangan politik masyarakat dunia. Pancasila memuat klaim terhadap ide-ide besar pemikiran politik terbaru saat itu. Dia tidak hanya merespon gerakan kemerdekaan negara-negara jajahan kolonial, melainkan juga mengamati secara lebih dekat keruntuhan rezim kekaisaran Turki Utsmani, yang selama bertahun-tahun diaku sebagai simbol kedaulatan politik Islam.

Dengan demikian, pilihan politik Soekarno mendirikan Indonesia dengan dasar kebhinekaan bukan sekadar buah dari pemikiran “Barat,” melainkan juga respon mutakhir terhadap kegagalan politik rezim Islamis di dunia Islam. Kesadaran semacam itu tertuang dalam pelbagai tulisan Soekarno semisal Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, Memudahkan Pengertian Islam, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, dan seterusnya.

Diskusi Jaringan Islam Liberal, 28 Mei 2009, mengulas ajaran Soekarno mengenai Islam liberal. Panitia menghadirkan Prof. M. Dawam Rahardjo dan Dr. Yudi Latif sebagai pembicara. Diskusi yang dipandu oleh Novriantoni Kahar, MA itu berlangsung selama dua jam dan dihadiri oleh sekitar 100 peserta.

M. Dawam Rahardjo yang tampil sebagai pembicara pertama mengulas sejarah pemikiran Soekarno, khususnya mengenai persentuhan Soekarno dengan Islam. Sebetulnya, Soekarno dilahirkan tidak dalam tradisi santri, melainkan abangan. Ibunya bahkan berasal dari Bali dan beragama Hindu. Persentuhan Soekarno dengan Islam langsung pada level high Islam yang rasional filosofis, tidak dengan low Islam, yakni pendidikan Islam tradisional. Soekarno bersentuhan dengan Islam langsung pada tradisi pemikiran, bukan pada tradisi ritual.

Yudi Latif menambahkan bahwa latar belakang keluarga ini membuat Soekarno berdiri tidak di satu tradisi. Ayahnya, Sukemi, adalah seorang petani Jawa. Sementara ibunya, I Gusti Nyoman Ray, adalah seorang Hindu Bali. Latar belakang keluarga ini sangat berpengaruh dalam pembentukan watak pemikiran Soekarno yang eklektif.
***

Pembuangannya ke Endeh (1934) menjadi momentum Soekarno belajar Islam secara serius. Ia membaca buku-buku mengenai pemikiran Islam yang dikirim oleh kolega-koleganya, seperti A. Hassan. Cokroaminoto membawa Soekarno berkenalan dengan pemikiran Islam dari Muslim Ahmadiyah. Persentuhan Soekarno dengan Islam menjadi semakin mengarah ke ranah pemikiran setelah Soekarno membaca karya-karya Muslim Ahmadiyah tersebut. Ia membaca tulisan-tulisan Mohammad Ali, pendiri Ahmadiyah Lahore. Muhammad Ali menulis antara lain, The Holy Quran (terjemahan Alqur’an dalam bahasa Inggris), The Religion of Islam, Sejarah Muhammad, dan lain-lain. Sementara melalui Syaid Amer Ali, Soekarno membaca The Spirit of Islam yang kelak menjadi dasar bagi pemikirannya mengenai Api Islam.

Dalam ajaran Ahmadiyah dikenal doktrin mengenai kebutuhan membangun khilafah ruhaniyyah (spritualitas), bukan khilafah duniawiyyah (politik). Istilah “Api Islam” sangat kental terpengaruh dari doktrin ini. Soekarno menyaksikan betapa masyarakat Muslim dunia begitu beragam. Semuanya butuh kesatuan ummah dalam pengertian ruhani. Dari sini Soekarno menegaskan dukungannya kepada model Islam Turki modern.

Ketika banyak pihak mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Soekarno memberi respon dengan mengajukan keberhasilan Mustafa Kemal Attaturk membangun Turki modern. Ia bersetuju dengan buku karangan Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, yang menyatakan bahwa risalah Nabi Muhammad tidak mengandung petunjuk eksplisit mengenai pilihan ideologi politik yang harus dianut oleh umat Islam. Ia menyatakan bahwa pilihan Attaturk memisahkan agama dari negara bukan hanya tidak melanggar syariat Islam, melainkan juga adalah respon cerdas terhadap kemunduran dunia Islam saat itu. Di banyak tulisan lain, Soekarno mengurai sederet kemunduran itu.

Pandangan bahwa Soekarno lebih mengapresiasi corak keberislaman di Turki dibantah secara serius oleh Yudi Latif. Menurut Yudi, Soekarno justru lebih mengapresiasi Islam Mesir ketimbang Turki. Turki, menurut Yudi, telah begitu ceroboh melakukan privatisasi agama, yakni membuang agama ke langit ketujuh. Sementara yang diinginkan Soekarno bukanlah pemisahan agama dari negara melainkan bagaimana memperbaharuinya.

Kesimpulan Yudi Latif cukup terkonfirmasi dalam pelbagai bentuk keprihatinan Soekarno pada kemunduran Islam. Pelbagai kemunduran itu, oleh Soekarno, dinilai sebagai fakta sosial, bukan kondisi yang diidealkan oleh ajaran Islam sendiri. Ketika membahas mengenai ketidaksetaraan gender dalam kehidupan umat Islam, Soekarno menilai hal itu melenceng dari cita-cita ajaran Islam. Baik Islam maupun Kristen, menurut Soekarno dalam buku Sarinah, datang dengan semangat mengoreksi budaya patriarki. Hal ini bisa dibuktikan dalam fakta bahwa kaum perempuanlah yang mula-mula menyambut baik ajaran Islam dan Kristen.

Kondisi ketertindasan perempuan dalam budaya patriarki membuat mereka berbondong-bondong memeluk Islam dan Kristen. Itulah sebabnya, dalam sejarah penyebaran Kristen, banyak sekali tokoh perempuan yang harus mati di tiang gantungan, dibakar, atau disalib karena menganut dan menyebarkan ajaran ini. Demikian pula dengan Islam. Islam berkembang pesat di Nusantara, misalnya, karena para perempuan penganut Hindu lebih memilih Islam yang egaliter. Mereka menghindar dari kewajiban dibakar hidup-hidup mengikuti suami yang meninggal dunia dengan menganut ajaran Islam. Justru karena dianut oleh para perempuan, maka kedua agama ini berkembang dengan sangat pesat.

Sayang, ungkap Soekarno, keberpihakan Kristen dan Islam kepada perempuan tidak lagi tampak dalam realitas kehidupan umat Kristen dan Islam. Ada jarak antara yang ideal dan faktual dalam pelbagai kehidupan dan pemikiran umat Islam. Dengan latar pemikran semacam itulah acapkali Soekarno menyebut Islam saat ini sebagai “Islam Sontoloyo” atau “Masyarakat Onta.”
***

Perkenalan Soekarno dengan tradisi pemikiran Islam, menurut Dawam, ditunjang oleh khazanah ilmu sosial yang telah pula ia serap dari Barat. Pandangan sosiologisnya dipengaruhi oleh materialisme historis Karl Marx, yang menjadi sangat kentara dalam buku Sarinah. Sementara pandangan agamanya dipengaruhi oleh Auguste Comte.

Kombinasi pelbagai tradisi keilmuan ini membawa Soekarno pada dua pendirian mengenai Islam: liberal dan progresif. Pada ranah liberalisme, Soekarno menekankan tentang pentingnya wacana pembebasan dalam Islam. Ia menulis Memudakan Pengertian Islam di Panji Islam (1949). Tulisan ini merefleksikan penguasaan Soekarno mengenai Islam dalam hal gejala sosialnya. Soekarno mempelajari aneka corak keislaman di pelbagai wilayah: Mesir, Palestina, India, Turki, Arab Saudi, dan lain-lain. Dari situ kemudian Soekarno mengambil kesimpulan bahwa apa yang disebut sebagai Islam bukanlah entitas tunggal, melainkan beragam. Gejala pluralisme, menurut Soekarno, ada dalam Islam, baik untuk kalangan eksternal, maupun internal.

Soekarno juga memandang bahwa Islam adalah ide progresif (idea of progress). Di sini, Soekarno menyimpulkan bahwa Islam yang tampak mundur dan tertatih-tatih untuk bangkit itu bukanlah sejatinya Islam. Kemunduran Islam, bagi Soerkarno, terutama disebabkan keengganan sarjana-sarjana Muslim menggunakan perspektif pengetahuan modern (modern science) dalam pemikiran Islam. Ia mengusulkan kepada pesantren-pesantren untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dalam tradisi Barat, di samping tradisi keilmuan Islam.

25/06/2009 | | #

Komentar

Komentar Masuk (15)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Kalo membaca tulisan - tulisan Soekarno, di Bawah Bendera Revolusi, yang banyak juga dikutip judulnya di artikel ini. Memanglah pikiran beliau, pada saat itu, hingga sekarang sekalipun saya anggap, mempunyai visi yang maju untuk perkembangan manusia. Bagi dari sisi keagamaan, sosial, budaya, ekonomi. Agama bagi Soekarno, bukanlah hantu yang selalu menakuti, menakuti anak - anak kecil,tapi kata beliau Islam is Progress, berkembang Islam itu. Seiring berkembangnya kehidupan manusia.

Posted by sashimiboy  on  08/15  at  10:54 AM

soekarno pro monogami sambil berpoligami. A Hassan bermonogami walau pro poligami. Kita, selaras sebuah adagium Arab: Unszur ma qoola wa laa tanszur man qoola. Dengar omongannya abaikan orangnya. Selamat memunguti hikmah yang tercecer dengan berobyektif ria… tanpa tendensi.

Posted by widodo  on  02/23  at  07:30 AM

..lihatlah India, walaupun mayoritas Hindu, tetapi tetap merupakan negara sekuler, (mungkin) karena India itu konsisten dalam hal menghormati keberadaan agama-agama lain di dalam negaranya.  (mengingat semakin liarnya paham wahabi merasuk di bumi pertiwi ini)semoga Indonesia juga mampu menjadi negara yang tetap konsisten dalam hal menghormati keberadaan agama-agama dan umat-umatnya dengan pola sekuler (yaitu tidak menyusupkan unsur2 dari segolongan agama saja ke dalam peraturan pemerintah yang memiliki kontak langsung serta berdampak langsung bagi masyarakat yang majemuk ini)

Posted by Pancasila  on  02/06  at  08:07 PM

Kesadaran yang perlu di tanamkan adalah kebersamaan dalam kemajemukan/pluralitas, pemahaman tentang suatu konsep yang kita pahami harus bisa membawa suatu perubahan terhadap masalah umat yang sangat mengharapkan perubahan dalam hal pemikiran,ini sebetulnya harus banyak yang mendukung guna suksesnya suatu pemikiran,coba kalau kita bersama2 dukung tentang inklusifisme tentang gagasan2 yang sangat mendobrak kemajuan islam.Bukankah kalau begitu konsep dan nilai Islam akan kita rasakan kemaslahatannya.sehinga sebutan” Islam shalihun likulli zaman wamakan”,konsep islam akan sesuai dengan situasi waktu dan tempat.Akan di rasakan oleh kita semua.

Posted by A.Ersal Supyan  on  10/14  at  02:44 AM

Sejarah hidup Soekarno sangat menarik didiskusikan. Karena pendidikan yg beliau tempuh sudah melampaui zaman dan masyarakatnya sendiri. Pembaca tentu tahu tentang sejarah Soekarno dalam perspektif masing.  Tentang keberagamaan beliau, beliau ini dalam buku 40 masalah agama karya KH. Siradjuddin Abbas dikatakan berpaham Panthesmus. Hal ini dikutip dari pernyataan beliau ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa tgl 3 Agustus 1965. Namun Setelah penulis membaca artikel di atas, Pak Yudi Latif berpendapat bhw Soekarno berpaham keagamaan liberal. Bisakah liberalism dikawinkan dg paham Wihdatul Wujud tadi?. Ya kebenaran pendapat bersifat relatif. Saya sepakat dg pendapat yg pertama krn KH. Siradjuddin Abbas sezaman dg Soekarno. Namun bisa saja saya salah memilih

Posted by Zainul Qudsi  on  09/03  at  09:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq