Stratifikasi Pembaca Teks Alqur’an - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
26/02/2006

Stratifikasi Pembaca Teks Alqur’an

Oleh A. Sihabulmillah

Sistem stratifikasi juga tampak dalam masyarakat pembaca teks Alqur’an. Fazlur Rahman, misalnya, dengan menggunakan analogi sebuah bangsa (a country), memetakan tiga stratifikasi pembaca teks Alqur’an: warga negara (citizens), orang asing (foreigners), dan penjajah (invaders).

Dalam buku Social and Cultural Mobility, Pitirim A. Sorokin berpendapat bahwa kehidupan di masyarakat, apakah itu menganut sistem kapitalis, demokratis, atau komunis, pasti membentuk social stratafication bertingkat. Ada kelas atas, menengah, dan bawah. Pembentukannya tidak mengenal ideologi, aliran, etnik, atau agama yang dianut masyarakat.

Sistem stratifikasi juga tampak dalam masyarakat pembaca teks Alqur’an. Fazlur Rahman, misalnya, dengan menggunakan analogi sebuah bangsa (a country), memetakan tiga stratifikasi pembaca teks Alqur’an: warga negara (citizens), orang asing (foreigners), dan penjajah (invaders).

Senada dengan Rahman, Farid Esack dalam buku The Qur’an: A Short Introduction menstratifikasi pembaca teks Alqur’an –yang kemudian ia sebut pencinta-- menjadi tiga tingkatan: pencinta tak kritis (the uncritical lover), pencinta ilmiah (the scholarly lover), dan pencinta kritis (the critical lover).

Tiga stratifikasi itu dibangun Esack dengan menggunakan analogi hubungan the lover and body of a beloved (pencinta dan tubuh seorang kekasih). The lover dan body of a beloved, masing-masing diwakili pembaca teks Alqur’an dan teks Alqur’an. Tubuh seorang kekasih oleh Esack dialamatkan pada tubuh seorang perempuan. Dengan kata lain, ia mengibaratkan teks Alqur’an seperti halnya tubuh seorang kekasih dari jenis kelamin perempuan.

Di dunia percintaan, keindahan tubuh perempuan biasanya dijadikan alasan utama kaum laki-laki menyunting seorang perempuan sebagai kekasih atau istri. Keindahan ini pula yang terkadang membuat laki-laki menjadi “buta”, terlena, melahirkan rasa ingin memiliki, dan lain-lain.

Menurut Esack, keindahan body of a beloved (baca: teks Alqur’an) selalu diapresiasi para pencinta (baca: pembacanya) dengan berbagai bentuk. Sehingga, antara pencinta satu dengan pencinta lainnya memiliki cara berbeda dalam menilai sang kekasih.

Pertama, pencinta tak kritis (the uncritical lover). Orang yang menduduki level ini biasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Kecantikan seorang kekasih telah “membutakan” mata hatinya, seakan tak ada perempuan lain yang lebih cantik daripada kekasihnya. Pencinta menilai, sekujur tubuh dan apa saja yang melekat pada tubuh sang kekasih itu indah, mempesona, dan sempurna.

Dalam konteks pembaca Alqur’an, pencinta tak kritis selalu memuja-muja Alqur’an. Alqur’an adalah segala-segalanya. Ia memperlakukukannya seperti permata berlian, tanpa pernah tahu apa manfaatnya.

Bagi dia, Alqur’an adalah jawaban dari segala persoalan, tapi tidak tahu bagaimana proses memperoleh atau membuat jawaban-jawaban tersebut. Ia hanya mengkonsumsi atau mendaur-ulang jawaban-jawaban mengenai Alqur’an dari orang lain. Posisi pencinta ini ditempati oleh kaum muslim kebanyakan; mereka memperlakukan Alqur’an hanya sebatas bahan bacaan yang dilafalkan di ujung lidah. 

Kedua, pencinta ilmiah (the scholarly lover). Pencinta tipe ini mengagumi segala keindahan yang dimiliki sang kekasih. Hal yang membedakan dia dengan pencinta pertama adalah keberanian dan kecerdasannya untuk memaknai seluruh keindahan yang melekat pada tubuh sang kekasih. Rasa tergila-gila pada pujaan hati tidak membuat dia mabuk kepayang, apalagi sampai lupa daratan.

Pencinta ilmiah selalu merenungkan dan mempertanyakan, semisal, mengapa ayat-ayat Alqur’an begitu indah dan mempesona, dan apa makna di balik keindahannya. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian ia jawab dengan segenap ilmu pengetahuan Alqur’an yang ia miliki dan kemudian dituangkan dalam bentuk karya tafsir. Dengan ungkapan lain, di samping ia selau merindukan kehadiran Alqur’an, ia juga membaca, memahami, dan menafsirkan ayat-ayatnya.

Para pencinta yang masuk dalam kategori ini adalah Abul ‘Ala al-Maududi, Husain Tabatabai, Muhammad Asad, Bint al-Shatti, Muhamad Husayn al-Dhahabi, Jalal al-Din al-Suyuti, Badr al-Din Zarkashi, dan lain-lainnya. Pencinta-pencinta ini telah menghasilkan karya tafsir yang sungguh menakjubkan dan patut dihargai jerih payahnya.

Ketiga, pencinta kritis (the critical lover). Ia terpikat pada sang kekasih, tetapi tidak menjadikan ia gelap mata. Meskipun ia gemar membaca, memahami, dan menafsirkan beberapa organ tubuhnya, ia juga bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang menempel pada tubuh sang kekasih. Ia pun tak segan-segan mempertanyakan sifat dan asal-usulnya, bahasanya, warna “rambutnya”, faktor apa yang melingkupi keindahannya, sesuatu yang janggal dalam dirinya, dan lain-lain. Semua itu ia lakukan demi rasa cintanya pada sang kekasih.

Untuk mengetahui itu semua, para pencinta pada level ini rela “menikahi” sang kekasih (baca: Alqur’an) dan memanfaatkan berbagai macam ilmu sosial mutakhir, semisal, linguistik, sosiologi, antropologi, hermeneutika, dan filsafat sebagai pisau analisinya.

Dengan metode seperti itu, para pencinta ini bisa berdialog dengan Alqur’an dan mampu menyingkap segala misteri yang melingkupinya. Hasil dialog itu kemudian dibakukan dalam bentuk karya tulis studi pemikiran Islam kontemporer yang benar-benar baru dan menyegarkan, serta bisa menjawab persoalan zaman. Para intelektual muslim yang masuk dalam tipe ini adalah Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan lain-lain.

A. Sihabulmillah, Dosen STIQ An-Nur Jogjakarta dan alumnus PP Al-Islah dan Yayasan Qomarudin Bungah Gresik .

26/02/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

TANGGAPAN UNTUK A.SIHABULMILLAH

INTERAKSI MANUSIA TERHADAP ALQUR’AN

Oleh: Hamam Faizin (Peminat Kajian al-Qur’an dan Alumnus Pon. Pes/ As-Salafiyah Kajen-Pati)

Membaca tulisan A. Sihabulmillah dengan tajuk “Stratifikasi Pembaca Teks Alqur’an” (27/02/2006) cukup menarik perhatian penulis untuk menanggapinya. Secara garis besar, tulisan A. Sihabulmillah ingin mengintrodusir gagasan Farid Esack tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan Aqur’an. Akan tetapi, penulis menemukan sesuatu ‘yang lain,’ yakni pereduksian gagasan Farid Esack itu sendiri yang dilakukan oleh A. Sihabulmillah. Alih-alih mengintrodusir gagasan Farid Esack tersebut, tulisan A. Sihabulmillah malah mereduksinya. Kemungkinan besar, pereduksian tersebut terjadi karena A. Sihabulmillah belum secara kaffah membaca gagasan Farid Esack yang tertuang dalam buku The Qur’an: a Short Introduction (2002). Oleh karena itu ada beberapa catatan penting yang ingin penulis sampaikan kepada A. Sihabulmillah khususnya dan sidang pembaca pada umumnya.

Stratifikasi atau (Tipologi) Interaksi Pembaca Teks Alqur’an ?

Istilah ‘stratifikasi’ untuk menunjukkan gagasan Farid Esack tentang bagaimana manusia membaca teks Alqur’an kurang pas atau bahkan bertentangan. Istilah “stratifikasi’ sebenarnya menunjukkan adanya tingkatan kelas atau grade yang bermuara pada penilaian baik dan buruk. Padahal Farid Esack tidak memaksudkan hal tersebut sama sekali. Pengkelompokkan tersebut dibuat oleh Farid Esack hanya sebatas bersifat penggambaran saja (descriptive) bukan bersifat penilaian (evaluative) sehingga pengkelompokkan tersebut menafikan penilaian-penilaian baik buruk sebab semua gaya interaksi pembaca terhadap teks Alqur’an tetap diapresiasi, sebagaimana kata Farid Esack. “In general, my description of these should be regarded as descriptive rather than evaluative. I am not suggesting that the first level is the “highest” or “lowest” level.”

Karena penggunaan istilah “stratifikasi’ inilah, tulisan A. Sihabullmillah tampaknya cenderung memberikan nada minor terhadap kelompok pertama, The Uncritical Lover dan sebaliknya memberikan pujian berlebihan terhadap kelompok berikutnya yakni The Scholarly Lover dan The Critical Lover. Jadi istilah “stratifikasi” yang digunakan oleh A. Sihabulmillah untuk menggambarkan gagasan Farid Esack, penulis rasa kurang tepat.

Padahal kalau kita baca pada bab I buku karya Farid Esack ini, akan dijumpai apresiasi yang menarik dari Farid Esack yang ia kutip dari sejumlah tokoh seperti Imam al-Gazali dan Nasr Hamid Abu Zayd.

Dalam bab ini Farid Esack mengisahkan kenyataan-kenyataan bagaimana m,sayarakan Afrika Selatan (yang tergolong the Uncritical Lover) mendekati dan berinteraksi dengan Alqur’an. Sebagai ibu rumah tangga, ibu Farid Esack tatkala memasak makanan, seringkali bergumam membacakan salah satu ayat al-Quran dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah-rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan al-Quran dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing, mereka membaca ayat-ayat tertentu dari al-Quran. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Dengan menguti pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Esack melihat bahwa cara interaksi yang seperti itu menjadikan teks Alqur’an tertranformasikan menjadi sebuah objet yang dengan sendirinya bernilai, teks Alqur’an menjadi semacam intitas independent yang bernilai dengan sendirinya (Thus the text has been transformed into an object that is valuable in itself).

Cara beinteraksi pencinta tak kritis (the Uncritical Lover) yang selalu memuja-muja Alqur’an, menjadikan Alqur’an sebagai segala-segalanya dan memperlakukukannya seperti permata berlian, tanpa pernah tahu apa manfaatnya sejati merupakan apresiasi yang tidak bisa diabaikan begitu saja sebab mereka tetap menghorati Alqur’an dan oleh karena itulah al-Quran tetap mampu memenuhi banyak fungsi di dalam kehidupan muslim (al-Quran fulfills many of functions in lives of muslims).

Argumen ini disokong oleh kisah yang dituturkan oleh Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505/1111). Konon Ahmad Ibn Hanbal (w.241/800) bermimpi bertemu dengan Tuhan. Ibnu Hanbal bertanya kepada Tuhan bagaimana orang-orang itu bisa dekat dengan-Mu. Kemudian Tuhan menjawab, “Dengan firman-Ku, yakni Alqur’an, wahai Ahmad.” Ahmad ibn Hanbal kemudian memastikan lagi kepada Tuhan: “Dengan memahami makna firman-Mu atau tanpa memahaminya?” Pertanyaan ini oleh Tuhan di jawab: “Baik dengan memahaminya maupun tidak.”

Dalam perkembangan, fenomena interaksi umat Islam (The Uncritical Lover) yang unik ini tampaknya semakin memperlebar wilayah studi Alqur’an. Wilayah ini sering kali disebut dengan Living Qur’an, Alqur’an yang hidup dalam keseharian umat Islam.

Pembaca Muslim dan Non-Muslim.

Kalau boleh penulis sebut, sejatinya pengelompokan yang dilakukan oleh Farid Esack itu semacam tipologi, yakni tipologi bagaimana manusia/pembaca teks Alqur’an (muslim maupun non-muslim) berinteraksi dengan Alqur’an. Tipologi yang diusung oleh Farud Esack dalam buku tersebut sebenarnya meng-cover dua kelompok ini, yakni muslim dan non-muslim. Sedangkan dalam tulisan A. Sihabulmillah hanya mengedepankan kelompok dari kalangan muslim.

Agar pemahaman para pembaca menjadi total dan lengkap terahadap gagasan Farid Esack, perlu kiranya penulis tambahkan tentang tipologi dari kalangan non-muslim, bagaimana sebenarnya non-muslim mendekati Alqur’an.

Non-Muslim pun memiliki cara atau gaya interaksi yang cukup berbeda, meskipun ada yang sama. Kelompok non-muslim ini pun juga dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, The Friend of Lover (Sahabat Sang Pecinta). Kelompok ini tidak jauh beda dengan kelompok The Critical Lover. Mereka juga mengkritisi dan mempertanyakan eksistensi Alqur’an, hanya saja mereka bukanlah muslim. Kendati demikian, kelompok ini bisa sangat kritis melalui metodologi dan standar akademi yang ketat yang biasanya melebihi muslim, sehingga apa yang dilakukan mereka bahkan acapkali bisa memberikan bekal dan sumbangsih yang berharga bagi umat Islam. 

Kalau boleh disebut kelompok ini adalah para orientalis yang baik. Kiranya, kelompok ini yang perlu dirujuk untuk menjadi panutan yang baik bagi kita untuk mengetahui sejarah alqur’an secara lebih komprehensif. 

Ketiga, The Voyeur (seseorang yang memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip aktivitas atau organ seksual orang lain). Pada intinya kelompok ini beroposisi biner dengan kelompok The Scholarly Lover. Mereka mencoba membabi-buta dan melemahkan Alqur’an melalui bukti-bukti akademisnya ‘yang dibuat-buat’. Misalnya kasus Christoph Luxenberg (nama samaran) yang ‘menggugat’ ke-Arab-an Alqur’an melalui bukunya yang berjudul Die Syro-Aramaeische Lesar des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache (2000).  Melalui buku tersebut, ia menganggap bahwa mushaf Alqur’an sekarang merupakan kesalahan salinan bahasa Arab fushah dari bahasa Syiria-Aramaik.

Keempat adalah The Polemicist. Kelompok ini adalah kelompok yang anti-Islam dan anti-Alqur’an. pandangan yang ada di dalam diri mereka tentang Islam dan Alqur’an adalah negatif.

Tipologi bagaimana manusia mendekati Alqur’an yang digagas oleh Farid Esack ini, penulis rasa cukup adil dan komprehensif. Adil karena memberikan kritik terhadap bagaimana cara muslim mendekati Alqur’an dan begitu juga memberikan apresiasi sekaligus kritik terhadap non-muslim (orientalis) yang mendekati Alqur’an. Komprehensif karena dirasa sudah mampu meliput atau menyertakan semua golongan baik muslim atau non-muslim yang lebih detail tipenya.

Kiranya tipologi yang seperti ini sudah sepantasnya diperkenalkan kepada khalayak muslim khususnya, agar tidak terjadi penilaian yang hitam-putih terutama kepada para pengkaji Alquran yang non-muslim (orientalis). Mungkin tipologi yang kritis, adil dan komprehensif ini layak menjadi wakil atau contoh yang baik dan bijak dalam menilai produk kesarjanaan.

Dan tipologi ini akan sangat menarik jika kita coba untuk mencandra peta penafsiran di Indonesia dengan tanpa mengklain bahwa kolompok ini lebih baik dan kelompok itu jelek. Sebab tipologi ini diperkenalkan tidak untuk mengukur baik-buruk tetapi sebagai tambahan keragaman pemahaman sehingga umat bisa membuka mata. Wallahu’alam.

Hamam Faizin Peminat Kajian al-Quran tinggal di Yogykarta dan Alumnus Pon. Pes. As-Salafiyah Kajen Pati.
-----

Posted by Hamam Faizin  on  03/16  at  05:03 PM

Kita sadar bahwa Muhammad Saw adalah sumber dari Islam. Beliau adalah yang menjalankan Islam tanpa catat. Karena dialah yang membawa risalah Islam.

Setelah beliau adalah para sahabat, terus tabiin, tabiin tabiin..... Hingga pada kita sekarang ini.

Untuk ilmu agama, setiap generasi akan mengalami reduksi karena setiap generasi semakin jauh dari sumber yaitu Muhammad SAW.

Kita sekarang tentu lebih jauh dari sumber itu sendiri, dan logikanya sahabat, tabiin, tabiin tabiin jelas mereka lebih dekat dengan sumber islam itu sendiri.

Jadi jika kita mau melihat hal seperti itu maka kita akan sepakat, kita mengikuti mereka khususnya dalam hal hal yang berhubungan dengan aqidah.

Posted by joko  on  03/01  at  09:03 PM

Assalamualaikum

Mungkin karena umur sudah tua, pengalaman hidup sudah lebih dari 60 tahun, ditambah kebiasaan berpikir akademis, maka rasanya memang selalu timbul pertanyaan seperti tercantum pada pencinta Al Qur’an pada level 3. Walaupun katanya para sarjana di Indonesia meningkat, kenapa hanya karena masalah pembaharuan ataupun penafsiran ulang yang disesuaikan dengan jamannya, masih banyak yang komplain. Entah dimana salahnya, padahal SBY dan Borkiah sudah bercita-cita Islam moderat yang berkembang di negaranya, yang bersifat bijak, sejuk, toleran, dsb. JIL pun sudah banyak mengemukakan pandangannya, ---- tapi masih saja banyak penentangnya (?).

Wassalam

H.Bebey

Posted by H. Bebey  on  02/28  at  08:04 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq