Syura di Mata Muawiyah - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
13/09/2004

Syura di Mata Muawiyah

Oleh Abd A'la

Muawiyah mengklaim bahwa akar krisis kekacauan persatuan umat Islam, dan terjadinya perpecahan serta perselisihan di antara mereka, semua itu berujung kepada syura yang digagas Umar. Bagi Muawiyah, syura dianggap sebagai biang keladi persoalan karena enam orang yang diberi amanah untuk melaksanakan syura sama-sama mengincar jabatan khalifah untuk diri dan kelompoknya.

MUAWIYAH merupakan penguasa muslim pertama yang menjadikan kekuasaan sebagai warisan yang bersifat turun-temurun. Ambisi kekuasaannya demikian kokoh menggelayut dalam benak dan hatinya sehingga membuat nalar dan keagamaannya dilacurkan untuk peneguhan kekuasaan.

Terkait dengan hal itu, ada sebuah peristiwa menarik yang sangat signifikan untuk diangkat kembali dan boleh jadi relevan dengan situasi aktual. Pada suatu hari -sebagaimana diungkap Mahmoud M Ayub dalam The Crisis of Muslim History (Mizan: 2004) -Muawiyah mengundang Ibnu Husain, salah seorang bijak dan cerdas pada masa itu. Keduanya terlibat perdebatan panjang seputar akar persoalan yang menjadi penyebab runtuhnya persatuan umat Islam. Muawiyah menolak analisis Ibn Husain yang mencoba merujukkan penyebab krisis itu kepada terjadinya pembunuhan Utsman, perang saudara antara Ali dan Mu`awiyah, dan perang Jamal antara Ali dan `Aisyah. Alih-alih, Muawiyah mengklaim bahwa akar krisis kekacauan persatuan umat Islam, dan terjadinya perpecahan serta perselisihan di antara mereka, semua itu berujung kepada syura yang digagas Umar. Bagi Muawiyah, syura dianggap sebagai biang keladi persoalan karena enam orang yang diberi amanah untuk melaksanakan syura sama-sama mengincar jabatan khalifah untuk diri dan kelompoknya.

Terlepas apakah analisis itu benar atau salah, tapi Muawiyah telah mengabaikan signifikansi syura sebagai salah satu nilai moral politik Alquran yang sejatinya harus dilabuhkan dalam ranah sosial-politik. Ujung-ujungnya adalah kekuasaan. Karena kekuasaan itu pula, ia melakukan politisasi agama yang dapat dilacak dengan mudah pada kebijakannya (yang tidak bijak) dalam memberlakukan teologi jabariyah. Melalui teologi predistinasi ini, Muawiyah mengalabui dan membungkam umat bahwa semua kejadian, khususnya penobatan dirinya sebagai penguasa, merupakan kehendak dan izin Sang Pencipta. Meskipun sepak terjangnya seperti itu, mayoritas Muslim Sunni tetap menganggap Muawiyah tetap sebagai penganut Islam yang ortodoks.

Kenyataan itu perlu diangkat dan dikritisi kembali karena sejarah semacam itu tampaknya berulang kembali saat ini. Beberapa tokoh dan kelompok Islam dengan ambisi kekuasaan berusaha dengan intens mengusung simbol-simbol agama. Nama Islam beserta derivasinya dijual ke sana-ke mari sehingga masyarakat terpesona, bahkan terbuai dan bermimpi indah bahwa kejayaan Islam akan segera datang; suatu kejayaan yang akan mengantarkan mereka hidup dalam kemakmuran, dan kesejahteraan. Dalam melakukan hal itu, mereka sering mengedepankan klaim kebenaran sepihak, dan menegasikan suara umat dari kelompok dan agama yang lain. Menyikapi fenomena yang demikian, tidak banyak umat Islam, termasuk kalangan intelektualnya, yang menyoal sikap dan perilaku mereka. Mereka tetap ditahbiskan sebagai Muslim ortodoks yang membawa misi pengembangan Islam otentik.

Justru -ini yang sangat ironis -orang-orang yang mencoba mengkritisi mereka dituduh sebagai musuh Islam. Demikian pula kelompok Muslim yang membawa misi pembebasan Islam dari politik, dari kepentingan kelompok yang sempit, dan sejenisnya serta berusaha mengembangkan nilai-nilai demokrasi (yang sejatinya sejalan atau bahkan nyaris identik dengan syura) terkadang dianggap sebagai muslim yang menyimpang atau, bahkan, kafir.

Sebuah pertanyaan lalu menyembul ke permukaan; bisakah kehidupan politik dikembangkan tanpa ditopang oleh nilai-nilai demokrasi atau syura? Sejarah umat Islam pada masa Dinasti Muawiyah menjawab pertanyaan ini. Kelompok Syiah diuber-uber ke sana kemari, kaum oposisi mengalami penistaan dalam beragam bentuknya. Pada masa itu kesejahteraan memang sempat muncul ke permukaan, tapi yang menikmati hanya segelintir orang; penguasa dan para pendukung setianya.

Selebihnya, darah berceceran di mana-mana, dan manusia dihina sedemikian rupa. Yang disiksa bukan hanya manusia yang masih hidup. Yang sudah mati pun terus dianiaya. Peristiwa Karbala menjadi bukti yang tidak mungkin dibungkam oleh siapa pun. Zaman atau kondisi semacam itu yang ingin kita usung dan kembangkan di bumi Indonesia?© (Abd A`la

13/09/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

bagi politisi yang menginginkan kesuksesan dalam karir politiknya bergurulah pada muawiyah. Muawiyah adalah politikus ulung yang dengan semua cara dihalalkan

Posted by enoz  on  02/09  at  07:13 AM

Sejarah bani umayyah sebetulnya jauh sejuta kali lebih kejam dari pada yang ditulis oleh saudara Abd A’la. Ratusan ribu kaum muslimin dibantai oleh mereka, ribuan bayi dibunuh hanya karena namanya Ali, ribuan ahli hadist dipotong lidahnya karena meriwayatkan keutamaan Ali, 70 tahun Ali dilaknat di 70000 mimbar masjid. Setiap khutbah jum’at khatib diwajibkan melaknat Ali, atau di bunuh. Keluarga Nabi yang seharusnya harus dihormati, malah dibantai. Dan masih banyak lagi kejahatannya yang saya sendiri malu tidak sanggup menulisnya.

Reformasi sejarah harus diadakan! sampai kapan kaum muslimin terus menerus dibohongi? sampai kapan anak-anak kita di cekoki dongeng kisah romantis masa lalu?
-----

Posted by muhammad assegaff  on  09/19  at  07:10 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq