Tafsir atas “Rajam” dalam Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

28/10/2009

Tafsir atas “Rajam” dalam Islam

Oleh Abd Moqsith Ghazali

umat Islam bisa mencari sanksi-sanksi hukum yang paling mungkin dan efektif untuk menjerakan para pelaku kriminal. Bisa dengan cara dipenjara atau yang lainnya. Ibn Zaid pernah mengusulkan agar orang yang berzina dilarang menikah sampai yang bersangkutan meninggal dunia. (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, hlm. 79). Sebagian ulama, seperti Muhammad Syahrur, berpandangan bahwa hukum potong tangan dan rajam merupakan hukum maksimal (al-hadd al-a`la) yang hanya bisa dijalankan ketika sanksi-sanksi hukum di bawahnya tak lagi efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas.

Rajam adalah sanksi hukum berupa pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina sementara ia sudah pernah menikah atau masih dalam ikatan pernikahan dengan orang lain). Rajam dilakukan dengan cara menenggelamkan sebagian tubuh yang bersangkutan ke dalam tanah, lalu setiap orang yang lewat diminta melemparinya dengan batu-batu sedang (hijarah mu`tadilah) sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Hukum rajam pernah berlaku pada zaman Nabi Musa. Dalam Perjanjian Lama, Ulangan 22: 22 disebutkan, “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel”.

Bahkan seorang gadis perawan pun ketika berzina harus dihukum mati. Disebutkan dalam ayat 23 dalam pasal dan surah yang sama Perjanjian Lama, “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan--jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengah mereka”. Mungkin berdasar kepada dalil-dalil itu, ketika di Madinah Rasulullah SAW pernah merajam laki-laki dan perempuan Yahudi yang berzina.

Dalam al-Qur’an, ayat rajam tak tercantum. Namun, sejumlah kitab fikih menjelaskan bahwa pada mulanya ayat rajam itu temaktub dalam al-Qur’an. Dalam perkembanganya, ayat itu dihapuskan walau hukumnya tetap berlaku (naskh al-rasm wa baqa’ al-hukm). Ayat tersebut berbunyi al-syaiku wa al-syaikhatu idza zanaya farjumuhuma al-battatah nakalan min Allah (laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah secara sekaligus, sebagai balasan dari Allah). Ayat inilah yang menjadi pegangan para ulama pendukung hukum rajam. Sebuah hadits menyebutkan, “inna al-rajm haq fi kitabillah `ala man zana idza ahshana min al-rijal wa al-nisa’, idza qamat al-bayyinah, aw kana al-haml, aw al-i`tiraf”. Bahwa sesungguhnya rajam itu ada di dalam Kitabullah, yang wajib diperlakukan buat laki-laki dan perempuan yang berzina muhshan, ketika sudah cukup bukti, atau sudah hamil atau mengaku berzina. 

Dikisahkan bahwa hukum rajam pernah diterapkan pada zaman Nabi. Yaitu, ketika Ma`iz ibn Malik al-Aslami dan Ghamidiyah yang mengaku (i`tiraf) kepada Nabi bahwa dirinya telah berzina dengan seorang perempuan. Dengan itu, mereka meminta untuk dirajam. Nabi berkali-kali menolak dan tak segera memenuhi permintaan yang bersangkutan. Namun, mereka tetap ngotot bahwa dirinya telah melakukan zina muhshan. Akhirnya Nabi “terpaksa” menyanksinya dengan dirajam. Mungkin Nabi berharap agar yang bersangkutan tak mengaku berzina secara terus terang. Toh, dalam kesendiriannya ia bisa bertaubat kepada Allah SWT atas dosa-dosanya. 

Kini banyak orang bertanya tentang perlu dan tidaknya menerapkan hukum rajam. Saya kira ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama, rajam dalam Islam termasuk syar`u man qablana (syariat pra-Islam). Al-Qur’an banyak mengintroduksi hukum-hukum yang berlaku pada era sebelum Islam, seperti hukum Yahudi. Di samping soal rajam, al-Qur’an misalnya mengutip syariat Nabi Musa yang memperbolehkan bunuh diri. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 54), “Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu sebagai sesembahan kalian, maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menciptakan kalian dan bunuhlah diri kalian sendiri. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menciptakan kalian. Maka Allah akan menerima taubat kalian. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang”.

Para ulama fikih sendiri berbeda pendapat tentang posisi syar’u man qablana sebagai dalil hukum (hujjah syar’iyah). Sebagian ulama berpendapat bahwa syar`u man qablana menjadi bagian ajaran Islam jika itu sudah disebut dalam al-Qur’an. Sebagian yang lain berkata, bahwa syar’u man qablana bukanlah syari’at kita (umat Islam) karena itu kita tak boleh menjadikannya sebagai dalil hukum. Dengan argumen itu tak sedikit para ulama yang menolak pemberlakuan syar’u man qablana. Dengan itu, menurutnya, hukum rajam tak perlu diterapkan sebagaimana kita tak menerapkan hukum bunuh diri sebagai jalan taubat, sekalipun itu sudah tercantum dalam al-Qur’an.

Kedua, rajam tak efektif menjerakan para pelaku perzinaan, karena yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Ia tak sempat lagi memperbaiki diri. Padahal, jelas dikemukakan para ahli fikih bahwa sanksi-sanksi hukum dalam Islam berfungsi untuk menjerakan para pelaku pidana (al-hudud zawajir la jawabir). Ketiga, rajam akibat perzinaan muhshan dalam konteks sekarang potensial merugikan perempuan. Kaum perempuan tak mudah untuk menghindar dari tuduhan zina sekiranya telah terjadi kehamilan sementara yang bersangkutan diketahui publik tak punya suami. Sementara pezina laki-laki bisa menghindar dari dakwaan zina, terlebih menghadirkan empat orang saksi yang melihat secara persis perzinaan itu, seperti dikehendaki al-Qur’an, bukanlah perkara mudah.

Keempat, kelompok Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat ayat apalagi hadits yang menegaskan tentang hukum rajam bagi pezina muhshan sudah dihapuskan oleh ayat al-Qur’an (al-Nur: 2), yaitu “al-zaniyatu wa al-zani fajlidu kulla wahidin minhuma mi’ata jaldatin wa la ta’khudkum bihima ra’fatun fi din Allah in kuntum tu’minuna bi Allah wa al-yawm al-akhir wa al-yasyhad `adzabahuma tha’ifatun min al-mu’minin” (pezina perempuan dan laki-laki, pukullah sebanyak 100 kali pukulan. Janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman). Memang al-Qur’an sendiri, seperti dalam Mushaf Utsmani, tak membedakan antara pezina muhshan dan ghair muhshan. Pertimbangan ini sekalipun hadir dengan argumen yang belum kukuh bisa dipertimbangkan sebagai salah satu argumen untuk menolak penerapan hukum rajam.

Kelima, al-Qur’an tak memberikan hukum tunggal bagi orang yang berzina. Jika kita sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji (fahisyah), maka sanksi hukum bagi pezina, baik yang muhshan maupun yang bukan, maka al-Qur’an memberi sanksi tahanan rumah seumur hidup. Disebutkan dalam al-Qur’an (surat al-Nisa’: 15), “Dan terhadap perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu yang menyaksikannya. Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah perempuan-perempuan itu sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepada mereka”.

Bahkan di ayat berikutnya (ayat 16) tak dijelaskan jenis hukuman bagi para pezina, “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kalian, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang”. Qatadah dan al-Sudi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan adzuhuma dalam ayat itu adalah dengan cara mempermalukan, menjelek-jelekkan, dan mencacinya (al-taubikh wa al-ta`yir wa al-sabb). Kalu kita bersepakat dengan ulama yang menolak konsep nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, maka ayat ini tak bisa dianulir oleh ayat dan hadits yang memerintahkan rajam dan hukuman dera sebanyak 100 kali deraan. Mujahid misalnya berpendapat bahwa ayat 15 surat al-Nisa’ adalah sanksi hukum bagi pezina perempuan, sementara ayat 16 surat yang sama adalah sanksi hukum bagi para pezina laki-laki. (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, hlm. 80)

Akhirnya, bisalah dikatakan bahwa ayat yang terkait dengan sanksi hukum seperti rajam merupakan fikih jinayat al-Qur’an yang pada tingkat implementasinya tak otomatis bisa dijalankan. Artinya, umat Islam bisa mencari sanksi-sanksi hukum yang paling mungkin dan efektif untuk menjerakan para pelaku kriminal. Bisa dengan cara dipenjara atau yang lainnya. Ibn Zaid pernah mengusulkan agar orang yang berzina dilarang menikah sampai yang bersangkutan meninggal dunia. (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, hlm. 79). Sebagian ulama, seperti Muhammad Syahrur, berpandangan bahwa hukum potong tangan dan rajam merupakan hukum maksimal (al-hadd al-a`la) yang hanya bisa dijalankan ketika sanksi-sanksi hukum di bawahnya tak lagi efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas.

Dengan memperlakukan ayat-ayat jinayat sebagai fikih al-Qur’an, maka kita tak lagi terikat untuk memaksakan penerapan sanksi-sanksi hukum itu seperti yang secara harafiah disebut dalam al-Qur’an. Kita bisa mencari jenis-jenis hukum lain yang lebih relevan dan sesuai dengan konteks keindonesiaan kita. Yang penting tujuan dari sanksi-sanksi hukum Islam untuk menjerakan para pelaku tindak pidana sudah tercapai. Wallahu A`lam Bishshawab.

28/10/2009 | | #

Komentar

Komentar Masuk (17)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Sesungguhnya di Al-qur’an itu mengandung makna yang tersurat/dzahir, dan makna yang tersirat. APakah salah orang yang menggunakan makna tersurat dalam memahami Al-Qur’an itu, sehingga ayat rajam tetap menjadi ada (klo pun ‘katanya’ sudah tidak ada)?

Posted by Zainul Qudsi  on  11/21  at  10:09 AM

agama islam adalah agama yang mumtas,jagankan hanya soal kriminalis.masalah buang air kecil dalam islam ada aturannya,......................ini islam agama yang paripurna itu segala agama,tapi sayang kenapa para ummat islam,utama penduduk indonesia banyak yang tidak islami aktifitasnya?

Posted by chairul baqi  on  11/17  at  04:50 PM

Allah memberikan manusia akal untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, memperbaiki tingkat kehidupannya, dan tentunya menegakkan agamaNya.

Dalam menanggapi masalah rajam ini, perlu ditinjau secara konteks dan literatur, bagaimanakah rajam dijalankan pada zaman Rosul dulu?

Segala macam hukuman yang ada pada zaman itu: cambuk, rajam, potong tangan, dan lain sebagainya adalah cara yang paling efektif pada zaman itu untuk menyelesaikan masalah sosial, wajar cara yang dinilai pada abad 21 ini tidak manusiawi.

Lalu, dengan kondisi masyarakat saat ini apakah kita harus menjadi manusia yang tekstual dan menjalankan hukum2 tersebut? Tentunya tidak, karena kondisi masyarakat saat ini jauh melampaui tradisi kekerasan yang dulu berjaya pada zamannya.

Lalu apa hukuman yang paling tepat untuk menjerakan kriminalitas? Lihat konteks masyarakat itu seperti apa dari pada kita sibuk berdebat apakah ayat rajam itu ada atau tidak di Al Qur’an.

Terkait pernyataan salah seorangakhwat diatas, “Mari kita kembali kepada islam murni yang dibawa oleh nabi Muhammad yang merupakan wahyu yang sudah menyempurnakan wahyu-wahyu sebelumnya. Janganlah kita memakai logika pikiran orang-orang barat yang bisa membuat kerusakan-kerusakan. Jika islam berkata A, maka kita lakukan perintah A tersebut tanpa harus mengingkarinya. Ingatlah akhina kita hidup bukan hanya dunia ini saja, masih jauh dan panjang perjalan kita yang berikutnya hingga kita nantinya menuju alam akhirat”

Saya sungguh kecewa, padahal logika menentukan benar dan salah atas sesuatu. Tanpa adanya logika kita tak ubahnya seperti orang yang tidak pernah mendapatkan ilmu. Bukankan dalam Al Qur’an sendiri kita akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kita? Bukankah perbuatan yang akan kita lakukan ini juga dari proses berpikir?
Kalau kita dilarang berpikir berarti proses penerimaan agama kita selama ini hanya dari DOKTRIN. Jadi apa gunanya amal perbuatan kita jika semuanya atas doktrinasi belaka? Padahal setahu saya Allah tidak pernah melarang manusia untuk berpikir, bahkan Allah sangat murka pada hambaNya yang tidak menggunakan akal dan pikirannya dalam bertindak.
Kok aneh sekali jalan pikirannya..
Dan islam murni yang bagaimanakah yang dimaksud?

celana di atas mata kaki dan berjenggot? Jilbab super gede dan berpakaian warna gelap?

Sungguh ironis jika islam hanya dimaknai simbol-simbol itu, bahkan bisa saja orang Barat yang kalian caci itu sebenarnya jauh lebih islami dari segi pengetahuan dan teknologi daripada umat islam sendiri yang masih berdebat masalah halal haram dan boleh atau tidak.

Posted by eny  on  11/16  at  03:42 PM

...ini lah seulitnya kalau melihat hadist dan alquran cuma sebatas redaksional semata, akses paling buruknya adalah citra islam yg terpuruk se bagai agama yg mandek. ambil contoh dalam hal ini hukum rajam (dan hukum2 yg lain)
...Hukum rajam, merupakan hukum yg sangat hebat(bersama2 hukum yg lain) dan merupakan terobosan paling mutakhir pada masa itu, baca `pada masa itu`.
...hukum rajam dan hukum2 yg lain merupakan produk sejarah yg berupaya untuk memfasilitasi tantangan problematika ummat pada masa itu, baca `pada masa itu`
...perlu d ketahui bahwa zaman yg membentuk hukum2 awal ini(rajam salahsatunya) ber-setting pada masa pra-modern dmn unsur2 kekerasan fisik sangat kuat(dan rajam adalah salah satu cara efektif -pada masa itu- untuk membentuk tatanan masyarakat yg teratur)
...jika acuannya adalah perkembangan kebudayaan manusia, maka hukum ini sudah tidak bisa d gunakan lagi, karena manusia modern sudah(idealnya) beralih pada hukum yg berorientasi penghukuman fisik ke cara2 yg lebih `berkebudayaan`, bahkan d dunia modern hukuman mati pun dipilihkan kematian yg tidak menimbulkan rasa sakit kepada sang terhukum spt kamar gas / suntik yg memberikan efek mengantuk spt hypotermia
...hukum rajam sebenarnya hanya satu dr sekian banyak problem yg kemudian menjerat dunia islam kedalam kemandekan, hakikat penurunan islam yg tidak lekang waktu, d reduksi, dbatasi oleh beberapa hukum dan aturan(kadang juga ide2, misalkan seperti negara kehalifahan) yg sifatnya hanya temporal dan berlaku pada masa tertentu saja
...sudah saat nya kita membuktikan bahwa islam adalah agama yg berorientasi masa depan, bukannya malah setback kemasa lampau

Posted by firdaus marlik  on  11/12  at  08:57 AM

Apakah lantas karena tidak ada di Al Qur’an lantas kita menafikan hadist? Apakah ada masalah kalau rajam ada di Taurat namun Nabi pernah melakukannya? Bagaimana kalian menafsirkan QS. An-Najm: 3-4, “Dan tiadalah yang dia (Muhammad) ucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturunkan”.

Justru itulah permasalahan para ingkarussunnah, merasa lebih paham dari nabi, para sahabat, tabiin, tabiit tabiin dalam menafsirkan ayat Al Qur’an. Imam Syafii yang lahir di lingkungan yang berbahasa Arab dan belajar bahasa arab selama 20 tahun saja mengatakan bahwa tidka ada yang terbaik dalam menafsirkan Al Qur’an kecuali nabi dan tidak ada yang lebih memahami hadist kecuali sahabat, tak ada yang lebih memahami sahabat kecuali tabiin, dst, dst.

Tidak ada paksaan dalam Agama. Benar! Untuk itu saya akan lebih merujuk ke pemahaman sahabat, tabiin, tabiit tabiin, dan salafush shalih, dan meninggalkan pemahaman yang menggunakan akal semata.

Posted by Lutfi  on  11/11  at  08:37 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq